Senin, 07 Juli 2008

GERILYA KAPITALIS DALAM LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR

GERILYA KAPITALIS DALAM LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR
Oleh : Syaifudin

Pendidikan merupakan salah satu pintu gerbang penting dalam pembangunan manusia Indonesia.Pendidikan juga merupakan pelopor pembaharuan untuk perbaikan generasi muda Indonesia. Munculnya tuntutan standar nilai kelulusan lewat UN yang dibuat oleh Depdiknas beberapa tahun belakangan ini.Dan rencananya pun mata pelajaran pada UN tahun 2008 akan ditambah dari tiga mata pelajaran, menjadi enam mata pelajaran. Penambahan jumlah mata pelajaran pada UN pun di ikuti dengan kenaikan standar nilai kelulusan pula, tentunya ini dirasa berat bagi para siswa.

Hal inilah yang mendorong Lembaga Bimbingan Belajar atau Bimbel banyak diminati. Adanya celah dalam sistem penyelenggaraan pendidikan nasional tersebut menjadi alas an munculnya Lembaga Bimbingan Belajar. Dimana perkembangan dunia pendidikan menjadi “ project “ tersendiri bagi para pemilik modal untuk untuk mendirikan Lembaga Bimbingan Belajar,karena investasi dan bisnis di bidang pendidikan memberikan prospek yang cukup menjanjikan.

Dengan sistem pendidikan sekarang ini yang menuntut dan mengarahkan siswa untuk belajar lebih banyak dan intensif dengan begitu banyak tugas yang diberikan oleh guru disekolah,membuat siswa memerlukan belajar tambahan.Salah satunya dengan mengikuti Bimbingan Belajar. Selain UN yang diterapkan oleh Depdiknas, SPMB pun menjadi salah satu faktor pendorong mengapa siswa meminati untuk mengikuti pelatihan dan pembelajaran dalam menjawab soal-soal SPMB di Bimbingan Belajar,sesuai dengan metode pada masing-masing Bimbingan Belajar. Sebab apabila siswa tersebut berhasil diterima di Perguruan Tinggi Negeri favoritnya, khususnya melalui jalur SPMB, dianggap suatu kebanggaan tersendiri baginya.

Pendidikan memang modal setiap orang untuk meningkatkan status sosialnya, khususnya melalui Lembaga Formal yaitu sekolah. Munculnya Bimbel karena masih ada sekolah yang tidak melakukan proses pembelajaran yang tepat untuk diterapkan kepada siswanya. Harus di akui metode Bimbingan Belajar memang lebih disukai oleh para siswa. Penyampain materi, gaya, bahasa, serta komunikasi pengajar dengan siswa di anggap efektif. Tetapi dari maraknya kemunculan bimbel memberi sinyal terjadinya ‘ deviasi ‘ pada persaingan bisnis dalam memasarkan lembaga bimbingan belajar,dari trik-trik mudah dan cepat dalam menjawab soal-soal,sampai tak tanggung-tanggung memberi jaminan uang kembali apabila siswa tidak lulus UN atau SPMB. Hal ini berdampak buruk terhadap perkembangan psikologis siswa,dimana akan terbentuk pola pikir ‘ bahwa dengan mengikuti Bimbingan Belajar akan memberi jaminan si siswa pasti lulus ‘,padahal belum tentu, karena kelulusan itu tergantung dari bagaimana siswa itu mempersiapkan dirinya dalam menghadapi ujian akademik, baik UN maupun SPMB, yaitu dengan cara belajar yang intensif,serta banyak membaca buku pelajaran.

Selain itu Bimbingan Belajar pun tidak memacu para siswanya untuk mengeksplorasi setiap buku bacaan yang berbau dengan ilmu pengetahuan, karena Bimbingan Belajar hanya memberi materi-materi dalam bentuk modul yang dibagikan kepada para siswanya,kemudian membahas jawabannya dari soal-soal yang ada dalam modul tersebut,tanpa memacu kreativitas siswanya dalam mencari jawaban di dalam buku pelajaran dengan cara membaca. Jawaban yang di berikan di Bimbingan Belajar bersifat instan. Tanpa adanya kreativitas di dalam proses belajar-mengajar. Bimbingan Belajar pun hanya mampu di ikuti oleh para siswa yang orang tuanya sanggup untuk membayar,sedangkan bagi siswa yang orang tuanya tidak sanggup membayar, sesuai dengan biaya yang di tentukan pada masing-masing Bimbingan Belajar. Dari sinilah terindikasi terjadinya komersialisasi pendidikan dalam wajah Lembaga Bimbingan Belajar. Hal inilah yang membuat saya tertarik untu mengulas lebih jauh mengenai ‘deviasi’ atau penyimpangan yang terjadi dalam implementasi penyelenggaraan pada Lembaga Bimbingan Belajar.Dimana Bimbingan Belajar sebagai lembaga pelengkap dari penyelenggaraan pendidikan dari yang utama yaitu sekolah.


Perspektif Karl Marx
Ketika ruang untuk mencari pekerjaan makin sulit di dapat dan iklim ekonomi yang tak menentu,khususnya usaha bisnis. Untuk itu masyarakat dituntut lebih jeli melihat peluang usaha. Fenomena kemunculan berbagai Lembaga Bimbingan Belajar pun berawal dari kejelian melihat celah dan peluang usaha yang pasarnya sudah jelas,serta prospek usaha yang menjanjikan keuntungan yang menggiurkan.

Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan oleh Bank Dunia, bahwa keuntungan ekonomi ( rate of return ) investasi pendidikan ternyata lebih tinggi daripada investasi fisik dengan perbandingan rata-rata 15,3 % dan 9,1 %. Ini berarti bahwa investasi dalam pendidikan merupakan upaya yang menguntungkan, baik secara sosial maupun ekonomi.Tak mudah memberi sinyalemen bahwa Lembaga Bimbingan Belajar sekadar meraup keuntungan semata,sebab mendirikan Lembaga Bimbingan Belajar butuh biaya yang tidak sedikit. Terutama biaya membeli lisensi ‘ franchise ‘, karena itulah guna mencapai break event point, mayoritas Lembaga Bimbingan Belajar menerapkan banyak ‘ inovasi ‘ untuk menarik minat para siswa. Mulai dari jaminan lulus UN atau SPMB,sampai menerapkan suasana belajar yang berbeda dengan situasi belajar di sekolah. Selain demi mencapai break even point, Lembaga Bimbingan Belajar pun cenderung membidik masyakat kelas ekonomi menengah atas dan beberapa kategori sekolah kelas A,seperti Labschool,BPK Penabur dan Al-azhar.

