Rabu, 23 Desember 2009

Catatan kecil: Ibn Khaldun dan Ilmu Pengetahuan

Catatan kecil: Ibn Khaldun dan Ilmu Pengetahuan

 Oleh: Syaifudin

Ibn Khaldun adalah seorang sarjana terkenal dengan karyanya yang bernama Muqaddimah pada abad ke 14 M. Cakupan pembahasan Muqaddimah Ibn Khaldun demikian luas, sehingga penulis membatasi pembahasan ini hanya dalam masalah pemikiran sosialnya. Ternyata pada abad ke 19 M. terdapat pula pemikiran Barat dari Perancis bernama Auguste Comte yang membahas masalah pemikiran sosial. Sekarang ilmu pengetahuan ini menjadi ilmu tersendiri yang dinamakan sosiologi.

Dengan adanya pemikiran-pemikiran di bidang pengetahuan sosial ini, ada yang mengatakan bahwa pelopor ilmu pengetahuan sosial adalah Auguste Comte dan ada pula yang mengatakan Ibn Khaldun. Di dalam Muqaddimah, Ibn Khaldun membahas pemikiran sosialnya bertitik tolak dari pengalaman, gejala-gejala dan fakta fakta yang diamati, kumpulan fakta-_fakta itu dianalisis dan akhirnya diambil kesimpulan dan dijadikan rumus atau dalil. Ibn Khaldun juga membahas perbedaan antara ilmu pengetahuan absah dan ilmu pengetahuan yang tidak absah.

Menurutnya ilmu pengetahuan yang absah ialah apabila didasarkan pada eksperimen dan empiris, kemudian setelah dianalisis dan disimpulkan baru dijadikan hukum. Sedangkan ilmu pengetahuan yang tidak absah ialah yang hanya berdasarkan kesimpulan akal. Pendapat Ibn Khaldun tersebut ada kesamaan dengan pendapat filosof Jerman Immanuel Kant pada abad ke 19 M yang menyelidiki batas-batas kemampuan akal manusia, Immanuel Kant berpendapat, bahwa di dalam etika ada yang tidak bisa diselidiki oleh akal, yaitu kebebasan kehendak, immortalita jiwa dan adanya Tuhan. 

Menurut Immanuel Kant, kita harus menerimanya sebagai keyakinan, dan dijadikan postulat dalam etika. Menurut Ibn Khaldun, akal manusia tidak bisa menyelidiki hakikat yang tidak bisa diindra, seperti masalah hakikat Tuhan, hakikat kenabian, kehidupan akhirat dan sebab paling akhir dari sebab-sebab. Untuk hal-hal tersebut, kita harus menerima dari ajaran-ajaran agama. SeteIah dilakukan kajian sesuai dengan pengertian kriteria ilmu dan filsafat, maka ternyata pemikiran sosial Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan dalam pengertian modern. Hal ini berdasarkan pada kriteria ilmu pengetahuan, yaitu: adanya pengamatan indra, pengumpulan fakta-fakta, deskripsi fakta, pemilhan kajian, analisis kritis, kesimpulan dan perumusan. Dengan demikian Ibn Khaldun merupakan pelopor pertama dalam bidang ilmu pengetahuan sosial atau sosiologi, dan bukan Auguste Comte. Auguste Comte adalah salah seorang penerus dalam bidang sosiologi.

 

Selasa, 15 Desember 2009

Film Dalam Bingkai Sosiologi

 Film Dalam Bingkai Sosiologi
Oleh : Syaifudin

Jika anda suka menonton film, maka siap-siaplah anda menyelam dalam bahasa bit-bit photogram…

Film sebagai bahasa audiovisual memiliki kaitan dalam hal kehidupan sosial masyarakat. Secara singkat film sendiri sudah ada pada tahun 1895 yang diperkenalkan oleh kakak-beradik Lumiere. Pada awal kelahiran film dimulai dari film bisu. Akan tetapi walaupun bisu tetap saja bahasa audiovisual ini mampu mensugesti masyarakat yang menontonnya. Film merupakan jendela dunia yang menjadi representasi atas realitas. Tanpa kita sadari sebenarnya film mempunyai kekuatan sihir dalam bahasa visualnya.

