Senin, 07 Januari 2013

Habermas: Proyek Modernitas dan Tindakan Komunikatif (Sebuah Catatan Ringkas)

Habermas: Proyek Modernitas dan Tindakan Komunikatif  (Sebuah Catatan Ringkas)

Oleh: Syaifudin


Tercapainya pemahaman verstanding dipandang sebagai sebuah suatu proses tercapainya kesepakatan antar subjek yang berbicara dan bertindak. Secara alamiah, sekelompok orang dapat sama-sama merasa berbeda dalam satu mood yang begitu cair sehingga kandungan proporsional atau objek intensional yang menjadi sasarannya sulit diidentifikasikan. Suatu kesepakatan yang dicapai secara komunikatif, atau kesepakatan yang secara timbal balik diasumsikan terjadi di dalam tindakan komunikatif. Dalam tindakan komunikatif, aktor-aktor sosial membekali dirinya dengan kapasitas interpretif yang sama sebagaimana penafsiran sosial ilmiah. Tindakan komunikatif memerlukan penafsiran yang pendekatannya rasional. Konsep rasionalitas komunikatif yang dalam perkembangannya cukup skeptis namun tetap resisten terhadap penciutan kognitif instrumental atas rasio.
Habermas berargumen bahwa kemampuan kita dalam berkomunikasi memiliki inti yang universal, struktur dasar atau aturan fundamental yang dikuasai seluruh subjek dalam belajar berbicara suatu bahasa.[1] Kompetensi komunikatif bukan hanya kemampuan memproduksi kalimat-kalimat gramatikal. Dalam berbicara kita menceritakan diri kita kepada dunia dan atau subjek tentang maksud, perasaan dan hasrat kita. Komunikasi dengan tujuan pengertian timbal balik merupakan satu dari tiga kepentingan utama syarat bagi pengetahuan. Rekonstruksi praduga-praduga begitu penting untuk komunikasi seperti mempunyai tujuan untuk memulihkan dan menyahihkan rasionalitas yang diwujudkan dalam komunikasi sehari-hari dan penting untuk reproduksi sosial, untuk membuka peluang perspektif mengatasi konteks dalam lingkungan intelektual sekarang yang skeptis terhadap segala upaya untuk mengatasi konteks seperti itu.[2]

Sekilas tentang Jurgen Habermas
Jurgen Habermas merupakan pemikir sosial terpenting dunia masa kini. Ia lahir di Dusseldorf, Jerman pada tanggal 18 Juni 1929, dan keluarganya berasal dari kelas menengah dan sedikit tradisional. Ayah Habermas adalah direktur Kamar Dagang. Pada awal usia belasan tahun, selama Perang Dunia II, Habermas banyak dipengaruhi oleh perang tersebut. Akhir perang membawa harapan baru dan kesempatan bagi banyak orang Jerman, termasuk Habermas.
Jatuhnya Nazisme membangun optimisme tentang masa depan Jerman, namun Habermas kecewa pada tiadanya kemajuan dramatis pada tahun-tahun awal setelah perang usai. Dengan berakhirnya era Nazisme, segala macam peluang intelektual mereka, dan buku-bukunya yang sebelumnya dilarang dapat dibaca oleh Habermas muda. Buku-buku tersebut antara lain literatur Barat dan literatur Jerman, maupun traktat yang ditulis Marx dan Engels. Antara tahun 1949 sampai dengan 1945 Habermas mempelajari banyak topik (filsafat, psikologi, literatur jerman) di Gottingen, Zurich, dan Bonn. Namun, tidak satupun guru di sekolah tempat Habermas belajar benar-benar istimewa, dan sebagian besar melakukan kompromi dengan fakta bahwa mereka harus mendukung Nazi secara terbuka atau sekedar harus meneruskan tanggung jawab akademisnya di bawah rezim Nazi. Habermas menerima gelar doktornya dari Universitas Bonn pada tahun 1945 dan bekerja selama dua tahun sebagai wartawan. Pada tahun 1956 Habermas tiba di Institut Penelitian Sosial di Franfurt. Kemudian ia menjadi seorang asisten peneliti bagi salah seorang anggota mahzab paling menonjol, yaitu Theodor Adorno, sekaligus sebagai staf institusi.[3]
Kendati bergabung dengan Institut Penelitian Sosial, sejak awal Habermas menunjukkan orientasi intelektual independen. Habermas menyerukan pemikiran kritis dan tindakan praktis, namun Horkheimer takut bahwa pendapat semacam itu akan membahayakan institusi yang didanai oleh negara. Hokheimer secara tegas mengusulkan agar Habermas dikeluarkan dari institusi. Horkheimer berkata tentang Habermas, “mungkin ia memiliki karier yang bagus, bahkan brilian sebagai penulis dihadapannya, namun ia hanya akan menyebabkan kehancuran pada institut.[4] Perbedaan pemikiran inilah yang membuat hubungan Habermas dengan Horkheimer tidak harmonis. Akhirnya Horkheimer mengajukan syarat-syarat mustahil bagi pekerjaan Habermas, dan Habermas pun mengundurkan diri dari institusi.
