Minggu, 06 Mei 2012

Quo Vadis Pendidikan Karakter dan Masa Depan Generasi Bangsa



Quo Vadis Pendidikan Karakter dan Masa Depan Generasi Bangsa

Oleh: Syaifudin

Pendidikan karakter yang terus dikampanyekan oleh pemerintah sepertinya perlu dievaluasi. Sebab nyatanya pendidikan karakter seperti kehilangan arah. Penulis coba memberikan tiga contoh nyata dari ketidakmaksimalan pendidikan karakter di sekolah; 

Pertama, saat penulis sedang mengendarai kendaraan di jalan raya sekitar kelurahan Bungur Jakarta Pusat diwaktu jam pulang sekolah beberapa minggu lalu. Penulis bertemu dan mengamati 4 pelajar SMP yang sedang pulang sekolah sambil menggunakan sepeda motor tanpa menggunakan helm serta asyik menghisap sebatang rokok. Tiba-tiba, pelajar tersebut memberhentikan sepeda motornya dipinggir jalan. Ternyata ada kejadian yang menarik dan ironis dari kejadian ini. Dimana ada seorang kakek yang saat itu sedang ingin menyebrang jalan, dan ia juga mengingatkan pelajar tersebut untuk tidak merokok dan menggunakan helm.

Namun rupanya nasihat baik kakek itu disambut dengan tidak ramah oleh pelajar tersebut. Pelajar itu memberhentikan motornya dipinggir jalan, dan menghampiri si kakek, lalu melemparkan putung rokoknya ke wajah si kakek. Tidak hanya itu saja, kejadian yang tepat berlangsung didepan bengkel sepeda motor ini, membuat  pelajar itu mengambil sebuah kaleng bekas oli dan  ingin melemparkannya ke si kakek. Untungnya ada warga yang melerai kejadian tersebut. Sehingga pelajar tersebut tidak jadi melemparkan kaleng bekas oli itu ke si kakek.

Secara sosiologis, tindakan pelajar ini dapat dikatakan sebagai tindakan yang asosial. Mengapa? Karena apa yang dilakukan si kakek sebenarnya dalam posisi yang benar. Apalagi si kakek adalah orang yang sudah berumur  (lebih dewasa) dari pelajar tersebut. Idealnya pelajar tersebut menghormati apa yang dikatakan si kakek dan bukannya melawan bahkan ingin melemparnya dengan kaleng bekas oli.

Kedua, saat penulis sedang menuju ke kantor imigrasi kelas 1 khusus Jakarta barat didekat area kota tua tepatnya 1 bulan lalu. Saat penulis sedang berjalan-jalan diarea kota tua, penulis melihat 4 orang pelajar SMP; 3 Laki-laki dan 1 perempuan. Tampaknya mereka sedang bolos sekolah, karena sekitar pukul 11 masih waktu belajar di sekolah. Pelajar SMP yang masih mengenakan celana biru SMP dan menggunakan kaos biasa ini melakukan perbuatan yang membuat penulis miris. 4 pelajar ini tidak malu dan takut melakukan perbuatan asusila didepan publik. Konteks asusila dalam hal ini yaitu 3 pelajar laki-laki tersebut memegang bagian tubuh pelajar perempuan itu, dan pelajar perempuan itu pun bersikap biasa saja.

Kasus asusila yang dilakukan didepan publik, menyiratkan bahwa pelajar kita kini sudah terkontaminasi oleh budaya seks bebas yang budaya ini identik dengan negara Eropa (dan Asia juga sebenarnya). Maka tidak heran diberbagai media cetak maupun elektronik, kita sering dengar dan baca terjadi kasus video porno yang pelakunya adalah pelajar. Pelaku video porno ini tidak hanya pelajar di sekolah umum saja, tetapi juga sekolah yang berbasis agama. Jika masalah ini terus dibiarkan, maka dapat dipastikan kedepannya generasi bangsa ini kehilangan identitas ketimurannya, yaitu manusia yang tidak lagi menjaga norma-norma agama dan susila.

Ketiga, saat di jalan raya Cengkareng (Jakarta Barat) penulis melihat sebuah sepeda motor yang sedang dikendarai oleh seorang pelajar SMA sambil membonceng temannya. Pelajar tersebut mengendari sepeda motor secara ugal-ugalan. Dengan kecepatan yang tinggi, pelajar itu terus menyalip beberapa motor yang ada didepannya, dan tanpa memikirkan  keselamatan dirinya dan orang lain. Lalu ada pengendara lain yang berteriak untuk menegur gaya berkendara pelajar tersebut. Bukannya meminta maaf pelajar tersebut, tetapi pelajar tersebut malah memberhentikan sepeda motornya dan menantang penegur tersebut. Hal ini terjadi karena memang secara psikologi, pelajar itu sedang dalam sifat-sikap yang labil, emosional, agresif, dan fase imitasi sosial.   

