Kamis, 20 Maret 2008

Fenomena Sosial Kehidupan Warga Miskin Pemukiman Kumuh di Ibu Kota

Fenomena Sosial  Kehidupan Warga Miskin Pemukiman Kumuh  di Ibu Kota
(Studi Kasus: Kehidupan Pemukiman Kumuh di derah Pulo Mas, Jakarta Timur)

Oleh: Syaifudin


Kata-kata miskin dan kemiskinan hampir selalu menjadi alasan (bahkan dikategorikan penghambat) pembangunan. Indikator pembangunan sering kali dikaitakan dengan data-data tentang kemiskinan. Miskin atau kemiskinan mempunyai nilai jual atau posisi tawar yang tinggi. Dalam kenyataannya, kemiskinan menjadi kata kunci untuk melaksanakan program besar pembangunan yang justru menguntungkan penguasa atau (elite). Program pembangunan pengentasan kemiskinan semakin gencar tatkala angka kemiskinan penduduk Indonesia  cukup tinggi.[1]
Kemiskinan adalah fenomena sosial yang kompleks, berdimensi majemuk, dan tidak mudah untuk dijabarkan secara definitif. Lembaga-lembaga yang berkepentingan untuk hal ini seperti Bank Dunia dan Badan pusat Statistik menjelaskan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memnuhi standar kebutuhan hidup tertentu. Sementara itu, ilmuan Indonesia seperti Soetandyo Wignjosebroto mengajukan teori kemiskinan struktural di mana kemiskinan dipahami sebagai sebuah konsekuensi logis dari kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan. Penjelasan kemiskinan yang majemuk adalah konsekuensi dari kompleksitas fenomena tersebut. Pada gilirannya hal ini mempengaruhi metode pengukuran dan kebijakan yang diambil untuk mengatasi maslah kemiskinan.[2]
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang tidak dapat dibilang mudah untuk mengatasinya. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah sudah cukup banyak, namun hasilnya tetap saja ada pemukiman kumuh masyarakat miskin di pinggir bahkan ditengah kota Jakarta, karena program pemerintah yang ada kembali lagi untuk kepentingan kaum elit. Ironisnya pemukiman ini bahkan terletak di belakang gedung-gedung tinggi yang berada di tengah kota Jakarta. Dalam pemberantasan pemukiman kumuh ini, sering kali terjadi penggusuran di daerah-daerah tertentu, akan tetapi hal itu bukanlah sebuah solusi karena yang terjadi akibat dari penggusuran adalah akan terbentuk pemukiman baru di tempat yang lain. Hal itu bukanlah upaya untuk mengentaskan kemiskinan terutama masalah tentang pemukiman kumuh karena sebenarnya upaya itu hanya memindahkan kemiskinan di daerah satu ke daerah lain.
Melihat fenomena kemiskinan tersebut hal ini di sebabkan oleh kurangnya lapangan kerja dan minimnya pendidikan serta keahlian yang dimiliki masyarakat. Ketidakmerataan pembangunan nasional terutama di daerah pedesaan juga hal yang mempengaruhi munculnya fenomena kemiskinan di daerah ibu kota. Sehingga penduduk melakukan urbanisasi dan mencoba hidup di kota dengan membentuk suatu pemukiman tersendiri. Dalam pemukiman itu masyarakat tidaklah merasa risih dengan keadaan lingkungan mereka, yang terpenting adalah bagaimana mereka dapat bertahan hidup dan memiliki tempat tinggal.


Pemukiman kumuh yang berada di derah Pulo Mas, Jakarta Timur
Daerah Pulo Mas, Jakarta Timur terdapat pemukiman kumuh. Letak perkampungan ini yang menempati lahan pemerintah membuat masyarakat yang tinggal di daerah ini tidak memiliki bangunan  tetap (permanen). Hal ini dikarenakan masyarakat harus siap, jika sewaktu-waktu pemerintah melakukan penggusuran lahan. Masyarakat yang tinggal di derah ini juga rata-rata bukanlah penduduk jakarta asli, tetapi orang-orang yang datang dari desa ke kota seperti, Indramayu, Kuningan, Cirebon, dan bahkan ada yang dari Lampung.
Di sana terdapat masyarakat-masyarakat dengan keadaan ekonomi yang minim dengan berbagai macam pekerjaan yang digeluti masyarakatnya. Kebanyakan masyarakat di sana bekerja sebagai pengumpul barang rongsok, pedagang kaki lima,buruh pabrik dan para waria yang bekerja sebagai pengamen atau sebagai pekerja tuna susila. Bahkan tidak dipungkiri ada yang menggeluti pekerjaan sebagai pencopet atau pencuri. Tidak dapat disalahkan juga tuntututan ekonomi membuat mereka bekerja dengan berbagai profesi seperti itu, yang penting adalah bagaimana mereka dapat memnuhi kebutuhan hidupnya dan mengisi perut mereka. Meskipun demikian, hal ini bukanlah sesuatu yang dianggap tidak wajar, bahkan merupakan pekerjaan yang dianggap umum dalam lingkungan tempat tinggal mereka.


