Jumat, 19 Februari 2010

Resensi " Sang Pemimpi "

Fiksi Sang Pemimpi yang Inspiratif

Oleh: Syaifudin


Sejatihnya pendidikan merupakan hak semua orang. Di mana kita ketahui pendidikan menjadi salah satu media mobilitas kehidupan manusia. Kausalitas inilah yang mendorong seseorang untuk mengeyam pendidikan. Namun dalam sisi lain tak akan ada habisnya untuk membicarakan permasalahan dunia pendidikan, khususnya di Indonesia yang begitu kompleks dengan masalah pendidikan. Dari kualitas pendidik yang masih diragukan sampai kurikulum yang selalu berubah-ubah dari tahun 1968 sampai yang terakhir yaitu KTSP.
Selain itu, mahalnya biaya pendidikan membuat pola kesenjangan sosial menjadi kulminasi dari kompleksitas permasalahan wajah dunia pendidikan di Indonesia. Gejala-gejala sosial dari dampak itu pun, kini menjadi sorotan yang faktual di beberapa media massa. Dari seorang ibu yang memelacurkan diri demi membayar biaya sekolah anaknya sampai ada seorang anak yang bunuh diri karena malu sebab orang tuanya tidak sanggup membayar biaya sekolahnya.
Ironis sekali, di mana seharusnya pendidikan adalah hak setiap rakyat Indonesia, khususnya rakyat miskin. Tetapi kenyataannya tidak semua dari mereka dapat mengakses hak mereka. Hal ini berkontradiktif dengan amanah yang tercantum didalam UUD 1945 mengenai Hak setiap rakyat dalam mendapatkan pendidikan. Ini berarti pemerintah telah melanggar Hak Asasi Manusia dalam mendapatkan pendidikan.