Di era 1990-an perfilman Indonesia diwarnai film-film panas. Di mana “film panas” yang dimaksud adalah film Indonesia yang mengangkat tema seksualitas dan birahi, dengan menampilkan adegan-adegan seks yang cukup eksplisit . Menurut JB. Kristanto ini sebagai film Indonesia pertama yang menonjolkan seks,perkosaan, dan dialog-dialog kasar. Alhasil pada perkembangannya film ini mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku masyarakat. Kemudian proses ini menjadi identitas budaya yang terbentuk pada masyarakat Indonesia.

Berdasarkan penjelasan di atas, maksud pembahasan dalam tulisan ini adalah pengaruh makna film yang terkandung dengan kehidupan masyarakat. Secara sosiologis pengaruh tayangan film ini memiliki dampak yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat, baik secara politik, sosial maupun budaya. Kita ketahui untuk film sendiri, baik film karya sineas Indonesia maupun luar negeri ternyata menjadi suatu kebutuhan yang diminati oleh masyarakat. Maka tidak heran film dalam perkembangannya terkadang menjadi alat ideologis yang digunakan untuk mempengaruhi masyarakat. Misalnya saja film pemberontakan G 30 S/PKI tentang pemusnahan ideologi komunis, Perempuan Berkalung Sorban dengan konsep feminisme, atau Naga Bonar Jadi 2 dengan dasar nasionalisme.

Jika kita tarik dalam kontekstual sosiologis, bahasa film jelas dapat mengikat masyarakat terhadap pesan implisit yang terkandung didalamnya. Misalnya saja, film “ Laskar Pelangi “ ternyata secara sosiologis membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap dunia pendidikan. Di mana fenomena ini ditandai dengan opini-opini di media cetak maupun elektronik bahkan aksi demo yang terkait pendidikan atas nama inspirasi film tersebut. Karena betapa besar kekuatan pengaruh film, maka kehadiran film “ 2012 “ yang baru-baru ini mengalami penolakan oleh beberapa kalangan, sebab ditakutkan film ini akan merusak akidah masyarakat. Padahal pada tahun 1990-an sudah pernah ada film serupa dengan judul `” The Day After “` yang menggambarkan kerusakan yang menyisakan beberapa orang untuk kehidupan baru dan film ini pun ditolak penayangannya.

Jika diuraikan secara teoritis, pengaruh film ini jelas mempunyai efek yang hebat bagi pencitraan pola pikir dan tindakan masyarakat melalui frame image dan efek visual. Ramon William mengungkapkan bahwa bahasa film itu implisit. Oleh sebab itu film merupakan komunikasi efektif bagi sebuah proses pembentukan pencitraan masyarakat. Sebab pada dasarnya film memiliki fungsi sebagai pengetahuan, informasi, hiburan dan pendidikan. Dan pada akhirnya pengaruh film ini ditentukan oleh seberapa besar penonton memaknainya.