Memang pendidikan merupakan salah satu transfortasi setiap manusia dalam meningkatkan status sosialnya yang merupakan saluran kongkrit gerak sosial yang vertikal.Masyarakat masih menganggap pendidikan bisa meningkatkan status ekonomi dan sosialnya. Dimana status sosial itu merupakan perjuangan kelas.Dalam bukunyanya “ The communist manifesto” marx mengatakan, sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas.

Untuk itu sektor pendidikan tidak pernah sepi dari peminat. Pendidikan memang lahan ekonomi yang tidak perna tandus. Bagi yang jeli melihat peluang,sector pendidikan memang menjanjikan. Disinilah muncul kaum kapitalis yang memonopoli sektor pendidikan dengan mendirikan Lembaga Pendidikan,seperti kursus-kursus dan Bimbingan Belajar. Cukup dengan membeli lisensi Lembaga Bimbingan Belajar dengan system waralaba ( franchise ). Harga masing-masing lisensi pada Bimbingan Belajar bervariasi, sebagai contoh Lembaga Bimbingan Belajar Primagama mematok harga waralaba sebesar Rp. 120.000.000,00, sedangkan Lembaga Bimbingan Belajar Teknos Genius memasang harga Rp. 50.000.000,00. Dengan harga waralaba yang mencapai diatas seratus juta, akhirnya Lembaga Bimbingan Belajar pun mematok biaya yang dimana dibebankan kepada para siswanya, seperti pada teori nilailebih tentang hokum persentase laba.

Menurut Marx berkurangnya persentase laba hanya dapat diimbangi dengan satu cara,yaitu dengan meningkatkan nilai-lebih. Jadi dengan meningkatkan eksploitasi Dimana eksploitasi disini dikenakan kepada para siswa, yaitu dengan menarik biaya kepada para siswa. Disinilah terjadi penyimpangan ide-ide kaum kapitalis dalam bentuk komersialisasi pendidikan dalam rupa Lembaga Bimbingan Belajar. Seperti yang  Marx katakan “ ide-ide dari kelas yang berkuasa merupakan ide-ide yang berkuasa disetiap masa.

Maraknya keberadaan Lembaga Bimbingan Belajar pun melahirkan kontradiksi dasar dalam struktur kaum kapitalis. Dimana menurut Marx terjadinya persaingan satu sama lain untuk memperoleh keuntungan. Persaingan dapat di artikan sebagai suatu proses sosial, dimana individu atau kelompok-kelompok manusia bersaing untuk mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian public atau dengan mepertajam prasangka yang telah ada,tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Seharusnya Lembaga Bimbingan Belajar tidak terjebak menjadi ajang komersialisasi pendidikan dan menyimpang dari tujuannya yang membantu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Jika dulu Lembaga Bimbingan Belajar lebih memprioritaskan SPMB sebagai pemikat untu menarik minat para siswa.

Kini Lembaga Bimbingan Belajar justru menggunakan UN untuk melariskan usahanya. Mereka dengan gencar mempromosikan Lembaga Bimbingan Belajarnya dengan janji membantu siswa untuk lulus UN. Meski itu bagian dari strategi penjualan, efek psikologisnya bagi siswa sangat terasa. Visi Lembaga Bimbingan Belajar yang pada awalnya bertujuan meningkatkan mutu pendidikan mulai tergerus menjadi bisnis semata. Hal itu di dorong dengan kebijakan pemerintah yang tetap memaksakan UN, serta kurikulum yang selalu berubah-ubah. Selain menggunakan UN sebagai strategi menarik siswa,tak jarang Bimbingan Belajar berani memberikan garansi uang kembali jika siswa tidak bisa mencapai target yang di inginkannya, seperti lulus UN dan lulus SPMB.

Meski di akui Bimbingan Belajar membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan belajar, tetapi beberapa kalangan justru menilai cara cepat penyelesaian soal yang di berikan Bimbingan Belajar tidak memberi jaminan siswa menjadi cerdas,karena itu hanya membantu siswa untuk mempunyai kemampuan kognitif saja,tapi sama sekali tidak menyentuh dalam hal afektif dan psikomotorik. Hal ini menimbulkan kontradiksi,dimana didalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diterapkan saat ini, bahwa dunia pendidikan dituntut lebih menekankan afektif dan psikomotorik untuk siswanya,tidak hanya aspek kognitif saja.

Dalam Bimbingan Belajar pun cenderung tidak memacu siswa untuk berkreativitas dalam hal membaca buku pelajaran. Para siswa hanya diberikan materi soal dalam bentuk modul,yang kemudian diberi jawaban dengan cara instant, disini terjadi pengkerdilan kreativitas para siswanya. Yang perlu ditekankan peran Lembaga Bimbingan Belajar hanya sebatas pelengkap pengajaran di sekolah, Dimana Bimbingan Belajar itu untuk memberikan pelatihan saja,bukan untuk pengajaran,seperti di sekolah. Pengajaran bertujuan membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan dan dengan demikian mengembangkan intelegensinya .

Bentuk-bentuk kekeliruan teknis mendidik berupa kegiatan pendidikan yang salah teknis pelaksanaannya,yaitu kesalahan dalam cara memilih dan menggunakan alat pendidikan, seperti kegiatan mendidik dan penciptaan situasi atau lingkungan pendidikan yang berakibat pendidikan tidak menjadi efektif, efisien dan relevan dalam membantu pengembangan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa menuju kedewasaan. Kehadiran Bimbingan Belajar pun menjadi refleksi akan eksistensi sekolah. Dimana yang seharusnya sekolah-sekolah didirikan untuk memberikan pendidikan secara sistematis kepada generasi yang sedang tumbuh sekarang dan juga dimasa yang akan datang, merupakan faktor yang menentukan dalam melatih seseorang ikut menyumbang pembangunan masyarakat dan ikut serta aktif dalam kehidupan,serta melatih orang-orang yang betul-betul siap untuk bekerja.