Secara hukum dalam UU nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan pasal 80 dan 81, pelajar tersebut dinyatakan melanggar hukum karena belum dizinkan menggunakan kendaraan bermotor.  Akan tetapi kita tidak perlu heran, karena buktinya tren pelajar sekarang setiap sekolah membawa sepeda motor bahkan mobil, dan ironisnya itu diizinkan oleh pihak sekolah. Banyaknya pelajar sekarang yang menggunakan kendaraan bermotor, karena tidak lepas dari mudahnya para orang tua memiliki kendaraan bermotor (sepeda motor khususnya) melalui cara kredit.

Dalam konteks sosiologi penggunaan kendaraan bermotor sebenarnya sedang berlangsung konstruksi sifat-sikap kedirian individu. Hal ini karena saat individu dijalan raya, terjadi kontestasi antara dirinya dan orang lain dalam suatu momentum kepentingan diri dan publik. Apabila karakter kontrol diri lemah, maka sifat-sikap emosional dan agresif akan semakin kuat. Sedangkan jika kontrol diri kuat, maka sifat-sikap kesabaran serta menghormati semakin kuat. 

Kaitan antara kontestasi kedirian ini dengan pelajar dalam penggunaan kendaraan bermotor yakni, kondisi psikologis pelajar yang labil dan ia menggunakan kendaraan bermotor dalam kondisi kontrol diri yang lemah maka secara tidak langsung membentuk atau mengkokohkan sifat-sikap emosional dan agresifnya. Dan hal ini tentu bisa menjadi ciri karakter pelajar tersebut kelak jika dibiarkan terus-menerus.  

Hal ini tentu berbeda dengan tren sekolah di era tahun 2000-an kebawah. Dimana sedikit pelajar yang menggunakan kendaraan bermotor jika ke sekolah (hanya kelas-kelas sosial tertentu yang menggunakan kendaraan bermotor ini). Umumnya banyak pelajar yang ke sekolah, antara jalan kaki atau naik angkutan umum. Oleh karena itu kita bisa membedakan secara nyata kepribadian kehidupan antara dua generasi dari rejim pendidikan yang berbeda ini.  


Empat elemen yang terintegrasi
Ketiga contoh di atas yang penulis deskripsikan, menjadi indikator belum maksimalnya pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah.  Sebab sejatihnya pendidikan karakter yang ditujukan untuk membentuk karakter pelajar lebih bertata krama dan arif, justru hal ini jauh panggang dari api. Apalagi ditengah gempuran arus globalisasi dan iklim demokrasi di Indonesia dewasa ini, setiap individu bebas melakukan apa saja. Istilah “tindakan yang bertanggung jawab” pun sepertinya hanya sebuah kalimat tidak bermakna. Maka tidak heran jika pasca reformasi, bangsa ini terus dihadapi berbagai masalah-masalah sosial, seperti konflik, kekerasan (tawuran), korupsi dan tindakan asusila video porno pelajar.

Jika karakter amarah, kekerasan dan asusila ini terus terinternalisasi dan terobjektivasi pada setiap pelajar di Indonesia, maka sangat mengkuatirkan nasib Indonesia kedepannya, yaitu Indonesia hidup dalam kondisi masyarakat yang banal. Sebab para pelajar ini merupakan generasi dan penerus bangsa ini nantinya. Mungkin harapan Indonesia menjadi negara yang bermartabat, berkarakter dan humanis, hanya akan sebatas mimpi jika masalah karakter pelajar ini tidak segera direvarasi secara psiko-sosial.

Maka untuk itu menurut penulis, berbicara merevarasi karakter pelajar tidak hanya dibebankan saja kepihak sekolah semata. Sebab tidak adil, jika selalu sekolah yang disalahkan. Padahal ada peran elemen lain dalam berkontribusi pembentukan karakter pelajar tersebut, yaitu elemen pemerintah, orang tua, dan masyarakat (lingkungan sosial).

Walaupun begitu, bukan berarti peran sekolah menjadi lebih longgar karena terbantu elemen lain. Tetapi sekolah pun harus mampu menumbuhkembangkan karakter positif bagi para anak didiknya melalui contoh dan kegiatan yang positif, seperti memberi contoh dengan menumbuhkan suasana rukun dan harmonis dikalangan guru, dengan begitu para pelajar akan mengimitasi apa yang ia lihat dan rasakan dari gurunya; suasana belajar yang demokratis, dan berbudaya; dan kegiatan-kegiatan yang menumbuhkan karakter positif pelajar.
 
