Minggu, 13 April 2008

Degradasi Saintisme Menuju Demoralisasi Atheisme

Degradasi Saintisme Menuju Demoralisasi Atheisme
Oleh : Syaifudin


Saya tidak mempunyai agama, tapi saya mempunyai keyakinan bahwa Tuhan itu ada. Agama bukan untuk dipunyai, tapi diyakini yang kemudian di Amalkan, bukan di Agungkan,,,


Saintisme yang di banggakan Hingga Melupakan Etika Ke-Tuhanan

Socrates, seorang ahli pikir Yunani kuno, yang hidup di abad ke-5 sebelum Masehi. Filosofinya menekankan pengetahuan diri sejati diatas fisika dan geometri. Kenyataannya, dia mengatakan bahwa hal paling jelek yang dapat terjadi pada seseorang adalah melakukan hal buruk dan “ TIDAK” memperoleh hukuman terhadap perbuatannya itu. Secara naluriah dia tahu bahwa dosa (karma) itu harus dibayar.
Orang-orang sesudah Socrates, seperti Plato dan Aristoteles, lebih mempedulikan pada etika dan perilaku individu yang semestinya baik atau benar, daripada pengetahuan ilmiah yang mengacu pada kepentingan diri sendiri. Bagi Plato, ilmu pengetahuan ilmiah, terutama geometri, semata-mata adalah sebuah jalan perintis untuk mempelajari filosofi yang lebih tinggi, agar bisa meletakkan fondasi dalam alasan yang tepat. Sedangkan Aristoteles menyebut metafisik sebagai pengetahuan ter-tinggi, karena kita akan mengetahui apa yang diketahui Tuhan. Karena itu bangsa Yunani menekankan pengendalian moral dan fakta bahwa etika adalah tertinggi didalam dunia manusia dibandingkan teknologi atau percobaan ilmu pengetahuan
Pascal, seorang ilmuwan Perancis yang hidup di tahun 1600-an, adalah jago dibidang matematika dan fisika lanjutan. Tetapi dia menghentikan semua ini demi mengikuti pengabdian pribadi dengan Tuhan Kristus sebagaimana dia menyadari bahwa keberadaan jiwa seseorang adalah lebih penting daripada tekanan udara. Dia tahu bahwa kesimpulan kita tentang alam dibatasi oleh pengalaman kita dan bahwa ilmu pengetahuan itu sebuah proses dari hipotesa lama yang diganti dengan yang baru, yang dimana disebut Socrates berdialektika.
Ilmu pengetahuan bagi Pascal semata-mata membimbing menuju skeptivisme dan keraguan yang berkesinambungan, sehingga penerimaan terhadap wahyu Tuhan, hanyalah satu-satunya cara mencapai pengetahuan yang pasti. Untuk semua kehebatan rasional dan keahliannya ini, dia menganggap sangat layak berbagai hal untuk dipercaya, contohnya Tuhan, ramalan-ramalan dan keajaiban-keajaiban.
Bagi Pascal, manusia bisa jadi bukan apa-apa dan menjadi menyedihkan bila tanpa keberadaan Tuhan. Kontras sekali dengan kondisi masyarakat saat ini yang mengaku beragama, tapi tidak ber -Tuhan, banyak sekali fenomena pelecehan kemanusiaan demi sebuah tujuan, seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan anarkisme terhadap sesama saudara tanpa ada sebuah ruang dialog terlebih dahulu. Aksi gerakan yang selalu mengatasnamakan kemanusiaan, tapi justru dia menenggak kotoran ludahnya dengan bermabok ria, mengisap ganja ala tentara amerika yang habis berperang. Pascal, tidak melihat ilmu pengetahuan sebagai penyelamatan manusia karena dia tahu bahwa akal kita tidak mencapai tingkat itu. Al-Gozali pernah mengatakan, Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar. Apakah ketenangan dan kesabaran itu menyatu dalam diri manusia saat dia mengaku berjiwa kemanusiaan dan berke-Tuhanan.
Banyak ilmuwan terkemuka masa lalu juga adalah seorang kultivator. Sebagai contoh, Newton, sambil melakukan analisisnya yang cemerlang, dia percaya bahwa dia sedang menemukan bagaimana Tuhan berpikir. Dia juga berhenti menekuni ilmu pengetahuan dan mencoba untuk menemukan ramalan-ramalan tersembunyi di dalam Injil Kristus. Ahli matematika besar, Rene Descartes, yang menyempurnakan geometri analitis, adalah orang besar lain yang menemukan bahwa dia tidak dapat menetapkan bentuk pengetahuan apa pun yang pasti tanpa bantuan Tuhan, satu-satunya keberadaan yang dipercayai Descartes yang tidak akan pernah menipunya dan sulit dijangkau oleh pemikiran manusia itu sendiri. Epicurus, seorang bapak filsafat atheisme, mengatakan bahwa fanatisme agama akan membawa kepada sebuah permasalahan moral dan kemanusiaan. Dan ramalan itu terjadi sekarang di Indonesia, antara FPI dengan AKBB, yang kemudian meluas menjadi sebuah kepentingan semata.

