Jumat, 23 Desember 2011

Kartu Pelanggaran Mengemudi (KPM): Alternatif Penerapan Sanksi Pelanggar Kendaraan Bermotor

Oleh: Syaifudin

Di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi yang mendera bangsa ini. Justru sebaliknya, tingkat konsumsi kepemilikan kendaraan bermotor setiap tahun semakin tinggi.  Menurut Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, untuk daerah Jakarta saja, pada tahun 2008 jumlah kendaraan roda empat sekitar 2,4 juta dan untuk yang beroda dua hampir 3 juta.  Tiap tahunnya di Jakarta, jumlah kendaraan bermotor bisa menambah sampai 500 ribu kendaraan.

Akumulasi dari pertambahan jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya, tentu membuat situasi lalu lintas semakin kompleks. Kompleksitas tersebut sangat mempengaruhi bagaimana situasi lalu lintas di suatu wilayah terbentuk, akankah tertata rapi atau justru carut-marut. Jika satu atau lebih elemen dalam sistem transportasi tidak terkelola dengan baik, maka sistem transportasi dimungkinkan tidak berjalan dengan baik.

Pertambahan jumlah kepemilikan kendaraan bermotor, salah satunya dipicu dari kemudahan akses yang berbentuk kredit. Bahkan tanpa jaminan atau uang muka, masyarakat dapat dengan mudah memiliki kendaraan bermotor yang diinginkannya. Alhasil, setiap tahunnya jumlah kendaraan bermotor semakin naik.

Pertambahan jumlah kendaraan bermotor pun diiringi dengan tingkat pelanggaran dan kecelakaan berlalu lintas. Untuk meminimalisir masalah tersebut, pihak kepolisian lalu lintas dengan sigap dan tegas mengatur permasalahan ini. Berbagai peraturan, dan kebijakan dikeluarkan guna mengatur dan mengamankan kondisi lalu lintas di jalan.

Salah satu contohnya adalah menerapkan sistem menilang [1] bagi para pengendara bermotor yang dinilai melanggar syarat-syarat berlalu lintas, seperti tidak menggunakan alat pengaman bagi pengendara sepeda motor berupa helm, atau spion, dan tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) serta melanggar rambu-rambu lalu lintas.  Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam UU lalu lintas dan angkutan jalan nomor 22 tahun 2009.

 Akan tetapi, penerapan peraturan dan kebijakan berlalu lintas ini tidak lepas dari pemanfaatan oleh “oknum-oknum” polisi tertentu. Di mana “oknum-oknum” tersebut memanfaatkan jabatan fungsionalnya untuk melakukan “perekayasaan menilang” guna memperkaya diri atau “korupsi menilang”.  Rekayasa menilang dalam hal ini maksudnya adalah proses menilang di mana sebenarnya pengendara bermotor tidak bersalah namun dinyatakan bersalah. Selain itu juga ada “oknum” yang menyamar menjadi polisi lalu lintas serta menilang pengendara bermotor dan kemudian berpura-pura membawa kendaraan milik pengendara ke kantor polisi namun ternyata justru kendaraan milik pengendara ini dibawah pergi atau dicuri dengan modus menilang.

Permasalahan di atas merupakan fakta nyata yang sudah banyak diberitakan di berbagai media cetak maupun elektronik. Peristiwa  ini tentu merugikan pihak pengendara bermotor maupun negara. Di mana secara hukum, uang hasil denda tilang yang sebenarnya dibayar melalui proses penyidangan di pengadilan dan kemudian uang tersebut dimasukan dalam pendapatan negara. Justru dengan adanya praktek “korupsi menilang” oleh “oknum”, uang hasil denda menilang ini tidak masuk dalam kas pendapatan negara. Sebagaimana yang disebutkan dalam UU lalu lintas nomor 22 tahun 2009 pasal 269 ayat 1, “ uang denda yang ditetapkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1) disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak ”.

Berdasarkan penjelasan di atas. Kiranya ini yang menjadi latar belakang penulis dalam mengajukan sebuah gagasan “Kartu Pelanggaran Mengemudi (KPM)” sebagai alternatif penerapan pengganti sistem sanksi tilang konvensional, sekaligus sebagai upaya pencegahan korupsi, dan peningkatan kepatuhan berkendaraan bermotor.


