Jumat, 23 Desember 2011

Kartu Pelanggaran Mengemudi (KPM): Alternatif Penerapan Sanksi Pelanggar Kendaraan Bermotor

Oleh: Syaifudin

Di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi yang mendera bangsa ini. Justru sebaliknya, tingkat konsumsi kepemilikan kendaraan bermotor setiap tahun semakin tinggi.  Menurut Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, untuk daerah Jakarta saja, pada tahun 2008 jumlah kendaraan roda empat sekitar 2,4 juta dan untuk yang beroda dua hampir 3 juta.  Tiap tahunnya di Jakarta, jumlah kendaraan bermotor bisa menambah sampai 500 ribu kendaraan.

Akumulasi dari pertambahan jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya, tentu membuat situasi lalu lintas semakin kompleks. Kompleksitas tersebut sangat mempengaruhi bagaimana situasi lalu lintas di suatu wilayah terbentuk, akankah tertata rapi atau justru carut-marut. Jika satu atau lebih elemen dalam sistem transportasi tidak terkelola dengan baik, maka sistem transportasi dimungkinkan tidak berjalan dengan baik.

Pertambahan jumlah kepemilikan kendaraan bermotor, salah satunya dipicu dari kemudahan akses yang berbentuk kredit. Bahkan tanpa jaminan atau uang muka, masyarakat dapat dengan mudah memiliki kendaraan bermotor yang diinginkannya. Alhasil, setiap tahunnya jumlah kendaraan bermotor semakin naik.

Pertambahan jumlah kendaraan bermotor pun diiringi dengan tingkat pelanggaran dan kecelakaan berlalu lintas. Untuk meminimalisir masalah tersebut, pihak kepolisian lalu lintas dengan sigap dan tegas mengatur permasalahan ini. Berbagai peraturan, dan kebijakan dikeluarkan guna mengatur dan mengamankan kondisi lalu lintas di jalan.

Salah satu contohnya adalah menerapkan sistem menilang [1] bagi para pengendara bermotor yang dinilai melanggar syarat-syarat berlalu lintas, seperti tidak menggunakan alat pengaman bagi pengendara sepeda motor berupa helm, atau spion, dan tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) serta melanggar rambu-rambu lalu lintas.  Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam UU lalu lintas dan angkutan jalan nomor 22 tahun 2009.

 Akan tetapi, penerapan peraturan dan kebijakan berlalu lintas ini tidak lepas dari pemanfaatan oleh “oknum-oknum” polisi tertentu. Di mana “oknum-oknum” tersebut memanfaatkan jabatan fungsionalnya untuk melakukan “perekayasaan menilang” guna memperkaya diri atau “korupsi menilang”.  Rekayasa menilang dalam hal ini maksudnya adalah proses menilang di mana sebenarnya pengendara bermotor tidak bersalah namun dinyatakan bersalah. Selain itu juga ada “oknum” yang menyamar menjadi polisi lalu lintas serta menilang pengendara bermotor dan kemudian berpura-pura membawa kendaraan milik pengendara ke kantor polisi namun ternyata justru kendaraan milik pengendara ini dibawah pergi atau dicuri dengan modus menilang.

Permasalahan di atas merupakan fakta nyata yang sudah banyak diberitakan di berbagai media cetak maupun elektronik. Peristiwa  ini tentu merugikan pihak pengendara bermotor maupun negara. Di mana secara hukum, uang hasil denda tilang yang sebenarnya dibayar melalui proses penyidangan di pengadilan dan kemudian uang tersebut dimasukan dalam pendapatan negara. Justru dengan adanya praktek “korupsi menilang” oleh “oknum”, uang hasil denda menilang ini tidak masuk dalam kas pendapatan negara. Sebagaimana yang disebutkan dalam UU lalu lintas nomor 22 tahun 2009 pasal 269 ayat 1, “ uang denda yang ditetapkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1) disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak ”.