Pada tahun 1961 Habermas menjadi dosen muda dan menyelesaikan “Habilitation”-nya (disertasi) di Universitas Marburg. Setelah menerbitkan sejumlah karya penting, Habermas direkomendasikan untuk menjadi guru besar filsafat di Universitas Heidelberg bahkan sebelum ia menyelesaikan Habilitaion-nya. Ia tetap di Heidelberg sampai pada tahun 1964, ketika ia pindah ke Universitas Frankfurt sebagai profesor filsafat dan sosiologi. Dari tahun 1971 sampai dengan 1981 ia menjadi direktur Marx Planck Institut. Ia kembali ke Universitas Frankfurt sebagai guru besar filsafat, dan pada tahun 1994 menjadi guru besar emeritus di institusi tersebut. Ia pun banyak meraih banyak penghargaan akademis dan dianugerahi guru besar kehormatan di sejumlah universitas di dunia.

Habermas dan cita – cita proyek modernitasnya
Selama bertahun-tahun, Habermas menjadi neo-Marxis terkemuka di dunia. Namun dalam tahun-tahun tersebut karyanya meluas dan memasukkan banyak input teoritis yang berlainan. Habermas terus berpegang teguh pada harapan masa depan dunia modern, dalam konteks inilah Habermas menulis tentang modernitas sebagai proyek yang belum selesai. Kalau Marx memusatkan perhatian pada kerja, Habermas terutama berkutat pada komunikasi, yang dipandangnya sebagai proses yang lebih umum daripada kerja.
Kalau Marx memusatkan perhatian pada efek distortif struktur masyarakat kapitalis terhadap kerja, justru Habermas memusatkan perhatian pada bagaimana struktur masyarakat modern mendistorsi komunikasi. Kalau Marx inigin membangun dunia masa depan dengan melibatkan tenaga kerja penuh dan kreatif, Habermas mendambakan masyarakat masa depan yang ditandai oleh komunikasi bebas dan terbuka. Jadi antara Marx dan Hebermas sama – sama memiliki keyakinan atas sebuah masa depan, namun mereka berbeda orientasi subjek-objeknya. Lebih umum lagi, keduanya adalah modernis yang pernah percaya atau masih percaya bahwa pada proyek modernitas ( kerja kreatif dan memuaskan menurut Marx, komunikasi terbuka bagi Habermas) belum selesai. Namun keduanya yakin bahwa dimasa yang akan datang proyek tersebut akan selesai.
Komitmen pada modernisme, bersama dengan keyakinan di masa yang akan datang, yang membedakan Habermas dari banyak pemikir kontemporer terkemuka, seperti Jean Baudrillard dan postmodernis lain. Kalau yang terakhir sering mendorong kearah nihilisme, Habermas terus percaya pada proyek sepanjang hidup (dan modernitas). Dalam kaitan dengan itu, kalau postmodernisme (misalnya Lyotard) menolak kemungkinan terciptanya narasi besar (grand narativies), Habermas terus-menerus bekerja dan mendukung apa yang menjadi teori besar (grand theory) paling menonjol di dalam teori sosial modern. Banyak hal yang dipertaruhkan Habermas dalam perseturuannya dengan para postmodernis. Jika mereka menang, Habermas mungkin akan dipandang sebagai pemikir modernis besar terakhir. Jika Habermas dan para pendukungnya lahir sebagai pemenang, mungkin ia dipandang sebagai juru selamat proyek modernis dan teori besar ilmu sosial.
