Sabtu, 07 Juni 2008

KEMISKINAN IBU DARI MASALAH SOSIAL

KEMISKINAN IBU DARI MASALAH SOSIAL

 Oleh: Syaifudin


Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami, padamu kami mengabdi….


Setelah 63 tahun Indonesia merdeka, hasil dari perjuangan rakyat Indonesia. Kini yang ada kemerdekaan itu jauh dari tujuan yang dicita-citakan, sebagaimana termaktub dalam Pembukaaan Undang-Undang Dasar 1945. Produk dari pembiasan tujuan itu salah satunya melahirkan kemiskinan – dalam hal ini kemiskinan dalam aspek kebutuhan hidup, seperti sandang, pangan, dan papan – yang terlebih bahaya adalah kemiskinan moral.
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang ada di setiap negara, khususnya Indonesia. Kemiskinan timbul karena rakyat yang berada dalam tatanan struktur sosial kebawah tidak dapat mengakses kesempatan untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya. Kesempatan itu menjadi pertimbangan bagi mereka, jika melihat strata di mana mereka berada. Dari status pendidikan sampai kondisi fisik menjadi perihal pertimbangan dalam lingkaran kesempatan untuk mencoba memperbaiki hidupnya yang lebih baik lagi. Kemiskinan yang terjadi menandakan adanya ketimpangan kesempatan serta ketidakadilan didalam sistem dan struktur masyarakat global, serta ketidakpekaan pemerintah atas nasib rakyatnya.
Sejarah peradaban manusia adalah sejarah penindasan yang penuh intrik dengan kekuasaan penguasa. Mereka ( penguasa ) akan terus menjelma seperti dewa yang mempunyai muka dua. Satu sisi mereka memperjuangkan kesejahteraan rakyat, di sisi lain mencoba untuk membohongi rakyat dengan manuver – manuvernya yang picisan, berlagak seperti pahlawan yang mencoba menjadi Tuhan, untuk menyelamatkan umatnya – rakyat yang sedang kebingungan harus berteriak kepada siapa lagi untuk meluapkan tekanan yang dialaminya agar dapat keluar dari jeratan kemiskinan. Disaat itulah para politisi oportunis berorasi atas nama kesejahteraan. Sungguh malang nasib rakyat, ibarat pepatah sudah jatuh, ketiban tangga pula, tragis.