Memanifestasikan mimpi melalui pantang menyerah dan ketulusan “ Sang Pemimpi “
Berdasarkan prolog singkat di atas, ternyata hal ini menjadi inspirasi bagi Andrea Hirata dalam menulis sebuah buku yang inspiratif. Mengenai sebuah mimpi dan harapan dari anak negeri tentang perjuangan hidup melalui pendidikan. Ya, buku yang sangat menginspirasi ini diberi judul "Sang Pemimpi". Sesuai judulnya, buku ini memang menceritakan catatan perjalanan para perajut mimpi dari tanah Belitong. Kita ketahui buku Sang Pemimpi merupakan buku kedua dari Tetralogi Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata. Menurut Ical nama panggilan Andrea Hirata, buku Sang Pemimpi ini menyiratkan sisi inspiratif edukatif. Hal inilah yang ingin disajikan Ical kepada para pembaca karyanya.
Agar kisah tidak monoton Ical memberikan balutan kisah asmara yang cukup menghibur dan kisah motivasi yang diperankan oleh sosok Arai yang pantang menyerah. Sementara kisah humor dihadirkan dalam sosok Jimbron yang lemah, lugu, unik dan penuh solidaritas. Sedangkan untuk tokoh utama kisah Sang Pemimpi ini yaitu Ikal. Dalam diri Ikal digambarkan sosok karakter yang manusiawi, pemuda yang berusaha untuk survive dan pantang menyerah serta jiwa sosial yang tinggi. Hal ini dimanivestasikan dalam tindakan Ikal yang senang membantu teman-temannya.
Melalui novelnya ini, Ical mendeskripsikan sebuah kontruksi sosial pendidikan yang pantang menyerah. Novel ini menisbikan keterbatasan diri dalam menggapai mimpi melalui pendidikan. Di mana dalam dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, semua itu perlu usaha keras dan ketulusan hati. Hal ini digambarkan pada setiap alur cerita kehidupan para tokoh dalam novel ini.
Misalnya saja ucapan ambisius yang dikatakan oleh Ikal “ cita-cita kami adalah kami ingin sekolah ke Prancis! Ingin menginjakan kaki di altar suci almamater Sorbonne, ingin menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Walaupun mengingat keadaan kami yang amat terbatas..” atau ucapan Arai kepada Ikal"..mungkin setelah tamat SMA kita hanya akan mendulang timah atau menjadi kuli, tapi di sini Kal, di sekolah ini, kita tak akan pernah mendahului nasib kita!".
Sepenggal kutipan tersebut memberi sebuah sugesti optimisme atas segala kekurangan, kelemahan, dan keraguan yang secara naluriah membunuh anak manusia yang meretas cita-cita. Sepenggal kalimat inspiratif bagi kalangan pelajar, mahasiswa dan generasi bangsa yang terasing di persimpangan jalan dalam menggapai impian dan masa depan. Di sini Ikal, Arai dan Jimbron dengan segala kekurangannya mampu bertahan dalam keteguhannya dan tidak mengenal menyerah dalam menjalani kerikil kehidupan. Inilah yang ingin dikontruksi Ical dalam buku keduanya tersebut.
Korelasi Sang Pemimpi yang dirajut Ical dalam sebuah kalimat tidak hanya mencoba mengantarkan kita untuk mengenal tanah Belitong. Tetapi juga memahami sebuah kisah kehidupan anak melayu pulau yang memaknai kesengsaraan dalam meraih mimpi-mimpinya. Secara implisit kisah ini menceritakan perjuangan anak manusia dalam mengeyam pendidikan. Di mana kita ketahui dengan keterbatasan ekonomi yang diperankan tokoh, membuat akses mereka dalam mengeyam pendidikan agak sedikit menghadapi hambatan. Namun berkat keyakinan dan perjuangan yang keras, akhirnya mereka dapat meraih mimpi untuk dapat belajar sampai perguruan tinggi.
Jika kita membahasakan cerita ini dalam kehidupan nyata kita di jaman sekarang ini. Memang pendidikan teramat sulit di akses bagi mereka yang mengalami kendala dalam hal biaya. Apalagi biaya pendidikan sekarang ini melambung tinggi. Stratifikasi sekolah menjadi simbol dari status sosial yang kadang diskriminatif. Melalui cerita Sang pemimpi inilah Ical mendeskripsikan dunia pendidikan kita yang kini telah berasimilasi dengan dunia kapitalisme. Pendidikan yang sejatihnya tidak bermata kini bermata. Sehingga pendidikan kini memilih orang yang bisa menyenangkan dirinya melalui tingkat kemampuan membayar. Tragis.
Sang pemimpi ditulis dengan sudut pandang yang variatif. Sehingga pembaca dapat bersatu padu berimajinasi dalam dunia buku ini. Di mana kesan humor sampai nilai filosofis menjadi tali pengikat emosional pembaca yang kemudian diresonansikan. Sang pemimpi lahir sebagai sebuah refleksi dari perjuangan hidup manusia yang terbelit kemiskinan dan cita-cita yang gagah berani.