Berdasarkan penjelasan di atas. Kiranya ini yang menjadi latar belakang penulis dalam mengajukan sebuah gagasan “Kartu Pelanggaran Mengemudi (KPM)” sebagai alternatif penerapan pengganti sistem sanksi tilang konvensional, sekaligus sebagai upaya pencegahan korupsi, dan peningkatan kepatuhan berkendaraan bermotor.


Korelasi Jumlah Kendaraan Bermotor Dengan Tingkat Pelanggaran dan Kecelakaan Berlalu Lintas
Jumlah kepemilikan kendaraan bermotor setiap tahun selalu meningkat. Hal ini tidak pelak diikuti dengan tingkat pelanggaran dan kecelakaan berlalu lintas yang tinggi, khususnya pengendara sepeda motor. Pasalnya, masyarakat kini untuk memiliki (membeli) kendaraan bermotor baik mobil maupun sepeda motor jauh lebih mudah. Dengan sistem kredit tanpa jaminan atau uang muka, masyarakat sudah dapat memiliki kendaraan bermotor. Sayangnya, mereka hanya bisa membeli, tapi tidak dibekali dengan pengetahuan dan teknik mengendarai kendaraan bermotor yang baik dan benar. Sehingga, mereka pun membawa kendaraan bermotor dengan asal-asalan dan tanpa memikirkan syarat-syarat atau peraturan membawa kendaraan bermotor.

Menurut data Ditlantas Polda Metrojaya, sepanjang Januari-Juni 2010, jumlah korban meninggal dunia akibat kecelakaan sepeda motor di DKI Jakarta tercatat 301 orang atau 60,07 persen. Sedangkan kasus pelanggaran lalu lintas pada operasi Simpatik yang berlangsung 12 April hingga 1 Mei 2010, Polda Metrojaya mencatat 56.750 tindak pelanggaran. Dari jumlah pelanggaran tersebut, 50 persen (35.515 kasus) di antaranya pengendara sepeda motor.

Tingginya pelanggaran lalu lintas ini, menunjukkan tingkat disiplin pengendara kendaraan bermotor masih rendah. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor terjadinya kemacetan dan kesemerawutan lalu lintas, khususnya di Jakarta. Banyak terlihat pengendara (sepeda motor) menyerobot lampu merah, memotong jalan seenaknya, dan melawan arus lalu lintas. Kesemerawutan semakin parah akibat tingkah laku para sopir bus dan angkutan kota yang menaikkan dan menurunkan penumpang serta ngetem di sembarang tempat.

Maraknya pelanggaran lalu lintas, tentu melahirkan sejumlah pertanyaan. Apakah para pengendara kendaraan bermotor tersebut sengaja melanggar lalu lintas atau pengetahuan mereka tentang safety riding (keamanan berkendara) memang minim? Atau sedikitnya jumlah rambu-rambu lalu lintas yang terpasang di jalan? Serta sedikitnya jumlah personil kepolisian lalu lintas dalam mengawasi dan menegakan peraturan berkendara di jalan raya ? Hal ini tentu menjadi perenungan bersama. Sebab, kesadaran mengendara kendaraan bermotor bukan hanya tugas kepolisian, tapi juga tanggung jawab semua lapisan masyarakat khususnya pengguna kendaraan bermotor sendiri.


Sistem Menilang Sebagai Sanksi Pelanggaran Berkendaraan
Tingginya tingkat pelanggaran berkendaraan bermotor, seperti ketidakpatuhan terhadap rambu-rambu lalu lintas, ketidakmilikan SIM, ketidaklengkapan peralatan berkendara (helm,dan spion), serta ketidaksesuaian bentuk kendaraan (modifikasi) sebagaimana yang ditentukan. Membuat pemerintah, dalam hal ini kepolisian lalu lintas melakukan tindakan tegas. Segala peraturan dan kebijakan berlalu lintas pun diterapkan, guna mengatur kedisiplinan pengendara bermotor di jalan raya. Tugas dan kewajiban ini sebagaimana yang termaktub dalam UU lalu lintas nomor 22 tahun 2009 pasal 200 ayat 1, yang berbunyi :

(1)   Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas terselenggaranya kegiatan dalam mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bentuk nyata dari penerapan tugas dan wewenang kepolisian dalam menindak para pelanggar kendaraan bermotor ini adalah dengan memberikan sanksi denda atau yang biasa dikenal dengan istilah tilang. Adapun wewenang kepolisian dalam menjalankan tanggung jawabnya ini di atur dalam pasal 260.

