Jumat, 21 Januari 2011

BIAR MAHASISWA FIS YANG BERI JUDUL

BIAR MAHASISWA FIS YANG BERI JUDUL
Oleh : Syaifudin*

Prolog
        Pada pembahasan tulisan ini. Penulis membagi perioderisasi penjelasan berdasarkan kesejarahan. Di mana terlebih dahulu penulis menjelaskan kesejarahan dari Universitas Negeri Jakarta pada umumnya dan pada khususnya Fakultas Ilmu Sosial. Kemudian pembahasan tentang kesejarahan organisasi kemahasiswaan, dalam hal ini organisasi pemerintahan Badan Eksekutif Mahasiswa.
         Dua pokok pembahasan tersebut menjadi jembatan penghubung dari sebuah tanya dari aktivitas sivitas akademika FIS UNJ masa kini. Baik dari pimpinan Fakultas, Jurusan, Organisasi Mahasiswa FIS, dan Mahasiswa FIS sendiri.

Dari FKIP- UI menjadi FIS UNJ
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada tahun 1961 dulu bernama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan – Universitas Indonesia (FKIP-UI). Kemudian pada tahun 1963, FKIP yang ada di Indonesia, termasuk FKIP-UI, berubah menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Hal itu karena kondisi perpolitikan saat itu. Di mana akhirnya presiden Soekarno mengeluarkan Keppres no.1/1963 pada 3 januari 1963, tentang penyatuan FKIP dan Institut Pendidikan Guru(IPG) dalam sebuah lembaga bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP).
Berdasarkan Keppres tersebut, menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Tojib Hadiwidjaya mengeluarkan SK no.55/1963, dari SK tersebut pada sejak 1 Mei 1963 berdirilah IKIP Jakarta, Bandung, Malang, dan Yogyakarta dibawah naungan PTIP. Perjalanan panjang FKIP menjadi IKIP menjadi harapan bagi dunia keguruan. Pada 16 Mei 1964 IKIP Jakarta diresmikan. Pada saat itu Rektor IKIP Jakarta dibawah pimpinan Brigjen Latief Hendraningrat. Saat itu, IKIP Jakarta terdiri atas lima fakultas : Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Fakultas Keguruan Pengetahuan Sosial (FKPS), Fakultas Keguruan Sastra Seni (FKSS), dan Fakultas Keguruan Teknik (FKT).
Berdasarkan konferensi di Bandung pada tanggal 28 Juni-2 Juli 1965, Fakultas Keguruan Pengetahuan Sosial (FKPS) kemudian diganti menjadi Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS), yang terdiri atas enam jurusan yaitu: Jurusan sejarah, Ilmu Bumi, Ekonomi Koperasi, Ekonomi Perusahaan, Administrasi, dan jurusan Hukum. Satu hal hal yang pelu dicatat, pada tahun 1967 selain FKIS bandung, FKIS IKIP Jakarta ditetapkan sebagai FKIS Pembina untuk FKIS seluruh Indonesia berdasarkan Sp. Dirjen Perti No.276/1967 pada 30 Desember 1967.
Dekan FIKS pertama adalah Drs. Suroto, yang dibantu oleh Drs. Khu Soe Kiam sebagai PD I, Drs. Didi Sudjadi sebagai PD II, dan Drs. Ali A.R sebagai PD III. Kemudian pada tahun 1977 otonomi fakultas dihapuskan menjadi depertemen. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan yang lebih komprehensif kepada mahasiswa sebelum mahasiswa memilih studi. Dengan demikian, struktur pengelolaan yang digunakan adalah sentralisasi dan departementalisasi. Pergantian otonomi fakultas ini diberlakukan saat dibawah pimpinan rektor Prof. Dr. Winarno Surakhmad pada periode kepemimpinan 1975-1980.
Secara otomatis FKIS pun berubah nama menjadi Departemen Ilmu Sosial. Di mana Ketua Departemen saat itu dijabat oleh Drs. Ali Amran Udin, sedangkan Sekretaris Departemen dijabat oleh Drs.Kikin Tarbidin. Pada saat itu, Departemen Ilmu sosial memiliki jurusan sejarah dan antropologi yang berubah menjadi Bidang studi Sejarah, Jurusan Geografi berubah menjadi Bidang studi Geografi, Jurusan Pendidikan Bisnis menjadi Bidang studi Bisnis dan Vocasional, Jurusan PMP Hukum menjadi bidang studi Civic Hukum,jurusan ekonomi menjadi bidang studi ekonomi dan jurusan pembangunan masyarakat dan luar sekolah menjadi bidang studi pembangunan masyarakat dan Luar sekolah.