Optimisme dan kesederhanaan dibalik tokoh “ Sang Pemimpi “
Kehidupan tidak terlepas dari rutinitas masalah yang menghadang. Sejatihnya pemenang adalah orang yang bisa memenangkan pertarungan hati untuk mengalahkan segala hasrat egoisme. Di sinilah Ical ingin menyampaikan dalam bahasa satra yang indah melalui sebuah alur cerita yang inspiratif. Sang Pemimpi yang dikisahkan Ical dalam rajutan kalimat sastra nan indah, memang sangat menyentuh nilai-nilai kehidupan.
Sosok peran yang dikisahkan dalam buku Sang Pemimpi ini mencoba mengantarkan pembaca kepada alam pikir penulis. Misalnya saja Arai, dia digambarkan sebagai sosok seniman kehidupan yang pandai membuat momen-momen terindah untuk dipersembahkan bagi kehidupan yang penuh misteri ini. Di mana dengan bijak, Arai nekat memecah celengan, melesat menerobos pasar dengan sepeda untuk membeli sekarung gandum untuk dipersembahkan kepada Maryamah yang kekurangan beras demi keperluan sehari-harinya. Baik hati sekali Arai.
Ada cerita haru lagi dari rangkaian cerita Sang Pemimpi. Di mana saat Arai melihat Jimbron yang menderita gejala obsesif-impulsif pada seekor kuda. Maka dengan sifat solidaritasnya Arai berhasil mempersembahkan kuda putih Pangeran Raja Brana ke hadapan Jimbron yang senang kuda. Sebaliknya Jimbron yang gagap dan selalu dapat urutan ranking di atas angka 100, justru mempersembahkan 2 celengan kuda sumbawa dan kuda sandel untuk kedua sahabatnya yang dia menganggap lebih punya banyak kesempatan untuk menimba ilmu diluar pulau Belitong. ”Kalian lebih pintar, lebih punya kesempatan untuk sekolah lagi, kalian berangkat saja ke Jawa. Pakailah uang itu, kejarlah cita-cita……..”. Ucapan Jimbron sangat mengharukan dan menembus nilai-nilai suci sebuah persahabatan yang tulus ikhlas. Hingga membuat pembaca terjun dari nilai individualitas ke jurang egaliter persahabatan. Berkat ketulusan Jimbron, akhirnya Arai dan Ikal berhasil mewujudkan mimpi untuk belajar di Universitas Sorbonne Perancis, dan keliling Eropa hingga Afrika.
Sang Pemimpi tidak hanya mencoba mengantarkan kita pada dunia humoritas yang melankolis belaka dan kisah cinta yang puitis. Tetapi juga mendalami makna keterbatasan yang dapat menembus dunia harapan yang ilusinatif menjadi nyata. Ya, Sang Pemimpi kisah perjuangan hidup anak manusia dalam menggapai harapan ditengah keterbatan hidup.
Dimensi kemanusiaan “ Sang Pemimpi “
Sang Pemimpi mencoba mengajak pembaca pada sebuah dimensi kemanusiaan dan kesederhanaan. Hal ini dibuktikan saat bertemu langsung dengan sang penulis Andrea Hirata pada acara diskusi bukunya dengan tema “ Mengarungi Mimpi Bersama Laskar Pelangi ”. Bertempat di Toko Buku Gramedia Matraman, terlihat sang inspirator dan motivator serta seniman kalimat ini mencitrakan sosok yang amat sangat sederhana, pendiam, santun, bahkan cenderung introvert. Di sela-sela pembicaraan, Ical semakin khawatir, kalau-kalau dia tak kuasa terseret popularitas bak selebriti, dan hanyut oleh arus besar yang bernama ”pasar.” Di mana nantinya seniman kata-kata itu tak lagi bisa melahirkan gurindam mimpi-mimpi anak-anak Balitong.
Dipertemuan yang singkat itu, Ical mengungkapkan kesenangannya terhadap karyanya yang dinilai inspiratif. Namun Ical akan berhenti menulis apabila ternyata karyanya itu terlalu dipuja. Sebab, dasar Ical menulis bukanlah mengejar ketenaran tetapi lebih memaknai nilai-nilai filosofis dan kemanusiaan dalam setiap karyanya. Maka tidak heran, sebagian hasil royalti yang didapat dari hasil penjualan bukunya disumbangkan untuk kegiatan sosial. Di sini terlihat nilai-nilai kemanusian dan kesederhanaan yang ada dalam diri penulis Sang Pemimpi yang diimajinasikan dalam setiap karya sastranya.
Dibalik sosok karakter penulis, Sang Pemimpi buku kedua dari tetralogi Laskar Pelangi ini ingin mengangkat sebuah kesucian nilai persahabatan sebagai anugerah terindah dalam hidup, dan tentu saja itu adalah mimpi Ikal, Arai dan Jimbron sebagai anak-anak asuhan alam yang merindukan kebebasan dari belenggu hidup yang semakin berat di pulau Belitong.
Kalimat yang membius dari “ Sang Pemimpi “
Sang Pemimpi yang fiksi ternyata mampu menjadi sastra yang terasa hidup. Kalimat-kalimat metafor terasa membius emosional pembaca untuk dapat memahami alur cerita dan refleksi diri terhadap esensi nilai kemanusiaan dan keadilan. Hal ini tidak terlepas dari ketulusan penulis dalam menggoreskan pikiran imajinatif inspiratifnya dalam buku Sang Pemimpi. Kemampuan Ical dalam merangkai kalimat tidak diragukan lagi. Sehingga kalimat yang ada dalam buku ini asyik untuk dibaca dan penuh inspiratif kalimat.
Selain itu, penganalogian yang digunakan Ical dalam Sang Pemimpi sangat menarik. Misalnya pembicaraan masalah orang yang tersambar petir, Ical menganalogikan dalam kalimat “..dan di atas daun kelapa itulah sang korban dipanggang seperti barbeque..” atau kabar tentang seorang pencari nira yang tersambar petir yang kemudian kabar itu didengar oleh Jimbron, “..tubuh Jimbron mendadak sontak menjadi kayu..”. Penganalogian yang menarik ditulis oleh Ical dalam novelnya tersebut.
Ical terasa bebas dalam merangkai kata demi kata, tidak terpenjara oleh diksi. Hal ini juga yang dilakukan oleh Sutarji Chalzoum Bachri dalam setiap karyanya. Di mana seorang penulis sastra harus mampu keluar dari belenggu diksi-diksi yang terkadang indah namun justru tidak bermakna. Meramu kata demi kata hingga menjadi kalimat yang bermakna tidaklah mudah. Namun hal itu tidak terjadi pada Ical. Melalui Sang Pemimpi, Ical membuktikan kemahirannya sebagai maestro sastra yang pandai meramu kata. Dengan efek analogi bahasa yang bermakna membuat Sang Pemimpi menjadi karya sastra inspiratif.

