Sabtu, 09 Oktober 2010

Merapatkan Kesenjangan

Merapatkan Kesenjangan

Oleh : Syaifudin*

Mantan wakil presiden RI Jusuf Kalla mengatakan, bahwa konflik yang terjadi di Indonesia disebabkan karena ketidakadilan. Hal ini senada dengan apa yang diyakini Marx, pertentangan setiap manusia pada dasarnya karena ketidakadilan. Ruang ketidakadilan di sini dapat berupa hak sipil, sosial, ekonomi maupun politik. Secara sosiologis, silsilah ketidakadilan berada pada titik kulminasi akar pemicu konflik.

Proses ketidakadilan akhirnya memproduksi sebuah adegan kekerasan. Adegan kekerasan itu merupakan wujud konkret dari sebuah konflik akut. Misalnya saja seperti konflik di Tarakan Kaltim, kerusuhan di Ampera Jaksel serta kasus Ahmadiyah di Bogor. Setidaknya kasus tersebut menjadi refleksi kita bersama. Apakah ini watak dan budaya yang ada pada masyarakat kita sekarang ini. Dari sudut pandang subjek, kekerasan dari konflik akut lebih banyak diperankan oleh masyarakat bawah (grassroot).

Menurut hemat penulis, ada indikasi bahwa adegan kekerasan yang terjadi karena adanya rekayasa sosial elite. Rekayasa sosial elite ini bergerak akibat adanya ruang kesenjangan di dalam antar masyarakat. Ruang kesenjangan itulah yang dimanfaatkan oleh “oknum” untuk memobilisir psikologi massa menjadi brutal.

Melalui sugesti dan agitasi sosial, diciptakanlah masyarakat yang anarkis serta reaksioner. Inilah bentuk dari rekayasa sosial tersebut. Secara tidak langsung, rekayasa sosial menjadi agen konflik yang memanfaatkan pertentangan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan itu pastinya bersifat politis.

Berdasarkan hal tersebut, kiranya peran negara amatlah penting. Negara harus semaksimal mungkin merapatkan kesenjangan yang ada. Sehingga kesenjangan yang ada tidak mudah terinfiltrasi oleh “oknum-oknum” perekayasa sosial.

Pertama, negara harus konsisten menjalankan amanah UUD 1945. Sebab, amanah UUD 1945 secara filosofis merupakan petunjuk jalan menuju sebuah social justice dan welfare state. Kedua, penciptaan ruang sosiopetal. Di sini negara menciptakan ruang yang dapat meningkatkan interaksi sosial masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar meningkatkan kecerdasan berpikir masyarakat terhadap suatu isu sosial. Dengan meningkatnya interaksi, maka masyarakat tidak mudah bersikap reaksioner.

Ketiga, adanya penegakan hukum secara tegas. Ketegasan penegakan hukum akan memberikan efek jerah bagi para pelaku. Selain itu, keadilan hukum juga menjadi syarat mutlak. Di mana penegakan hukum dilaksanakan secara adil. Hukum tidak berpihak pada golongan tertentu. Entah dia presiden, menteri, ulama, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, serta masyarakat biasa, jika memang salah maka hukum harus tetap ditegakkan. Ini berguna dalam mengkonstruksi kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

Kesenjangan akibat ketidakadilan yang berujung kekerasan massa merupakan konsekuensi sosial. Dan kiranya ini menjadi suatu pekerjaan rumah bagi negara. Jika kesenjangan ini semakin lebar, dipastikan kekacauan sosial akan semakin tinggi. Hal ini ditandai dengan terciptanya masyarakat anomali. Untuk itu, negara harus ekstra keras merapatkan kesenjangan ini dan bukannya loyo.

*Mahasiswa Sosiologi UNJ

Sabtu, 02 Oktober 2010

Refleksi Satu Tahun Kinerja : Menjadi Wakil Rakyat atau Pengkhianat Rakyat


Refleksi Satu Tahun Kinerja :
Menjadi Wakil Rakyat atau Pengkhianat Rakyat

Oleh : Syaifudin
 
Untukmu yang duduk sambil diskusi. Untukmu yang biasa bersafari. Di sana, di gedung DPR…Di hati dan lidahmu kami berharap. Suara kami tolong dengar lalu sampaikan…
Di kantong safarimu kami titipkan. Masa depan kami dan negeri ini. Dari Sabang sampai Merauke…Saudara dipilih bukan dilotre. Meski kami tak kenal siapa saudara… Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat…

Beberapa petikan lirik lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” yang ditulis oleh Iwan Fals di atas, sepertinya sama dengan isi tulisan ini. Pada pemilu 2009 lalu, merupakan pintu gerbang para calon wakil rakyat ini dipilih dan duduk di kursi DPR/MPR secara demokratis. Dan tepat pada tanggal 1 oktober 2009, para wakil rakyat terpilih ini “resmi” dilantik. Pelantikan ini tentu menjadi sebuah senyum dan cahaya baru (baca:harapan) bagi rakyat Indonesia. Terlantiknya para wakil rakyat ini, menandakan sebuah “kontrak sosial” antara rakyat dan wakil rakyat. Secara filosofi, wakil rakyat merupakan seseorang yang dipilih oleh rakyat untuk mengemban amanah dan memperjuangkan hak-hak rakyat. 