Kemudian di masa kepemimpinan Rektor Prof. Dr. Soedjiran Resosudarmo pada tahun 1980-1984. Departemen Ilmu Sosial berubah menjadi Fakultas Pendidikan Ilmu Sosial (FPIS). Saat itu Dekan FPIS dijabat oleh Drs. Roesli Abu bakar, Dra. Djuairiah Latuconsina sebagai PD I, Drs. H adi sebagai PD II, Dra. Ida Badariayah Al Matsier sebagai PD III. Saat itu jurusan yang ada di FPIS adalah jurusan sejarah, Jurusan Geografi, Ekonomi, Jurusan Pendidikan Moral Pancasila dan Hukum, Jurusan pembangunan masyarakat dan luar sekolah (sekarang bernama Jurusan Pendidikan Luar sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan sejak tahun 1982).
Perjalanan panjang Universitas Negeri Jakarta dimulai pada tahun 1999. Di mana IKIP Jakarta berubah nama menjadi Universitas Negeri Jakarta pada tanggal 31 Agustus 1999. Berdasarkan Keppres No.93/1999 tertanggal 4 Agustus 1999. Presiden BJ. Habibie meresmikan enam IKIP yang ada di Indonesia menjadi Universitas di Istana Negara dengan mengundang para rektor dari keenam perguruan tinggi tersebut. Saat itu IKIP Jakarta dibawah kepemimpinan Rektor Prof.Dr. Sutjipto yang menjabat pada periode 1997-1999. Keenam perguruan tinggi tersebut yang menjadi Universitas yaitu : IKIP Yogyakarta menjadi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), IKIP Jakarta menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), IKIP Surabaya menjadi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), IKIP Malang menjadi Universitas Negeri Malang(UM), IKIP Ujung Pandang menjadi Universitas Negeri Makasar (UNM), serta IKIP Padang menjadi Universitas Negeri Padang (UNP).
Dalam sambutan peresmian itu, Rektor Prof. Dr. Sutjipto mewakili kelima Rektor IKIP lainnya menyatakan, bahwa perubahan IKIP menjadi Universitas merupakan langkah maju untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan perubahan struktur dari Institut ke Universitas memungkinkan terjadinya perluasan kontribusi dalam memecahkan berbagai persoalan. Perluasan mandat ini pun membuka peluang untuk dibukanya program studi non-kependidikan. Kemudian berdasarkan SK Rektor UNJ No.297/SP/2005. Jurusan Ekonomi yang dulu bernaung dibawah FPIS, menjadi Fakultas Ekonomi. Kemudian FPIS pun berubah menjadi Fakultas Ilmu Sosial dengan menaungi lima jurusan, yaitu Jurusan Sejarah, Geografi, ISP, Agama Islam, Sosiologi. Terakhir pada tahun 2010, FIS bertambah satu jurusan, yaitu Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.

Kesejarahan Opmawa
Keorganisasian kemahasiswaan, khususnya di UNJ terbagi menjadi dua. Pertama,organisasi yang bersifat vertikal atau hierarkis yakni Organisasi Pemerintahan Mahasiswa (Opmawa) yang terdiri dari BEM Universitas, Fakultas, Jurusan, Majelis Tinggi Mahasiswa (MTM) dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM). Kedua, organisasi yang bersifat horizontal yakni Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang terdiri Resimen Mahasiswa, Didaktika, Racana Pramuka, KMPF, UKM, KMPA Eka Citra, LKM, UKO, KSPA, LDK, KOPMA, SIGMA TV, ERA FM, KMHB,KSR, KPM, PMK, dan KMA PBS. Keorganisasian kemahasiswaan itupun dilegalitasi oleh SK Mendiknas NO. 155/U/Mendiknas/1998 tentang pedoman umum keorganisasian kemahasiswaan di perguruan tinggi. Di mana SK tersebut ditetapkan tanggal 30 Juni 1998 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang pada masa itu dijabat oleh Prof. Dr. Juwono Sudarsono, M.A. Di mana SK No.155 itu merupakan pengganti revisi dari Mendikbud No. 0457/U/1990.