Selasa, 10 November 2009

Gaya Hidup Masyarakat Jakarta Dalam Persfektif Pierre Bourdieu

Gaya Hidup Masyarakat Jakarta Dalam Persfektif Pierre Bourdieu

Oleh: Syaifudin

Struktur Sosial Masyarakat Jakarta
            Struktur sosial secara etimologis berarti susunan masyarakat. Secara definitif merupakan skema penempatan nilai-nilai sosial-budaya dan organ-organ masyarakat pada posisi yang dianggap sesuai, demi berfungsinya organisme masyarakat sebagai suatu keseluruhan, dan demi kepentingan masing-masing bagian. Artinya bahwa, setiap bagian yang ada pada struktur tersebut memiliki fungsi. Jika salah satu struktur tidak berfungsi, maka akan terjadi penyimpangan.
            Skema dibangun secara objektif, agar dapat mengenal posisi yang diberikan masyarakat kepada nilai-nilai sosial budaya, dan organ-organ atau komponen sosial yang menjadi milik masyarakat. Nilai-nilai sosial budaya terdiri dari ajaran agama, ideologi, dan kaidah-kaidah moral serta peraturan sopan santun. Organ masyarakat merupakan semua komponen yang bersama-sama mewujudkan masyarakat.
            Struktur masyarakat Indonesia terlebih Jakarta, ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara horizontal ditandai oleh kenyataanya adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta perbedaan kedaerahan. Secara vertikal struktur masyarakat ditandai oleh adanya perbedaan vertikal antara lapisan atas dan bawah yang cukup tajam[1].
            Jakarta sebagai contohya, memiliki masyarakat multikultural yang menampakan keragaman dari berbagai aspek sosial budaya secara horizontal, seperti keragaman dalam tata cara kehidupan, bahasa yang digunakan, seni budaya yang dimiliki, maupun tradisi. Dalam berinteraksi masing-masing anggota masyarakat jika tidak ada rasa toleransi dan rasa simpati maupun empati akan dihadapkan pada gesekan-gesekan yang disebabkan adanya keragaman sosial-budaya tersebut yang cenderung dapat menimbulkan konflik horizontal. Sedang keragaman secara vertikal dapat dilihat bahwa pada masyarakat Jakarta cenderung terjadi polarisasi secara ekonomi yang semakin jelas. Sebagian anggota masyarakat yang kaya akan semakin kaya, ini ditandai dengan bertambah banyaknya barang-barang yang bersifat materi atau ekonomis, itu semua oleh sebagian anggota masyarakat dijadikan simbol-simbol status untuk lapisan sosial atas, sedangkan masyarakat miskin akan cenderung semakin miskin, hal ini ditandai mereka semakin tidak dapat mengakses fasilitas hidup dasar yang dibutuhkan, seperti rumah yang layak, pendidikan, maupun fasilitas kesehatan.
            Cara pandang, perilaku, gaya hidup, sikap dan nilai-nilai masing masing etnis dan entitas sosial yang berbeda memang dapat terlihat dengan jelas. Namun, perbedaan ini tidak ada dengan sendirinya. Identitas yang berbeda dikarenakan adanya ciri, karakter atau suatu yang khas dari entitas itu, yang tidak dimiliki oleh entitas lainnya.
 Ketidaksamaan identitas yang dalam bentuk praksisnya termanifestasikan melalui gaya hidup, dan perilaku umum yang dianut oleh suatu entitas tertentu inilah yang seringkali menimbulkan gesekan dengan gaya hidup atau perilaku dari entitas lainnya.Jika dilihat dari bentuk masyarakatnya, Jakarta merupakan bentuk masyarakat modern atau masyarakat organik. Dengan berbagai macam ciri-ciri, seperti menurut Emile Durkheim, yaitu:
a.  Keterkaitan struktur sosial lemah
b. Hukum restitutif
c. Nilai bersifat abstrak
d. Sifat ketergantungan tinggi
e. Muncul industrilisasi
f.  Lembaga-lembaga yang langsung menghukum.

Adapun beberapa ciri yang lain, seperti:
1.      Tindakan-tindakan sosial 
Dalam masyarakat modern, tindakan-tindakan sosial akan lebih banyak bersifat pilihan. Oleh karena itu, ciri masyarakat modern adalah kemampuan dan hak masyarakat untuk mengembangkan pilihan-pilihan dan mengambil tindakan berdasarkan pilihannya sendiri.

2.      Orientasi terhadap perubahan
Masyarakat modern adalah masyarakat yang senantiasa berubah cepat. Percepatannya didorong dan dipercepat oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3.      Berkembangnya organisasi dan diferensiasi
Dalam masyarakat modern, organisasi berkembang, cakupannya makin luas dan makin rumit. Bersamaan dengan itu, berkembang spesialisasi.  Makin maju suatu masyarakat makin tajam spesialisasi yang diperlukan.
Dalam masyarakat modern, struktur sosial bersifat terbuka dan bersifat sukarela. Namun, apabila kita berbicara mengenai struktur sosial, ada ciri-ciri yang nyata dalam masyarakat modern, yaitu: (1) Sebagian besar anggota masyarakat berada pada lapisan menengah; lapisan atas dan bawah adalah minoritas. (2) Dalam masyarakat modern tidak tampak batas pemisah (diskontinuitas), tetapi stratanya lebih bersifat keberlanjutan. (3) Dalam masyarakat modern mobilitas sosial tinggi baik ke atas, maupun ke bawah. (4) Dalam masyarakat modern, pandangan keadilan, kesamaan hak dan kewajiban menjadi kesempatan yang sama bagi setiap orang.
           
