Degradasi Saintisme Menuju Demoralisasi Atheisme
Oleh
: Syaifudin
Saya
tidak mempunyai agama, tapi saya mempunyai keyakinan bahwa Tuhan itu ada. Agama
bukan untuk dipunyai, tapi diyakini yang kemudian di Amalkan, bukan di
Agungkan,,,
Saintisme
yang di banggakan Hingga Melupakan Etika Ke-Tuhanan
Socrates,
seorang ahli pikir Yunani kuno, yang hidup di abad ke-5 sebelum Masehi.
Filosofinya menekankan pengetahuan diri sejati diatas fisika dan geometri.
Kenyataannya, dia mengatakan bahwa hal paling jelek yang dapat terjadi pada
seseorang adalah melakukan hal buruk dan “ TIDAK” memperoleh hukuman terhadap
perbuatannya itu. Secara naluriah dia tahu bahwa dosa (karma) itu harus
dibayar.
Orang-orang
sesudah Socrates, seperti Plato dan Aristoteles, lebih mempedulikan pada etika
dan perilaku individu yang semestinya baik atau benar, daripada pengetahuan
ilmiah yang mengacu pada kepentingan diri sendiri. Bagi Plato, ilmu pengetahuan
ilmiah, terutama geometri, semata-mata adalah sebuah jalan perintis untuk
mempelajari filosofi yang lebih tinggi, agar bisa meletakkan fondasi dalam
alasan yang tepat. Sedangkan Aristoteles menyebut metafisik sebagai pengetahuan
ter-tinggi, karena kita akan mengetahui apa yang diketahui Tuhan. Karena itu
bangsa Yunani menekankan pengendalian moral dan fakta bahwa etika adalah
tertinggi didalam dunia manusia dibandingkan teknologi atau percobaan ilmu
pengetahuan
Pascal,
seorang ilmuwan Perancis yang hidup di tahun 1600-an, adalah jago dibidang
matematika dan fisika lanjutan. Tetapi dia menghentikan semua ini demi
mengikuti pengabdian pribadi dengan Tuhan Kristus sebagaimana dia menyadari bahwa
keberadaan jiwa seseorang adalah lebih penting daripada tekanan udara. Dia tahu
bahwa kesimpulan kita tentang alam dibatasi oleh pengalaman kita dan bahwa ilmu
pengetahuan itu sebuah proses dari hipotesa lama yang diganti dengan yang baru,
yang dimana disebut Socrates berdialektika.
Ilmu
pengetahuan bagi Pascal semata-mata membimbing menuju skeptivisme dan keraguan
yang berkesinambungan, sehingga penerimaan terhadap wahyu Tuhan, hanyalah satu-satunya
cara mencapai pengetahuan yang pasti. Untuk semua kehebatan rasional dan
keahliannya ini, dia menganggap sangat layak berbagai hal untuk dipercaya,
contohnya Tuhan, ramalan-ramalan dan keajaiban-keajaiban.
Bagi
Pascal, manusia bisa jadi bukan apa-apa dan menjadi menyedihkan bila tanpa
keberadaan Tuhan. Kontras sekali dengan kondisi masyarakat saat ini yang
mengaku beragama, tapi tidak ber -Tuhan, banyak sekali fenomena pelecehan
kemanusiaan demi sebuah tujuan, seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan anarkisme
terhadap sesama saudara tanpa ada sebuah ruang dialog terlebih dahulu. Aksi
gerakan yang selalu mengatasnamakan kemanusiaan, tapi justru dia menenggak
kotoran ludahnya dengan bermabok ria, mengisap ganja ala tentara amerika yang
habis berperang. Pascal, tidak melihat ilmu pengetahuan sebagai penyelamatan
manusia karena dia tahu bahwa akal kita tidak mencapai tingkat itu. Al-Gozali
pernah mengatakan, Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang
dan sabar. Apakah ketenangan dan kesabaran itu menyatu dalam diri manusia saat
dia mengaku berjiwa kemanusiaan dan berke-Tuhanan.
Banyak
ilmuwan terkemuka masa lalu juga adalah seorang kultivator. Sebagai contoh,
Newton, sambil melakukan analisisnya yang cemerlang, dia percaya bahwa dia sedang
menemukan bagaimana Tuhan berpikir. Dia juga berhenti menekuni ilmu pengetahuan
dan mencoba untuk menemukan ramalan-ramalan tersembunyi di dalam Injil Kristus.