Untuk bentuk dan sanksi pelanggaran pengendara kendaraan bermotor ini sudah ditentukan sebagaimana yang disebutkan dalam UU nomor 22 tahun 2009 ini, antara lain dari pasal 276 sampai dengan pasal  313. Sedangkan untuk prosedur penilangan sendiri yaitu Polisi yang memberhentikan pelanggar wajib menyapa dengan sopan serta menunjukan jati diri dengan jelas. Selanjutnya Polisi harus menerangkan dengan jelas kepada pelanggar apa kesalahan yang terjadi, pasal berapa yang telah dilanggar dan memperlihatkan tabel yang berisi jumlah denda yang harus dibayar oleh pelanggar.

Setelah pelanggar mengetahui kesalahannya. Kemudian pelanggar memilih prosedur pembayaran denda atas kesalahannya ini. Di mana pelanggar diberi dua pilihan. Pertama, membayar denda di Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan kemudian mengambil dokumen (SIM/STNK) yang ditahan di Polsek tempat pelanggar ditilang. Jika pelanggar memilih pilihan ini, maka Polisi akan memberikan slip berwarna biru. Kedua, jika pelanggar menolak kesalahan yang didakwakan dan meminta sidang pengadilan serta menerima slip berwarna merah. Pada waktu dan tempat pengadilan yang telah ditentukan, pelanggar akan melakukan proses penyidangan. Di mana pengadilan akan memutuskan apakah pelanggar bersalah atau tidak, dengan mendengarkan keterangan dari polisi bersangkutan dan pelanggar dalam persidangan.
Diterapkannya sanksi tilang bagi para pelanggar pengendara bermotor, tentu memberikan efek jera. Dengan demikian, mau tidak mau para pengendara kendaraan bermotor ini harus mentaati peraturan yang ada. Hal ini guna menciptakan kedisiplinan dan tertib berlalu lintas.

Ironi Atas Praktek Penindakan Pelanggaran Berlalu Lintas  
Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada subbab sebelumnya. Fakta lain pun terjadi. Di mana ironisnya, di tengah penegakan hukum dan peningkatan disiplin berkendara. Ada saja “oknum” kepolisian yang menyalahgunakan jabatan fungsinya ini. Di mana “oknum” tersebut melakukan korupsi dengan modus menilang atau bahasa awamnya “tilang damai”.  Maksud dari “tilang damai” yaitu pelanggar boleh melakukan negosiasi dengan “oknum” polisi yang menilang untuk tidak memilih kedua pilihan tilang (slip biru atau slip merah) dan memilih membayar sejumlah uang yang ditentukan kepada “oknum” polisi tersebut.

Otomatis uang denda yang seharusnya masuk kas pendapatan negara, justru masuk ke kantong pribadi “oknum” polisi tersebut. Hal ini berarti telah terjadi “korupsi tilang” Transaksi ilegal inipun diperparah dengan sikap instan masyarakat (pelanggar) yang ingin cepat dan tidak ingin direpotkan mengurus pelanggaran dipersidangan. Proses transaksi ilegal ini terbilang sering terjadi, dan secara otomatis tentu merugikan negara serta memperburuk citra kepolisian. “oknum” polisi ini tidak bisa disalahkan seratus persen, karena polisi juga dididik (dibentuk) oleh masyarakat dan terbelenggu oleh sistem.[2] Menurut para kriminolog, “oknum” polisi ini disebut dengan istilah eastern police (polisi timur). Di mana pengertian Polisi Timur dianggap sebagai polisi korup (mudah disogok), dan tidak professional.[3]

Parahnya lagi, terkadang ada saja pelaku kejahatan yang menyamar dan menipu menjadi petugas kepolisian (polisi gadungan) serta mencoba menilang pengendara kendaraan bermotor dengan maksud memeras uang pengendara kendaraan bermotor. Proses ini tentu disertai dengan ancaman, yaitu jika pengendara tidak membayar sejumlah uang maka kendaraannya akan dibawah dan ditahan ke kantor polisi. Jika pengendara ingin mengambilnya, maka harus ditebus dengan sejumlah uang yang lebih besar daripada jumlah uang yang harus dibayarnya saat itu (saat pengendara ditilang). Ancaman ini tentu membuat pengendara mau tidak mau harus mengeluarkan uang sebagaimana yang telah ditentukan oleh “oknum” polisi gadungan tersebut. 

