Senin, 07 Juli 2008

GERILYA KAPITALIS DALAM LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR

GERILYA KAPITALIS DALAM LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR
Oleh : Syaifudin

Pendidikan merupakan salah satu pintu gerbang penting dalam pembangunan manusia Indonesia.Pendidikan juga merupakan pelopor pembaharuan untuk perbaikan generasi muda Indonesia. Munculnya tuntutan standar nilai kelulusan lewat UN yang dibuat oleh Depdiknas beberapa tahun belakangan ini.Dan rencananya pun mata pelajaran pada UN tahun 2008 akan ditambah dari tiga mata pelajaran, menjadi enam mata pelajaran. Penambahan jumlah mata pelajaran pada UN pun di ikuti dengan kenaikan standar nilai kelulusan pula, tentunya ini dirasa berat bagi para siswa.

Hal inilah yang mendorong Lembaga Bimbingan Belajar atau Bimbel banyak diminati. Adanya celah dalam sistem penyelenggaraan pendidikan nasional tersebut menjadi alas an munculnya Lembaga Bimbingan Belajar. Dimana perkembangan dunia pendidikan menjadi “ project “ tersendiri bagi para pemilik modal untuk untuk mendirikan Lembaga Bimbingan Belajar,karena investasi dan bisnis di bidang pendidikan memberikan prospek yang cukup menjanjikan.

Dengan sistem pendidikan sekarang ini yang menuntut dan mengarahkan siswa untuk belajar lebih banyak dan intensif dengan begitu banyak tugas yang diberikan oleh guru disekolah,membuat siswa memerlukan belajar tambahan.Salah satunya dengan mengikuti Bimbingan Belajar. Selain UN yang diterapkan oleh Depdiknas, SPMB pun menjadi salah satu faktor pendorong mengapa siswa meminati untuk mengikuti pelatihan dan pembelajaran dalam menjawab soal-soal SPMB di Bimbingan Belajar,sesuai dengan metode pada masing-masing Bimbingan Belajar. Sebab apabila siswa tersebut berhasil diterima di Perguruan Tinggi Negeri favoritnya, khususnya melalui jalur SPMB, dianggap suatu kebanggaan tersendiri baginya.

Pendidikan memang modal setiap orang untuk meningkatkan status sosialnya, khususnya melalui Lembaga Formal yaitu sekolah. Munculnya Bimbel karena masih ada sekolah yang tidak melakukan proses pembelajaran yang tepat untuk diterapkan kepada siswanya. Harus di akui metode Bimbingan Belajar memang lebih disukai oleh para siswa. Penyampain materi, gaya, bahasa, serta komunikasi pengajar dengan siswa di anggap efektif. Tetapi dari maraknya kemunculan bimbel memberi sinyal terjadinya ‘ deviasi ‘ pada persaingan bisnis dalam memasarkan lembaga bimbingan belajar,dari trik-trik mudah dan cepat dalam menjawab soal-soal,sampai tak tanggung-tanggung memberi jaminan uang kembali apabila siswa tidak lulus UN atau SPMB. Hal ini berdampak buruk terhadap perkembangan psikologis siswa,dimana akan terbentuk pola pikir ‘ bahwa dengan mengikuti Bimbingan Belajar akan memberi jaminan si siswa pasti lulus ‘,padahal belum tentu, karena kelulusan itu tergantung dari bagaimana siswa itu mempersiapkan dirinya dalam menghadapi ujian akademik, baik UN maupun SPMB, yaitu dengan cara belajar yang intensif,serta banyak membaca buku pelajaran.

Selain itu Bimbingan Belajar pun tidak memacu para siswanya untuk mengeksplorasi setiap buku bacaan yang berbau dengan ilmu pengetahuan, karena Bimbingan Belajar hanya memberi materi-materi dalam bentuk modul yang dibagikan kepada para siswanya,kemudian membahas jawabannya dari soal-soal yang ada dalam modul tersebut,tanpa memacu kreativitas siswanya dalam mencari jawaban di dalam buku pelajaran dengan cara membaca. Jawaban yang di berikan di Bimbingan Belajar bersifat instan. Tanpa adanya kreativitas di dalam proses belajar-mengajar. Bimbingan Belajar pun hanya mampu di ikuti oleh para siswa yang orang tuanya sanggup untuk membayar,sedangkan bagi siswa yang orang tuanya tidak sanggup membayar, sesuai dengan biaya yang di tentukan pada masing-masing Bimbingan Belajar. Dari sinilah terindikasi terjadinya komersialisasi pendidikan dalam wajah Lembaga Bimbingan Belajar. Hal inilah yang membuat saya tertarik untu mengulas lebih jauh mengenai ‘deviasi’ atau penyimpangan yang terjadi dalam implementasi penyelenggaraan pada Lembaga Bimbingan Belajar.Dimana Bimbingan Belajar sebagai lembaga pelengkap dari penyelenggaraan pendidikan dari yang utama yaitu sekolah.