Korelasi Jumlah Kendaraan Bermotor Dengan Tingkat Pelanggaran dan Kecelakaan Berlalu Lintas
Jumlah kepemilikan kendaraan bermotor setiap tahun selalu meningkat. Hal ini tidak pelak diikuti dengan tingkat pelanggaran dan kecelakaan berlalu lintas yang tinggi, khususnya pengendara sepeda motor. Pasalnya, masyarakat kini untuk memiliki (membeli) kendaraan bermotor baik mobil maupun sepeda motor jauh lebih mudah. Dengan sistem kredit tanpa jaminan atau uang muka, masyarakat sudah dapat memiliki kendaraan bermotor. Sayangnya, mereka hanya bisa membeli, tapi tidak dibekali dengan pengetahuan dan teknik mengendarai kendaraan bermotor yang baik dan benar. Sehingga, mereka pun membawa kendaraan bermotor dengan asal-asalan dan tanpa memikirkan syarat-syarat atau peraturan membawa kendaraan bermotor.

Menurut data Ditlantas Polda Metrojaya, sepanjang Januari-Juni 2010, jumlah korban meninggal dunia akibat kecelakaan sepeda motor di DKI Jakarta tercatat 301 orang atau 60,07 persen. Sedangkan kasus pelanggaran lalu lintas pada operasi Simpatik yang berlangsung 12 April hingga 1 Mei 2010, Polda Metrojaya mencatat 56.750 tindak pelanggaran. Dari jumlah pelanggaran tersebut, 50 persen (35.515 kasus) di antaranya pengendara sepeda motor.

Tingginya pelanggaran lalu lintas ini, menunjukkan tingkat disiplin pengendara kendaraan bermotor masih rendah. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor terjadinya kemacetan dan kesemerawutan lalu lintas, khususnya di Jakarta. Banyak terlihat pengendara (sepeda motor) menyerobot lampu merah, memotong jalan seenaknya, dan melawan arus lalu lintas. Kesemerawutan semakin parah akibat tingkah laku para sopir bus dan angkutan kota yang menaikkan dan menurunkan penumpang serta ngetem di sembarang tempat.

Maraknya pelanggaran lalu lintas, tentu melahirkan sejumlah pertanyaan. Apakah para pengendara kendaraan bermotor tersebut sengaja melanggar lalu lintas atau pengetahuan mereka tentang safety riding (keamanan berkendara) memang minim? Atau sedikitnya jumlah rambu-rambu lalu lintas yang terpasang di jalan? Serta sedikitnya jumlah personil kepolisian lalu lintas dalam mengawasi dan menegakan peraturan berkendara di jalan raya ? Hal ini tentu menjadi perenungan bersama. Sebab, kesadaran mengendara kendaraan bermotor bukan hanya tugas kepolisian, tapi juga tanggung jawab semua lapisan masyarakat khususnya pengguna kendaraan bermotor sendiri.


Sistem Menilang Sebagai Sanksi Pelanggaran Berkendaraan
Tingginya tingkat pelanggaran berkendaraan bermotor, seperti ketidakpatuhan terhadap rambu-rambu lalu lintas, ketidakmilikan SIM, ketidaklengkapan peralatan berkendara (helm,dan spion), serta ketidaksesuaian bentuk kendaraan (modifikasi) sebagaimana yang ditentukan. Membuat pemerintah, dalam hal ini kepolisian lalu lintas melakukan tindakan tegas. Segala peraturan dan kebijakan berlalu lintas pun diterapkan, guna mengatur kedisiplinan pengendara bermotor di jalan raya. Tugas dan kewajiban ini sebagaimana yang termaktub dalam UU lalu lintas nomor 22 tahun 2009 pasal 200 ayat 1, yang berbunyi :

(1)   Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas terselenggaranya kegiatan dalam mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bentuk nyata dari penerapan tugas dan wewenang kepolisian dalam menindak para pelanggar kendaraan bermotor ini adalah dengan memberikan sanksi denda atau yang biasa dikenal dengan istilah tilang. Adapun wewenang kepolisian dalam menjalankan tanggung jawabnya ini di atur dalam pasal 260.