Lebih ekstrem lagi yaitu “oknum” polisi gadungan ini ada yang motivasinya bukan memeras uang pengendara, melainkan mengambil kendaraan milik pengendara. Modus operasinya adalah “oknum” polisi gadungan ini berpura-pura membawa kendaraan pengendara ke kantor polisi dan pengendara diperintahkan mengambilnya di kantor polisi tersebut. Namun ternyata justru kendaraan itu dibawah lari atau dicuri.

Berdasarkan penjelasan di atas. Untuk itulah diperlukan sebuah mekanisme peraturan dan kebijakan yang dapat melindungi hak pelanggar atau pemilik kendaraan bermotor ini, seperti tidak ditipu atau dibohongi, dan hak mendapat keamanan. Oleh karena itu, diperlukan alternatif lain dari penerapan dan kebijakan sistem sanksi tilang selama ini. Di mana penulis, mengajukan gagasan atau ide berupa penerapan “Kartu Pelanggaran Mengemudi (KPM)” sebagai alternatif pengganti sistem tilang konvensional yang ada selama ini.

Pendukung dan Perannya Terhadap Pengimplementasian KKM
Sehebat apapun gagasan atau ide terlahir, dia tidak akan berguna jika tidak dimplementasikan. Untuk itu, gagasan yang berupa peraturan dan kebijakan ini haruslah dilaksanakan oleh berbagai pihak, yaitu : pemerintah, kepolisian dan masyarakat pengguna kendaraan bermotor.

Di mana peran untuk pemerintah di sini yaitu membuat sebuah mekanisme pengawasan dan pengontrolan atas kinerja polisi lalu lintas. Selain itu, membuat Undang-Undang lalu lintas yang berkeadilan, pro terhadap masyarakat atau tidak mendiskriminasi masyarakat. Sedangkan peran Polisi dalam pengimplementasi gagasan ini yaitu, menerapkan peraturan dan kebijakan kepada pengguna kendaraan bermotor untuk memiliki “Kartu Pelanggaran Mengemudi (KPM)”, serta konsisten atas fungsi kinerjanya, yaitu menjalankan tugasnya secara bersih dan professional. Peran masyarakat sebagai pengguna kendaraan bermotor yaitu memiliki “Kartu Pelanggaran Mengemudi (KPM)” ini dan menerapkan perilaku disiplin berkendara serta tidak mencoba melakukan praktek suap atau menyogok polisi saat dirinya ditilang. Selain itu, pengendara kendaraan bermotor ini juga berhak mengetahui identitas polisi yang menilangnya.


Kartu Pelanggaran Mengemudi (KPM) Sebagai Alternatif Penerapan Sanksi Pelanggaran Kendaraan Bermotor Konvensional
Kartu Pelanggaran Mengemudi atau yang disingkat KPM ini merupakan sebuah gagasan alternatif untuk penerapan sanksi pelanggaran kendaraan bermotor. Berdasarkan pengamatan dan wawancara penulis dengan para pengguna kendaraan bermotor, bahwa selama ini para pengguna kendaraan bermotor ini merasa dirugikan bahkan dibohongi dengan penerapan pelanggaran yang ada. Hal ini bukan tanpa alasan. Sebab menurut mereka, para petugas kepolisian ini lebih sibuk melakukan tilang daripada mengatur jalan raya. Alhasil, penilaian kurang baik dari masyarakat kepada Polisi pun muncul. Masyarakat mengalami krisis kepercayaan kepada aparat karena banyaknya oknum aparat dianggap tidak bekerja serius.[4]

Selain itu, indikasi negatif dari penerapan sanksi pelanggaran kendaraan bermotor yang konvensional ini yaitu terbukanya celah untuk “oknum” polisi dalam menyalagunakan fungsi jabatannya. Penyalagunaan itu berupa “perekayasaan menilang” dan kemudian terjadilah praktek suap atau “korupsi menilang”. Hal ini tentu menambah buruk citra kepolisian sendiri karena “oknum” tersebut.