Sifat dasar manusia dan alienasi)
Ketika berbicara tentang sifat dasar umum kita, Marx sering menggunakan istilah species being. Yang dia maksud adalah potensi-potensi dan kekuatan-kekuatan yang unik yang membedakannya dari species lain. Ide-ide tentang sifat dasar manusia, seperti ketamakan, kecendrungan pada kekerasan, perbedaan gender “alamiah” kita-sering digunakan untuk menentang perubahan sosial apapun. Konsepsi-konsepsi sifat dasar manusia itu konservatif.
Jika problem-problem kita disebabkan oleh sifat dasar kita, maka kita lebih baik belajar untuk membiasakan diri untuk mencoba mengubah segala sesuatu.[3] Begitu pula yang penulis lihat pada masyarakat miskin yang tinggal di pemukiman kumuh, atas dasar sifat manusia itulah mereka tidak peduli pada keadaan tempat tinggal mereka. Asalkan dapat memenuhi apa yang mereka inginkan mereka tidak sungkan untuk bekerja dengan profesi apapaun, sekalipun mereka bekerja dengan berbagai resiko yang dihadapainya. Seperti pencopet atau pencuri mereka yang bekerja dengan menggeluti profesi itu tidak sungkan melakukan kekerasan, karena kembali lagi pada tuntutan hidup mereka.
Bagi Marx, kerja adalah pengembangan-pengembangan kekuatan dan potensi-potensi kita yang sebenarnya. dengan mentransformasikan realitas material agar sesuai dengan tujuan kita, kita juga mentransformasikan diri kita sendiri. Marx menganalisis bentuk yang aneh bahwa hubungan kita dengan kerja kita berada dibawah kapitalisme. Kita tidak lagi melihat kerja kita sebagai sebuah ekspresi dari tujuan kita.
Di dalam kapitalisme, kerja tidak lagi menjadi tujuan pada dirinya sendiri, sebagai ungkapan dari kemampuan dan potensi kemanusiaan, melainkan tereduksi menjadi sarana untuk mencapai tujuan, yaitu memperoleh uang.[4] Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa saat ini kapitalisasi di dunia menimbulkan dampak kemiskinan untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Seperti yang terjadi pada masyarakat miskin (proletar) segala aktivitas yang dilaluinya bukan untuk tujuan hidup dan cita-cita yang lainnya, apa yang mereka lakukan tiap hari adalah bagaimana mereka mendapatkan uang. Kegiatan sosial lain dan pendidikan sama sekali tidak terpikirkan oleh mereka untuk dilakukan. Hal ini membuat mereka juga teralienasi dari dunia luar maupun dengan diri mereka sendiri, mereka hanya terpaku pada aktivitas yang sama setiap harinya.
Melihat fenomena tersebut dapat disimpulkan yang terjadi pada masyarakat pada pemukiman tersebut sesuai dengan perkataan Marx, yaitu manusia hanya merasa aktif di dalam fungsi-fungsi hewaniahnya. Makan, minum, punya keturunan-semetara di dalam proses kerjanya, mereka tidak lagi merasa diri mereka menjadi apa-apa selain menjadi binatang. Betapa binatang telah menjadi manusia, dan betapa manusia telah menjadi binatang. Tentu saja makanan, minuman, punya keturunan, dan sebagainya juga merupakan fungsi-fungsi dasar yang manusiawi, akan tetapi terpisah dari jangkauan seluruh aktifitas kemanusiaan yang lain dan beralih kepada tujuan yang tunggal dan mendasar yang merupakan fungsi-fungsi kebinatangan.[5]
Keterasingan yang dialami pada masyarakat pemukiman kumuh Pulo Mas membuat mereka menjadi merasa pekerjaan yang mereka geluti bukanlah sebagai sebuah kebanggaan memberi kepuasan untuk dirinya, melainkan membuat mereka merasa terasingkan dari pekerjaannya, dirinya, keluarganya bahkan lingkungan sosial mereka. Pekerjaan yang mereka lakukan membuat mereka sibuk mencari nafkah dalam fungsi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pekerjaan yang mereka lakukan membentuk keterasingan pada diri mereka sendiri. Keterasingan yang terjadi dari diri individu dalam masyarakat itu dapat terjadi ketika dalam kehidupan yang mereka tegur sapa antar tetangga di lingkungan mereka semakin berkurang, anak-anak dari mereka juga masih banyak yang tidak mengenal pendidikan sebagai penghubung mereka dengan dunia luar.
Berikut adalah data hasil wawancara dengan beberapa narasumber yang penulis temui:

Identitas Narasumber[6]
No
Nama
Pekerjaan
Usia
Asal
1
Bapak Atam
Pemulung
43 tahun
Indramayu
2
Ibu Ayi
Pengumpul barang rongsok
30 tahun
Cirebon
3
Asep
Pedagang kaki lima
24 tahun
Sukabumi
Sumber: data penulis

Menurut narasumber yang penulis temui, mereka berasal dari luar Jakarta dan pindah ke sini untuk mencari pekerjaan karena di daerah asal mereka tidak ada pkerjaan yang dapat mereka lakukan. Jadi, demi memenuhi kebutuhan dan mendapatkan uang untuk menafkahi keluarga,  mereka memilih untuk tetap tinggal di sini. Menurut mereka di daerah asalnya dalam sehari mereka belum tentu mendapatkan uang, tetapi di sini mereka bilang dalam sehari minimal mereka bisa mendapat uang sebesar Rp 25.000 sampai Rp 50.000 per hari. Mereka juga rata-rata tidak mengetahui program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai), yang mereka tahu pemerintah sewaktu-waktu dapat menggusur tempat tinggal mereka.
Bukan hanya program dalam pengentasan kemiskinan saja yang tidak mereka ketahui tetapi program dalam pendidikan juga mereka tidak mengetahuinya. Seperti keluarga Pak Atam, rata-rata keluarganya hanya bersekolah sampai tingkat sekolah dasar saja, katanya tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan penghasilannya yang minim. Padahal untuk masalah pendidikan pemerintah sudah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dengan biaya pendidikan garatis. Itulah salah satu bentuk keterasingan diri mereka terhadap dunia luar, karena mereka setiap harinya sibuk bekerja. 
Setiap harinya penduduk pemukiman tersebut mulai bekerja dari pagi dan pulang sampai sore. Rutinitas yang mereka lakukan setiap harinya sama dan terus berulang. Waktu yang ada hanyalah untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Waktu untuk beristirahat atau sekedar berkomunikasi dengan keluarga pun kurang, hal ini makin membuat manusia hanya bergerak bagaikan mesin yang melakukan kegiatan sama tiap harinya.