Lalu bagaimana sejarah dari awalnya keberadaan organisasi kemahasiswaan ini ? Untuk itu dalam tulisan ini penulis mencoba sedikit mengulas tentang kesejahraan dari keberadaan organisasi kemahasiswaan di UNJ, khususnya OPMAWA “BEM”.

Periode Senat Mahasiswa FKIP-UI (1961-1964)
Sebelum munculnya nama “BEM”. Pada tahun 1960-an, organisasi pemerintahan mahasiswa bernama Senat Mahasiswa, yaitu Senat Mahasiswa FKIP-UI (sekarang UNJ). Senat Mahasiswa ini dibentuk sebagai organisasi pengembangan potensi mahasiswa. Di mana perioderisasi masa kepengurusan Senat Mahasiswa FKIP-UI yaitu: Ibrahim Lubis sebagai Ketua Umum dan R.E. Muctar sebagai Sekretaris Umum Senat Mahasiswa FKIP-UI untuk periode 1961-1962. Kemudian periode 1962-1963, Ibrahim Lubis terpilih kembali menjadi Ketua Umum dan Masjurdin terpilih menjadi Sekretaris Umum. Pada periode selanjutnya (1963-1964), K.H Situmorang terpilih menjadi Ketua Umum dan J.P Waraba sebagai Sekretaris Umum Senat Mahasiswa FKIP-UI.

Periode Dewan Mahasiswa IKIP Jakarta (1964-1978)
Pada tahun 1964, Senat Mahasiswa berubah menjadi Dewan Mahasiswa. Hal ini di karenakan situasi politik negara yang fluktuatif. Di mana kondisi ketidakstabilan itu mempengaruhi organisasi kemahasiswaan dilingkungan kampus untuk mempunyai pengaruh dan peranan strategis dalam penentuan kebijakan kampus. Dengan kata lain, Dewan Mahasiswa memiliki tujuan untuk melakukan aksi perlawanan atas kebijakan kampus yang dianggap pro dengan pemerintahan Soekarno. Di mana mahasiswa melihat rezim Soekarno lebih dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan D.N Aidit. Ditambah lagi kebijakan ekonomi pemerintah yakni kebijakan Senering (pemotongan nilai uang) dan dikeluarkannya SK No.216/M/Migas/1966 oleh Mayjen Dr. Ibnu Soetowo sebagai Menteri Negara Urusan Minyak dan Gas Bumi. SK tersebut berisi bahwa harga minyak bumi dan bahan bakar mengalami kenaikan. Alhasil, imbas dari kenaikan harga minyak mempengaruhi kenaikan harga kebutuhan pokok yang membuat rakyat semakin sulit dan miskin.
Dua kondisi itu menggerakan mahasiswa Indonesia yang terkabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk melakukan demonstrasi besar-besaran. Tuntutan demonstrasi pada tahun 1966 itu melahirkan konsepsi “Tri Tuntutan Rakyat (Tritura)” yang berisi : (1) Tuntutan Pembubaran PKI, (2) Tuntutan Pembubaran Kabinet Dwikora, dan (3) Turunkan harga kebutuhan pokok. Demonstrasi ini dikenal sebagai Gerakan Mahasiswa (Gema) 1966.
Eksistensi Dewan Mahasiswa selain melahirkan Gema 1966. Dewan Mahasiswa melahirkan gerakan Malapeta 15 Januari 1974 (Malari) sebagai akumulasi kekesalan mahasiswa atas penyimpangan rezim Soeharto. Penyimpangan ini terlihat dari gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang mengarah ke kapitalis dengan membuka seluasnya para pemodal asing menguasai perekonomian Indonesia. Pasca Malari, gerakan mahasiswa yang radikal dan subversif (melawan pemerintahan) perlahan diredam. Wujud refresif pemerintah terhadap gerakan mahasiswa dengan mengeluarkan SK. No.028/1974 tentang pengawasan dan pengontrolan kegiatan mahasiswa oleh pimpinan perguruan tinggi. Di mana aktivitas mahasiswa ini hanya sekitar pada kegiatan sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), dan Dies Natalis kampus, tidak boleh ada kegiatan unsur politik yang subversif. Beberapa surat kabar dibredel, dan beberapa aktivis Malari dipenjara, salah satunya Hariman Siregar (Ketum Dema UI).