 Maka dari itu, KPM kiranya dapat menjadi alternatif dari penerapan sanksi pelanggaran kendaraan bermotor ini. Diharapkan dengan diberlakukannya KKM, dapat meminimalisir penyalagunaan fungsi atau korupsi menilang oleh “oknum” polisi tertentu.

 KPM sendiri merupakan sebuah kartu yang berfungsi seperti kartu kredit pelanggaran kendaraan bermotor dengan batas jumlah pelanggaran  yang ditentukan. Di mana KKM ini sebagai pengganti pembayaran denda jika pengendara melakukan pelanggaran lalu lintas. Jadi dalam hal ini, pengendara saat ditilang cukup menunjukan KPM saja dan bukan uang yang dikeluarkan apabila ada “oknum” yang menginginkan “uang damai”.

Dengan demikian, motivasi “oknum” untuk melakukan “perekayasaan menilang” atau “korupsi menilang” atau memeras pengendara (apabila pengendara bertemu dengan  “oknum” polisi gadungan) dapat diminimalisir. Selain itu dalam kepemilikan KPM ini, pengendara harus sudah memiliki SIM. Otomatis penerapan KPM ini pun membantu kepolisian dalam menerapkan kepemilikan SIM bagi pengendara kendaraan bermotor.


Adapun besaran biaya pembuatan KPM ini yaitu Rp. 150.000,-. Setiap pengemudi yang memiliki KPM, berhak mendapat kesempatan kredit point pelanggaran maksimal empat (4) kali. Apabila kredit point pelanggaran sudah habis atau sudah empat kali dilubangi, maka pengemudi disarankan memperpanjangnya kembali ke SAMSAT setempat. Hal ini untuk mendapatkan kembali kesempatan kredit point pelanggaran.

Apabila pengemudi kendaraan bermotor tidak memiliki atau tidak membawa KPM atau kesempatan kredit point pelanggaran KPMnya sudah habis dan saat itu dia melakukan pelanggaran. Maka mekanisme sanksi konvensional pun diberlakukan sebagai pengganti KPM tersebut. Hal ini dimaksudkan agar proses penegakan sanksi bagi pelanggar berkendaraan bermotor tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Teknik Penerapan KPM
Penjelasan penerapan KPM ini terbagi menjadi dua, yaitu :

(1) Prosedur mendapatkan KPM
Untuk kepemilikan KPM ini, pengendara sudah memiliki SIM. Hal ini sesuai dengan UU nomor 22 tahun 2009 pasal 77 yang berbunyi, (1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan”. Dengan kepemilikan SIM, berarti pengendara memang sudah mendapat izin berkendaraan bermotor secara hukum.

Persyaratan pembuatan KPM yaitu : (a) sehat jasmani dan rohani, (b) berusia sekurang-kurangnya 17 tahun dengan ditandai kepemilikan KTP, (c) membayar fomulir pengajuan pembuatan KPM di loket yang ditentukan, (d) mengisi formulir permohonan, (e) dapat menulis dan membaca huruf latin, (f) melampirkan foto copy KTP dan SIM, (g) memiliki pengetahuan yang cukup mengenai lalu lintas jalan dan ketrampilan mengemudi, dan (h) lulus ujian dan praktek.

(2) Cara penggunaan KKM di lapangan
Setelah pengendara mendapatkan KPM, berarti pengemudi memiliki kesempatan kredit point pelanggaran sebanyak empat (4) kali. Apabila saat dijalan pengemudi melakukan sebuah pelanggaran, maka pihak kepolisian lalu lintas berhak melubangi KPM sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Untuk itu dalam penerapan KPM ini, pihak kepolisian dilengkapi dengan alat khusus pembolong KPM. Apabila kesempatan kredit point pelanggaran sudah habis, maka disarankan pengemudi kendaraan bermotor membuat atau memperpanjang KPM di SAMSAT setempat.