Fakta sosial dan pembagian kerja yang menyebabkan pergeseran solidaritas sosial masyarakat
Para penduduk pemukiman kumuh, yang rutinitas sehari-harinya hanya bisa bekerja adalah salah satu bentuk fakta sosial yang berlaku dalam masyarakat. Durkheim mendefinisikan fakta sosial sebagai kebiasaan-kebiasaan dalam bertindak, berpikir, dan merasakan. Hal ini berada di luar diri individu, dan memiliki kekuatan untuk memaksa sang individu. Kebiasaan-kebiasaan ini tak boleh disebut fenomena biologis, karena ia dianut dan dilakukan oleh orang banyak. Ia pun tak bisa dikatakan fenomena psikologis, karena ia bukanlah dinamika yang hanya terjadi di dalam kesadaran individu. Fenomena ini merupakan sebuah fenomena yang lain dari semua itu, dan kita dapat mengindetifikasinya sebagai fenomena sosial.[7]
Hal ini dapat dilihat dengan fenomena kemiskinan yang ada, masing-masing individu bekerja sesuai pekerjaannya masing-masing. Hal itu merupakan bentuk fakta sosial, di mana masing-masing individu melakukan aktivitas pekerjaannya sbukan karena keinginan dari dalam diri mereka sendiri, melainkan keadaan lingkungan danb faktor-faktor eksternal lainnya yang membuat individu itu bekerja bukan sesuai dengan keinginan mereka sendiri.
Fakta sosial juga punya ciri koersif, yaitu kemampuan untuk memaksa orang perorangan untuk berpikir, bertindak, dan berperasaan menuruti cara-cara tertentu. Hal ini tidak berarti bahwa manusia semata-mata bagaikan robot dihadapan fakta sosial. Individu bisa saja tidak mematuhi fakta sosial tertentu. Namun bila ini dilakukannya, sanksi sosial akan diperolehnya.[8] Kehidupan sosial individu juga diatur oleh oknum yang dianggap sebagai penguasa di daerah itu. Di mana orang-orang itu lah yang mengatur iuran-iuran baik dari sewa rumah yang padahal bangunan-bangunan tersebut berdiri diatas tanah pemerintah, atau dengan alasan iuran keamanan dan iuran patungan kalau sewaktu-waktu diantara mereka ada yang tertangkap Satpol PP, karena jika mereka tertangkap satpol PP mereka harus menebus dengan biaya RP 400.000 rupiah.
Jika, mereka tidak mengikuti aturan atau berdiri sendiri proses kehidupan yang dilakukan mereka sehari-hari akan cendrung lebih berat. Maka dari itu mau-tidak mau dalam satu bulan mereka harus menyisihkan uang mereka untuk membayar berbagai macam iuran untuk menjamin keselamatan hidupa mereka di daerah tersebut. Menurut narasumber yang penulis temui, mereka tidak merasa keberatan, asalkan mereka masih ada tempat tinggal dan ada jaminan saat mereka harus berhadapan dengan Satpol PP mereka juga akan menerima sistem yang ada di lingkungan meraka tersebut. Kembali lagi pada anggapan mereka hidup di Jakarta dengan keadaan seperti ini, jauh lebih baik dibanding tinggal di desa dan tidak berpenghasilan.
Salah satu fakta sosial yang dipandang pentung oleh Emile Durkheim adalah solidaritas sosial. Selain itu Durkeim juga mengatakan bahwa pembagian kerja (Division of Labour) dalam satu masyarakat menentukan corak solidaritas sosial di masyarakat tersebut. Pergerseran struktur pembagian pekerjaan menimbulkan pergeseran dalam corak solidaritas masyarakat. Ikatan yang mengikat berbagai lapisan masyarakat bkanlah kontrak sosial (keputusan tiap individu dalam masyarakat dengan sadar dan rasional) atau paksaan dan kekerasan, tetapi oleh hal-hal yang bersifat sukarela dan non rasional (yaitu, sentimen moral di antara individu-individu dan atau kelompok-kelompok dalam masyarakat yang diperkuat oleh pengalaman senasib sepenanggungan-kesadaran kolektif).
Hal-hal yang non-rasional dan bersifat sukarela ini membentuk mutual trus yang bersifat implisit diantara para anggotanya.[9] Untuk itu masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh tidak merasa terganggu dengan situasi lingkungan yang ada, meskipun mereka jarang untuk berkomunikasi dengan sesama tetangga lingkangan tempat tinggalnya. Keadaan yang membentuk mereka menerima sesama mereka, kesamaan sentimen moral membuat mereka tidak merasa risih terganggu dengan berbagai macam orang yang tinggal di sana, baik itu yang bekerja dengan pekerjaan biasa maupun dengan orang-orang dengan pekerjaan lain seperti pengamen waria, pekerja tuna susila maupun pencuri. Dalam diri mereka timbul kepercayaan bahwa dalam lingkungan tersebut sesama warga tidak ada yang saling mengganggu kehidupan warga, termasuk para pencuri juga tidak akan mencuri di lungkangna tempat tinggalnya.
Berbicara solidaritas sosial sekarang ini, semakin minim terlihat fungsinya apalagi pada zaman serba modern saat ini. Solidaritas sosial antar lingkungan masyarakat semakin terkikis terutama di kota besar seperti DKI Jakarta. Keadaan ekonomi tiap orang membuat masyarakat terpecah dan cendrung individualisme. Solidaritas yang ada saat ini mengarah pada solidaritas organik, dimana kesadaran kolektif masyarakatnya rendah, individualisme yang tinggi dan persaingan yang kuat.
Kehidupan di Ibu kota memang sulit, maka dari itu kemiskinan yang ada  semakin meningkat apalagi jika dilihat dari sisi solidaritas sosial organik yang ada di Jakarta membuat msyarakat miskin semakin terpinggirkan, karena setiap orang bersaing untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Sesuai dengan pendapat Durkheim, masyarakat modern dipertahankan bersama oleh spesialisasi orang dan kebutuhan mereka akan jasa sekian banyak orang. Spesialisasi ini tidak hanya pada tingkat individu saja, akan tetapi juga kelompok, struktur dan institusi.[10] Berarti maksudnya adalah apabila seorang individu dan masyarakat tertentu tidak memiliki modal apapun baik materi ataupun skill hidup di kota besar ini tidak akan berhasil. akibatnya kemiskinan semakin meningkat tiap tahunnya melanda Ibu Kota Jakarta.