Perspektif Karl Marx
Ketika ruang untuk mencari pekerjaan makin sulit di dapat dan iklim ekonomi yang tak menentu,khususnya usaha bisnis. Untuk itu masyarakat dituntut lebih jeli melihat peluang usaha. Fenomena kemunculan berbagai Lembaga Bimbingan Belajar pun berawal dari kejelian melihat celah dan peluang usaha yang pasarnya sudah jelas,serta prospek usaha yang menjanjikan keuntungan yang menggiurkan.

Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan oleh Bank Dunia, bahwa keuntungan ekonomi ( rate of return ) investasi pendidikan ternyata lebih tinggi daripada investasi fisik dengan perbandingan rata-rata 15,3 % dan 9,1 %. Ini berarti bahwa investasi dalam pendidikan merupakan upaya yang menguntungkan, baik secara sosial maupun ekonomi.Tak mudah memberi sinyalemen bahwa Lembaga Bimbingan Belajar sekadar meraup keuntungan semata,sebab mendirikan Lembaga Bimbingan Belajar butuh biaya yang tidak sedikit. Terutama biaya membeli lisensi ‘ franchise ‘, karena itulah guna mencapai break event point, mayoritas Lembaga Bimbingan Belajar menerapkan banyak ‘ inovasi ‘ untuk menarik minat para siswa. Mulai dari jaminan lulus UN atau SPMB,sampai menerapkan suasana belajar yang berbeda dengan situasi belajar di sekolah. Selain demi mencapai break even point, Lembaga Bimbingan Belajar pun cenderung membidik masyakat kelas ekonomi menengah atas dan beberapa kategori sekolah kelas A,seperti Labschool,BPK Penabur dan Al-azhar.

Memang pendidikan merupakan salah satu transfortasi setiap manusia dalam meningkatkan status sosialnya yang merupakan saluran kongkrit gerak sosial yang vertikal.Masyarakat masih menganggap pendidikan bisa meningkatkan status ekonomi dan sosialnya. Dimana status sosial itu merupakan perjuangan kelas.Dalam bukunyanya “ The communist manifesto” marx mengatakan, sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas.

Untuk itu sektor pendidikan tidak pernah sepi dari peminat. Pendidikan memang lahan ekonomi yang tidak perna tandus. Bagi yang jeli melihat peluang,sector pendidikan memang menjanjikan. Disinilah muncul kaum kapitalis yang memonopoli sektor pendidikan dengan mendirikan Lembaga Pendidikan,seperti kursus-kursus dan Bimbingan Belajar. Cukup dengan membeli lisensi Lembaga Bimbingan Belajar dengan system waralaba ( franchise ). Harga masing-masing lisensi pada Bimbingan Belajar bervariasi, sebagai contoh Lembaga Bimbingan Belajar Primagama mematok harga waralaba sebesar Rp. 120.000.000,00, sedangkan Lembaga Bimbingan Belajar Teknos Genius memasang harga Rp. 50.000.000,00. Dengan harga waralaba yang mencapai diatas seratus juta, akhirnya Lembaga Bimbingan Belajar pun mematok biaya yang dimana dibebankan kepada para siswanya, seperti pada teori nilailebih tentang hokum persentase laba.

Menurut Marx berkurangnya persentase laba hanya dapat diimbangi dengan satu cara,yaitu dengan meningkatkan nilai-lebih. Jadi dengan meningkatkan eksploitasi Dimana eksploitasi disini dikenakan kepada para siswa, yaitu dengan menarik biaya kepada para siswa. Disinilah terjadi penyimpangan ide-ide kaum kapitalis dalam bentuk komersialisasi pendidikan dalam rupa Lembaga Bimbingan Belajar. Seperti yang  Marx katakan “ ide-ide dari kelas yang berkuasa merupakan ide-ide yang berkuasa disetiap masa.