Dipandang dari segi politik yang terkandung dalam karya Habermas, terlihat adanya urgensi, suatu kesan bahwa warisan yang berupa rasio praktik yakni bentuk rasio yang berkaitan dengan persoalan-persoalan tentang norma-norma sosial dan praktik-praktik etis, serta bagaimana keduanya dibentuk dan dipertanggung jawabkan, dan dinilai sudah dianggap tidak layak lagi sebagai dasar modernitas. Dalam pandangan Habermas, rasio praktis tidak perlu disingkirkan, namun harus dipertahankan dan direkonseptualisasikan, sehingga menyanggah pandangan mereka yang menganggap rasio praktis sekedar perwujudan lain dari dominasi rasionalitas sui generis. Dan dalam persoalan inilah Habermas mengemukakan argumennya terus menerus gagasan mengenai rasio yang sepintas lalu tampak tidak sama dengan proyek rasio pengkalkulasian. Dikatakan sepintas karena bagi Habermas, persoalan mempertahankan rasionalitas sekarang ini bukan sekedar berkaitan dengan maknanya, namun juga perihal bagaimana ia harus didasarkan dan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bagaiman rasionalitas itu dikaitkan dengan peneguhan diri spesies manusia.[5]

Rasionalitas dan pengetahuan[6]
Ketika menggunakan istilah “rasional” kita mengandaikan adanya suatu hubungan erat antara rasionalitas dan pengetahuan. Pengetahuan kita memiliki struktur proporsional, apa yang diyakini dapat dipresentasikan dalam bentuk pernyataan. Dengan memakai konsep pengetahuan ini tanpa klarifikasi lebih lanjut, karena rasionalitas lebih berhubungan dengan bagaimana subjek yang berbicara dan bertindak, memperoleh dan menggunakan pengethauan ketimbang dengan kepemilikan pengetahuan.
Di dalam tuturan bahasa, pengetahuan diekspresikan secara eksplisit, sementara dalam tindakan-tindakan yang berorientasi tujuan, suatu kemampuan, suatu pengetahuan di ekspresikan secara eksplisit, kecakapan (know-how) ini secara prinsipiil dapat diubah menjadi pemahaman (know-that). Apa yang dimaksud ketika dikatakan bahwa orang bertindak secara rasional dalam situasi tertentu atau ketika ekspresi-ekspresi mereka dikatakan rasional? Pengetahuan dapat dikritik sebagai sesuatu yang tidak dapat diandalkan dan dipercayai.
Kaitan erat antara pengetahuan dan rasionalitas mengandaikan bahwa rasionalitas suatu ekspresi tergantung kepada reliabilitas (keterpercayaan) pengetahuan yang ada di dalamnya, misalnya suatu pernyataan yang dikeluarkan X dalam suatu sikap komunikatif untuk mengekspresikan keyakinannya dan suatu intervensinya yang mengarah kepada tujuan yang dijadikan Y sebagai tujuan spesifik yang ingin ia capai. Rasionalitas ekspresi mereka dapat dikaji berdasarkan hubungan internal antara kandungan semantik ekspresi-ekspresi tersebut, syarat validitasnya, dengan alasan yang mendasari kebenaran pernyataan atau bagi efektivitas tindakan tersebut, alasan ini dapat diberikan ketika diperlukan.
Refleksi-refleksi ini sebenarnya ingin mendasarkan rasionalitas ekspresi pada kemungkinannya untuk dikritik dan punya dasar. Suatu ekspresi dapat dikatakan telah memenuhi prasyarat rasionalitas jika dan selama ia mengandung pengetahuan yang bisa salah dan punya kaitan dengan dunia objektif (hubungan dengan fakta) serta terbuka bagi penilaian objektif. Suatu penilaian dapat bersifat objektif jika dilakukan berdasarkan klaim validitas dan trans-subjektif yang memiliki arti yang sama bagi pengamat dan nonpartisipan (pihak luar yang tidak terlibat) sebagaimana bagi subjek yang bertindak iru sendiri. Kebenaran dan efesiensi adalah contoh klaim yang valid ini. dengan demikian semakin rasional pernyataan dan tindakan-bertujuan, semakin bisa klaim atas kebenaran proporsional atau atas efisiensinya yang terkait dengan pertanyaan atau tindakan itu dipertahankan ketika menghadapi kritik. Kita juga menggunakan istilah “rasional” sebagai predikat bagi orang-orang yang dianggap dapat melahirkan ekspresi-ekspresi di atas, khususnya dalam situasi-situasi sulit.