Kesimpulan
Memasuki era globalisasi membuat kita harus siap dalam menghadapi masa itu. kapitalisasi dunia akan mennyentuh negara-negara miskin dan berkembang di dunia, termasuk Indonesia. Kesiapan negara ini dalam menghadapi globalisasi dirasa msih sangat kurang akibatnya kemiskinan diberbagai daerah semakin meningkat. Ironisnya bahkan di Ibu kota Jakarta kemiskinan cukup banyak, dibalik gedung-gedung tinggi. Kemiskinan merupakan salah satu fenomena sosial yang tidak mudah untuk diatasi, berbagai program pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan belum dapat memperbaiki tarah hidup masyarakat miskin di Indonesia.
Untuk itu penelitian ini dilakukan dalam mencari tahu tentang kehidupan sosial masyarakat miskin di ibu kota. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kemiskinan yang ada di Ibu kota memebentuk mereka menjadi terasing dalam dirinya sendiri bahkan dari lingkungan sosialnya. Serta semakin memperjelas pembagian kerja dalam masyarakat modern menjadikan solidaritas sosial mekanis semakin tergeser menjadi solidaritas mekanik. Hal ini semakin memperjelas perbedaan kehidupan sosial di daerah perkotaan dengan pedesaan yang masih menganut solidaritas sosial mekanik.
Fenomena sosial kemiskinan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat modern abad ini. Penuis mencoba menjabarkan masalah kemiskinan yang ada di Ibu Kota saat ini. Hal ini bertujuan untuk membangkitkan sikap kritis masyarakat kota yang semakin memudar melihat fenomena kemiskinan yang ada di Indonesia dan butuh perhatian khusus dari berbagai pihak dalam perbaikan taraf hidup suatu bangsa.



DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ritzer, George dan  Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi. Bantul: Kreasi Wacana.
Samuel, Henneman. 2010. Emile Durkheim: Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern. Depok: Kepik Ungu.

Jurnal
Handayani, Ninik.  Menyimak Kehidupan Keluarga “Miskin”.  Di kutip dari jurnal Menelusuri Kriteria kemiskinan perspektif Masyarakat Sipil. Vol 14 Nomor. 2. September 2009. Bandung: Yayasan Akatiga.
Marbun, Deswanto dan Asep Suryahadi. Kriteria Kemiskinan Konsumsi: Praktik di Indonesia dan Beberapa Catatan . Di kutip dari jurnal Menelusuri Kriteria kemiskinan perspektif Masyarakat Sipil. Vol 14 Nomor. 2. September 2009. Bandung: yayasan Akatiga.



[1]  Ninik Handayani.  Menyimak Kehidupan Keluarga “Miskin”.  Di kutip dari jurnal Menelusuri Kriteria kemiskinan perspektif Masyarakat Sipil. Vol 14 no. 2. 2009. Bandung: yayasan Akatiga. Halaman  1
[2] Deswanto Marbun dan Asep Suryahadi. Kriteria Kemiskinan Konsumsi: Praktik di Indonesia dan Beberapa Catatan . Di kutip dari jurnal Menelusuri Kriteria kemiskinan perspektif Masyarakat Sipil. Vol 14 no. 2. 2009. Bandung: yayasan Akatiga Halaman 14
[3]  George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi. 2011. Bantul: Kreasi Wacana. Hal. 52
[4]  Ibid. Hal. 54-55
[5]  Ibid. Hal. 55
[6] Nama-nama diatas adalah narasumber  yang penulis wawancara dan diberikan berbagai macam pertanyaan seputar kehidupan mereka
[7]  Haneman Samuel. EMILE DURKHEIM Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern. 2010. Depok: Kepik Ungu. Hal. 20.
[8]   Ibid. Hal. 23.
[9] Ibid. Halaman 28-29
[10] George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi. 2011. Bantul: Kreasi Wacana.  Hal. 92.