Sedangkan peran pemerintah dalam proses pembentukan karakter para pelajar tidak hanya sebatas membuat kebijakan semata dan proyek yang politis. Karena pemerintah memiliki otoritas yang besar, maka pemerintah dapat lebih luas melakukan aksi nyata dalam mendukung pembentukan karakter positif pelajar ini. Maka untuk itu pemerintah harus serius dan komitmen dalam menghadapi masalah  karakter pelajar ini, seperti memblokir akses situs porno; melakukan raziah video porno dipedagang DVD/VCD; memberikan pendidikan berlalu lintas dan pendidikan seks kepada para pelajar di sekolah-sekolah; memberikan sanksi yang bersifat mendidik (dan bukan menghukum) bagi para pelajar yang tertangkap tawuran, dan narkoba; serta mengadahkan kegiatan yang positif dalam tumbuh kembang karakter positif para pelajar ini, seperti kegiatan pramuka, lomba atau olimpiade mata pelajaran.

Sementara elemen orang tua atau keluarga merupakan agen sosialisasi primer bagi seorang anak sebelum ia dikenalkan dengan dunia luar. Pengaruh keluarga sangat besar dalam pertumbuhan seorang anak, karena disamping mempunyai kedekatan psikologis, mereka juga mempunyai tingkat kebersamaan yang lebih karena tinggal dalam satu atap atau satu rumah. Maka untuk itu orang tua harus cerdas dan peduli terhadap tumbuh kembang karakter anaknya.

Orang tua tidak hanya sebatas membayar uang SPP dan mengetahui nilai raport anaknya saja. Tetapi orang tua juga mampu menjadi guru dan sahabat bagi anaknya. Sebab anak itu sebenarnya tidak hanya semata membutuhkan materi (ekonomi) dari orang tuanya, tetapi yang paling penting yang dibutuhkan seorang anak adalah kebutuhan atas kasih sayang, dan kepedulian terhadap dirinya atau kebutuhan psikologis dan sosiologis. Maka jangan salahkan anak apabila ia mencari pelarian lain seperti narkoba, miras atau teman sebaya yang membawa dampak negatif buat dirinya, karena ia tidak mendapatkan kebutuhan psikologis dan sosiologis dari orang tuanya.

Lalu elemen masyarakat merupakan agen sosialisasi sekunder (dan bahkan bisa menjadi primer) tempat anak hidup dalam tumbuh kembang kepribadiannya. Masyarakat disini bisa berwujud  teman sebaya atau permainan, dan orang-orang dewasa yang menjadi simbol dari proses imitasi sosial dalam diri anak. Masyarakat pun harus mendukung dalam proses pembentukan karakter positif para pelajar ini dengan memberikan contoh-contoh yang baik.

Selain itu, masyarakat juga harus memiliki kepedulian terhadap para pelajar ini, seperti menegur dan mendidik para pelajar yang ketahuan merokok, tawuran, minum-minuman keras, narkoba, perbuatan asusila, dan kegiatan negatif lainnya.  Masyarakat juga selalu memberikan kesempatan buat para pelajar ini untuk melakukan kegiatan yang positif didalam kemasyarakatan, seperti menjadi panitia dalam kegiatan sosial dimasyarakat. Dengan begitu, para pelajar (anak) ini akan merasa hidupnya dalam suasana kepedulian dan dihargai oleh lingkungan sosialnya.

Oleh karena itu, membahas tentang kondisi kekinian dari karakter para pelajar tidak lepas dari pertanyaan, “bagaimana peran pemerintah, sekolah, orangtua, dan masyarakat dalam kehidupan pelajar tersebut?”  

Disinilah menurut penulis, perlu adanya integrasi pendidikan antara pemerintah, sekolah, orang tua dan masyarakat. Integrasi ini dapat terwujud manakalah setiap elemen ini memiliki kesadaran betapa pentingnya karakter pelajar bagi kehidupan masa depan bangsa dan negara ini, dan bukan hanya memikirkan masalah kepentingan diri sendiri saja atau kepentingan yang politis. Para pelajar ini adalah harapan masa depan bangsa dan negara yang tentunya berefek domino bagi kehidupan masyarakat Indonesia sendiri. Sebab produk pendidikan adalah peradaban dan bangsa. Pendidikan merupakan integritas kebangsaan dan bukan identitas kebangsaan semata. Simpul penulis.


Jakarta, 07 Mei 2012
*Tulisan refleksi penulis terhadap masalah pendidikan di Indonesia