Kehadiran Bimbingan Belajar ditengah tuntutan masyarakat akan pendidikan yang berkualitas menempatkan sekolah untuk mampu kreatif dalam melakukan proses pembelajaran. Hal ini menuntut guru di sekolah agar mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman dan efektif, sebagai mana yang tercantum dalam salah satu kode etik guru Indonesia,yaitu “guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memeliharah hubungan dengan orang tua murid dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik antara lain, yaitu guru menciptakan suasana kehidupan sekolah,sehingga anak didik betah berada dan belajar di sekolah. Ada 4 kategori yang dapat dijadikan indikator dalam menentukan tingkat keberhasilan pendidikan,yaitu :
1. Dapat tidaknya seseorang lulusan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi.
2. Dapat tidaknya memperoleh pekerjaan.
3. Besarnya penghasilan ( gaji ) yang diterimanya.
4. Sikap perilaku dalam konteks social,budaya dan politik

Maraknya keberadaan Bimbingan Belajar pun dijadikan ajang komoditi oleh para kapitalis untuk mencari ke untungan yang sebesar-besarnya. Menurut Karl Marx, hukum-hukum yang menguasai masyarakat bukanlah hokum alam, melainkan hukum-hukum manusiawi. Ini berarti keterkaitan satu sama lain yang orang jumpai dalam masyarakat,akhirnya merupakan hasil dari tindakan produktif manusia. Apa yang terjadi di dalam masyarakat kapitalis,perjuangan kelas dan kontradiksi-kontradiksi yang terjelma di dalam kehidupan ekonomi adalah akibat tindakan-tindakan manusia.

Dari implikasi biaya yang dikenakan pada setiap siswa yang akan mengikuti Bimbingan Belajar berdampak pada terjadinya kesenjangan sosial,dimana hanya siswa yang mampu secara finansial yang bisa mengikuti Bimbingan Belajar,sedangkan bagi mereka yang tidak sanggup membayar,itu hanya menjadi utopis untuk bisa merasakan metode belajar baru yang ada di Bimbingan Belajar. Dengan menggunakan teori konflik dari karl marx,terlihat jelas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam penyelenggaraan Bimbingan Belajar. Ditengah persoalan pendidikan di Negara ini,sudah seharusnya Lembaga Bimbingan Belajar mampu bersinergis dengan sekolah. Bukan menjadi pesaing,hingga menghilangkan peran dan fungsi sekolah.

Selain itu pihak pemerintah pun harus melihat dampak buruk yang akan terjadi dari setiap kebijakan yang di terapkan. Bagaimanapun juga Negara harus memperhatikan secara khusus mengenai masalah pendidikan,sebagaimana yang di katakana Harbison dan Myers, “ bila suatu Negara tidak dapat mengembangkan sumber daya manusianya,maka Negara itu tidak akan dapat mengembangkan apa pun,baik sistem politik yang modern,rasa kesatuan bangsa maupun kemakmuran . Salah satunya dalam mengembangkan sumber daya manusia dengan melalui pendidikan,karena out put pendidikan adalah peradaban dan bangsa.


Daftar Referensi
Doyle.Paul Johson.yang diterjemahkan oleh Robert M.Z Lawang.Jakarta:PT.Gramedia.1988.
Fattah.Nanang.Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan.Jakarta :PT.Gramedia.1991.
__________Kurikulum Yang Mencerdaskan:Visi 2030 dan Pendidikan alternatif.Jakarta : PT.Kompas Media Nusantara.2007.
Miller.Jhon P.Humanizing The Class Room: Models of Teaching In Affective Education.Telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Abdul Munir Mulkhan dengan judul: Cerdas di Kelas: Sekolah Kepribadian.Yogyakarta: Kreasi Wacana.2002.
Mudyahardjo,Redja.Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT.Raja Grafindo.2001.
Nawawi.Hadari.Perundangan-Undangan Pendidikan.Jakarta : PT.Gunung Agung.1981.
Soekanto.Soerjono.Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.2005.
Sunarto.Kamanto.Pengantar Sosiologi.Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.2004.
Suseno.Franz Magnis.Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme utopis ke perselisihan Revisionis.Jakarta: Gramedia.2005
Majalah Transformasi UNJ, 2007.

Jakarta, 2007

Sterilitas Budaya Ilmiah Di Kalangan Mahasiswa

Sterilitas Budaya Ilmiah Di Kalangan Mahasiswa
Oleh : Syaifudin


Romantisme pasca reformasi banyak menciptakan budaya-budaya baru di kalangan mahasiswa dalam tatanan pergulatan ke-intelektualan ilmiah. Semua berpacu dalam persaingan yang kompetitif. Seperti terhipnotis dengan kultur normalisasi kegiatan kampus yang dulu di aktifkan pada masa rezim orde baru. Kini romantisme itu terimpresi dalam stereotif sterilitas budaya kekritisan mahasiswa. Sterilitas itu terjadi dalam tatanan di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta.

Mahasiswa yang diagung-agungkan menjadi generasi penerus bangsa ini jauh dari kesan yang diharapkan. Kultur Ilmiah bukan lagi menjadi ciri khas di Fakultas ini. Jarang kita menjumpai komunitas mahasiswa yang hobi berdiskusi, serta mencoba hal-hal baru yang positif.. Tampak mahasiswa kehilangan jiwa penalaran ilmiah, kritisisme dan kepekaan akan isu yang faktual untuk didiskusikan secara bersama dan dicari pemecahan masalah secara inkuiri. Seakan semua terbuai dengan fatamorgana kuliah, dalam arti sempit. Padahal kuliah tidak hanya sebatas di ruang kuliah saja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gie, “Tugas intelektual bagi saya adalah justru mencari kontak dan mendorong elemen-elemen dalam segala lapisan masyarakat untuk bergerak dan berontak terhadap situasinya. Dalam persfektif Gie semua itu paradoksal dengan mahasiswa yang ada di Fakultas Ilmu Sosial.

Ada pergeseran gaya hidup dalam kehidupan kampus yang dimana mahasiswa sebagai aktor dari sistem kuliah yang ada. Jiwa hedonisme, individualistis, pragmatis, dan instanisasi terinternalisasi dalam pola pemikiran mahasiswa. Tidak ada lagi usaha-usaha intelektual untuk mencari cita-cita bersama yang penuh dengan kontemplasi. Hingga bisa menuju masyarakat yang homeostatis. Kalaupun ada, jumlahnya tidak signifikan. Salah satu komunitas penalaran ilmiah yang terlihat eksistensinya adalah Diskusi Kamis Sore (DKS). Yang di mobilisir mahasiswa Sosiologi.