Ahli matematika besar, Rene Descartes, yang menyempurnakan geometri analitis,
adalah orang besar lain yang menemukan bahwa dia tidak dapat menetapkan bentuk
pengetahuan apa pun yang pasti tanpa bantuan Tuhan, satu-satunya keberadaan
yang dipercayai Descartes yang tidak akan pernah menipunya dan sulit dijangkau
oleh pemikiran manusia itu sendiri. Epicurus, seorang bapak filsafat atheisme,
mengatakan bahwa fanatisme agama akan membawa kepada sebuah permasalahan moral
dan kemanusiaan. Dan ramalan itu terjadi sekarang di Indonesia, antara FPI
dengan AKBB, yang kemudian meluas menjadi sebuah kepentingan semata.
Defiansi
Saintisme Melawan Demoralisasi yang Dehumanisasi
Pendahuluan
diatas, mencoba menunjukkan bahwa sejarah ilmu pengetahuan barat benar-benar
bertumpu pada kultivasi watak (penggemblengan kualitas moral) dan kesadaran
terhadap keterbatasan pengetahuan umat manusia. Akan tetapi dalam kurun waktu
sekarang ini semuanya telah sirna, dalam persaingan mereka untuk mendapatkan
dana bantuan pemerintah, mengesampingkan seluruh pencaharian jiwa dan teguran
Tuhan dari hati nurani mereka. Para ahli kosmologi dan teologi yang mempercayai
teori ‘big bang’ (yang banyak ditemukan masalah), mempunyai pandangan yang
skeptis pesimistik terhadap masa depan jangka panjang alam semesta.
Mereka
kini berpegang bahwa semua benda di alam semesta sedang berterbangan tercerai
berai lebih cepat dari yang pernah terjadi dan takdir alam semesta yang
berangsur musnah dalam dingin yang mematikan, yang tidak mampu menopang
kehidupan apa pun. Beberapa minggu lalu, tepatnya 1 Juni 2008 yang lalu, Monas
menjadi saksi bisu dari sebuah peradaban yang mengaku ber-Tuhan dan berabab,
ternyata masih terkurung pada sebuah pemahaman yang tidak beragama, yang
kehilangan makna dari bangsa yang mengaku ber-Tuhan.
Sungguh
pandangan yang mengerikan!. Para tokoh masyarakat dan Negara ini tidak memberi
kita harapan, tak ada apapun untuk kehidupan kita. Semua sia-sia dan kematian
rasional tak dapat dielakkan. Kasus lain yang serupa, para peneliti kecerdasan
buatan, seperti IQ, EQ, dan SQ yang mempercayai bahwa manusia adalah
semata-mata adalah tahapan evolusi antara irasional menuju rasional dan
kehidupan robot-bionik yang telah ditingkatkan secara mekanis dan komputerisasi
melalui kehidupan yang instan. Begitukah pencarian masa depan manusia yang
seharusnya?. Yang hanya mementingkan pada penyalahgunaan fisik dan mental
semata daripada nilai etika dan kesadaran.
Ketika
orang sudah tidak berkontemplasi sama sekali karena bagian terbesar dari
tubuhnya adalah mesin nafsu, apakah mental mereka akan semata-mata berisi video
games, petarungan, olah raga kekerasan, kehidupan seks yang bobrok dan aksi
yang anarkis? Akankah pelajaran masa silam yang diajarkan simbol kebudayaan
seperti Konfucius dan Socrates menjadi tidak relevan dalam diri seorang manusia
baru yang gagah atau pun hasil rekayasa dunia genetika?. Tidak pernah ada obat
mujarab yang diciptakan oleh seorang ilmuwan untuk mengobati
ketimpangan-ketimpangan masyarakat, orang perlu mengetahui bahwa kebaikan hati
dan kepedulian terhadap orang lain adalah hal yang perlu ditingkatkan, jadi sama
sekali bukan teknologi tanpa moralitas. Selama Saintisme tidak bermuara pada
sebuah etika ke-Tuhanan, niscaya demoralisasi pemaknaan humane akan
terus tidak beradab dan berke-Tuhanan.