Terbelenggunya aktivitas mahasiswa oleh SK. No.028/1974 tidak membuat mahasiswa kehabisan akal untuk melakukan gerakan. Pers mahasiswa menjadi alternatif aspirasi opini mahasiswa terhadap kebijakan rezim Soeharto. Alhasil, media pers mahasiswa kemudian membangkitkan semangat kembali perlawan para mahasiswa terhadap kekuasaan Soeharto. Perlawanan ini dikenal dengan Gerakan Mahasiswa 1977-1978. Akan tetapi gerakan ini tidak berhasil sesuai dengan harapan mahasiswa. Karena gerakan ini mudah dilumpuhkan oleh tentara. Akibat dari gagalnya gerakan ini, lebih dari 164 tokoh aktivis mahasiswa ditangkap dan dijadikan tahanan politik. Salah satunya, Sulaeman Hamzah (Eks- Sekum Dewan Mahasiswa IKIP Jakarta 1972-1973). Selain itu, kampus-kampus diserbu dan diporak-porandakan oleh militer. Penembakan massal pun terjadi di sana-sini, sehingga kegiatan perkuliahan sempat berhenti total.
Untuk mempertahankan status quo rezim Soeharto. Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef pada 19 April 1978 mengeluarkan SK. No.0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Kemudian untuk memperkuat tujuan SK. NKK, maka pemerintah pada tahun 1979 mengeluarkan SK. No.037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Penerapan SK. NKK-BKK ini bertujuan mengembalikan fungsi perguruan tinggi yang berorientasi pada kegiatan akademis(perkuliahan) dan tidak terjebak politik praktis atau bahasa lain meredam gerakan mahasiswa.
Adapun para pengurus Dewan Mahasiswa IKIP Jakarta (Pada tahun 1963 FKIP-UI menjadi IKIP Jakarta dan sekarang bernama UNJ) pada masa itu, yakni : Fredy Ratu sebagai Ketum dan Ihamrin Nasution sebagai Sekum Dewan Mahasiswa periode 1964-1965. Periode 1965-1968, Ketum Achmad Djadjuli dan Sekum Agus Yun Batuta. Periode 1968-1969, Ketum Burhanuddin Anwar dan Sekum Surady Suhud. Periode 1969-1970, Ketum Burhanuddin Anwar dan Sekum Alwi Nurdin. Periode 1970-1971, Ketum Awad Bahasoan dan Sekum Bachtaruddin Sjah. Periode 1971-1972, Ketum Adnan Kertapringga dan Sekum Adeng Sudiman. Periode 1972-1973, Ketum Achmad Badja dan Sekum Sulaiman Hamzah. Periode 1973-1974, Ketum Muslimin M.T dan Sekum Baharuddin Uke. Periode 1974-1975, Ketum M.Aswin Daz dan Sekum Mukri Santoso. Periode 1976-1977, Ketum Hudari Hamid dan Sekum Urip Darmanto. Periode 1977-1978, Ketum Urip Darmanto dan Sekum Az.Abidin Urra.

Periode Senat Mahasiswa ( 1992-1998) IKIP Jakarta
Dampak dari berlakunya peraturan NKK-BKK, organisasi mahasiswa mengalami pembekuan dari tahun 1980-1992. Pada masa itu roda aktivitas mahasiswa bernaung pada organisasi yang bernama Presidium Mahasiswa. Pengurus Presidium ini merupakan perwakilan dari mahasiswa di masing-masing fakultas. Para pengurus Presidium Mahasiswa IKIP Jakarta pada masa itu yakni : Suparman TF, Ismail Umri, Az.Abidin Urra, Edi Budiono, Edi Setia Basuki,, Hendramin dan Sutarman.
Tugas Presidium Mahasiswa yakni melakukan koordinasi kegiatan mahasiswa yang sifatnya akademis dan bukan politik praktis. Di mana setiap kegiatan Presidium Mahasiswa harus selalu berkoordinasi dengan Badan Koordinasi Kemahasiswaan yang pada masa itu dijabat oleh Drs. Arief Rachman (Sekarang Guru Besar UNJ/Dosen Jurusan Bahasa Inggris). Masa Presidium Mahasiswa membuat daya kritis mahasiswa terbelenggu dan tidak seradikal pada masa Dewan Mahasiswa.