Kapitalisme Dalam Pandangan Pierre Bourdieu
Secara etimologi, kapital berasal dari kata “capital”, yang akar katanya dari kata Latin, caput, berarti “kepala”. Sedangkan artinya dipahami, pada abad ke-12 dan ke-13, adalah dana, persediaan barang, sejumlah uang dan bunga uang pinjaman.[2] Kapital dapat dikatakan sebagai salah satu faktor untuk menentukan karakteristik seorang individu, hal ini dengan jelas menjadi salah satu cara untuk seseorang menunjukkan identitasnya. Kapital seringkali disebut dengan istilah modal.
Bila ditelusuri gagasan Marx, kapital dilihatnya sebagai bagian dari nilai surplus (surplus value/mehrwert) yang diperoleh kapitalis atau borjuis, yang mengontrol cara-cara produksi, dalam sirkulasi komoditas dan uang antara proses produksi dan konsumsi (Brewer, 1984; Lin, 2001). Secara umum, kapitalis bercirikan individu yang menjadi pemilik bagi apa yang dihasilkannya, dan orang lain tidak punya hak. Ia berhak untuk memonopoli semua alat produk yang dapat dicapainya dengan usahanya sendiri, berhak untuk tidak mengeluarkannya, kecuali dengan jalan yang memberi keuntungan padanya.
Masyarakat kapitalis menurut Marx terbagi menjadi dua kelas yakni kelas borjuis dan proletar. Kelas borjuis menguasai sumber-sumber kekayaan dan bertindak sekehendak hatinya, serta tidak mempergunakannya kecuali untuk kepentingan pribadinya. Sehingga kepentingan masyarakat dikorbankan demi untuk menambah kekayaan. Maka orang-orang proletar tidak lagi punya kesempatan untuk memperoleh sumber-sumber kekayaan kecuali hanya untuk memperoleh kebutuhannya, demi kelanjutan hidup. Sumber kekayaan ini di eksploitasi oleh kaum borjuis, sehingga menciptakan kapitalisme. Dalam kapitalisme ini, buruh dapat dilihat sebagai sumber nilai guna dan juga nilai tukar.
Berbeda dengan pandangan Pierre Bourdieu. Bourdieu berpendapat bahwa kapital tidak hanya bersifat kebendaan (material), tetapi juga hal-hal yang immaterial, seperti hubungan kekuasaan, sosial, dan posisi. Kapital adalah sumber daya yang mempunyai nilai tertentu yang dimiliki oleh seseorang agar dapat bertahan dalam suatu arena. Setiap arena menuntut individu untuk mempunyai kapital khusus agar hidup baik dan bertahan di dalamnya.
Kapital menurut Bourdieu juga memiliki arti yang luas, mencakup hal material dan immaterial yang dapat memiliki nilai simbolik secara kultural. Misalnya prestise, status dan otoritas yang merujuk sebagai kapital simbolik. Kapital ini harus berada di dalam sebuah ranah.  Karena dalam rumusan generatif Bourdieu, ada keterkaitan antara habitus, kapital dan juga ranah yang bersifat langsung. Dimana nilai yang diberikan pada kapital dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan habitus.

(Habitus x Kapital) + Ranah = Praktik

Dicontohkan bahwa kapital ini dapat digunakan dalam hal kekuasaan sebagai kapital simbolik untuk mewakili pendapat umum dan mencoba mempresentasikan ke dalam dunia sosial. Pada akhirnya akan memberikan sebuah identitas yang resmi.
Ada perbedaan dengan konsep kapital-nya Marxian yang cenderung bersifat materialistik dan determinasi ekonomi yang kemudian menerbitkan pertentangan kelas, Bourdieu tidak membatasi kapital pada ekonomi. Bourdieu  dalam  bukunya  The  Form  of  Capital (1986),  membagi  3  kapital,  yaitu:  kapital  ekonomi yang  secara  langsung  dapat  ditukar  menjadi  uang dan  terinstitusionalisasi  dalam  bentuk  hak kepemilikan barang; (2) kapital budaya, yang dalam kondisi  tertentu  dapat  ditukar  menjadi  kapital ekonomi dan terinstitusi kedalam bentuk kualifikasi pendidikan;  (3)  kapital  sosial   yang  kemudian membentuk ikatan sosial. Tiga  kapital  Bourdieu  kemudian  dikembangkan oleh  Jonathan  S.  Turner  dengan menambahkan satu tipe kapital, yaitu kapital simbolik.