Akan tetapi eksistensinya masih kurang di apreasiasi oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, khususnya mahasiswa Sosiologi sendiri. Esensial kuliah bukan lagi menjadi kebutuhan mahasiswa, tetapi hanya keinginan sesaat untuk menjalani hidup dengan harapan masuk ketatanan tingkatan status yang lebih baik lagi. Tidak ada apresiasi semangat yang terinternalisasi untuk mengubah ketimpangan struktur sosial kehidupan intelektual. Ketika daya kritis tak lagi membuana dalam kehidupan kuliah, maka proses kemiskinan intelektual menjadi sebuah niscayaan yang tersistem. Mahasiswa terbelenggu dalam rutinitas kuliah, sehingga teralienasi dalam pola pikirnya. Inilah yang menjadi regresisasi prestasi penalaran Ilmiah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial. James A. Froude pernah mengatakan ; Kita tidak bisa sekadar mendambakan diri menjadi seseorang, tapi kita harus menempa dan mendorong diri kita untuk bisa menjadi seseorang tersebut.

Persepsi pragmatisme mahasiswa yang hanya mementingkan kepentingan sesaat pada akhirnya memsterilitas gerakan sosial kampus. Hal itu diperparah dengan konsumerisme kapital yang terus berekspansi, mengebiri potensi-potensi unggul mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, sehingga menambah regresisasi kultur kreatif-ilmiah-akademik di kampus..

Selain itu, motivasi mahasiswa turut memengaruhi gejala kelesuan kultur kritis mahasiswa. Dulu yang kuliah adalah mahasiswa yang mempunyai arah tujuan yang visioner. Akan tetapi esensial kuliah sekarang hanya sebatas tren dari gaya hidup yang terwesternisasi. Hal ini yang menyebabkan mahasiswa kurang memahami makna dari kuliah itu. Jika mereka memahami arti kuliah secara reflektif, pasti mereka akan bersungguh-sungguh menempa dirinya selama dalam tatanan kehidupan kampus.

Bagi mahasiswa yang kurang memahami makna kuliah, pada akhirnya belajar hanya sebatas memenuhi orientasi jangka pendek. Setelah kuliah, wisuda, kemudian kerja. Sementara itu, problem-problem sosial bukan menjadi tugas utama yang harus diselesaikan. Dalam hal ini Talcott Parsons, seorang Sosiolog modern mengklasifikasikan bentuk tindakan ini self-orientation. Yang dimana suatu hubungan ( tindakan ) seseorang berorientasi pada kepentingan diri-sendiri.

Individualistis mahasiswa ini muncul akibat tuntutan pasar yang kapitalis. Mahasiswa lebih tertarik untuk menekuni dunia kerja ketimbang harus menjadi pionir dalam gerakan sosial. Untuk itu mahasiswa kurang meminati kultur ilmiah yang abstrak dan kurang menjanjikan secara ekonomis.


Kultur Penalaran Ilmiah sebagai identitas Fakultas Ilmu Sosial
Fakultas Ilmu Sosial sepertinya kehilangan generasi kritis yang bermental ilmiah. Yang ada adalah kaum terdidik yang tunduk pada rekayasa sosial, bukan yang memperbaikinya. Oleh karena itu untuk menumbuhkan kembali kultur intelektual ilmiah, dalam hal ini dunia penalaran. Para stake holder Fakultas Ilmu Sosial harus membuat suatu kebijakan yang kontruksional di dalam dunia penalaran ilmiah mahasiswa.

Setiap kebijakan pendidikan seharusnya lebih mendukung berkembangnya situasi akademik yang ilmiah, tidak hanya pembangunan fisik semata, tapi juga membangun iklim yang dapat mendorong terciptanya kultur ilmiah yang menciptakan para pemikir yang kritis dan solutif. Salah satu contohnya mengadakan perlombaan karya tulis ilmiah atau esai. Yang nantinya akan melahirkan para esais-esais yang nantinya dapat mengangkat citra Fakultas pada ajang perlombaan, baik intern maupun ekstern Fakultas dan Universitas. Jika di analogikan mahasiswa sebagai atlet, maka sebagai mana yang dikatakan Menpora RI Adyaksa Daut, bahwa atlet tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi ada proses dalam penciptaannya. Untuk itu budaya ilmiah dalam dunia penalaran harus disemai sejak dini dan di apresiasi dengan dukungan dari semua sivitas akademika Fakultas Ilmu Sosial.

Selain itu pembentukan komunitas ilmiah dalam dunia penalaran menjadi agenda penting dalam menumbuhkan minat penalaran ilmiah mahasiswa. Sehingga kultur penalaran ilmiah nantinya bisa menjadi identitas dari Fakultas Ilmu Sosial itu sendiri. Serta orientasi tujuan kuliah juga perlu ditanamkan secara arti luas. Maksudnya agar kegiatan kuliah tidak dimaknai sebagai kegiatan mengisi waktu belaka, tapi bisa dimaknai sebagai bagian yang terintegrasi dari upaya membangun nasionalisme bangsa, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Tanpa adanya komunitas penalaran ilmiah dan dukungan yang baik dalam bidang penalaran ini, sterilitas akan terus melanda civitas akademik Fakultas Ilmu Sosial. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, bahwa tujuan pendidikan nasional antara lain, menciptakan manusia yang berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Kita semua tahu bahwa kampus adalah tempat dilahirkannya manusia-manusia yang visioner. Hal itu senada dengan motto dari Universitas Negeri Jakarta sendiri, yaitu “ Building Future Leaders “. Yang artinya mempersiapkan pemimpin masa depan. Di tangan mahasiswalah harapan masa depan dipertaruhkan menjadi sebuah estafet dari developmentalisme negara menuju masyarakat yang madani sejahtera baik secara fisik maupun humanistis. Dengan bekal kultur penalaran ilmiah yang terinternalisasi oleh semua civitas akademik Fakultas Ilmu Sosial, maka Fakultas Ilmu Sosial diharapkan bisa melebarkan sayapnya dalam persaingan-persaingan yang akademis kedepannya nanti menuju Fakultas terbaik.



Referensi :
1. Santoso, Agus. 2005. Memoar Biru Gie. Yogyakarta : Gradien Books.
2. Drost. J. 2003. Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
3. Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas E konomi Universitas Indonesia.



Sabtu, 07 Juni 2008

KEMISKINAN IBU DARI MASALAH SOSIAL

KEMISKINAN IBU DARI MASALAH SOSIAL

 Oleh: Syaifudin


Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami, padamu kami mengabdi….