Konsep rasional komunikatif mengandung pengertian yang didasarkan pada pengalaman initi yang bebas kendala, padu, dan menjembatani konsensus, dimana berbagai partisipan yang terlibat melampaui pandangan subjektif mereka dan meyakinkan diri mereka akan kesatuan dunia objektif dan intersubjektivitas dunia kehidupan mereka karena mereka telah memilki mutualitas keyakinan yang berlandaskan kerasionalan. Suatu rencana yang dapat dilaksanakan dalam kondisi-kondisi tertentu menurut tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Suatu pernyataan dapat disebut rasional jika pembicara memenuhi syarat-syarat yang diperlukan dalam mencapai tujuan ilokusionernya untuk memperoleh pemahaman tentang sesuatu di dunia ini paling tidak dengan seorang partisipan lain di dalam komunikasi. Sementara suatu tindakan bertujuan dapat dikatakan rasional jika aktornya memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk merealisasikan maksudnya melakukan intervensi di dunia. Max Black mencatat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh tindakan agar dapat dikatakan sebagai tindakan rasional “masuk akal” dan dapat ditinjau secara kritis, yaitu.[7]
1.      Tindakan-tindakan yang dilakukan agen dengan kontrol potensial atau aktualnya.
2.    Tindakan yang dapat dikatakan masuk akal atau tidak masuk akal hanyalah tindakakan yang diarahkan pada tujuan yang direncanakan.
3.      Tindakan tergantung pada agen dan rencana tujuan yang dipilihnya.
4.  Penilaian atas ke-masuk akal-an baru dapat diterima kalau sudah ada pengetahuan parsial tentang ketersediaan dan efektivitas cara yang digunakan.
5.      Tindakan selalu dapat didukung dengan alasan-alasan.
Konsep rasional kognitif-instrumental yang muncul dari pendekatan realis dapat sesuai dengan konsep rasionalitas komunikatif yang lebih komprehensif yang berkembang dalam pendekatan fenomenologis. Dengan kata lain ada beberapa keterkaitan internal antara kemampuan memilah-milah bagai persepsi dan perekayasaan berbagai hal dan peristiwa di satu sisi, dengan kapasitas untuk mencapai pemahaman intersubjektif tentang berbagai hal dan peristiwa di sisi yang lain. Dalam konteks tindakan komunikatif, hanya orang-orang yang bertanggung jawab, sebagai anggota komunitas komunikasi, yang dapat mengorientasikan tindakan mereka kepada klaim yang valid dan diakui secara intersubjektif.[8]
Konsep-konsep otonomi yang berbeda dapat dikoordinasikan dengan konsep-konsep tanggung jawab yang berbeda. Semakin tinggi derajat rasionalitas kognitif instrumental yang dihasilkan, semakin tinggi pula keindependenannya dari halangan-halangan yang dihadapkan lingkungan kontingen kepada pernyataan diri subjek yang melakukan tindakan berorientasi tujuan. Tingkat rasionalitas komunikatif yang lebih tinggi di dalam suatu komunitas komunikasi memperluas cakupan koordinasi tindakan tanpa hambatan dan resolusi konflik melalui konsensus. Kualifikasi terakhir diperlukan selama kita berorientasi kepada wicara konstantif dalam mengembangkan konsep rasionalitas komunikatif.
Menurut Hebermas yang disebut sebagai tindakan komunikatif adalah interaksi yang diperantarai secara linguistik yang didalamnya semua partisipan ingin mencapai tujuan-tujuan ilokuisioner, dan hanya tujuan ilokuisioner, dengan tindakan komunikasi sebagai perantaranya. Disisi lain yang disebut dengan tindakan strategis yang diperantarai secara linguistik adalah interaksi-interaksi yang didalamnya paling tidak salah satu partisipan ingin agar tindakannya menghasilkan efek perklokuisioner kepada partnernya.