Untuk memperlemah daya kritis dan memecah belah konsentrasi subversif mahasiswa. Maka pada saat itu pemerintah memberlakukan setiap perguruan tinggi untuk membentuk unit-unit kegiatan pengembangan minat dan bakat mahasiswa di tingkat universitas. Untuk di IKIP Jakarta sendiri (UNJ), Prof. Dr. Soedjiran Resosudarmo, M.A yang pada masa itu Rektor IKIP Jakarta periode 1980-1984 meresmikan beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) antara lain, Didaktika (1969), Resimen Mahasiswa (1979), Kelompok Mahasiswa Peminat Fotografi (KMPF) yang didirikan pada 8 November 1980 ; Racana Pramuka yang didirikan pada 14 Februari 1981; Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA) Eka Citra yang didirikan pada 9 April 1981; Forum Diskusi Ilmiah Mahasiswa Ekapresetya (FODIM-E, sekarang Lembaga Kajian Mahasiswa) yang didirikan pada 18 Juni 1981 ; Unit kesenian dibidangi oleh Unit Kesenian Mahasiswa (UKM) yang didirikan pada 24 April 1982 ; Kelompok Sosial Pecinta Anak (KSPA) didirikan pada tahun 1982; Unit Kegiatan Olahraga (UKO) yang didirikan pada 12 Desember 1985.
Penerapan NKK-BKK yang dirasa oleh mahasiswa sebagai praktek politis pemerintah. Kemudian dikritisi oleh mahasiswa. Hal ini karena kebijakan NKK-BKK terlalu membatasi ruang gerak mahasiswa. Akhirnya melalui berbagai pertemuan dan pembahasan peninjauan kembali NKK-BKK. Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan mencabut SK NKK-BKK dan menggantinya dengan SK No.457/U/1990 tentang penyepakatan munculnya organisasi Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) pada 28 Juli 1990. SK ini menyiratkan bahwa pemerintah membuka “kran kebebasan” bagi ruang gerak mahasiswa. Akan tetapi sebenarnya SK ini merupakan siasat halus pemerintah untuk meredam radikalisasi mahasiswa yang mengkritisi NKK-BKK.
Para mahasiswa sadar akan siasat pemerintah melalui SK No.457/U/1990 ini. Untuk itu para mahasiswa menerima SK ini walaupun setengah hati namun dengan tujuan tertentu. Tujuan itu adalah dengan terbentuknya kembali Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) maka mahasiswa dapat menggalang gerakan kembali. Penggalangan gerakan ini dilakukan secara bawah tanah. Kemudian hasil dari gerakan bawah tanah ini mencuat secara nyata pada bulan Maret 1998 dalam bentuk demonstrasi besar-besaran dengan tuntutan turunnya Soeharto. Gerakan ini kemudian dikenal sebagai Gerakan Mahasiswa 1998.
Adapun kepengurusan pada masa Senat Mahasiswa IKIP Jakarta, yaitu ; Periode 1992-1993, Ketum Bambang dan Sekum Maksum Hadi. Periode 1993-1994, Ketum Suherman dan Sekum Sujio. Periode 1994-1995, Ketum Helmi Adam dan Sekum Khaeruddin. Periode 1995-1996, Ketum Ubedillah Badrun dan Sekum Endang Supriatna. Periode 1996-1997, Ketum Agus Supriatna dan Sekum Iman Santoso. Periode 1997-1998, Ketum Henri Basel dan Sekum Heri Herdiawanto.

Periode Badan Eksekutif Mahasiswa ( 1999 sampai sekarang ) UNJ
Tumbangnya rezim orde baru secara langsung mempengaruhi struktur organisasi kemahasiswaan. Di mana para aktivis mahasiswa memandang perlunya pendidikan politik bagi mahasiswa dalam mengkritisi berbagai permasalahan bangsa yang begitu kompleks. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dibentuklah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IKIP Jakarta. Latar belakang pergantian nama tersebut karena Senat Mahasiswa merupakan bentukan dari SK Mendikbud No. 0457/U/1990 yang dinilai membatasi aspirasi mahasiswa. Apalagi SK Mendikbud No. 0457/U/1990 merupakan produk NKK-BKK. Selain latar belakang SK Mendikbud No. 0457/U/1990. Latar belakang yang kuat adalah dikeluarkannya pengganti SK Mendikbud No. 0457/U/1990 dengan SK Mendikbud No. 155/U/1998. Di mana SK Mendikbud No. 155/U/1998 dinilai lebih membebaskan mahasiswa dalam menentukan format keorganisasian kemahasiswaan.