Komparasi Sang Pemimpi sebagai kisah lanjutan dari Laskar Pelangi
Sang Pemimpi lahir sebagai lanjutan kisah dari buku pertama Hirata yaitu Laskar Pelangi. Di mana cerita ini dimulai pada sebuah desa kecil yaitu desa Gantung, Kabupaten Gantung, Belitong Timur. Awal cerita ini dimulai ketika sekolah Muhammadiyah terancam akan dibubarkan oleh pemerintah setempat jika tidak mendapatkan siswa minimal 10 orang. Pada saat kepala sekolah ingin memberikan pidato pembubaran sekolah karena sekolah itu hanya mendapatkan 9 orang murid, tiba-tiba ada seorang anak lagi yang bernama Harun yang mendaftarkan diri disekolah tersebut.
Mulai dari sanalah mereka semua berteman akrab. Dari mulai penempatan tempat duduk, bertemu dengan pak Harfan, perkenalan mereka dengan A Kiong, dan masih banyak lagi cerita yang lainnya. Laskar pelangi adalah nama yang diberikan oleh Bu Muslimah yang terinspirasi dari kesenangan mereka dengan pelangi. Laskar pelangi juga sempat mengharumkan nama sekolah mereka dengan berbagai cara salah satunya adalah pembalasan dendam Mahar yang selalu dipojokan teman-temannya karna menyukai okultisme, tapi pada saat ada lomba karnaval 17 agustusan ia membuat kemenangan manis karna menyukai okultisme. Lalu kejeniusan Lintang yang memenangkan lomba cerdas cermat. Kisah sepuluh kawan ini berakhir dengan kematian ayahnya Lintang. Hingga akhirnya Lintang putus sekolah karena sudah tidak ada lagi orang tuanya yang membiayai sekolah Lintang dan Lintang memilih untuk bekerja demi menghidupi adik-adiknya.
Buku Laskar Pelangi ini sangat menarik untuk dibaca oleh semua kalangan baik muda, tua ataupun anak-anak. Buku yang mengkisahkan semangat untuk menuntun ilmu ini sangat memotifasi bagi pembaca. Sebab kerja keras untuk menjadi pandai walaupun mereka bersekolah disekolah miskin dan serba kekurangan yang dilakukan oleh para tokoh dalam cerita ini sangat inspiratif. Hal inilah yang ingin disampaikan juga oleh Hirata dalam buku keduanya Sang Pemimpi. Sebuah kisah yang bernilai hiburan dan edukatif melalui penggambaran alur cerita yang diperankan oleh para tokoh yang memiliki karakter berbeda satu sama lain. Sang Pemimpi novel yang menggugah perjuangan hidup manusia dari segala keterbatasan. Berawal dari mimpi yang kemudian dengan usaha kerja keras hingga akhirnya dapat mewujudkan mimpi-mimpi tersebut.