Teori tindakan komunikatif menandai adanya pergeseran penekanan dari segi-segi pragmatik universal di mana situasi bertutur yang ideal berfungsi sebagai cakrawala normatif, menuju aktivitas diskursif atau argumentasi itu sendiri. Kriteria rasionalitas bagi tindakan sosial ditempatkan dan diperjelas di dalam tindakan berbicara itu sendiri. Dalam pandangan Hebermas, kita bukanlah bintang yang menulis, melainkan binatang yang berbicara, berinteraksi, dan secara potensial merupakan insan yang otonom dan demokratis.[9]

Tindakan bertujuan dan komunikatif
Konsep tindakan komunikatif mengandaikan bahasa sebagai media bagi tercapainya pemahaman, yang didalamnya partisipan, ketika berhubungan dengan dunia, secara timbal balik mengajukan klaim validitas yang dapat diterima atau ditentang. Dengan model tindakan ini kita mengandaikan bahwa partisipan dalam interaksi kini dapat memobilisasi potensi rasionalitas yang menurut analisisnya terdapat tiga bentuk relasi aktor dan dengan dunia yang dilakukan secara ekspresif dengan tujuan mencapai pemahaman secara kooperatif.
Jika kita menerapkan kesempurnaan bentuk ekspresi simbolis yang digunakan kepada satu sisi, maka dalam hal ini seorang aktor yang diorientasikan ke arah pemahaman paling tidak harus mengemukakan tiga klaim validitasnya dengan tuturannya, antara lain:[10]
1.  Bahwa pernyataan yang dikemukakan benar atau bahwa pengandaian-pengandaian eksistensial kandungan proporsional tersebut sebenarnya telah memadai.
2.        Bahwa tindak-wicara benar berdasarkan konteks normatif yang ada atau bahwa konteks normatif yang hendak dipenuhi sudah terlegitimasi dengan sendirinya.
3.         Bahwa maksud yang manifes dari pembicara sama dengan yang diungkapkan.
Tindakan yang berorientasi pada keberhasilan disebut sebagai tindakan instrumental jika tindakan itu dilihat berdasarkan aturan-aturan teknis tindakan yang dijajaki keampuhannya dalam mengintervensi suatu kompleks situasi dan peristiwa-peristiwa. Tindakan strategis jika tindakan itu dilihat berdasarkan aspek aturan-aturan pilihan rasional dan dijajaki keampuhannya dalam mempengaruhi keputusan-keputusan lawan rasional.
Sementara tindakan rasional dapat dikaitkan dan disubordinasikan ke bawah tipe interaksi sosial yang berbeda, misalnya sebagai elemen-elemen tugas peran sosial, sedangkan tindakan strategis sudah dengan sendirinya menjadi tindakan-tindakan sosial. Dalam tindakan komunikatif apabila tindakan para agen yang terlibat tidak diatur dengan kalkulasi egosentris keberhasilan namun dengan aktus-aktus pencapaian pemahaman. Dalam tindakan komunikatif, orientasi utama partisipan bukanlah mencapai keberhasilan pribadi, para partisipan tersebut dapat mengejar tujuan-tujuan asalkan mereka dapat mengharmoniskan rencana tindakan mereka berdasarkan definisi situasi yang sama. Dalam hal ini negosiasi definisi situasi adalah suatu elemen mendasar bagi upaya interpretif yang diperlukan bagi tindakan komunikatif.
Suatu kesepakatan yang dicapai secara komunikatif memiliki basis rasional yang dimana ia tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak, apakah secara instrumental melalui interverensi di dalam situasi secara langsung atau secara strategis dengan cara mempengaruhi keputusan pihak lawan. Kesepakatan memang bisa dicapai secara objektif melalui paksaan, namun yang muncul secara terang-terangan melalui pengaruh luar atau penggunaan kekerasan tidak dapat secara subjektif disebut sebagai kesepakatan. Kesepakatan terletak pada keyakinan bersama. Tindak wicara seorang baru berhasil jika orang lain menerima tawaran yang ada didalamnya dengan mengambil posisi “ya” atau “tidak” terhadap klaim validitasnya yang dapat dikritik. Kedua, ego. Pihak yang mengajukan klaim yang valid dengan cara berbicara, dan orang lain yang mengakui atau menolaknya, mendasarkan keputusan masing-masing pada dasar atau alasan-alasan potensial. Konsep percakapan dan pemahaman saling menafsirkan satu sama lain dengan menganalisis ciri formal pragmatis sikap yang diorientasikan pada tercapainya pemahaman dengan mengaitkan dengan model sikap partisipan dalam komunikasi, dimana salah seorang dari mereka memberikan tanggapan saat berbicara dengan lawannya. 