Maraknya keberadaan Lembaga Bimbingan Belajar pun melahirkan kontradiksi dasar dalam struktur kaum kapitalis. Dimana menurut Marx terjadinya persaingan satu sama lain untuk memperoleh keuntungan. Persaingan dapat di artikan sebagai suatu proses sosial, dimana individu atau kelompok-kelompok manusia bersaing untuk mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian public atau dengan mepertajam prasangka yang telah ada,tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Seharusnya Lembaga Bimbingan Belajar tidak terjebak menjadi ajang komersialisasi pendidikan dan menyimpang dari tujuannya yang membantu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Jika dulu Lembaga Bimbingan Belajar lebih memprioritaskan SPMB sebagai pemikat untu menarik minat para siswa.

Kini Lembaga Bimbingan Belajar justru menggunakan UN untuk melariskan usahanya. Mereka dengan gencar mempromosikan Lembaga Bimbingan Belajarnya dengan janji membantu siswa untuk lulus UN. Meski itu bagian dari strategi penjualan, efek psikologisnya bagi siswa sangat terasa. Visi Lembaga Bimbingan Belajar yang pada awalnya bertujuan meningkatkan mutu pendidikan mulai tergerus menjadi bisnis semata. Hal itu di dorong dengan kebijakan pemerintah yang tetap memaksakan UN, serta kurikulum yang selalu berubah-ubah. Selain menggunakan UN sebagai strategi menarik siswa,tak jarang Bimbingan Belajar berani memberikan garansi uang kembali jika siswa tidak bisa mencapai target yang di inginkannya, seperti lulus UN dan lulus SPMB.

Meski di akui Bimbingan Belajar membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan belajar, tetapi beberapa kalangan justru menilai cara cepat penyelesaian soal yang di berikan Bimbingan Belajar tidak memberi jaminan siswa menjadi cerdas,karena itu hanya membantu siswa untuk mempunyai kemampuan kognitif saja,tapi sama sekali tidak menyentuh dalam hal afektif dan psikomotorik. Hal ini menimbulkan kontradiksi,dimana didalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diterapkan saat ini, bahwa dunia pendidikan dituntut lebih menekankan afektif dan psikomotorik untuk siswanya,tidak hanya aspek kognitif saja.

Dalam Bimbingan Belajar pun cenderung tidak memacu siswa untuk berkreativitas dalam hal membaca buku pelajaran. Para siswa hanya diberikan materi soal dalam bentuk modul,yang kemudian diberi jawaban dengan cara instant, disini terjadi pengkerdilan kreativitas para siswanya. Yang perlu ditekankan peran Lembaga Bimbingan Belajar hanya sebatas pelengkap pengajaran di sekolah, Dimana Bimbingan Belajar itu untuk memberikan pelatihan saja,bukan untuk pengajaran,seperti di sekolah. Pengajaran bertujuan membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan dan dengan demikian mengembangkan intelegensinya .

Bentuk-bentuk kekeliruan teknis mendidik berupa kegiatan pendidikan yang salah teknis pelaksanaannya,yaitu kesalahan dalam cara memilih dan menggunakan alat pendidikan, seperti kegiatan mendidik dan penciptaan situasi atau lingkungan pendidikan yang berakibat pendidikan tidak menjadi efektif, efisien dan relevan dalam membantu pengembangan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa menuju kedewasaan. Kehadiran Bimbingan Belajar pun menjadi refleksi akan eksistensi sekolah. Dimana yang seharusnya sekolah-sekolah didirikan untuk memberikan pendidikan secara sistematis kepada generasi yang sedang tumbuh sekarang dan juga dimasa yang akan datang, merupakan faktor yang menentukan dalam melatih seseorang ikut menyumbang pembangunan masyarakat dan ikut serta aktif dalam kehidupan,serta melatih orang-orang yang betul-betul siap untuk bekerja.