Kemiskinan akar dari masalah sosial
Kemiskinan pun beranak pinang menjadi masalah-masalah yang menambah kompleks kehidupan sosial bangsa ini. Dia adalah hulu dari kompleksitas permasalahan yang ada di Indonesia. Pengangguran, premanisme, tindakan kriminal, dan putus sekolah, itu merupakan anak hasil dari perkawinan kemiskinan dengan ketidakadilan yang diterapkan penguasa kepada rakyatnya.
Jika dilihat dari aspek pendidikan, maka berapa puluh ribu anak di Indonesia yang harus putus sekolah, dan terpaksa menjadi pekerja anak. Mereka terenggut haknya untuk mendapatkan pendidikan, padahal sudah diamanatkan dalam UUD 1945, pasal 28C ayat 1 “ setiap orang berhak mendapatkan pendidikan demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahterahaan umat manusia “.
Jika dilihat dari segi asfek realita, anak putus sekolah yang kemudian masuk ke pasar kerja, itu merupakan rasionalisasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya yang dilanda kemiskinan. Hal itu diperkuat dari hasil Sensus Ekonomi Nasional 2003 yang menyatakan ada 67% anak putus sekolah dikarenakan tidak mempunyai biaya untuk sekolah. Bukankah bangsa yang berkualitas, bangsa yang berpendidikan, sebagaimana yang dikatakan John P. Miller, produk pendidikan adalah bangsa dan peradaban.
Sekilas bila kita melihat dunia pendidikan di Indonesia pun belum semuanya dapat dinikmati oleh segenap masyarakat, terlebih masyarakat yang berada pada lapisan bawah. Jargon – jargon yang terus dilantangkan oleh UNICEF “ Education For All “ hanya menjadi nyanyian penghibur dari sebuah harapan yang kosong di negeri ini. Program visi Indonesia maju 2030,yang dicanangkan oleh pemerintah akan menjadi utopis, bila pendidikan tidak dijadikan prioritas yang merakyat. Selain itu program pengentasan kemiskinan pada tahun 2015, juga menuntut implementasi education for all dapat terlaksana dengan baik,dan terakses oleh semua lapisan masyarakat. Semoga saja para “ stake holder “ negeri ini melihat pendidikan itu sebagai transportasi menuju masyarakat yang berkualitas dan beradab.
Di sisi lain faktor kemiskinan menciptakan manusia-manusia baru yang tidak lagi terkontrol oleh nilai dan norma humanis. Dari kemiskinan kesejahteraan, sampai miskin moral. Tindakan kriminal merupakan momok nyata yang ada dalam dinamika aktivitas manusia. Hal itu terjadi karena ada kausalitas yang melahirkan fenomena itu. Karena tidak mempunyai uang untuk membeli sekaleng susu untuk anaknya, seorang ibu nekat mencuri susu, serta ada seorang bapak yang nekat menjambret emas di sebuah pasar tradisional, padahal saat itu banyak sekali orang yang melintas, tetapi dia tetap melakukannya karena terdesak untuk membayar biaya sekolah anaknya. Kasus tadi hanyalah gambaran sekilas dari realita yang terjadi akibat dari efek kemiskinan kronis.
Apakah akar dari kemiskinan ini akan terus menjalar dalam rupa yang lebih menakutkan lagi. Di mana tidak ada lagi batas kemanusiaan dan agama yang menjadi pembatas moral seorang manusia, bahkan batas hewan sekalipun dilewatinya. Seperti kanibalisme yang terjadi di Rusia pada tahun 1930-an masa rezim Stalin, akibat kelaparan manusia yang begitu hebatnya, hingga menghilangkan rasionalitas manusia. Hal itu mungkin dapat terjadi di Indonesia, salah satunya tragedi kelaparan massal yang terjadi di Yahukimo, Papua, untungnya masih dalam batas rasionalitas. Namun hal itu bisa terjadi bila pemerintah tak segera melakukan tindakan tanggap dalam menangani kasus kelaparan akibat kemiskinan itu. Proses irasional tersebut, penulis istilahkan peradaban tanpa peradaban. Dengan sebab kemiskinan kesejahteraan ini bermetamorfosis menjadi kemiskinan moral atau “ demoralisasi “. Hingga hilang bentuk dari sebuah peradaban yang rasional menuju irasional.