Setelah 63 tahun Indonesia merdeka, hasil dari perjuangan rakyat Indonesia. Kini yang ada kemerdekaan itu jauh dari tujuan yang dicita-citakan, sebagaimana termaktub dalam Pembukaaan Undang-Undang Dasar 1945. Produk dari pembiasan tujuan itu salah satunya melahirkan kemiskinan – dalam hal ini kemiskinan dalam aspek kebutuhan hidup, seperti sandang, pangan, dan papan – yang terlebih bahaya adalah kemiskinan moral.
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang ada di setiap negara, khususnya Indonesia. Kemiskinan timbul karena rakyat yang berada dalam tatanan struktur sosial kebawah tidak dapat mengakses kesempatan untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya. Kesempatan itu menjadi pertimbangan bagi mereka, jika melihat strata di mana mereka berada. Dari status pendidikan sampai kondisi fisik menjadi perihal pertimbangan dalam lingkaran kesempatan untuk mencoba memperbaiki hidupnya yang lebih baik lagi. Kemiskinan yang terjadi menandakan adanya ketimpangan kesempatan serta ketidakadilan didalam sistem dan struktur masyarakat global, serta ketidakpekaan pemerintah atas nasib rakyatnya.
Sejarah peradaban manusia adalah sejarah penindasan yang penuh intrik dengan kekuasaan penguasa. Mereka ( penguasa ) akan terus menjelma seperti dewa yang mempunyai muka dua. Satu sisi mereka memperjuangkan kesejahteraan rakyat, di sisi lain mencoba untuk membohongi rakyat dengan manuver – manuvernya yang picisan, berlagak seperti pahlawan yang mencoba menjadi Tuhan, untuk menyelamatkan umatnya – rakyat yang sedang kebingungan harus berteriak kepada siapa lagi untuk meluapkan tekanan yang dialaminya agar dapat keluar dari jeratan kemiskinan. Disaat itulah para politisi oportunis berorasi atas nama kesejahteraan. Sungguh malang nasib rakyat, ibarat pepatah sudah jatuh, ketiban tangga pula, tragis.

Kemiskinan akar dari masalah sosial
Kemiskinan pun beranak pinang menjadi masalah-masalah yang menambah kompleks kehidupan sosial bangsa ini. Dia adalah hulu dari kompleksitas permasalahan yang ada di Indonesia. Pengangguran, premanisme, tindakan kriminal, dan putus sekolah, itu merupakan anak hasil dari perkawinan kemiskinan dengan ketidakadilan yang diterapkan penguasa kepada rakyatnya.
Jika dilihat dari aspek pendidikan, maka berapa puluh ribu anak di Indonesia yang harus putus sekolah, dan terpaksa menjadi pekerja anak. Mereka terenggut haknya untuk mendapatkan pendidikan, padahal sudah diamanatkan dalam UUD 1945, pasal 28C ayat 1 “ setiap orang berhak mendapatkan pendidikan demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahterahaan umat manusia “.
Jika dilihat dari segi asfek realita, anak putus sekolah yang kemudian masuk ke pasar kerja, itu merupakan rasionalisasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya yang dilanda kemiskinan. Hal itu diperkuat dari hasil Sensus Ekonomi Nasional 2003 yang menyatakan ada 67% anak putus sekolah dikarenakan tidak mempunyai biaya untuk sekolah. Bukankah bangsa yang berkualitas, bangsa yang berpendidikan, sebagaimana yang dikatakan John P. Miller, produk pendidikan adalah bangsa dan peradaban.
Sekilas bila kita melihat dunia pendidikan di Indonesia pun belum semuanya dapat dinikmati oleh segenap masyarakat, terlebih masyarakat yang berada pada lapisan bawah. Jargon – jargon yang terus dilantangkan oleh UNICEF “ Education For All “ hanya menjadi nyanyian penghibur dari sebuah harapan yang kosong di negeri ini. Program visi Indonesia maju 2030,yang dicanangkan oleh pemerintah akan menjadi utopis, bila pendidikan tidak dijadikan prioritas yang merakyat. Selain itu program pengentasan kemiskinan pada tahun 2015, juga menuntut implementasi education for all dapat terlaksana dengan baik,dan terakses oleh semua lapisan masyarakat. Semoga saja para “ stake holder “ negeri ini melihat pendidikan itu sebagai transportasi menuju masyarakat yang berkualitas dan beradab.
Di sisi lain faktor kemiskinan menciptakan manusia-manusia baru yang tidak lagi terkontrol oleh nilai dan norma humanis. Dari kemiskinan kesejahteraan, sampai miskin moral. Tindakan kriminal merupakan momok nyata yang ada dalam dinamika aktivitas manusia. Hal itu terjadi karena ada kausalitas yang melahirkan fenomena itu. Karena tidak mempunyai uang untuk membeli sekaleng susu untuk anaknya, seorang ibu nekat mencuri susu, serta ada seorang bapak yang nekat menjambret emas di sebuah pasar tradisional, padahal saat itu banyak sekali orang yang melintas, tetapi dia tetap melakukannya karena terdesak untuk membayar biaya sekolah anaknya. Kasus tadi hanyalah gambaran sekilas dari realita yang terjadi akibat dari efek kemiskinan kronis.
Apakah akar dari kemiskinan ini akan terus menjalar dalam rupa yang lebih menakutkan lagi. Di mana tidak ada lagi batas kemanusiaan dan agama yang menjadi pembatas moral seorang manusia, bahkan batas hewan sekalipun dilewatinya. Seperti kanibalisme yang terjadi di Rusia pada tahun 1930-an masa rezim Stalin, akibat kelaparan manusia yang begitu hebatnya, hingga menghilangkan rasionalitas manusia. Hal itu mungkin dapat terjadi di Indonesia, salah satunya tragedi kelaparan massal yang terjadi di Yahukimo, Papua, untungnya masih dalam batas rasionalitas. Namun hal itu bisa terjadi bila pemerintah tak segera melakukan tindakan tanggap dalam menangani kasus kelaparan akibat kemiskinan itu. Proses irasional tersebut, penulis istilahkan peradaban tanpa peradaban. Dengan sebab kemiskinan kesejahteraan ini bermetamorfosis menjadi kemiskinan moral atau “ demoralisasi “. Hingga hilang bentuk dari sebuah peradaban yang rasional menuju irasional.