Kehadiran Bimbingan Belajar ditengah tuntutan masyarakat akan pendidikan yang berkualitas menempatkan sekolah untuk mampu kreatif dalam melakukan proses pembelajaran. Hal ini menuntut guru di sekolah agar mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman dan efektif, sebagai mana yang tercantum dalam salah satu kode etik guru Indonesia,yaitu “guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memeliharah hubungan dengan orang tua murid dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik antara lain, yaitu guru menciptakan suasana kehidupan sekolah,sehingga anak didik betah berada dan belajar di sekolah. Ada 4 kategori yang dapat dijadikan indikator dalam menentukan tingkat keberhasilan pendidikan,yaitu :
1. Dapat tidaknya seseorang lulusan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi.
2. Dapat tidaknya memperoleh pekerjaan.
3. Besarnya penghasilan ( gaji ) yang diterimanya.
4. Sikap perilaku dalam konteks social,budaya dan politik

Maraknya keberadaan Bimbingan Belajar pun dijadikan ajang komoditi oleh para kapitalis untuk mencari ke untungan yang sebesar-besarnya. Menurut Karl Marx, hukum-hukum yang menguasai masyarakat bukanlah hokum alam, melainkan hukum-hukum manusiawi. Ini berarti keterkaitan satu sama lain yang orang jumpai dalam masyarakat,akhirnya merupakan hasil dari tindakan produktif manusia. Apa yang terjadi di dalam masyarakat kapitalis,perjuangan kelas dan kontradiksi-kontradiksi yang terjelma di dalam kehidupan ekonomi adalah akibat tindakan-tindakan manusia.

Dari implikasi biaya yang dikenakan pada setiap siswa yang akan mengikuti Bimbingan Belajar berdampak pada terjadinya kesenjangan sosial,dimana hanya siswa yang mampu secara finansial yang bisa mengikuti Bimbingan Belajar,sedangkan bagi mereka yang tidak sanggup membayar,itu hanya menjadi utopis untuk bisa merasakan metode belajar baru yang ada di Bimbingan Belajar. Dengan menggunakan teori konflik dari karl marx,terlihat jelas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam penyelenggaraan Bimbingan Belajar. Ditengah persoalan pendidikan di Negara ini,sudah seharusnya Lembaga Bimbingan Belajar mampu bersinergis dengan sekolah. Bukan menjadi pesaing,hingga menghilangkan peran dan fungsi sekolah.

Selain itu pihak pemerintah pun harus melihat dampak buruk yang akan terjadi dari setiap kebijakan yang di terapkan. Bagaimanapun juga Negara harus memperhatikan secara khusus mengenai masalah pendidikan,sebagaimana yang di katakana Harbison dan Myers, “ bila suatu Negara tidak dapat mengembangkan sumber daya manusianya,maka Negara itu tidak akan dapat mengembangkan apa pun,baik sistem politik yang modern,rasa kesatuan bangsa maupun kemakmuran . Salah satunya dalam mengembangkan sumber daya manusia dengan melalui pendidikan,karena out put pendidikan adalah peradaban dan bangsa.


Daftar Referensi
Doyle.Paul Johson.yang diterjemahkan oleh Robert M.Z Lawang.Jakarta:PT.Gramedia.1988.
Fattah.Nanang.Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan.Jakarta :PT.Gramedia.1991.
__________Kurikulum Yang Mencerdaskan:Visi 2030 dan Pendidikan alternatif.Jakarta : PT.Kompas Media Nusantara.2007.
Miller.Jhon P.Humanizing The Class Room: Models of Teaching In Affective Education.Telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Abdul Munir Mulkhan dengan judul: Cerdas di Kelas: Sekolah Kepribadian.Yogyakarta: Kreasi Wacana.2002.
Mudyahardjo,Redja.Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT.Raja Grafindo.2001.
Nawawi.Hadari.Perundangan-Undangan Pendidikan.Jakarta : PT.Gunung Agung.1981.
Soekanto.Soerjono.Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.2005.
Sunarto.Kamanto.Pengantar Sosiologi.Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.2004.
Suseno.Franz Magnis.Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme utopis ke perselisihan Revisionis.Jakarta: Gramedia.2005
Majalah Transformasi UNJ, 2007.