Untuk bentuk dan sanksi pelanggaran pengendara kendaraan bermotor ini sudah ditentukan sebagaimana yang disebutkan dalam UU nomor 22 tahun 2009 ini, antara lain dari pasal 276 sampai dengan pasal  313. Sedangkan untuk prosedur penilangan sendiri yaitu Polisi yang memberhentikan pelanggar wajib menyapa dengan sopan serta menunjukan jati diri dengan jelas. Selanjutnya Polisi harus menerangkan dengan jelas kepada pelanggar apa kesalahan yang terjadi, pasal berapa yang telah dilanggar dan memperlihatkan tabel yang berisi jumlah denda yang harus dibayar oleh pelanggar.

Setelah pelanggar mengetahui kesalahannya. Kemudian pelanggar memilih prosedur pembayaran denda atas kesalahannya ini. Di mana pelanggar diberi dua pilihan. Pertama, membayar denda di Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan kemudian mengambil dokumen (SIM/STNK) yang ditahan di Polsek tempat pelanggar ditilang. Jika pelanggar memilih pilihan ini, maka Polisi akan memberikan slip berwarna biru. Kedua, jika pelanggar menolak kesalahan yang didakwakan dan meminta sidang pengadilan serta menerima slip berwarna merah. Pada waktu dan tempat pengadilan yang telah ditentukan, pelanggar akan melakukan proses penyidangan. Di mana pengadilan akan memutuskan apakah pelanggar bersalah atau tidak, dengan mendengarkan keterangan dari polisi bersangkutan dan pelanggar dalam persidangan.
Diterapkannya sanksi tilang bagi para pelanggar pengendara bermotor, tentu memberikan efek jera. Dengan demikian, mau tidak mau para pengendara kendaraan bermotor ini harus mentaati peraturan yang ada. Hal ini guna menciptakan kedisiplinan dan tertib berlalu lintas.

Ironi Atas Praktek Penindakan Pelanggaran Berlalu Lintas  
Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada subbab sebelumnya. Fakta lain pun terjadi. Di mana ironisnya, di tengah penegakan hukum dan peningkatan disiplin berkendara. Ada saja “oknum” kepolisian yang menyalahgunakan jabatan fungsinya ini. Di mana “oknum” tersebut melakukan korupsi dengan modus menilang atau bahasa awamnya “tilang damai”.  Maksud dari “tilang damai” yaitu pelanggar boleh melakukan negosiasi dengan “oknum” polisi yang menilang untuk tidak memilih kedua pilihan tilang (slip biru atau slip merah) dan memilih membayar sejumlah uang yang ditentukan kepada “oknum” polisi tersebut.

Otomatis uang denda yang seharusnya masuk kas pendapatan negara, justru masuk ke kantong pribadi “oknum” polisi tersebut. Hal ini berarti telah terjadi “korupsi tilang” Transaksi ilegal inipun diperparah dengan sikap instan masyarakat (pelanggar) yang ingin cepat dan tidak ingin direpotkan mengurus pelanggaran dipersidangan. Proses transaksi ilegal ini terbilang sering terjadi, dan secara otomatis tentu merugikan negara serta memperburuk citra kepolisian. “oknum” polisi ini tidak bisa disalahkan seratus persen, karena polisi juga dididik (dibentuk) oleh masyarakat dan terbelenggu oleh sistem.[2] Menurut para kriminolog, “oknum” polisi ini disebut dengan istilah eastern police (polisi timur). Di mana pengertian Polisi Timur dianggap sebagai polisi korup (mudah disogok), dan tidak professional.[3]

Parahnya lagi, terkadang ada saja pelaku kejahatan yang menyamar dan menipu menjadi petugas kepolisian (polisi gadungan) serta mencoba menilang pengendara kendaraan bermotor dengan maksud memeras uang pengendara kendaraan bermotor. Proses ini tentu disertai dengan ancaman, yaitu jika pengendara tidak membayar sejumlah uang maka kendaraannya akan dibawah dan ditahan ke kantor polisi. Jika pengendara ingin mengambilnya, maka harus ditebus dengan sejumlah uang yang lebih besar daripada jumlah uang yang harus dibayarnya saat itu (saat pengendara ditilang). Ancaman ini tentu membuat pengendara mau tidak mau harus mengeluarkan uang sebagaimana yang telah ditentukan oleh “oknum” polisi gadungan tersebut. 

Lebih ekstrem lagi yaitu “oknum” polisi gadungan ini ada yang motivasinya bukan memeras uang pengendara, melainkan mengambil kendaraan milik pengendara. Modus operasinya adalah “oknum” polisi gadungan ini berpura-pura membawa kendaraan pengendara ke kantor polisi dan pengendara diperintahkan mengambilnya di kantor polisi tersebut. Namun ternyata justru kendaraan itu dibawah lari atau dicuri.