Pemerintah = Pengabdi Rakyat
Belum lama ini pemerintah menaikkan harga BBM dengan alibi anggaran negara mengalami defisit. Penolakan pun terus disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tetapi tetap saja yang mempunyai otoritas keputusan ada ditangan pemerintah. Hingga akhirnya harga BBM pun dinaikan. Dengan kenaikan harga BBM ini, tentunya membuat rakyat semakin tercekik, apalagi kenaikan BBM ini akan terus bertambah. Sungguh malang nasib menjadi rakyat.
Dengan kenaikan BBM ini, rakyat pun diminta untuk beralih menggunakan enegi bahan bakar GAS, tetapi sungguh sial jadi rakyat, harga GAS pun dipastikan akan naik. Cara- cara kebijaksanaan negara dan pemerintah yang impolisi bukan saja bertentangan dengan asas-asas kerakyatan dan hikmah musyawarah - yang di amanatkan dalam UUD 1945, bahkan menindas dan memperkosa asas – asas itu. Para pemimpin negara dan pemerintahan sekarang ini bukannya menjadi saluran pengabdi rakyat, malahan sebaliknya menjadi penindas dan pemeras rakyat sendiri. Contoh kecil, yang seharusnya pembuatan KTP tanpa dikenakan biaya, tapi tetap saja ada praktek kotor di dalamnya.
Untuk itu pimpinan negara dan pemerintah ini harus dapat menerapkan asas- asas kerakyatan dengan menjadi abdi rakyat yang bermoral dan berkeadilan - bukannya menjadi lintah bagi rakyat. Selama asas itu mampu dijalankan, maka kemiskinan pun tidak akan menjadi suatu penyakit kronis di negeri ini. Semoga saja para pemimpin negeri ini mampu menjalankan amanahnya sebagai abdi rakyat.
Selain itu pola pengentasan kemiskinan harus terintegrasi dalam konteks tujuan negara yang merakyat, bukan menumbalkan rakyat. Hal yang harus direkondisi terlebih dahulu adalah lembaga – lembaga negara, baik pusat maupun daerah. Dengan cara memberikan sanksi yang tegas kepada para oknum yang menyimpang dari tujuan awalnya. Supaya dapat menjalankan amanahnya sesuai dengan kode etik keprofesiannya. Sebab dialah agen distribusi para pemegang kebijakan, yang di mana produk kebijakan tersebut disalurkan kepada rakyat, demi kesejahteraan rakyat. Apabila lembaga ini rusak, maka rakyat pun yang menjadi tumbal dari oknum birokrat nakal ini, akhirnya lagi-lagi rakyat yang menjadi sengsara dalam kemiskinannya. Kemudian, menasionalisasi aset badan usaha milik negara agar tidak sepenuhnya dikuasai oleh pihak asing.
Selain itu, membangun sekolah-sekolah rakyat berbasis teknologi bagi rakyat ekonomi kelas kebawa, khususnya daerah-daerah pedalaman yang belum mendapat akses pendidikan, Diharapkan dari proses pendidikan ini, masyarakat dapat meningkatkan taraf hidupnya, sehingga terbebas dari jeratan kemiskinan. Lalu, menguatkan ketahanan pangan dengan menerapkan diversifikasi produk pertanian,melalui pembinaan yang tersistem kepada para petani, serta merevitalisasi produk kerajinan tangan khas daerah sebagai kekuatan lokal budaya demi terciptanya kemandirian lokal bangsa, dengan memberikan modal usaha lunak (tanpa bunga) dan pelatihan kewirausahaan bagi masyarakat.
Kemudian pelaksanaan program dialog rakyat, di mana pemerintah, khususnya Presiden, melakukan dialog langsung dengan mendatangi para warga, baik dari lapisan bawah sampai daerah pedalaman sekalipun, untuk berdialog bersama mengenai apa yang dirasakan oleh rakyat dan apa yang diinginkan rakyat. Agar tidak ada dinding tebal yang membatasi ruang aspirasi rakyat kepada para abdi rakyat ini dan pemerintah pun mengetahui serta melihat langsung kondisi yang di alami rakyatnya, bukan meraba, apalagi memprediksi kondisi kehidupan masyarakat yang termarginalkan. Kemudian dari hasil dialog tersebut pemerintah pun menjawab aspirasi rakyat ini dengan implementasi konkret, bukan dengan onani politis.
Program dialog rakyat ini merupakan batu tapal dari sebuah kebijakan yang nantinya bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat banyak. Ibarat sebuah radio yang rusak. Bagaimana kita dapat membetulkan radio yang rusak, bila kita tidak memeriksanya langsung, serta mengetahui di mana kerusakan itu terjadi, dan kenapa radio itu bisa rusak.
Semoga dengan kepekaan pemerintah melihat realita yang terjadi pada rakyatnya melalui ruang dialog. Maka diharapkan kasus ironis makan nasi aking yang terjadi di Serang, Banten, serta di daerah lain, akibat ekses kemiskinan. Dapat diminimalisir, sehingga terwujudnya kondisi bangsa yang madani, sesuai dengan apa yang diharapkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negeri ini, hanyalah sebuah bahan mentah, yang kemudian dikelola oleh penghuninya, yaitu oleh semua lapisan yang ada, dari rakyat, sampai pemerintah. Jika dikelola dengan alat dan tujuan yang berjiwa kemanusiaan dan semangat moral kebangsaan, niscaya negeri ini makmur, namun bila dikelola dengan alat dan tujuan yang berjiwa kekuasaan kepentingan, jangan harap negeri ini akan makmur. Bangsa-ku, bangkitlah dari keterpurukan, menuju sebuah renaisans, agar dapat menjadi bangsa yang bermartabat.

Rabu, 14 Mei 2008

Pergerakan Tak Henti: Warisan Perjuangan Mahasiswa Mei 1998


Pergerakan Tak Henti: Warisan Perjuangan Mahasiswa Mei 1998
Oleh : Syaifudin

Tugas intelektual bagi saya adalah justru mencari kontak dan mendorong elemen-elemen dalam segala lapisan masyarakat untuk bergerak dan berontak terhadap situasinya. ( Soe Hoek Gie )