Jakarta, 2007

Sterilitas Budaya Ilmiah Di Kalangan Mahasiswa

Sterilitas Budaya Ilmiah Di Kalangan Mahasiswa
Oleh : Syaifudin


Romantisme pasca reformasi banyak menciptakan budaya-budaya baru di kalangan mahasiswa dalam tatanan pergulatan ke-intelektualan ilmiah. Semua berpacu dalam persaingan yang kompetitif. Seperti terhipnotis dengan kultur normalisasi kegiatan kampus yang dulu di aktifkan pada masa rezim orde baru. Kini romantisme itu terimpresi dalam stereotif sterilitas budaya kekritisan mahasiswa. Sterilitas itu terjadi dalam tatanan di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta.

Mahasiswa yang diagung-agungkan menjadi generasi penerus bangsa ini jauh dari kesan yang diharapkan. Kultur Ilmiah bukan lagi menjadi ciri khas di Fakultas ini. Jarang kita menjumpai komunitas mahasiswa yang hobi berdiskusi, serta mencoba hal-hal baru yang positif.. Tampak mahasiswa kehilangan jiwa penalaran ilmiah, kritisisme dan kepekaan akan isu yang faktual untuk didiskusikan secara bersama dan dicari pemecahan masalah secara inkuiri. Seakan semua terbuai dengan fatamorgana kuliah, dalam arti sempit. Padahal kuliah tidak hanya sebatas di ruang kuliah saja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gie, “Tugas intelektual bagi saya adalah justru mencari kontak dan mendorong elemen-elemen dalam segala lapisan masyarakat untuk bergerak dan berontak terhadap situasinya. Dalam persfektif Gie semua itu paradoksal dengan mahasiswa yang ada di Fakultas Ilmu Sosial.

Ada pergeseran gaya hidup dalam kehidupan kampus yang dimana mahasiswa sebagai aktor dari sistem kuliah yang ada. Jiwa hedonisme, individualistis, pragmatis, dan instanisasi terinternalisasi dalam pola pemikiran mahasiswa. Tidak ada lagi usaha-usaha intelektual untuk mencari cita-cita bersama yang penuh dengan kontemplasi. Hingga bisa menuju masyarakat yang homeostatis. Kalaupun ada, jumlahnya tidak signifikan. Salah satu komunitas penalaran ilmiah yang terlihat eksistensinya adalah Diskusi Kamis Sore (DKS). Yang di mobilisir mahasiswa Sosiologi.

Akan tetapi eksistensinya masih kurang di apreasiasi oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, khususnya mahasiswa Sosiologi sendiri. Esensial kuliah bukan lagi menjadi kebutuhan mahasiswa, tetapi hanya keinginan sesaat untuk menjalani hidup dengan harapan masuk ketatanan tingkatan status yang lebih baik lagi. Tidak ada apresiasi semangat yang terinternalisasi untuk mengubah ketimpangan struktur sosial kehidupan intelektual. Ketika daya kritis tak lagi membuana dalam kehidupan kuliah, maka proses kemiskinan intelektual menjadi sebuah niscayaan yang tersistem. Mahasiswa terbelenggu dalam rutinitas kuliah, sehingga teralienasi dalam pola pikirnya. Inilah yang menjadi regresisasi prestasi penalaran Ilmiah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial. James A. Froude pernah mengatakan ; Kita tidak bisa sekadar mendambakan diri menjadi seseorang, tapi kita harus menempa dan mendorong diri kita untuk bisa menjadi seseorang tersebut.

Persepsi pragmatisme mahasiswa yang hanya mementingkan kepentingan sesaat pada akhirnya memsterilitas gerakan sosial kampus. Hal itu diperparah dengan konsumerisme kapital yang terus berekspansi, mengebiri potensi-potensi unggul mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, sehingga menambah regresisasi kultur kreatif-ilmiah-akademik di kampus..

Selain itu, motivasi mahasiswa turut memengaruhi gejala kelesuan kultur kritis mahasiswa. Dulu yang kuliah adalah mahasiswa yang mempunyai arah tujuan yang visioner. Akan tetapi esensial kuliah sekarang hanya sebatas tren dari gaya hidup yang terwesternisasi. Hal ini yang menyebabkan mahasiswa kurang memahami makna dari kuliah itu. Jika mereka memahami arti kuliah secara reflektif, pasti mereka akan bersungguh-sungguh menempa dirinya selama dalam tatanan kehidupan kampus.