Gaya hidup masyarakat
Jakarta sebagai Ibukota yang merupakan kota metropolitan, mengalami perkembangan pola dan gaya hidup yang berimplikasi kepada setiap kelas sosial. Gaya hidup disini adalah sebuah penampilan luar seorang individu ataupun kelompok manusia dalam usahanya mengaktualisasikan diri dalam lingkungan bermasyarakat. Konteks gaya hidup menyangkut kepada hal-hal yang bersifat terindera dan memiliki wujud nyata dan cenderung bersifat kebendaan. Benda-benda tersebut dapat dijadikan simbol yang erat kaitannya dengan kebutuhan individu untuk mengaktualisasikan dirinya dalam lingkup sosialnya. Ketika benda tersebut dianggap sebagai benda yang sesuai dengan kebutuhannya baik secara fungsi dan nilai sosial, maka individu ini akan mengkonsumsinya sebagai sebuah prestise dan sebagai gaya hidupnya. Hal inilah yang memicu adanya gaya hedonisme dalam masyarakat Jakarta.
            Hedonisme masyarakat Jakarta dapat dikatakan sebagai efek dari sifat konsumtif. Namun konsumsi yang dilakukan disini bukan lagi sekedar kegiatan yang berasal dari produksi. Konsumsi tidak lagi menjadi kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dan fungsional individu atau kelompok. Dapat dikatakan bahwa konsumsi yang dilakukan masyarakat Jakarta sudah menjadi gaya hidup.
            Konsumsi yang dilakukan sebagai proses objektif, yaitu proses eksternalisasi atau internalisasi diri lewat objek-objek sebagai medianya.[3] Maksudnya bagaimana kita memahami dan mengkonseptualisasikan diri maupun realitas di sekitar kita melalui objek-objek material. Disini terjadi proses menciptakan nilai-nilai melalui objek-objek dan kemudian memberikan pengakuan serta penginternalisasian nilai-nilai tersebut.
Tanda-tanda pada objek konsumsi pada kenyataannya justru cenderung digunakan untuk menandai relasi-relasi sosial. Saat ini objek konsumsi mampu menentukan prestise, status dan simbol-simbol sosial tertentu bagi pemakainya. Hal ini mencerminkan sejauhmana daya kapital masyarakat Jakarta terbentuk. Dimana individu cenderung menilai dan mengenali individu lain dari penampilan luarnya, apa yang dikenakan dan asseoris yang dimilikinya, mulai dari pakaian, tas, sepatu, kacamata, dan sebagainya.
Tentu tidak hanya itu, merek pun diperhatikan dalam hal menilainya. Barang-barang bermerek menunjukkan nilai sosial yang tinggi, dan menunjukkan dimana individu ini memiliki kelas sosialnya. Pakaian misalnya, kesan pertama yang dapat ditangkap dari individu pada saat berinteraksi tatap muka adalah citra yang dipantulkan oleh pakaian yang dikenakan pada saat itu. Melalui pakaian, orang lain mencoba memahami identitas seseorang.    
            Bagi masyarakat konsumen yang ada di Jakarta, saat ini hampir tidak ada ruang dan waktu yang tersisa untuk menghindari diri dari serbuan berbagai informasi yang berurusan dengan kegiatan konsumsi. Di rumah, di kantor atau di kampus, tidak berhenti disodori akan berbagai informasi yang menstimulasi konsumsi melalui iklan di televisi, koran maupun majalah-majalah. Di jalan, selain terus melewati pertokoan dan pusat perbelanjaan, masyarakat juga terus dihadapkan dengan pemandangan attraktif dari promosi media luar ruang yang menghiasi jalan-jalan dan berbagai sudut strategis kota. Iklan atau promosi dijadikan penarik yang ampuh bagi kapitalis, agar masyarakat memilih prodak mereka.
             Dapat dikatakan bahwa investor asing mudah masuk di dalam kegiatan konsumsi di Jakarta. Hal ini dibuktikan dengan adanya iklan-iklan dan promosi yang terdapat di televisi, koran dan majalah. Di dalam pertokoan dan pusat perbelanjaan pun terdapat para investor yang menguasainya. Investor lebih memilih menginvestasikan modal mereka di Jakarta, karena mereka cenderung menilai masyarakat Jakarta memiliki tingkat konsumsi yang tinggi. Tidak hanya itu, para investor asing mudah untuk masuk karena memang peraturan di Indonesia yang memudahkan mereka untuk menanamkan modal yang mereka miliki ke Indonesia.