Kini tepat 1 Oktober 2010, berarti sudah satu tahun para wakil rakyat ini berpentas di gedung terhomat tersebut. Lantas, apa saja refleksi dari pentas yang sudah dilakukan oleh para wakil rakyat ini? Tulisan ini bukan bermaksud mengecilkan atau me-induksi kinerja buruk para wakil rakyat. Tetapi lebih daripada itu, tulisan ini merupakan sebuah refleksi bentuk perhatian seorang rakyat untuk selalu mengingatkan orang yang diberikan amanah. Bahkan dalam ajaran agama pun ini dibenarkan. 

Wakil rakyat seharusnya merakyat“ Kalimat ini menjadi kata kunci dari refleksi ini. Pada 1 Oktober 2009, bangsa ini disuguhkan perhelatan besar oleh para wakil rakyat yang menelan biaya hampir Rp. 46.049 miliar untuk pelantikan mereka. Padahal disaat yang bersamaan, bangsa ini sedang mengalami duka. Antara lain; pada tanggal 30 September 2009, di Padang Sumatera Barat, mengalami gempa yang sangat dasyat dengan skala 7,6 richter. Akibat bencana alam tersebut, dipastikan menelan ratusan korban jiwa dan harta benda masyarakat yang terkena gempa tersebut. 

Tidak hanya musibah gempa di Padang saja, tapi masih banyak sekali musibah bencana alam lain yang terjadi di pelosok daerah di Indonesia sepanjang tahun 2009. Lalu apa yang dilakukan oleh para wakil rakyat kita? Silahkan bapak – ibu wakil rakyat yang menjawab sendiri! Bagi Taufik Kemas (ketua MPR RI), pelantikan para wakil rakyat yang mencapai Rp. 46 miliar itu bukanlah sesuatu yang berlebihan, menurutnya “demokrasi memang mahal.“ Apakah kemahalan demokrasi ini harus meniadakan kepentingan rakyat? Sehingga prioritas rakyat di nomor dua kan dibandingkan kepentingan para wakil rakyat ini.

Catatan refleksi tahun 2010
Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI), satu tahun pertama kinerja anggota DPR periode 2009-2014 dinilai sangat buruk. Indikator penilaian ini salah satunya dari target 70 RUU hanya enam yang disahkan dan itu pun dari segi kuantitas serta kualitas menuai kritik. Selain itu anggaran yang dialokasikan pun banyak yang harus diaudit atau dipertanggungjawabkan untuk menghindari terjadinya korupsi.

Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), daftar anggaran DPR yang teralokasi dalam DIPA APBN 2010 antara lain :
  • - Alokasi anggaran alat kelengkapan Dewan Rp 393 miliar lebih
  • - Dana fungsi legislasi Rp 211,9 miliar
  • - Dana kunjungan kerja Rp 17,8 miliar
  • - Hak keuangan dan administrasi dewan Rp 763, 69 miliar
  • - Dana anggaran fungsi legislasi Rp 211,8 miliar
  • - Dana kunjungan kerja Rp 17,8 miliar
  • - Dana hak keuangan dan administrasi dewan Rp 763, 69 miliar
  • - Dana anggaran penyerapan aspirasi Rp 230,3 miliar
  • - Dana kunjungan kerja Rp 173,1 miliar
  • - Dana pelaksanaan dan fungsi dewan Rp 52,7 miliar

Ditambah lagi pada pertengahan tahun 2010, para wakil rakyat menginginkan adanya pembangunan gedung baru. Pembangunan gedung baru itu mencapai lebih dari Rp. 1 triliun, dan konon gedung itu juga terisi fasilitas yang mewah seperti hotel berbintang lima. Ironisnya, di tengah wacana pembangunan gedung baru para wakil rakyat ini, di luar sana masih banyak rakyat yang harus tinggal dirumah yang jauh dari kesan layak bahkan ada yang sampai tinggal dikolong jembatan dengan fasilitas seadanya. Tidak hanya itu saja, para wakil rakyat pun mengalokasikan anggaran studi banding ke 5 negara yang diperkirakan mencapai Rp. 100 miliar. 

Alokasi anggaran di atas tentu bukan angka yang terbilang kecil. Pasalnya, anggaran yang besar itu jika di dialokasikan untuk kepentingan rakyat pastilah sangat bermanfaat sekali. Para wakil rakyat, sejatihnya melihat dan melaksanakan amanah rakyat secara maksimal, bukannya memanfaatkan peluang untuk memenuhi hasrat kebahagiannya semata. Pertanyaannya adalah dari sekian banyak program kerja para wakil rakyat selama satu tahun ini, berapa perbandingan prosentase kebermanfaatan program kerja itu bagi rakyat pada umumnya, bukan golongan tertentu?

Rakyat tidak peduli berasal dari partai atau golongan atau profesi apa para wakil rakyat itu. Yang diinginkan dan diharapkan rakyat adalah bagaimana para wakil rakyat yang dipilih dan digaji serta dibiayai oleh rakyat ini dapat menjalankan amanahnya sebagai wakil suara Tuhan di gedung DPR/MPR. Di tengah kemiskinan rakyat yang akut, akses pendidikan yang belum merata, diskriminasi kebijakan pemerintah, dan masalah-masalah lain yang dihadapi oleh rakyat. Sudah semestinya para wakil rakyat ini lebih memprioritaskan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingan pribadi atau golongan. 

Para wakil rakyat seharusnya merakyat dengan anggaran dan program kerja yang ada. Untuk itu, semoga di satu tahun kinerja para wakil rakyat ini, filosofi wakil rakyat sebagai pengemban amanah dan aspirasi rakyat dapat benar-benar dijalankan sebagaimana mestinya. Wakil rakyat adalah wakil rakyat, bukan pengkhianat bagi rakyat!
Jakarta, 30 Oktober 2010