Jumat, 10 September 2010

Film Senjata Revolusi


Film Senjata Revolusi

Oleh : Syaifudin


Bangsa ini sedang mengalami krisis figuritas dan inspirasi moral dalam kehidupan nyata di masyarakat atau formal. Efek dari krisis itu terlihat dari kemerosotan kesalehan dan kearifan sosial bangsa ini. Kemerosotan itu bisa kita amati dari berbagai gelombang konflik sosial, sikap dan kesadaran sosial masyarakat yang berkembang dewasa ini.
Pada konflik sosial, bangsa ini sedang dihadapi dengan berbagai reaksi irasional. Reaksi irasional itu terwujud melalui sebuah aksi kekerasan, dan bukan terlebih dahulu melalui aksi musyawarah secara kekeluargaan. Di lain sisi, sikap dan kesadaran sosial bangsa ini kian individualis. Jika hal ini tidak segera disadari, maka bangsa ini akan mengalami kekacauan sosial dan masyarakat anomali. Bangsa ini sepertinya memerlukan sebuah objek yang mampu membangun kembali kesalehan dan kearifan sosial masyarakat.
Untuk membangun semua itu, kiranya diperlukan konstruksi citra. Urgensi konstruksi citra ini dapat dibangun melalui sebuah simulasi film. Melalui simulasi film, kiranya menjadi media alternatif pembelajaran masyarakat di tengah krisis figuritas dan inspirasi moral formal. Simulasi film ini tentunya melalui film-film yang berkualitas, atau dengan kata lain film yang ber-edukasi bagi masyarakat.
Melalui simulasi bahasa audiovisual (baca:film) inilah, masyarakat lebih mudah memahami suatu kondisi realitasnya. Dengan film, manusia dapat terinspirasi dalam tindakan sosialnya. Untuk itu, film tanpa disadari berefek besar pengaruhnya terhadap psikologis dan sosiologis bagi penontonnya. 

Representasi pembelajaran
Baru-baru ini, masyarakat disuguhkan sebuah film tentang kisah seorang ulama terkenal Indonesia “KH. Ahmad Dahlan”. Film “Sang Pencerah” yang disutradarai Hanung Bramantyo ini mampu menghipnotis kesadaran masyarakat akan sebuah kesalehan dan kearifan sang tokoh dalam perjuangan hidupnya. Hal ini dapat dilihat dari latah sosial yang berkembang di masyarakat tentang kharismatik sang tokoh.
Selain “Sang Pencerah”, kita tentu ingat dengan film “Laskar Pelangi” yang dirilis pada tahun 2008 lalu. Film yang disutradarai Riri Riza ini, ditonton lebih dari 5 juta orang. Film “Laskar Pelangi” membuat masyarakat terefleksi akan arti penting pendidikan dan perjuangan hidup. Tidak hanya itu saja, film ini pun menjadi media figuritas dan inspirasi sosial akan sebuah sikap kepedulian sesama melalui kesadaran education for all.
Lalu pada tahun 2007, film “Naga Bonar Menjadi 2” yang disutradarai oleh Deddy Mizwar yang juga sekuel dari film “Naga Bonar” tahun 1987. Film ini menjadi media pembelajaran moral bagi masyarakat akan sikap nasionalisme dan bentuk kasih sayang antara orang tua dan anak. Untuk itu, tak heran film terlaris 2007 ini mendapat penghargaan sebagai film terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2007.
Selanjutnya film “Gie” yang dirilis tahun 2005. Film “Gie” merupakan media sosialisasi sejarah tokoh pergerakan mahasiswa “Soe Hok Gie”. Melalui film besutan Riri Riza ini, masyarakat mengenal siapa itu “Soe Hok Gie” dan kondisi sosial saat itu. Secara khusus, film ini menjadi inspirasi figuritas dan moral pergerakan bagi mahasiswa kekinian. Bagi masyarakat umum, film ini mampu menggerakan sikap berani dan konsisten dalam menyatakan suatu kebenaran. Bahkan film yang terinspirasi dari buku “Catatan Seorang Demonstran” ini mendapatkan tiga penghargaan sekaligus dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2005, salah satunya penghargaan film terbaik.
Petualangan Sherina (2000) sutradara Riri Riza, Pasir Berbisik (2001) dan Bendera (2002) sutradara Nan Achnas, Kiamat Sudah Dekat (2003) sutradara Deddy Mizwar, Mengejar Matahari (2004) sutradara Rudi Soejarwo, Detik Terakhir (2005) sutradara Nanang Istiabudi, Dennias, Senandung Di atas Awan (2006) sutradara John De Rantau, Long Road to Heaven (2007) sutradara Enison Sinaro, Kantata Takwa (2008) sutradara Eros Djarot, Jamila dan Sang Presiden (2009) sutradara Ratna Sarumpaet, Merah putih (2009) sutradara Yadi Sugandi, dan Alangkah Lucunya Negeri ini (2010). Kiranya judul-judul film tersebut merupakan sekian dari banyak judul film karya anak bangsa yang menjadi representasi pembelajaran masyarakat akan krisis figuritas dan inspirasi moral formal. 

Revolusi kesadaran
Jika kita tarik dalam konteks sosiologi, bahasa film jelas dapat mengikat masyarakat terhadap pesan implisit yang terkandung di dalamnya. Di mana kita ketahui terdapat janusitas implikasi dalam suatu film. Janusitas itu berupa implikasi positif dan negatif. Dominasi dari satu implikasi itu tergantung dari makna atau pesan moral yang ada pada film tersebut.
Maka dalam rangka membangun kesalehan dan kearifan sosial masyarakat melalui film. Para sineas film Indonesia yang juga basis civil society dapat menjadi agen sosial edukasi masyarakat melalui karya-karya filmnya yang berkualitas. Dengan menyajikan film-film yang berkualitas, secara tidak langsung terjadi sebuah revolusi kesadaran. Revolusi kesadaran ini nantinya dapat membentuk peradaban masyarakat yang berkualitas pula. Untuk itulah peran pemerintah pun harus turut andil dalam mendukung para sineas film Indonesia dalam berkarya, baik secara pendanaan maupun kebijakan.
Di tengah krisis figuritas dan inspirasi moral formal. Penulis yakin dengan tontonan film yang berkualitas, masyarakat dapat terstimulus untuk meningkatkan kesalehan dan kearifan sosialnya. Film merupakan senjata untuk metransformasikan kesadaran masyarakat akan eksistensi ke-Indonesiaannya. Eksistensi ke-Indonesiaan itu berupa pemahaman dan penghargaan nilai-nilai sejarah dan budaya bangsanya. Dan itu sudah terbukti melalui film!