Sebelum pergantian nama dari Senat Mahasiswa menjadi BEM IKIP Jakarta. Terlebih dahulu disepakati dibentuknya Pejabat Sementara dalam format Presidium Ormawa pada Musyawarah Besar VII yang diadakan dari 16 sampai 19 Juli 1998 oleh Senat IKIP Jakarta. Di mana para pengurus Presidium Ormawa tersebut merupakan perwakilan dari beberapa mahasiswa fakultas dan perwakilan Unit Kegiatan Mahasiswa. Presidium Ormawa ini bertugas untuk mengkordinasikan kegiatan kampus dan Pemilihan Umum Raya Ketua Umum BEM IKIP Jakarta. Masa kerja Presidium Ormawa ini dari tanggal 19 Juli sampai 31 Oktober 1998. Adapun para pengurus Presidium Ormawa terdiri dari, Yasnita Yasin, Opik Rahman, Cecep Supriyadi, Syaipul Bahri, Dunarto Tobing, Agus Setianto, Mulyadi, Utami Diana, Mulyadi, Sri Wahyuni Doelles Putri, Suhendra dan Ali Norman. Di mana organisasi tersebut secara struktur bersifat hierarkis, yakni dari organisasi tingkat jurusan sampai tingkat universitas atau BEM Jurusan, BEM Fakultas, dan BEM Universitas. Sifat hierarkis ini dimaksudkan agar setiap wacana maupun agenda pergerakan dijalankan secara sistematis dan terkoordinasi. Munculnya pembentukan “BEM” dianggap sebagai revisi perbaikan ditubuh organisasi kemahasiswaan (OPMAWA). Pergantian nama OPMAWA menjadi “BEM” pun mengiringi pergantian nama dari IKIP Jakarta menjadi Universitas Negeri Jakarta pada tanggal 31 Agustus 1999, yang pada akhirnya dari BEM IJ mejadi BEM UNJ.
Tidak hanya perubahan nama semata. Pola-pola pelaksanaan OPMAWA pun didesain layaknya pola-pola pelaksanaan pada institusi negara atau dengan kata lain sistem OPMAWA merupakan miniatur negara. Hal ini dapat dilihat pada pembagian fungsi dan mekanisme kerjanya. Hal ini tentu berbeda dengan pelaksanaan fungsi dan kinerja pada masa Senat Mahasiswa, Dewan Mahasiswa ataupun Presidium Mahasiswa. Contoh kecil miniatur ini dapat dilihat dengan berlakunya sistem pembagian kekuasaan, yakni legislatif (MTM dan BPM) dan eksekutif (BEM Universitas, Fakultas, dan Jurusan). Selain itu adanya sistem Komisi Pemilihan Umum (KPU) UNJ, yang pada prakteknya menerapkan sistem seperti institusi KPU Negara.
Masa kepengurusan BEM UNJ yaitu : Periode 1999-2000, Ketum Tahyar. Periode 2000-2001, Ketum Yudi Rohman dan Sekum Doni Kurniawan. Periode 2001-2002, Ketum Dedi Supriadi dan Sekum Agus Timorwoko. Periode 2002-2003, Ketum Sardi Efendi dan Sekum Novri Helmawan. Periode 2003-2004, Ketum Defrizal dan Sekum Dudi Jukardi. Periode 2004-2005, Ketum Rahmat Arif Kurniawan dan Sekum Emil Salim. Periode 2005-2006, Ketum Karyadi. Periode 2006-2007, Ketum Akmal Diky. Periode 2007-2008, Ketum Fahrul Latief. Periode 2008-2009, Ketum Bangun Ananta Kusuma. Periode 2009-2010, Ketum Ali Sibro Malisi. Periode 2010-2011, Ketum M.Hadi Kusuma, dan Ketum periode sekarang 2011-2012 yakni Aditia Pradipta.

Analisis hermeneutik “Badan Eksekutif Mahasiswa”
Pada pembahasan tulisan ini, penulis sedikit menguraikan etimologis tiap kata “Badan Eksekutif Mahasiswa “. Pilar filosofi analisis hermeneutik ini didasari dari kerangka berpikir filsafat fenomenologi. Pendekatan analisis ini bersifat deduktif.