Defiansi Saintisme Melawan Demoralisasi yang Dehumanisasi
Pendahuluan diatas, mencoba menunjukkan bahwa sejarah ilmu pengetahuan barat benar-benar bertumpu pada kultivasi watak (penggemblengan kualitas moral) dan kesadaran terhadap keterbatasan pengetahuan umat manusia. Akan tetapi dalam kurun waktu sekarang ini semuanya telah sirna, dalam persaingan mereka untuk mendapatkan dana bantuan pemerintah, mengesampingkan seluruh pencaharian jiwa dan teguran Tuhan dari hati nurani mereka. Para ahli kosmologi dan teologi yang mempercayai teori ‘big bang’ (yang banyak ditemukan masalah), mempunyai pandangan yang skeptis pesimistik terhadap masa depan jangka panjang alam semesta.
Mereka kini berpegang bahwa semua benda di alam semesta sedang berterbangan tercerai berai lebih cepat dari yang pernah terjadi dan takdir alam semesta yang berangsur musnah dalam dingin yang mematikan, yang tidak mampu menopang kehidupan apa pun. Beberapa minggu lalu, tepatnya 1 Juni 2008 yang lalu, Monas menjadi saksi bisu dari sebuah peradaban yang mengaku ber-Tuhan dan berabab, ternyata masih terkurung pada sebuah pemahaman yang tidak beragama, yang kehilangan makna dari bangsa yang mengaku ber-Tuhan.
Sungguh pandangan yang mengerikan!. Para tokoh masyarakat dan Negara ini tidak memberi kita harapan, tak ada apapun untuk kehidupan kita. Semua sia-sia dan kematian rasional tak dapat dielakkan. Kasus lain yang serupa, para peneliti kecerdasan buatan, seperti IQ, EQ, dan SQ yang mempercayai bahwa manusia adalah semata-mata adalah tahapan evolusi antara irasional menuju rasional dan kehidupan robot-bionik yang telah ditingkatkan secara mekanis dan komputerisasi melalui kehidupan yang instan. Begitukah pencarian masa depan manusia yang seharusnya?. Yang hanya mementingkan pada penyalahgunaan fisik dan mental semata daripada nilai etika dan kesadaran.
Ketika orang sudah tidak berkontemplasi sama sekali karena bagian terbesar dari tubuhnya adalah mesin nafsu, apakah mental mereka akan semata-mata berisi video games, petarungan, olah raga kekerasan, kehidupan seks yang bobrok dan aksi yang anarkis? Akankah pelajaran masa silam yang diajarkan simbol kebudayaan seperti Konfucius dan Socrates menjadi tidak relevan dalam diri seorang manusia baru yang gagah atau pun hasil rekayasa dunia genetika?. Tidak pernah ada obat mujarab yang diciptakan oleh seorang ilmuwan untuk mengobati ketimpangan-ketimpangan masyarakat, orang perlu mengetahui bahwa kebaikan hati dan kepedulian terhadap orang lain adalah hal yang perlu ditingkatkan, jadi sama sekali bukan teknologi tanpa moralitas. Selama Saintisme tidak bermuara pada sebuah etika ke-Tuhanan, niscaya demoralisasi pemaknaan humane akan terus tidak beradab dan berke-Tuhanan.