Berdasarkan penjelasan di atas. Untuk itulah diperlukan sebuah mekanisme peraturan dan kebijakan yang dapat melindungi hak pelanggar atau pemilik kendaraan bermotor ini, seperti tidak ditipu atau dibohongi, dan hak mendapat keamanan. Oleh karena itu, diperlukan alternatif lain dari penerapan dan kebijakan sistem sanksi tilang selama ini. Di mana penulis, mengajukan gagasan atau ide berupa penerapan “Kartu Pelanggaran Mengemudi (KPM)” sebagai alternatif pengganti sistem tilang konvensional yang ada selama ini.

Pendukung dan Perannya Terhadap Pengimplementasian KKM
Sehebat apapun gagasan atau ide terlahir, dia tidak akan berguna jika tidak dimplementasikan. Untuk itu, gagasan yang berupa peraturan dan kebijakan ini haruslah dilaksanakan oleh berbagai pihak, yaitu : pemerintah, kepolisian dan masyarakat pengguna kendaraan bermotor.

Di mana peran untuk pemerintah di sini yaitu membuat sebuah mekanisme pengawasan dan pengontrolan atas kinerja polisi lalu lintas. Selain itu, membuat Undang-Undang lalu lintas yang berkeadilan, pro terhadap masyarakat atau tidak mendiskriminasi masyarakat. Sedangkan peran Polisi dalam pengimplementasi gagasan ini yaitu, menerapkan peraturan dan kebijakan kepada pengguna kendaraan bermotor untuk memiliki “Kartu Pelanggaran Mengemudi (KPM)”, serta konsisten atas fungsi kinerjanya, yaitu menjalankan tugasnya secara bersih dan professional. Peran masyarakat sebagai pengguna kendaraan bermotor yaitu memiliki “Kartu Pelanggaran Mengemudi (KPM)” ini dan menerapkan perilaku disiplin berkendara serta tidak mencoba melakukan praktek suap atau menyogok polisi saat dirinya ditilang. Selain itu, pengendara kendaraan bermotor ini juga berhak mengetahui identitas polisi yang menilangnya.


Kartu Pelanggaran Mengemudi (KPM) Sebagai Alternatif Penerapan Sanksi Pelanggaran Kendaraan Bermotor Konvensional
Kartu Pelanggaran Mengemudi atau yang disingkat KPM ini merupakan sebuah gagasan alternatif untuk penerapan sanksi pelanggaran kendaraan bermotor. Berdasarkan pengamatan dan wawancara penulis dengan para pengguna kendaraan bermotor, bahwa selama ini para pengguna kendaraan bermotor ini merasa dirugikan bahkan dibohongi dengan penerapan pelanggaran yang ada. Hal ini bukan tanpa alasan. Sebab menurut mereka, para petugas kepolisian ini lebih sibuk melakukan tilang daripada mengatur jalan raya. Alhasil, penilaian kurang baik dari masyarakat kepada Polisi pun muncul. Masyarakat mengalami krisis kepercayaan kepada aparat karena banyaknya oknum aparat dianggap tidak bekerja serius.[4]

Selain itu, indikasi negatif dari penerapan sanksi pelanggaran kendaraan bermotor yang konvensional ini yaitu terbukanya celah untuk “oknum” polisi dalam menyalagunakan fungsi jabatannya. Penyalagunaan itu berupa “perekayasaan menilang” dan kemudian terjadilah praktek suap atau “korupsi menilang”. Hal ini tentu menambah buruk citra kepolisian sendiri karena “oknum” tersebut.

 Maka dari itu, KPM kiranya dapat menjadi alternatif dari penerapan sanksi pelanggaran kendaraan bermotor ini. Diharapkan dengan diberlakukannya KKM, dapat meminimalisir penyalagunaan fungsi atau korupsi menilang oleh “oknum” polisi tertentu.

 KPM sendiri merupakan sebuah kartu yang berfungsi seperti kartu kredit pelanggaran kendaraan bermotor dengan batas jumlah pelanggaran  yang ditentukan. Di mana KKM ini sebagai pengganti pembayaran denda jika pengendara melakukan pelanggaran lalu lintas. Jadi dalam hal ini, pengendara saat ditilang cukup menunjukan KPM saja dan bukan uang yang dikeluarkan apabila ada “oknum” yang menginginkan “uang damai”.