Pertama, term “Badan”. Istilah “Badan” di sini oleh penulis merujuk pada organisme biologis. Istilah organisme biologis ini dikembangkan oleh kaum positivis, antara lain Auguste Comte dan Herbert Spencer. Organisme biologis merupakan suatu keseluruhan yang memiliki individualitas sendiri, karena terdapat hubungan permanen antara komponen-komponen tersendiri. Satu hal yang paling mendasar dalam organisme biologis, kesadaran dipusatkan pada kerja otak bukan bersifat memencar. Jadi, makna “Badan” disini bukanlah organisme sosial, tetapi organisme biologis ! Jika istilah “Badan” merujuk pada organisme sosial, maka kesadaran tidak hanya berpusat pada kerja otak saja, tetapi juga rasa. Makna rasa di sini yakni kekeluargaan.
Kedua, term “Eksekutif”. Istilah ini secara singkat mengacu pada konsep trias politika atau pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Trias politika yang dimaksud dalam tulisan ini merujuk pada pemikiran filsuf Prancis Montesquieu (1689-1755). Gagasan Trias politika Montesquieu lahir sebagai sebuah sintesis sistem pemerintahan yang menjamin hak warga negaranya. Di mana sistem pemerintahan itu terbagi menjadi tiga fungsi. Pertama, kekuasaan legislatif yang berfungsi membuat peraturan dan undang-undang. Kedua, kekuasaan eksekutif yang berfungsi menyelenggarakan atau melaksanakan undang-undang. Ketiga, kekuasaan yudikatif yang berfungsi mengadili pelanggaran undang-undang. Ketiga fungsi kekuasaan ini harus terpisah satu sama lain, baik itu dari fungsinya maupun organ yang melaksanakannya.
Terlepas dari sejarah dan perkembangan dari trias politika itu sendiri. Lalu apa makna “Eksekutif” yang terdapat pada akronim “BEM” ? Apakah “Eksekutif” di sini dimaknai sebagai sebuah pembagian fungsi kekuasaaan sistem pemerintahan organisasi mahasiswa ? Atau hanya sebagai sebuah simbol organ dengan maksud pencitraan status kewibawaan ? Jika sebagai sistem kekuasaan dari organisasi mahasiswa. Apakah keberadaan ditiap-tiap fungsinya terdapat organ dan menjalankan fungsi sebenarnya atau malah ada organ yang tidak ada pada salah satu fungsinya. Apabila benar “Eksekutif” ini dimaknai sebagai sebuah sistem pemerintahan dan ada organ yang tidak ada atau tidak menjalankan sebagaimana fungsinya. Maka kiranya perlu meredefinisi makna ini atau kalau perlu diruba term “Eksekutif” ini sesuai maknanya.
Ketiga, term “Mahasiswa”. Term ini biarlah pembaca (mahasiswa) yang memaknainya sendiri. Sebab, relativitas makna “Mahasiswa” lebih kuat dibandingkan universalitas makna “Mahasiswa”. Selain itu, sebutan "Presiden Mahasiswa (Presma)" bagi Ketua BEM sebenarnya hanyalah sebuah legitimasi kekuasaan yang tak merakyat pada mahasiswa. Dimana nama ini merupakan warisan format OPMAWA era Dewan Mahasiswa (Dema). Maka untuk itu, nama Ketua BEM, selayaknya tetap "Ketua BEM" dan bukan "Presiden Mahasiswa". Jika merujuk pada  SK Mendiknas No. 155/U/Mendiknas/1998 Bab IV pasal 7 ayat 1, disebutkan bahwa OPMAWA terdiri dari Ketua Umum (bukan disebut Presiden Mahasiswa), Sekretaris, dan Anggota Pengurus.
Berangkat dari uraian singkat di atas. Kiranya perlu refleksi makna dari akronim “BEM”. Hal ini diperlukan agar tidak terjebak pada “narsisme pola kekuasaan negara” yang coba diterapkan pada pola pengorganisasian kemahasiswaan. Sebab, pada dasarnya pola pengorganisasian negara dengan pengorganisasian kemahasiswaan sangat jauh berbeda. Hal ini karena organisasi kemahasiswaan bukanlah organisasi yang berdasarkan pada prinsip kekuasaan formal. Melainkan organisasi yang didasari atas prinsip egaliter melalui konsensus sosial.