Kelas sosial
            Dalam masyarakat terlebih di Jakarta, terdapat jenjang (stratifikasi sosial) yang merupakan penggolongan seseorang sesuai dengan status sosialnya. Penggolongan tersebut apabila didasari oleh kriteria ekonomi disebut kelas sosial. Kelas sosial ini terbagi atas kelas sosial atas, menengah, dan bawah. Pada umumnya istilah kelas sosial lebih menunjukkan pada kelompok kelas sosial atas. Mereka merupakan golongan orang-orang yang kaya dan bergengsi.
            Mereka bangga dengan status sosial yang disandangnya. Semakin tinggi kelas sosialnya, maka semakin tinggi pula prestise (gengsi) yang dimilikinya. Oleh karena itu, mereka membentuk ciri tertentu agar tampak berbeda dengan kelas sosial yang lain. Ciri tersebut merupakan kebanggaan bagi pemiliknya. Ciri-ciri inilah yang dapat menunjukkan kelas sosial yang disebut simbol status.
Ada beberapa simbol yang dapat menunjukkan mereka memiliki kelas sosial yang tinggi, seperti tempat tinggal, kegemaran, kekayaan, dan pakaian. Kelas sosial atas biasanya tinggal di perumahan elite yang mewah dan memiliki prestise tinggi. Perumahan mewah dengan fasilitasnya akan memberikan kebanggan bagi pemiliknya. Pada simbol kegemaran, bisanya kelas sosial atas memiliki kegiatan yang memerlukan biaya besar, seperti shopping ke luar negeri, olahraga golf dan sebagainya. Kegemaran ini menunjukkan prestise pada mereka yang memiliki kelas sosial atas. Lain halnya dengan simbol kekayaan. Pada simbol kekayaan, yang sering ditonjolkan seperti mobil mewah, perhiasan dan sebagainya. Sama dengan simbol pakaian. Kelas sosial atas biasanya memiliki pakaian yang bagus dan mahal. Mereka bangga mengenakan pakaian produksi luar negeri seperti baju buatan Italian, parfum dari Perancis dan sebagainya.
Hal di atas menunjukkan bahwa simbol mempengaruhi status sosial seseorang. Tidak hanya itu, pola dan gaya hidup seseorang pun dapat berpengaruh terhadap status atau kelas sosial. Terdapat prestise di dalam simbol-simbol tersebut. Implikasi dari simbol tersebut, muncullah ranah baru bagi kaum sosialita. Mereka rela menggelontorkan biaya yang tak sedikit demi sebuah penampilan yang menunjang prestise. Busana, tas, sepatu, jam tangan, kacamata, stelan perhiasan, hingga parfum pun dibuat serasi, bahkan lebih memilih band-brand luar negeri.
Kaum sosialita ini biasanya memiliki pola konsumtif dan memiliki gaya hidup dengan menonjolkan penampilannya. Hal ini dapat mencerminkan adanya sindrom kapitalis yang cenderung menjatuhkan kelas sosial bawah. Kelas sosial bawah semakin terpuruk akan keadaannya, sedangkan kelas sosial atas seperti kaum sosialita semakin meningkat dengan kekayaan, pola dan gaya hidupnya. Dapat disimpulkan bahwa pada masyaraka Jakarta, terdapat kapital simbolik yang menunjukkan prestise dan kelas sosialnya.