Dengan demikian, motivasi “oknum” untuk melakukan “perekayasaan menilang” atau “korupsi menilang” atau memeras pengendara (apabila pengendara bertemu dengan  “oknum” polisi gadungan) dapat diminimalisir. Selain itu dalam kepemilikan KPM ini, pengendara harus sudah memiliki SIM. Otomatis penerapan KPM ini pun membantu kepolisian dalam menerapkan kepemilikan SIM bagi pengendara kendaraan bermotor.


Adapun besaran biaya pembuatan KPM ini yaitu Rp. 150.000,-. Setiap pengemudi yang memiliki KPM, berhak mendapat kesempatan kredit point pelanggaran maksimal empat (4) kali. Apabila kredit point pelanggaran sudah habis atau sudah empat kali dilubangi, maka pengemudi disarankan memperpanjangnya kembali ke SAMSAT setempat. Hal ini untuk mendapatkan kembali kesempatan kredit point pelanggaran.

Apabila pengemudi kendaraan bermotor tidak memiliki atau tidak membawa KPM atau kesempatan kredit point pelanggaran KPMnya sudah habis dan saat itu dia melakukan pelanggaran. Maka mekanisme sanksi konvensional pun diberlakukan sebagai pengganti KPM tersebut. Hal ini dimaksudkan agar proses penegakan sanksi bagi pelanggar berkendaraan bermotor tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Teknik Penerapan KPM
Penjelasan penerapan KPM ini terbagi menjadi dua, yaitu :

(1) Prosedur mendapatkan KPM
Untuk kepemilikan KPM ini, pengendara sudah memiliki SIM. Hal ini sesuai dengan UU nomor 22 tahun 2009 pasal 77 yang berbunyi, (1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan”. Dengan kepemilikan SIM, berarti pengendara memang sudah mendapat izin berkendaraan bermotor secara hukum.

Persyaratan pembuatan KPM yaitu : (a) sehat jasmani dan rohani, (b) berusia sekurang-kurangnya 17 tahun dengan ditandai kepemilikan KTP, (c) membayar fomulir pengajuan pembuatan KPM di loket yang ditentukan, (d) mengisi formulir permohonan, (e) dapat menulis dan membaca huruf latin, (f) melampirkan foto copy KTP dan SIM, (g) memiliki pengetahuan yang cukup mengenai lalu lintas jalan dan ketrampilan mengemudi, dan (h) lulus ujian dan praktek.

(2) Cara penggunaan KKM di lapangan
Setelah pengendara mendapatkan KPM, berarti pengemudi memiliki kesempatan kredit point pelanggaran sebanyak empat (4) kali. Apabila saat dijalan pengemudi melakukan sebuah pelanggaran, maka pihak kepolisian lalu lintas berhak melubangi KPM sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Untuk itu dalam penerapan KPM ini, pihak kepolisian dilengkapi dengan alat khusus pembolong KPM. Apabila kesempatan kredit point pelanggaran sudah habis, maka disarankan pengemudi kendaraan bermotor membuat atau memperpanjang KPM di SAMSAT setempat.

Analisi SWOT Penerapan KPM
Untuk mempermudah menganalisis kelebihan dan kekurangan dari penerapan KPM ini, maka penulis menggunakan analisis SWOT, yaitu :