Sudah satu dasawarsa peristiwa 12 mei 1998 kita lalui, banyak perubahan yang terjadi pasca reformasi, khususnya kebebasan berbicara. Elang Mulya Lesmana, Hendrawan Sie, Heri Hertanto, dan Hafidin Roiyan merupakan mahasiswa yang gugur diterjang peluru senapan saat tragedi bulan Mei kelabu itu. Sampai saat ini masih banyak misteri-misteri yang belum terungkap dari balik tragedi itu.
Walaupun sudah berapa puluh kali, bahkan ratusan kali seruan untuk menuntut keadilan bagi para korban tragedi 12 Mei 1998 terus dilantangkan. Salah satunya misteri penculikan dan pembantaian tiga aktivis pada saat aksi demontrasi mulai memanas yang dimana diduga jenazahnya dibuang di Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu. Tiga korban itu adalah Bimo Petrus, Wiji Thukul, dan Dedi Hamdun. Penculikan, dan pembunuhan para aktivis saat itu menjadi satu dari serangkaian peristiwa yang diyakini turut meledakkan proses terjadinya kerusuhan 1998.
Berdasarkan laporan dari Tim Gabungan Pencari Fakta ( TGPF ), yang dibentuk pada tanggal 23 Juli 1998 oleh B.J Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan mantan Presiden Soeharto. Yang dimana tim ini bertugas mencari fakta, latar belakang, dan pelaku kerusuhan. Berdasarkan data dilapangan, TGPF menunjukkan ada 1.190 orang mati terpanggang, 27 orang meninggal karena senjata tajam, 52 korban pemerkosaan, dan 850 bangunan terbakar.
Peristiwa sepuluh tahun lalu itu terus diperingati setiap tanggal 12 Mei sebagai tonggak dari lahirnya Reformasi. Kini tepatnya tanggal 12 Mei 2008 kemarin. Barisan aksi mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI, HMI, KAMMI melakukan demonstrasi di depan Istana Negara, serta Famred, Forkot, FRM, REPEM Jakarta, DTM memperkuat barisan aksi pada siang hari itu. Ribuan massa memadati jalan Istana Negara yang membuat macet lalu lintas.
Tema aksi yang di usung pada aksi itu berbeda-beda, salah satunya BEM SI, yang mengusung tema dengan nama “ TUGU RAKYAT “(tujuh gugatan rakyat) yang terdiri dari:( (1)Nasionalisasi aset strategis bangsa; (2) Wujudkan pendidikan dan pelayanan kesehatan bermutu; (3) Tuntaskan kasus BLBI dan korusi Soeharto beserta kroninya, sebagai perwujudan kepastian hukum di Indonesia; (4) Kembalikan kedaulatan bangsa pada sektor pangan, ekonomi, dan energy; (5) Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan harga kebutuhan pokok bagi rakyat; (6) Tuntaskan reformasi birokrasi dan mafia peradilan,; dan (7) Selamatkan lingkungan Indonesia dan tuntut PT.Lapindo berantas untuk mengganti rugi seluruh dampak dari Lumpur Lapindo.
Sedangkan Relawan Perjuangan Demokrasi (REPEM) menuntut agar harga sembako turun dan menolak kenaikan harga BBM. Semua menuntut keadilan dan kesejahteraan dari SBY-JK yang didengungkan melalui janji-janji saat kampanye PEMILU 2004 silam. Tapi sayang SBY tidak ada di Istana Negara, beliau sedang menghadiri acara di Surabaya. Namun hal itu tidak membuat surut semangat para demonstran untuk beraksi dan berorasi melantangkan tuntutannya. Dari aksi tersebut yang sangat disayangkan adalah semua kelompok aksi tidak membaur menjadi satu kekuatan. Semua tidak satu kata. Mereka terkotak-kotak dalam satu kelompok tertentu dengan berbagai visi dan misi yang berbeda-beda. Kelemahan inilah yang menjadi kausalitas pembeda antara aksi pada 1998, yang dimana kita ketahui pada 1998 semua elemen di negeri ini bersatu dengan tujuan yang sama yaitu menumbangkan rezim orde baru yang tirani.
Tapi yang perlu dicatat dari peristiwa ini adalah kebanggaan untuk UNJ yang selalu dipercayakan sebagai tuan rumah dan memimpin berbagai aksi yang dilakukan mahasiswa se-Jabodetabek, bahkan se-Indonesia dari gerakan 1998 sampai kini, sebagaimana yang dituturkan oleh Hendri Bassel, aktivis 1998, sekaligus mantan ketua senat IKIP Jakarta waktu itu, yang sekarang menjadi UNJ.
Walaupun terkadang eksistensi kampus ini selalu dipandang sebelah mata dalam setiap gerakan aksi mahasiswa, khususnya media massa. Tapi biarlah, bukan ketenaran yang diperlukan kampus ini, tapi wujud nyata atas kepedulian rakyat. Yang terpenting setiap gerakan harus tahu arah, dan mempunyai konsep agar tidak menjadi gerakan yang rekreatif yang tidak mempunyai arah dan konsep. Yang jelas pekerjaaan ini belum selesai selama penindasan masih terjadi. Yang berkuasa sekarang ini adalah orang-orang yang dibesarkan di zaman orde baru.
Those who cannot remember the past, comdemn to repeat it, demikian kata filsut Italia George Santayana (1863-1952). Apabila kita melupakan saja tragedi Mei 1998 begitu saja, maka peristiwa yang serupa, seperti penindasan akan berulang kembali. Apakah kita dapat membayangkan bila orang yang menjadi dalang dari kerusuhan Mei 1998 suatu ketika memimpin negeri ini yang bersikap malaikat bagi rakyat yang kemudian mengkhianati apa yang diperjuangkan dan dijanjikannya, karena terbuai dengan kekayaan dan kekuasaaan tanpa memikirkan kesengsaraan yang terjadi pada rakyatnya.


Minggu, 13 April 2008

Degradasi Saintisme Menuju Demoralisasi Atheisme

Degradasi Saintisme Menuju Demoralisasi Atheisme
Oleh : Syaifudin


Saya tidak mempunyai agama, tapi saya mempunyai keyakinan bahwa Tuhan itu ada. Agama bukan untuk dipunyai, tapi diyakini yang kemudian di Amalkan, bukan di Agungkan,,,