Kamis, 04 Februari 2010

Sterilitas Budaya Ilmiah Di Kalangan Mahasiswa

Eksploitasi dan Simulakra Manusia dalam Televisi

Oleh : Syaifudin


Dunia pertelevisian di Indonesia semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan munculnya jumlah stasiun penyiaran televisi yang semakin banyak. Hampir lebih sepuluh stasiun televisi berdiri, antara lain: TVRI, RCTI, SCTV, INDOSIAR, TPI, ANTV, TRANS TV, TRANS 7, METRO TV, TV ONE, JAK TV, DA’I TV dan stasiun televisi lokal lainnya. Seiring dengan pertumbuhan tersebut, berarti semakin kompetitifnya stasiun penyiaran tersebut di dalam pengelolaan siarannya. Pengelolaan siaran di dalam dunia pertelevisian berarti membicarakan program acara dan programingnya, atau isi dan format acara siarannya dengan cara menempatkan acara tersebut. Hal ini berarti kompetisi diantara stasiun televisi adalah pada pemilihan program acaranya dan strategi penayangannya.
Televisi pun akhirnya menyajikan berbagai macam program tayangan sesuai dengan tingkat popularitas pasar. Tayangan inilah yang menjadi aset dari keberlangsungan eksistensi stasiun televisi itu. Dari tayangan humor, acara mistis, olahraga, berita, sinetron, film miniseri, realiti show, sampai acara gosip pun disajikan dalam setiap program televisi. Proses penayangan program ini pun menjadi sebuah media imitasi bagi masyarakat. Program televisi yang masyarakat tonton ternyata mempunyai pengaruh bagi sikap dan pola pikir masyarakat. Padahal apa yang ditonton sebenarnya itu merupakan sebuah simulasi realitas. Dalam analisis Baudrillard, mengatakan proses tersebut seperti sebuah simulakra. Jika dikaitkan dalam tayangan televisi, bagi penulis apa yang ditayangkan oleh televisi merupakan realitas yang diceritakan, dipresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi juga direkayasa, dibuat dan disimulasikan. Simulasi ini mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan imajiner, anatara yang benar dengan yang palsu. Proses simulasi inilah yang mendorong lahirnya term”hiperealitas”, di mana tidak ada lagi yang lebih realitis sebab yang nyata tidak lagi menjadi rujukan.
Sedangkan bagi Bourdieu semua itu paradoks, di mana televisi dapat menyembunyikan dengan mempertunjukannya, yaitu televisi menyembunyikan sesuatu dengan mempertunjukan sesuatu yang tidak lain dari apa yang ditunjukan. Jika televisi telah melakukan apa yang harus dilakukan dengan memberikan informasi atau mempertunjukan apa yang harus dipertunjukan, tapi dalam cara tertentu yang sesungguhnya tidak dipertunjukan atau dibelokan dalam sesuatu yang tidak penting, atau dengan mengkonstruksikannya dalam cara tertentu yang hal tersebut mengambil makna yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan kenyataan.
Berdasarkan simulasi realita itu, program televisi yang ada seperti tayangan sinetron memberi efek pencitraan bagi manusia. Tentu kita ingat tayangan sinetron “Cinta Fitri” yang ditayangkan oleh SCTV. Karena ratingnya begitu bagus dan memiliki pangsa pasar konsumen yang begitu beragam, akhirnya tayangan itu pun diproduksi terus hingga sampai jilid ketiga yaitu “ Cinta Fitri 3”. Dari tayangan itu, ternyata memberikan efek dramatis hidup manusia, hingga akhirnya disimulasikan oleh masyarakat secara melankolis. Dalam hal ini Marshall McLuhan dan Quentin mengatakan, bahwa di dalam televisi, citra diproyeksikan pada manusia. Manusia adalah layar televisi itu dan citra-citra itu kemudian membungkus manusia. Dalam perspektif teori kritis, hal ini merupakan bentuk pembodohan manusia melalui simulasi media.