Hubungan dengan kapital sosial dan kapital budaya
            Saat ini dapat dilihat bahwa masyarakat Jakarta memiliki kapital simbolik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Berkembangnya pola dan gaya hidup yang menimbulkan prestise di masyarakat, dapat ditandai dengan adanya simbol-simbol yang menunjukkan kelas sosial mereka. Menurut Bourdieu,[4] kapital simbolik merupakan suatu bentuk kapital ekonomi fisikal yang telah mengalami transformasi dan karenannya telah tersamarkan, menghasilkan efeknya yang tepat, menyembunyikan fakta bahwa ia tampil dalam bentuk- bentuk kapital material yang pada hakikatnya bersumber dari efek-efek itu sendiri.
            Bourdieu beranggapan bahwa, kapital simbolik memiliki makna atau status pengakuan yang dapat diwujudkan dalam bentuk yang objektif maupun institusi seperti penghargaan atau anugerah yang diraih karena prestasinya. Kapital simbolik ini berkaitan dengan  penggunaan simbolik sebagai legitimasi atau pengabsahan posisi individu/kelompok  dalam level tertentu dan pada konfigurasi dari bentuk kapital lainnya. Dengan kata lain, kapital simbolik ini adalah modal yang berkaitan dengan simbol-simbol yang diterima atau dimiliki seseorang dalam hidupnya. Simbol yang menunjukkan bagaimana seseorang mendapatkan penerimaan dan perlakuan dari individu lain dan masyarakat di sekitarnya. Kapital simbolik ini tidak bersifat wujud fisik yang tampak secara nyata sehingga tak bisa diukur kekuatannya, namun lebih berupa pengakuan secara umum oleh sekelompok masyarakat dalam wilayah tertentu.
            Kapital  ini  juga memerlukan proses sosial yang bergantung pada pengakuan publik berdasarkan ukuran tertentu, seperti status, prestise, dan kemampuan. Kapital simbolik dapat ditunjukkan dengan simbol seperti tempat tinggal, kegemaran, kekayaan, dan pakaian. Dapat disumpulkan bahwa kapital simbolik merupakan kapital yang terwujud dalam prestise, status, otoritas dan kehormatan sosial, yang berasal dari keterampilan mengatur simbol sosial. Oleh sebab itu, kapital simbolik dapat memproduksi kekuasaan simbolik dan  juga kekerasan simbolik.
            Bourdieu melihat kapital simbolik, seperti, harga diri, dan martabat, merupakan sumber kekuasaan yang krusial. Kapital simbolik adalah setiap spesis modal yang dipandang melalui skema klasifikasi, yang ditanamkan secara sosial. Ketika pemilik kapital simbolik menggunakan kekuatannya, ini akan berhadapan dengan agen yang memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena itu si agen berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Maka, hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik (symbolic violence). Namun kapital simbolik ini tidak  akan  maksimal  jika  tidak didukung  dengan  kapital  lain, seperti  kapital sosial dan budaya.
Kapital sosial adalah kumpulan sejumlah sumberdaya, baik secara aktual  maupun potensial yang terhubung dengan jaringan atau relasi sosial. Kapital sosial menentukan suatu posisi atau relasi dalam suatu kelompok serta jaringan-jaringan sosial. Kapital ini mempunyai serangkaian nilai/norma informal yang dimiliki  bersama  yang  memungkinkan  terjadinya kerjasama diantara anggota kelompok.
Menurut Bourdieu (1986), mendefinisikan kapital sosial sebagai sumber daya actual dan potensial yang dimiliki seseorang berasal dari jaringan sosail yang terlembaga serta langsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbale balik (dengan kata lain, keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbegai bentuk dukungan kolektif.
            Sedangkan kapital budaya adalah nilai-nilai yang bisa dipertukarkan, yang merkapan akumulasi bentuk kultur yang berkembang dalam dunia sosial. Kapital ini menurut Bouedieu dianggap kurang rasional jika dibandingkan dengan kapital lain. Akan tetapi kapital budaya pada satu posisi akan menjadi penting. Karena kapital budaya merupakan bentuk keterampilan informal yang bersifat interpersonal, adat istiadat, kelakuan, gaya bertutur (bahasa/dialek), tingkat pendidikan, selera dan gaya hidup. Kapital  budaya ini tidak bersifat tunggal, tetapi selalu eksis dalam tiga bentuk,  yaitu bentuk yang menyatu dalam diri seseorang, menjelma dalam bentuk objektif  (objectified state) seperti buku, perkakas rumah tangga, dan terinstitusi, seperti kualifikasi akademik.
            Dalam  praktik  sosialnya,  semua  kapital  ini  saling terkait atau konversi antar kapital. Konversi antar kapital ini memungkinkan terjadinya perubahan atau pertukaran, khususnya pada wilayah dominan. Konversi antar kapital ini hanya pada batasan tertentu.
Kapital  sosial,  budaya,  simbolik  tidak  bisa  direduksi dalam  kapital  ekonomi  semata,  karena  setiap  bentuk  memiliki  spesifikasi  masing-masing.  Akan  tetapi  pada akhirnya  kapital  ekonomi  memang  menjadi  akar  dari semuanya.  Dengan  kata  lain  setiap  kapital  akan mengalami  transformasi  atau konversi dari satu bentuk ke dalam bentuk lainnya. Transformasi dan konversi  kapital  ini  tidak  bersifat otomatis,  tetapi  memerlukan elaborasi usaha dari sang agen (individu/kelompok), dan  terkadang hasilnya dapat terasa dalam jangka panjang.
Hubungan antara kapital sosial, budaya dan simbolik dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 1:
Hubungan antara Kapital Ekonomi Sosial, Budaya dan Simbolis
Menurut Bourdieu[5]

Jenis Kapital
Perbedaan
Persamaan
Ekonomi
Langsung menjadi uang
Uang
Sosial
Tidak langsung menjadi uang. Perlu kondisi tertentu. Kewajiban sosial, koneksi.
Menjadi uang melalui pembentukan kapital ekonomi.
Budaya
Tidak langsung menjadi uang. Perlu kondisi tertentu. Ijazah, sertifikat dan lainnya.
Menjadi uang melalui pembentukan kapital ekonomi.
Simbolik
Tidak langsung menjadi uang. Perlu kondisi tertentu. Keterampilan mengatur simbol.
Menjadi uang melalui pembentukan kapital ekonomi.