Saintisme yang di banggakan Hingga Melupakan Etika Ke-Tuhanan

Socrates, seorang ahli pikir Yunani kuno, yang hidup di abad ke-5 sebelum Masehi. Filosofinya menekankan pengetahuan diri sejati diatas fisika dan geometri. Kenyataannya, dia mengatakan bahwa hal paling jelek yang dapat terjadi pada seseorang adalah melakukan hal buruk dan “ TIDAK” memperoleh hukuman terhadap perbuatannya itu. Secara naluriah dia tahu bahwa dosa (karma) itu harus dibayar.
Orang-orang sesudah Socrates, seperti Plato dan Aristoteles, lebih mempedulikan pada etika dan perilaku individu yang semestinya baik atau benar, daripada pengetahuan ilmiah yang mengacu pada kepentingan diri sendiri. Bagi Plato, ilmu pengetahuan ilmiah, terutama geometri, semata-mata adalah sebuah jalan perintis untuk mempelajari filosofi yang lebih tinggi, agar bisa meletakkan fondasi dalam alasan yang tepat. Sedangkan Aristoteles menyebut metafisik sebagai pengetahuan ter-tinggi, karena kita akan mengetahui apa yang diketahui Tuhan. Karena itu bangsa Yunani menekankan pengendalian moral dan fakta bahwa etika adalah tertinggi didalam dunia manusia dibandingkan teknologi atau percobaan ilmu pengetahuan
Pascal, seorang ilmuwan Perancis yang hidup di tahun 1600-an, adalah jago dibidang matematika dan fisika lanjutan. Tetapi dia menghentikan semua ini demi mengikuti pengabdian pribadi dengan Tuhan Kristus sebagaimana dia menyadari bahwa keberadaan jiwa seseorang adalah lebih penting daripada tekanan udara. Dia tahu bahwa kesimpulan kita tentang alam dibatasi oleh pengalaman kita dan bahwa ilmu pengetahuan itu sebuah proses dari hipotesa lama yang diganti dengan yang baru, yang dimana disebut Socrates berdialektika.
Ilmu pengetahuan bagi Pascal semata-mata membimbing menuju skeptivisme dan keraguan yang berkesinambungan, sehingga penerimaan terhadap wahyu Tuhan, hanyalah satu-satunya cara mencapai pengetahuan yang pasti. Untuk semua kehebatan rasional dan keahliannya ini, dia menganggap sangat layak berbagai hal untuk dipercaya, contohnya Tuhan, ramalan-ramalan dan keajaiban-keajaiban.
Bagi Pascal, manusia bisa jadi bukan apa-apa dan menjadi menyedihkan bila tanpa keberadaan Tuhan. Kontras sekali dengan kondisi masyarakat saat ini yang mengaku beragama, tapi tidak ber -Tuhan, banyak sekali fenomena pelecehan kemanusiaan demi sebuah tujuan, seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan anarkisme terhadap sesama saudara tanpa ada sebuah ruang dialog terlebih dahulu. Aksi gerakan yang selalu mengatasnamakan kemanusiaan, tapi justru dia menenggak kotoran ludahnya dengan bermabok ria, mengisap ganja ala tentara amerika yang habis berperang. Pascal, tidak melihat ilmu pengetahuan sebagai penyelamatan manusia karena dia tahu bahwa akal kita tidak mencapai tingkat itu. Al-Gozali pernah mengatakan, Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar. Apakah ketenangan dan kesabaran itu menyatu dalam diri manusia saat dia mengaku berjiwa kemanusiaan dan berke-Tuhanan.
Banyak ilmuwan terkemuka masa lalu juga adalah seorang kultivator. Sebagai contoh, Newton, sambil melakukan analisisnya yang cemerlang, dia percaya bahwa dia sedang menemukan bagaimana Tuhan berpikir. Dia juga berhenti menekuni ilmu pengetahuan dan mencoba untuk menemukan ramalan-ramalan tersembunyi di dalam Injil Kristus. Ahli matematika besar, Rene Descartes, yang menyempurnakan geometri analitis, adalah orang besar lain yang menemukan bahwa dia tidak dapat menetapkan bentuk pengetahuan apa pun yang pasti tanpa bantuan Tuhan, satu-satunya keberadaan yang dipercayai Descartes yang tidak akan pernah menipunya dan sulit dijangkau oleh pemikiran manusia itu sendiri. Epicurus, seorang bapak filsafat atheisme, mengatakan bahwa fanatisme agama akan membawa kepada sebuah permasalahan moral dan kemanusiaan. Dan ramalan itu terjadi sekarang di Indonesia, antara FPI dengan AKBB, yang kemudian meluas menjadi sebuah kepentingan semata.

Defiansi Saintisme Melawan Demoralisasi yang Dehumanisasi
Pendahuluan diatas, mencoba menunjukkan bahwa sejarah ilmu pengetahuan barat benar-benar bertumpu pada kultivasi watak (penggemblengan kualitas moral) dan kesadaran terhadap keterbatasan pengetahuan umat manusia. Akan tetapi dalam kurun waktu sekarang ini semuanya telah sirna, dalam persaingan mereka untuk mendapatkan dana bantuan pemerintah, mengesampingkan seluruh pencaharian jiwa dan teguran Tuhan dari hati nurani mereka. Para ahli kosmologi dan teologi yang mempercayai teori ‘big bang’ (yang banyak ditemukan masalah), mempunyai pandangan yang skeptis pesimistik terhadap masa depan jangka panjang alam semesta.
Mereka kini berpegang bahwa semua benda di alam semesta sedang berterbangan tercerai berai lebih cepat dari yang pernah terjadi dan takdir alam semesta yang berangsur musnah dalam dingin yang mematikan, yang tidak mampu menopang kehidupan apa pun. Beberapa minggu lalu, tepatnya 1 Juni 2008 yang lalu, Monas menjadi saksi bisu dari sebuah peradaban yang mengaku ber-Tuhan dan berabab, ternyata masih terkurung pada sebuah pemahaman yang tidak beragama, yang kehilangan makna dari bangsa yang mengaku ber-Tuhan.
Sungguh pandangan yang mengerikan!. Para tokoh masyarakat dan Negara ini tidak memberi kita harapan, tak ada apapun untuk kehidupan kita. Semua sia-sia dan kematian rasional tak dapat dielakkan. Kasus lain yang serupa, para peneliti kecerdasan buatan, seperti IQ, EQ, dan SQ yang mempercayai bahwa manusia adalah semata-mata adalah tahapan evolusi antara irasional menuju rasional dan kehidupan robot-bionik yang telah ditingkatkan secara mekanis dan komputerisasi melalui kehidupan yang instan. Begitukah pencarian masa depan manusia yang seharusnya?. Yang hanya mementingkan pada penyalahgunaan fisik dan mental semata daripada nilai etika dan kesadaran.
Ketika orang sudah tidak berkontemplasi sama sekali karena bagian terbesar dari tubuhnya adalah mesin nafsu, apakah mental mereka akan semata-mata berisi video games, petarungan, olah raga kekerasan, kehidupan seks yang bobrok dan aksi yang anarkis? Akankah pelajaran masa silam yang diajarkan simbol kebudayaan seperti Konfucius dan Socrates menjadi tidak relevan dalam diri seorang manusia baru yang gagah atau pun hasil rekayasa dunia genetika?. Tidak pernah ada obat mujarab yang diciptakan oleh seorang ilmuwan untuk mengobati ketimpangan-ketimpangan masyarakat, orang perlu mengetahui bahwa kebaikan hati dan kepedulian terhadap orang lain adalah hal yang perlu ditingkatkan, jadi sama sekali bukan teknologi tanpa moralitas. Selama Saintisme tidak bermuara pada sebuah etika ke-Tuhanan, niscaya demoralisasi pemaknaan humane akan terus tidak beradab dan berke-Tuhanan.