Rabu, 23 Desember 2009

Catatan kecil: Ibn Khaldun dan Ilmu Pengetahuan

Catatan kecil: Ibn Khaldun dan Ilmu Pengetahuan

 Oleh: Syaifudin

Ibn Khaldun adalah seorang sarjana terkenal dengan karyanya yang bernama Muqaddimah pada abad ke 14 M. Cakupan pembahasan Muqaddimah Ibn Khaldun demikian luas, sehingga penulis membatasi pembahasan ini hanya dalam masalah pemikiran sosialnya. Ternyata pada abad ke 19 M. terdapat pula pemikiran Barat dari Perancis bernama Auguste Comte yang membahas masalah pemikiran sosial. Sekarang ilmu pengetahuan ini menjadi ilmu tersendiri yang dinamakan sosiologi.

Dengan adanya pemikiran-pemikiran di bidang pengetahuan sosial ini, ada yang mengatakan bahwa pelopor ilmu pengetahuan sosial adalah Auguste Comte dan ada pula yang mengatakan Ibn Khaldun. Di dalam Muqaddimah, Ibn Khaldun membahas pemikiran sosialnya bertitik tolak dari pengalaman, gejala-gejala dan fakta fakta yang diamati, kumpulan fakta-_fakta itu dianalisis dan akhirnya diambil kesimpulan dan dijadikan rumus atau dalil. Ibn Khaldun juga membahas perbedaan antara ilmu pengetahuan absah dan ilmu pengetahuan yang tidak absah.

Menurutnya ilmu pengetahuan yang absah ialah apabila didasarkan pada eksperimen dan empiris, kemudian setelah dianalisis dan disimpulkan baru dijadikan hukum. Sedangkan ilmu pengetahuan yang tidak absah ialah yang hanya berdasarkan kesimpulan akal. Pendapat Ibn Khaldun tersebut ada kesamaan dengan pendapat filosof Jerman Immanuel Kant pada abad ke 19 M yang menyelidiki batas-batas kemampuan akal manusia, Immanuel Kant berpendapat, bahwa di dalam etika ada yang tidak bisa diselidiki oleh akal, yaitu kebebasan kehendak, immortalita jiwa dan adanya Tuhan. 

Menurut Immanuel Kant, kita harus menerimanya sebagai keyakinan, dan dijadikan postulat dalam etika. Menurut Ibn Khaldun, akal manusia tidak bisa menyelidiki hakikat yang tidak bisa diindra, seperti masalah hakikat Tuhan, hakikat kenabian, kehidupan akhirat dan sebab paling akhir dari sebab-sebab. Untuk hal-hal tersebut, kita harus menerima dari ajaran-ajaran agama. SeteIah dilakukan kajian sesuai dengan pengertian kriteria ilmu dan filsafat, maka ternyata pemikiran sosial Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan dalam pengertian modern. Hal ini berdasarkan pada kriteria ilmu pengetahuan, yaitu: adanya pengamatan indra, pengumpulan fakta-fakta, deskripsi fakta, pemilhan kajian, analisis kritis, kesimpulan dan perumusan. Dengan demikian Ibn Khaldun merupakan pelopor pertama dalam bidang ilmu pengetahuan sosial atau sosiologi, dan bukan Auguste Comte. Auguste Comte adalah salah seorang penerus dalam bidang sosiologi.

 

Selasa, 15 Desember 2009

Film Dalam Bingkai Sosiologi

 Film Dalam Bingkai Sosiologi
Oleh : Syaifudin

Jika anda suka menonton film, maka siap-siaplah anda menyelam dalam bahasa bit-bit photogram…

Film sebagai bahasa audiovisual memiliki kaitan dalam hal kehidupan sosial masyarakat. Secara singkat film sendiri sudah ada pada tahun 1895 yang diperkenalkan oleh kakak-beradik Lumiere. Pada awal kelahiran film dimulai dari film bisu. Akan tetapi walaupun bisu tetap saja bahasa audiovisual ini mampu mensugesti masyarakat yang menontonnya. Film merupakan jendela dunia yang menjadi representasi atas realitas. Tanpa kita sadari sebenarnya film mempunyai kekuatan sihir dalam bahasa visualnya.

Di era 1990-an perfilman Indonesia diwarnai film-film panas. Di mana “film panas” yang dimaksud adalah film Indonesia yang mengangkat tema seksualitas dan birahi, dengan menampilkan adegan-adegan seks yang cukup eksplisit . Menurut JB. Kristanto ini sebagai film Indonesia pertama yang menonjolkan seks,perkosaan, dan dialog-dialog kasar. Alhasil pada perkembangannya film ini mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku masyarakat. Kemudian proses ini menjadi identitas budaya yang terbentuk pada masyarakat Indonesia.

Berdasarkan penjelasan di atas, maksud pembahasan dalam tulisan ini adalah pengaruh makna film yang terkandung dengan kehidupan masyarakat. Secara sosiologis pengaruh tayangan film ini memiliki dampak yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat, baik secara politik, sosial maupun budaya. Kita ketahui untuk film sendiri, baik film karya sineas Indonesia maupun luar negeri ternyata menjadi suatu kebutuhan yang diminati oleh masyarakat. Maka tidak heran film dalam perkembangannya terkadang menjadi alat ideologis yang digunakan untuk mempengaruhi masyarakat. Misalnya saja film pemberontakan G 30 S/PKI tentang pemusnahan ideologi komunis, Perempuan Berkalung Sorban dengan konsep feminisme, atau Naga Bonar Jadi 2 dengan dasar nasionalisme.

Jika kita tarik dalam kontekstual sosiologis, bahasa film jelas dapat mengikat masyarakat terhadap pesan implisit yang terkandung didalamnya. Misalnya saja, film “ Laskar Pelangi “ ternyata secara sosiologis membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap dunia pendidikan. Di mana fenomena ini ditandai dengan opini-opini di media cetak maupun elektronik bahkan aksi demo yang terkait pendidikan atas nama inspirasi film tersebut. Karena betapa besar kekuatan pengaruh film, maka kehadiran film “ 2012 “ yang baru-baru ini mengalami penolakan oleh beberapa kalangan, sebab ditakutkan film ini akan merusak akidah masyarakat. Padahal pada tahun 1990-an sudah pernah ada film serupa dengan judul `” The Day After “` yang menggambarkan kerusakan yang menyisakan beberapa orang untuk kehidupan baru dan film ini pun ditolak penayangannya.

Jika diuraikan secara teoritis, pengaruh film ini jelas mempunyai efek yang hebat bagi pencitraan pola pikir dan tindakan masyarakat melalui frame image dan efek visual. Ramon William mengungkapkan bahwa bahasa film itu implisit. Oleh sebab itu film merupakan komunikasi efektif bagi sebuah proses pembentukan pencitraan masyarakat. Sebab pada dasarnya film memiliki fungsi sebagai pengetahuan, informasi, hiburan dan pendidikan. Dan pada akhirnya pengaruh film ini ditentukan oleh seberapa besar penonton memaknainya.