Menurut Habermas, komunikasi dapat dibedakan menjadi dua tipe: yang pertama ‘komunikasi strategis’, dan yang kedua ‘tindakan komunikatif’. Hanya tindakan komunikatif yang cocok dengan konsep komunikasi normal menurut Habermas. Dalam komunikasi strategis, tujuan tindakan sosial sudah ditentukan lebih dulu dan seringkali tersembunyi. Maksudnya bukan untuk mencapai kesepakatan tentang tujuan-tujuan tindakan, tetapi hanya melaksanakan secara efektif rencana pembicara bukan untuk mencapai kesepakatan tentang tujuan-tujuan tindakan, tetapi hanya melaksanakan secara efektif rencana pembicara, khususnya bila pendengar tidak setuju dengan maksud pembicara. Walaupun tindakan strategis mempergunakan bahasa dan mengikutsertakan orang lain, tujuannya tidak inheren dengan penggunaan bahasa dan orang lain diperlakukan seakan-akan mereka objek.[11]
Norma sosial, bahkan ekspresi subjektif pembicara sendiri, menjadi alat yang dipergunakan untuk memajukan tujuan-tujuan pembicara yang sudah lebih dulu ditetapkan. Rasionalitas komunikasi ini dinilai dalam hubungannya dengan efesiensinya memerintahkan orang lain untuk melakukan apa yang dikehendaki pembicara dari mereka. Komunikasi strategis dipengaruhi oleh akal budi instrumental dan menyebabkan semua masalah yang pernah diperediksikan oleh Weber dan Mazhab Frankfurt. Sebaliknya tindakan komunikatif bertujuan mencapai pengertian yang inheren dalam percakapan manusia. Kunci utama dalam tindakan komunikatif adalah penggunaan istilah pengertian understanding yaitu pengertian maupun proses untuk mencapai suatu pengertian dianggap sebagai proses mufakat di antara subjek-subjek yang berbicara dan bertindak.
Habermas menyatakan bahwa dalam tindakan komunikatif penyampaian informasi tentang kepentingan-kepentingan yang terletak diluar bahasa terganggu, dan ada pergeseran prespektif dari sikap pengobjektifan seorang aktor yang diorientasikan ke arah keberhasilan yang ingin merealisasikan suatu tujuan di dunia. Habermas mengemukakan bahwa sebagai pengunaan normal bahasa, dalam tindakan komunikatif tujuan itu sendiri tidak dapat dipisahkan dri proses-proses penggunaan bahasa untuk mencapai tujuan, tindakan komuniatif memerlukan struktur praduga yang secara kualitatif berbeda dengan interaksi-interaksi bahasa yang hanya untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Hal ini terkait dengan mekanisme-mekanisme untuk koordinasi sosial tindakan strategis dan tindakan komunikatif yang berlainan. Perbedaan itu dapat diringkas sebagai perbedaan antara pengertian timbal balik dan memengaruhi timbal balik. Pada tindakan komunikatif, individu dikoordinasikan dengan membangun konsensus yang daya koordinasinya diperoleh dari energi pengikat dan energi penyatu bahasa itu sendiri.
Sebagai perbandingan, tindakan strategis dikoordinasikan dengan menambah situasi-situasi kepentingan. Sarana nonbahasa digunakan untuk memanipulasi situasi sedemikian rupa sehingga orang merasa berkepentingan untuk bekerjasama. Tujuan-tujuan egosentris tindakan strategis dapat dicapai tanpa komunikasi. Jika menggunakan bahas itu hanya meneruskan informasi atau mengungkapkan kekuatan. Dalam tindakan komunikatif, sebaliknya, bahasa itu sendirilah yang menyatukan tindakan. Menurut Habermas, semua komunikasi harus mempradugakan suatu ‘situasi percakapan ideal’ konsesus alami, dalam mengambil sikap terkait klaim-klaim kesahihan berarti mempradugakan suatu situasi ketika klaim-klaim kesasihan ditantang dan dipertahankan dengan argumentasi rasional saja, bukan berpaling dengan status, uang, dan kekuasaan.[12] Situasi percakapan yang ideal adalah inti dari tindakan komunikatif dan berfungsi sebagai metafora untuk tahap normal komunikasi. Tindakan strategis juga mengharuskan bayangan tentang situasi percakapan ideal ini, paling tidak sebagai lawan faktual. Dalam bentuk-bentuk manipulasi terburuk pun, pembicara harus membayangkan bagaimana orang akan menyetujui tanpa manipulasi, seandainya akan memanipulasi mereka dengan lebih efektif. Dari konsepsi situasi percakapan ideal ini, dapat dirumuskan dua praduga tentang komunikasi normal dan beberapa ciri khas yang terkait.