Untuk itu, penamaan akronim “BEM” harus diredefinisikan baik nama, serta fungsinya. Sebab dalam SK Mendiknas No. 155/U/Mendiknas/1998 Bab 2 pasal 3 ayat 2 disebutkan “ Organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi dibentuk pada tingkat perguruan tinggi, fakultas dan jurusan”. Kemudian lebih lanjut ditambahkan pada ayat 3 yaitu Bentuk dan badan kelengkapan organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi ditetapkan berdasarkan kesepakatan antar mahasiswa, tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, dan status perguruan tinggi yang bersangkutan ”. Ayat tersebut menyiratkan bahwa sebenarnya format keorganisasian mahasiswa dibebaskan sesuai dengan kesepakatan mahasiswa bersama, baik ditingkat Jurusan, Fakultas maupun Universitas.
Misalnya, jika nama OPMAWA di FIS bernama BEM FIS. Ini bisa ditinjau kembali sesuai kesepakatan bersama para mahasiswa FIS. Sebab, dalam SK Mendiknas No. 155/U/Mendiknas/1998 dikatakan bahwa keorganisasian kemahasiswaan disepakati bersama oleh mahasiswa. Entah namanya menjadi Keluarga Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (KM FIS) atau yang lainnya tergantung kesepakatan para mahasiswanya, termasuk ditingkat Jurusan atau Universitas.
Dengan kata lain, jika format OPMAWA layaknya miniatur pemerintahan negara. Maka, rakyat (mahasiswa) dapat melakukan Uji Materi terhadap SK Mendiknas No. 155/U/Mendiknas/1998 ini. Namun tentu dalam Uji Materi ini juga diperlukan argument yang rasional dan ilmiah. Uji materi inipun merupakan salah satu produk demokrasi, termasuk tulisan ini.

Sebuah tanya ?
      FIS yang dulu merupakan gedung Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Serta dalam catatan Soe Hok Gie, fakultas ini dulunya menjadi tempat berdiskusi serta istirahat para aktivis mahasiswa. Kemudian dari sinilah lahir pemikiran kritis dan berbuah Pergerakan Mahasiswa 1966.
       Lalu bagaimana dengan wajah aktivitas mahasiswa FIS yang sekarang. Kiranya inilah yang harus dijawab bersama. Kultur ilmiah mahasiswanya? Kultur kritis dan pergerakan? Relasi antara mahasiswa dengan aktivitas organisasi kemahasiswaan, baik OPMAWA maupun UKM ? Bagaimana eksistensi OPMAWA di FIS dalam menjalin relasi dengan mahasiswanya serta bagaimana mengembangkan potensi mahasiswa FIS pada umumnya? Dan yang terpenting bagaimana peran para pimpinan Fakultas maupun Jurusan dalam mengembangkan kultur ilmiah, kritis atau kultur Tri Darma Perguruan Tinggi.
      Sebuah jawab dari pertanyaan ini tentu tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Tidak juga jawab ini dijawab oleh para pimpinan fakultas maupun jurusan. Melainkan harus ada sinergisitas antara pimpinan dan mahasiswa. Dan ke semua itu diikat oleh kemauan yang keras, bukan impian dan verbalistik semata. Selain itu, kerorganisasian mahasiswa (khususnya OPMAWA) mampu membaur bersama mahasiswa tanpa ada sekat label “Eksekutif maupun Legislatif”. Hal ini diperlukan sebagai sebuah fase kerjasama antara kerorganisasian mahasiswa (khususnya OPMAWA) dengan mahasiswa dalam mengembangkan kultur ilmiah dan kritis. Guna satu tujuan bersama, yakni kemajuan FIS pada umumnya, dan Jurusan pada khususnya.

Referensi :
________2004. Lintas Peristiwa 40 Tahun Universitas Negeri Jakarta. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.
Dody Rudianto. 2010. Gerakan Mahasiswa Dalam Persfektif Perubahan Politik Nasional. Jakarta : Golden Terayon.
Edi Budiarso. 2000. Menentang Tirani – Aksi Mahasiswa 1977-1978. Jakarta : Grasindo.
Soe Hok Gie. 1983. Catatan Seorang Demonstran. Jakarta : LP3S.
Ubedilah Badrun. 2006. Radikalisasi Gerakan Mahasiswa. Media Raushanfekr.
Yosar Anwar. 1981. Angkatan 66 : Sebuah Catatan Harian Mahasiswa. Jakarta : Sinar Harapan.
*Wawancara dengan beberapa tokoh dilingkungan UNJ.
*Mahasiswa Sosiologi yang minim ilmu dan masih belajar.