Ekpolitasi Kehidupan Manusia dalam Tayangan Gosip di Televisi
Secara sosiologis interaksi manusia dibangun oleh komunikasi antar manusia. Dalam kajian Sosiologi Komunikasi, Onong Uchyana mengatakan, komunikasi sebagai proses pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran, atau perasaan oleh seseorang kepada orang lain. Pikiran ini dapat berupa gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya.
Berangkat dari hal itu, secara filosofi manusia memiliki hasrat keingintahuan yang besar. Keingintahuan itulah yang kemudian menjadi diskursus dalam interaksi di masyarakat atau biasa disebut dengan istilah “ gosip “. Akibat kuatnya budaya gosip yang ada di masyarakat, membuka peluang bagi stasiun televisi untuk menjadikan subjek komoditi bagi stasiun televisi itu. Tak kurang dari puluhan program gosip direproduksi oleh televisi demi melanggengkan eksistensi stasiun televisi tersebut. Dalam bahasa Marx, ini merupakan bentuk eksploitasi. Eksploitasi di sini berupa privasi kehidupan manusia yang dinarasikan dalam sebuah tayangan gosip.
Di sinilah penulis mencoba menganalis tayangan televisi yang disajikan oleh beberapa stasiun televisi. Misalnya saja SCTV dengan produk gosipnya seperti Was-was, Hallo Selebriti, dan Kasak-Kusuk. Sedangkan Indosiar mereproduksi tayangan ini seperti : Kiss Vaganza, dan Kiss Sore. Bagi penulis tayangan gosip ini merupakan sebuah pembodohan tersistematis dari para kapitalis. Di mana manusia (artis) dieksploitasi kehidupannya oleh media. Kemudian didistribusikan hingga menjadi konsumsi oleh publik. Padahal dibalik tayangan ini ternyata ada keuntungan yang ingin dicari dari para kapitalis televisi. Untuk itu konsep “Aletheia” yang digunakan oleh Heidegger bisa menjadi pisau analisis dari konsep fenomenologi yang menjelaskan segala bentuk penyingkapan sekaligus penyelubungan yang ada pada tayangan gosip di televisi.
Secara harfiah tayangan gosip merupakan bentuk reproduksi realita manusia yang dieksploitasi oleh media televisi. Tayangan ini pun tidak mempunyai kategori yang jelas dari fungsi televisi itu sendiri. Jika dikategorikan berita ini bukan bentuk sebuah berita ala jurnalistik, sebab dalam pemberitaan jurnalistik ada kode etik yang menyebutkan bahwa tidak ada bentuk pemberitaan yang berkaitan dengan kehidupan pribadi atau privasi seseorang. Sedangkan dari segi edukasi dan informasi ini justru menjadi sebuah penyimpangan ekstrim dari filosofi kedua fungsi itu. Sebab tayangan gosip tentu tidak memiliki unsur edukasi bagi masyarakat, justru sebaliknya ini merupakan pembodohan dan aib bagi sesorang yang digosipkan itu. Apabila dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia ini merupakan bentuk pelanggaran hak hidup manusia.
Berdasarkan pemaparan di atas, menurut penulis logika pasar sepertinya membuat kapitalis tidak mementingkan masalah HAM. Karena baginya, apa pun bisa menjadi subjek keuntungan, termasuk privasi hidup manusia (artis). Jika hal ini dibiarkan menjadi fertilitas budaya, maka tidak menutup kemungkinan eksploitasi kehidupan manusia akan terus berkembang menjadi sebuah komoditi massal bagi para kapitalis media. Sepertinya eksploitasi kehidupan manusia dalam tayangan gosip akan terus menjadi bola salju. Dan masyarakat akan menjadi sasaran empuk oleh kapitalis media dalam rupa eksploitasi yang dinarasikan secara visual.