Bagi mahasiswa yang kurang memahami makna kuliah, pada akhirnya belajar hanya sebatas memenuhi orientasi jangka pendek. Setelah kuliah, wisuda, kemudian kerja. Sementara itu, problem-problem sosial bukan menjadi tugas utama yang harus diselesaikan. Dalam hal ini Talcott Parsons, seorang Sosiolog modern mengklasifikasikan bentuk tindakan ini self-orientation. Yang dimana suatu hubungan ( tindakan ) seseorang berorientasi pada kepentingan diri-sendiri.

Individualistis mahasiswa ini muncul akibat tuntutan pasar yang kapitalis. Mahasiswa lebih tertarik untuk menekuni dunia kerja ketimbang harus menjadi pionir dalam gerakan sosial. Untuk itu mahasiswa kurang meminati kultur ilmiah yang abstrak dan kurang menjanjikan secara ekonomis.


Kultur Penalaran Ilmiah sebagai identitas Fakultas Ilmu Sosial
Fakultas Ilmu Sosial sepertinya kehilangan generasi kritis yang bermental ilmiah. Yang ada adalah kaum terdidik yang tunduk pada rekayasa sosial, bukan yang memperbaikinya. Oleh karena itu untuk menumbuhkan kembali kultur intelektual ilmiah, dalam hal ini dunia penalaran. Para stake holder Fakultas Ilmu Sosial harus membuat suatu kebijakan yang kontruksional di dalam dunia penalaran ilmiah mahasiswa.

Setiap kebijakan pendidikan seharusnya lebih mendukung berkembangnya situasi akademik yang ilmiah, tidak hanya pembangunan fisik semata, tapi juga membangun iklim yang dapat mendorong terciptanya kultur ilmiah yang menciptakan para pemikir yang kritis dan solutif. Salah satu contohnya mengadakan perlombaan karya tulis ilmiah atau esai. Yang nantinya akan melahirkan para esais-esais yang nantinya dapat mengangkat citra Fakultas pada ajang perlombaan, baik intern maupun ekstern Fakultas dan Universitas. Jika di analogikan mahasiswa sebagai atlet, maka sebagai mana yang dikatakan Menpora RI Adyaksa Daut, bahwa atlet tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi ada proses dalam penciptaannya. Untuk itu budaya ilmiah dalam dunia penalaran harus disemai sejak dini dan di apresiasi dengan dukungan dari semua sivitas akademika Fakultas Ilmu Sosial.

Selain itu pembentukan komunitas ilmiah dalam dunia penalaran menjadi agenda penting dalam menumbuhkan minat penalaran ilmiah mahasiswa. Sehingga kultur penalaran ilmiah nantinya bisa menjadi identitas dari Fakultas Ilmu Sosial itu sendiri. Serta orientasi tujuan kuliah juga perlu ditanamkan secara arti luas. Maksudnya agar kegiatan kuliah tidak dimaknai sebagai kegiatan mengisi waktu belaka, tapi bisa dimaknai sebagai bagian yang terintegrasi dari upaya membangun nasionalisme bangsa, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Tanpa adanya komunitas penalaran ilmiah dan dukungan yang baik dalam bidang penalaran ini, sterilitas akan terus melanda civitas akademik Fakultas Ilmu Sosial. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, bahwa tujuan pendidikan nasional antara lain, menciptakan manusia yang berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Kita semua tahu bahwa kampus adalah tempat dilahirkannya manusia-manusia yang visioner. Hal itu senada dengan motto dari Universitas Negeri Jakarta sendiri, yaitu “ Building Future Leaders “. Yang artinya mempersiapkan pemimpin masa depan. Di tangan mahasiswalah harapan masa depan dipertaruhkan menjadi sebuah estafet dari developmentalisme negara menuju masyarakat yang madani sejahtera baik secara fisik maupun humanistis. Dengan bekal kultur penalaran ilmiah yang terinternalisasi oleh semua civitas akademik Fakultas Ilmu Sosial, maka Fakultas Ilmu Sosial diharapkan bisa melebarkan sayapnya dalam persaingan-persaingan yang akademis kedepannya nanti menuju Fakultas terbaik.



Referensi :
1. Santoso, Agus. 2005. Memoar Biru Gie. Yogyakarta : Gradien Books.
2. Drost. J. 2003. Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
3. Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas E konomi Universitas Indonesia.