1.   Peserta percakapan harus mampu mengambil sikap hanya dengan berdasarkan rasionalitas argumen saja.
2. Harus ada ketimbal-balikan yang didasarkan pada pengakuan tombal balik oleh semua subjek yang kompeten.
Praduga pertama penting bila tujuan komunikasi ialah pengertian. Pengertian didasarkan pada setiap kekuatan di luar komunikasi, menurut Habermas, bukanlah pengertian yang sebenarnya. Misalkan seorang dosen memberitahu mahasiswa atau mahasiswinya bahwa dia akan mendapat nilai  ‘D’ untuk salah satu matakuliahnya. Tidak ada pengertian akan makna nilai ‘D’ itu, kecuali jika mereka berdua dapat mengurung daya-daya eksternal sehingga si mahasiswa atau mahasiswi bisa mengambil sikap hanya dengan berdasarkan rasionalitas alasan-alasan dia memberikan nilai ‘D’ dan jika  mahasiswa atau mahasiswi mengesampingkan tekanan-tekanan eksternal dan mengambil sikap hanya dengan rasionalitas alasan-alasan sang dosen. Jika tujuannya adalah oengertian, maka persoalan untuk mencapai konsensus berdasarkan argumentasi rasionalnya ialah tindakan sosial memberikan nilai.
Praduga kedua mensyaratkan agar kita mengakui semua subjek komponen sebagai sumber yang sama sahnya untuk klaim-klaim kesahihan dan tantangan. Mengambil sikap terhadap klaim-klaim kesahihan dengan hanya berdasarkan pada rasionalitas argumen saja memerlukan pengakuan bahwa sudut-sudut pandang lain mungkin saja meyakinkan secara lebih rasional daripada sudut pandang kita sendiri. Agar argumen yang paling rasional bisa berkuasa, tidak boleh ada argumen relevan yang ditekan atau disingkirkan. Setiap subjek yang mampu berbicara dan bertindak, diizinkan berpartisipasi di dalam wacana. Setiap subjek diizinkan mengajukan usulan ke dalam wacana. Setiap subjek diizinkan mempertanyakan setiap usulan. Setiap subjek diizinkan mengajukan usulan ke dalam wacana. Setiap subjek diizinkan menyatakan sikap, keinginan, dan kebutuhannya.


DAFTAR REFERENSI
Beilharz, Peter. 2005. Teori-teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Habermas, Jurgen. 1984. The Theory of Communicative Action I: Reason and The Rationalization of Society,. Boston: Beacon Press.
Hardiman, Frans Budi.1993.Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta:Kanisius.
Ingram, David. 1987. Habermas and Dialectic of Reason, New Haven, Yale University Press.
Ritzer, George, dan Goodman, Douglas J.. 2011. Sociological Theory. Bantul: Kreasi Wacana.
Ritzer, George, dan Smart, Barry . 2011. Handbook Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media.
Wiggershaus, Rolf. 1995. The Frankfurt School: Its History, Theories, and Political Significance: (Studies in Contemporary German Social Thought) . The MIT Press.



[1]   Jurgen Habermas. 1984. The Theory of Communicative Action I: Reason and The Rationalization of Society. Boston:  
        Beacon Press.
[2]  George Ritzer, dan Barry Smart. 2011. Handbook Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media. Hal. 399.
[3]   Rolf Wiggershaus. 1995. The Frankfurt School: Its History, Theories, and Political Significance: (Studies in  
        Contemporary German Social Thought). The MIT Press.
[4]  Ibid.
[5]  George Ritzer, dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi. Bantul: Kreasi Wacana. Hal 626.
[6]   Lengkapnya dapat lihat Jurgen Habermas. 1984. The Theory of Communicative Action I: Reason and The       
       Rationalization of Society. Boston: Beacon Press.
[7]  Ibid
[8]   Lihat Frans Budi Hardiman.1993.Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta:Kanisius.
[9]  Peter Beilharz. 2005. Teori-teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 221
[10] Ibid., Hal. 129-130.
[11] George Ritzer, dan Barry Smart. 2011. Handbook Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media. Hal. 401.
[12] Ibid., Hal. 406.