Pemerintah = Pengabdi Rakyat
Belum lama ini pemerintah menaikkan harga BBM dengan alibi anggaran negara mengalami defisit. Penolakan pun terus disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tetapi tetap saja yang mempunyai otoritas keputusan ada ditangan pemerintah. Hingga akhirnya harga BBM pun dinaikan. Dengan kenaikan harga BBM ini, tentunya membuat rakyat semakin tercekik, apalagi kenaikan BBM ini akan terus bertambah. Sungguh malang nasib menjadi rakyat.
Dengan kenaikan BBM ini, rakyat pun diminta untuk beralih menggunakan enegi bahan bakar GAS, tetapi sungguh sial jadi rakyat, harga GAS pun dipastikan akan naik. Cara- cara kebijaksanaan negara dan pemerintah yang impolisi bukan saja bertentangan dengan asas-asas kerakyatan dan hikmah musyawarah - yang di amanatkan dalam UUD 1945, bahkan menindas dan memperkosa asas – asas itu. Para pemimpin negara dan pemerintahan sekarang ini bukannya menjadi saluran pengabdi rakyat, malahan sebaliknya menjadi penindas dan pemeras rakyat sendiri. Contoh kecil, yang seharusnya pembuatan KTP tanpa dikenakan biaya, tapi tetap saja ada praktek kotor di dalamnya.
Untuk itu pimpinan negara dan pemerintah ini harus dapat menerapkan asas- asas kerakyatan dengan menjadi abdi rakyat yang bermoral dan berkeadilan - bukannya menjadi lintah bagi rakyat. Selama asas itu mampu dijalankan, maka kemiskinan pun tidak akan menjadi suatu penyakit kronis di negeri ini. Semoga saja para pemimpin negeri ini mampu menjalankan amanahnya sebagai abdi rakyat.
Selain itu pola pengentasan kemiskinan harus terintegrasi dalam konteks tujuan negara yang merakyat, bukan menumbalkan rakyat. Hal yang harus direkondisi terlebih dahulu adalah lembaga – lembaga negara, baik pusat maupun daerah. Dengan cara memberikan sanksi yang tegas kepada para oknum yang menyimpang dari tujuan awalnya. Supaya dapat menjalankan amanahnya sesuai dengan kode etik keprofesiannya. Sebab dialah agen distribusi para pemegang kebijakan, yang di mana produk kebijakan tersebut disalurkan kepada rakyat, demi kesejahteraan rakyat. Apabila lembaga ini rusak, maka rakyat pun yang menjadi tumbal dari oknum birokrat nakal ini, akhirnya lagi-lagi rakyat yang menjadi sengsara dalam kemiskinannya. Kemudian, menasionalisasi aset badan usaha milik negara agar tidak sepenuhnya dikuasai oleh pihak asing.
Selain itu, membangun sekolah-sekolah rakyat berbasis teknologi bagi rakyat ekonomi kelas kebawa, khususnya daerah-daerah pedalaman yang belum mendapat akses pendidikan, Diharapkan dari proses pendidikan ini, masyarakat dapat meningkatkan taraf hidupnya, sehingga terbebas dari jeratan kemiskinan. Lalu, menguatkan ketahanan pangan dengan menerapkan diversifikasi produk pertanian,melalui pembinaan yang tersistem kepada para petani, serta merevitalisasi produk kerajinan tangan khas daerah sebagai kekuatan lokal budaya demi terciptanya kemandirian lokal bangsa, dengan memberikan modal usaha lunak (tanpa bunga) dan pelatihan kewirausahaan bagi masyarakat.
Kemudian pelaksanaan program dialog rakyat, di mana pemerintah, khususnya Presiden, melakukan dialog langsung dengan mendatangi para warga, baik dari lapisan bawah sampai daerah pedalaman sekalipun, untuk berdialog bersama mengenai apa yang dirasakan oleh rakyat dan apa yang diinginkan rakyat. Agar tidak ada dinding tebal yang membatasi ruang aspirasi rakyat kepada para abdi rakyat ini dan pemerintah pun mengetahui serta melihat langsung kondisi yang di alami rakyatnya, bukan meraba, apalagi memprediksi kondisi kehidupan masyarakat yang termarginalkan. Kemudian dari hasil dialog tersebut pemerintah pun menjawab aspirasi rakyat ini dengan implementasi konkret, bukan dengan onani politis.
Program dialog rakyat ini merupakan batu tapal dari sebuah kebijakan yang nantinya bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat banyak. Ibarat sebuah radio yang rusak. Bagaimana kita dapat membetulkan radio yang rusak, bila kita tidak memeriksanya langsung, serta mengetahui di mana kerusakan itu terjadi, dan kenapa radio itu bisa rusak.
Semoga dengan kepekaan pemerintah melihat realita yang terjadi pada rakyatnya melalui ruang dialog. Maka diharapkan kasus ironis makan nasi aking yang terjadi di Serang, Banten, serta di daerah lain, akibat ekses kemiskinan. Dapat diminimalisir, sehingga terwujudnya kondisi bangsa yang madani, sesuai dengan apa yang diharapkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negeri ini, hanyalah sebuah bahan mentah, yang kemudian dikelola oleh penghuninya, yaitu oleh semua lapisan yang ada, dari rakyat, sampai pemerintah. Jika dikelola dengan alat dan tujuan yang berjiwa kemanusiaan dan semangat moral kebangsaan, niscaya negeri ini makmur, namun bila dikelola dengan alat dan tujuan yang berjiwa kekuasaan kepentingan, jangan harap negeri ini akan makmur. Bangsa-ku, bangkitlah dari keterpurukan, menuju sebuah renaisans, agar dapat menjadi bangsa yang bermartabat.