Penutup
Struktur sosial masyarakat Jakarta memiliki sifat yang unik, yaitu secara horizontal dan vertikal. Tetapi cenderung lebih terlihat secara vertikal, yang ditandai oleh adanya perbedaan antara lapisan atas dan bawah yang cukup tajam. Hal ini menimbulkan sebuah identitas yang khas.  Identitas disini berhubungan dengan adanya kepemilikan kapital. Kapital dapat dikatakan sebagai salah satu faktor untuk menentukan karakteristik seorang individu, hal ini dengan jelas menjadi salah satu cara untuk seseorang menunjukkan identitasnya.
Bourdieu berpendapat bahwa kapital tidak hanya bersifat kebendaan (material), tetapi juga hal-hal yang immaterial, seperti hubungan kekuasaan, sosial, dan posisi. Kapital adalah sumber daya yang mempunyai nilai tertentu yang dimiliki oleh seseorang agar dapat bertahan dalam suatu arena. Misalnya prestise, status dan otoritas yang merujuk sebagai kapital simbolik.
Jakarta sebagai kota metropolitan, mengalami perkembangan pola dan gaya hidup yang berimplikasi kepada setiap kelas sosial. Gaya hidup yang berhubungan dengan indera dan cenderung bersifat kebendaan. Benda-benda tersebut dapat dijadikan simbol yang erat kaitannya dengan kebutuhan individu untuk mengaktualisasikan dirinya dalam lingkup sosialnya. Hal inilah yang memicu adanya gaya hidup hedonisme dalam masyarakat Jakarta.
Masyarakat Jakarta memiliki struktur sosial yang cenderung digolongkan dalam hal kriteria ekonomi yaitu kelas sosial. Adanya kelas sosial membentuk ciri tertentu agar tampak berbeda dengan kelas sosial yang lain. Ciri-ciri inilah yang disebut simbol status. Ada beberapa simbol yang dapat menunjukkan mereka memiliki kelas sosial yang tinggi, seperti tempat tinggal, kegemaran, kekayaan, dan pakaian. Simbol-simbol di atas, dapat dijadikan kapital simbolik. Bagi Bourdieu, kapital simbolik memiliki makna atau status pengakuan yang dapat diwujudkan dalam bentuk yang objektif maupun institusi seperti penghargaan atau anugerah yang diraih karena prestasinya. Kapital ini juga memerlukan proses sosial yang bergantung pada pengakuan publik berdasarkan ukuran  tertentu, seperti status, prestise, dan kemampuan.
Namun kapital simbolik ini tidak  akan  maksimal  jika  tidak didukung  dengan  kapital  lain, seperti  kapital sosial dan budaya. Dalam  praktik  sosialnya,  semua  kapital ini saling terkait atau konversi antar kapital. Konversi antar kapital ini memungkinkan terjadinya perubahan atau pertukaran, khususnya pada wilayah dominan. Dari kapital yang ada, pada akhirnya kapital simboliklah yang menentukan peran dan status sosial dari agen (individu/kelompok) dalam struktur sosial.



Daftar Referensi
Damsar. 2011. Sosiologi Ekonomi. (Ed. Revisi). Jakarta: Kencana.
George Ritzer. 2012. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nasikun. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Peter L. Berger. 1990. Revolusi Kaptalis. (terj). Jakarta: LP3ES
Pierre Bourdieu. 1977. Outline of a Theory of Practice. London: Cambridge University Press.
Pierre Bourdieu. 1986. “The Forms of Capital” dalam Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education, John G. Richardso. New York: Greenword Press.
Robert M.Z. Lawang. 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar. Depok: FISIP UI Press.
Yasraf Amir Piliang. 2004. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaaan. Yogyakarta: Jalasutra.


[1] Nasikun. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Hal: 30
[2] Peter L. Berger. 1990. Revolusi Kaptalis. (terj). Jakarta: LP3ES. Hal: 20
[3]  Yasraf Amir Piliang. 2004. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaaan. Yogyakarta: Jalasutra. Hal : 180
[4] Pierre Bourdieu, Pierre. Outline of a Theory of Practice. London: Cambridge University Press. Hal: 183
[5] Robert M.Z. Lawang. 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik: Suatu Pengantar. Depok: FISIP UI Press. Hal: 19