A. Strength (kekuatan)
Kekuatan utama dari penerapan KPM ini yaitu :
- Dengan adanya KPM, dapat meminimalisir praktek penilangan ilegal yang dilakukan oleh ”oknum” polisi melalui ”korupsi menilang”. Dengan demikian, hasil uang denda pelanggaran dapat terkontrol dan benar-benar masuk ke dalam kas pendapatan negara bukan pajak.
- Mempermudah pihak kepolisian dalam melakukan penegakan hukum bagi para pelanggar lalu lintas dan meminimalisir penyalagunaan fungsi jabatan oleh anggota polisi. Sedangkan bagi masyarakat, dengan adanya KPM mempermudah masyarakat dalam membayar denda atas pelanggaran yang dilakukannya.
- Penerapan KPM ini akan lebih mengefisienkan mekanisme proses penilangan konvensional selama ini. Di mana mekanisme proses penilangan konvensional yaitu : (Slip biru), Pelanggar à Membayar denda ke BRI à Mengambil dokumen (SIM/STNK) yang disita ke Ditlantas Polda Metrojaya atau (slip merah), Pelanggar à Persidangan ke Pengadilan à Mengambil dokumen (SIM/STNK) yang disita ke loket khusus tilang yang ada di pengadilan. Dua proses mekanisme penilangan ini rata-rata membutuhkan waktu sampai 1 minggu setiap satu pelanggaran yang terjadi. Akibat lamanya proses mekanisme ini, maka tidak heran pelanggar kendaraan lebih memilih ”menyuap” polisi dengan sejumlah uang yang ditentukan dibanding pelanggar harus melakukan serangkaian mekanisme di atas. Sedangkan apabila diterapkan KPM maka mekanisme ini lebih sederhana yaitu, Pengemudi Membuat KPM di SAMSAT setempat à Apabila melanggar cukup dilubangi KPMnya à Jika sudah habis kesempatan kredit point pelanggaran, maka pengemudi kembali memperpanjangnya kembali di SAMSAT setempat. Mekanisme penerapan KPM ini hanya memerlukan waktu sehari saja.
- Penerapan KPM ini pun ada sisi edukasinya. Di mana setiap pengajuan pembuatan atau perpanjangan KPM. Pengemudi akan melakukan tes tertulis tentang rambu-rambu lalu lintas dan praktek berkendaraan. Dengan demikian dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan berlalu lintas para pengemudi ini.

B. Weakness (kelemahan)
Kelemahan dari penerapan KPM ini yaitu, diperlukannya mekanisme penerapan KPM yang terpadu, merevisi UU nomor 22 tahun 2009 untuk menambahkan point kepemilikan KPM  bagi setiap pengendara kendaraan bermotor, dan proses sosialisasi KPM tentu memakan waktu yang lama.
   
C. Opportunity (kesempatan)
Kesempatan dari penerapan KPM yaitu, dengan biaya yang lebih murah  (Rp. 150.000,-) dalam pembuatan KPM dibanding pengemudi harus membayar tilang secara konvensional serta masalah waktu yang lebih efisien. Dipredikasikan para pengemudi kendaraan bermotor akan lebih memilih membuat dan memiliki KPM ini. Secara otomatis, kepemilikan SIM pun akan naik. Sebab salah satu syarat kepemilikan KPM adalah memiliki SIM.

D. Threat (ancaman)
Ancaman dari penerapan KPM ini adalah pemalsuan KPM dan tetap saja ada ”oknum” yang melakukan praktek ”korupsi menilang” dengan modus menurunkan jumlah biaya tilang yang lebih murah. Misalnya, pengemudi A dianggap melakukan pelanggaran dan dia memiliki KPM. Pengemudi A memberikan KPM nya untuk dilubangi. Namun si ”oknum” memberikan penawaran kepada si pengemudi, lebih baik hilang satu kesempatan dan harus membuat lagi dengan membayar Rp. 150.000,- ( satu lubang jika dirasionalkan harganya sekitar Rp. 40,000,-an) atau membayar ”uang damai” dibawah Rp. 40.000,- atau misalnya Rp. 20.000,-. Untuk menghindari sistem pemalsuan KPM, sistem barcode dapat menjadi alternatif antisipasi pemalsuan ini. Sedangkan ancaman untuk ”oknum” nakal, dalam hal ini pihak kepolisian harus benar-benar komitmen dan konsisten menjalani tanggungjawabnya. Serta masyarakat (pengemudi) pun dituntut untuk tidak mencoba melakukan praktek penyuapan kepada petugas kepolisian.


Referensi:
[1] Pengertian menilang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah menangkap (pengemudi, pengendara) yg terbukti melanggar lalu lintas.
[2] 25 September 2005. Polisi dan Kekerasan. Majalah Forum Keadilan, No. 22. 
[3]  Erlangga Masdiana.  2006. Kejahatan Dalam Wajah Pembangunan. Jakarta: NFU Publishing.Hlm. 11
[4] Ibid. Hlm. 185 


* Tulisan ini hanya bersifat gagasan alternatif penulis, dan tentunya masih banyak kelemahan sana-sini dalam gagasan ini.

Jakarta, 23 Desember 2011