Analisi SWOT Penerapan KPM
Untuk mempermudah menganalisis kelebihan dan kekurangan dari penerapan KPM ini, maka penulis menggunakan analisis SWOT, yaitu :

A. Strength (kekuatan)
Kekuatan utama dari penerapan KPM ini yaitu :
- Dengan adanya KPM, dapat meminimalisir praktek penilangan ilegal yang dilakukan oleh ”oknum” polisi melalui ”korupsi menilang”. Dengan demikian, hasil uang denda pelanggaran dapat terkontrol dan benar-benar masuk ke dalam kas pendapatan negara bukan pajak.
- Mempermudah pihak kepolisian dalam melakukan penegakan hukum bagi para pelanggar lalu lintas dan meminimalisir penyalagunaan fungsi jabatan oleh anggota polisi. Sedangkan bagi masyarakat, dengan adanya KPM mempermudah masyarakat dalam membayar denda atas pelanggaran yang dilakukannya.
- Penerapan KPM ini akan lebih mengefisienkan mekanisme proses penilangan konvensional selama ini. Di mana mekanisme proses penilangan konvensional yaitu : (Slip biru), Pelanggar à Membayar denda ke BRI à Mengambil dokumen (SIM/STNK) yang disita ke Ditlantas Polda Metrojaya atau (slip merah), Pelanggar à Persidangan ke Pengadilan à Mengambil dokumen (SIM/STNK) yang disita ke loket khusus tilang yang ada di pengadilan. Dua proses mekanisme penilangan ini rata-rata membutuhkan waktu sampai 1 minggu setiap satu pelanggaran yang terjadi. Akibat lamanya proses mekanisme ini, maka tidak heran pelanggar kendaraan lebih memilih ”menyuap” polisi dengan sejumlah uang yang ditentukan dibanding pelanggar harus melakukan serangkaian mekanisme di atas. Sedangkan apabila diterapkan KPM maka mekanisme ini lebih sederhana yaitu, Pengemudi Membuat KPM di SAMSAT setempat à Apabila melanggar cukup dilubangi KPMnya à Jika sudah habis kesempatan kredit point pelanggaran, maka pengemudi kembali memperpanjangnya kembali di SAMSAT setempat. Mekanisme penerapan KPM ini hanya memerlukan waktu sehari saja.
- Penerapan KPM ini pun ada sisi edukasinya. Di mana setiap pengajuan pembuatan atau perpanjangan KPM. Pengemudi akan melakukan tes tertulis tentang rambu-rambu lalu lintas dan praktek berkendaraan. Dengan demikian dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan berlalu lintas para pengemudi ini.

B. Weakness (kelemahan)
Kelemahan dari penerapan KPM ini yaitu, diperlukannya mekanisme penerapan KPM yang terpadu, merevisi UU nomor 22 tahun 2009 untuk menambahkan point kepemilikan KPM  bagi setiap pengendara kendaraan bermotor, dan proses sosialisasi KPM tentu memakan waktu yang lama.
   
C. Opportunity (kesempatan)
Kesempatan dari penerapan KPM yaitu, dengan biaya yang lebih murah  (Rp. 150.000,-) dalam pembuatan KPM dibanding pengemudi harus membayar tilang secara konvensional serta masalah waktu yang lebih efisien. Dipredikasikan para pengemudi kendaraan bermotor akan lebih memilih membuat dan memiliki KPM ini. Secara otomatis, kepemilikan SIM pun akan naik. Sebab salah satu syarat kepemilikan KPM adalah memiliki SIM.

D. Threat (ancaman)
Ancaman dari penerapan KPM ini adalah pemalsuan KPM dan tetap saja ada ”oknum” yang melakukan praktek ”korupsi menilang” dengan modus menurunkan jumlah biaya tilang yang lebih murah. Misalnya, pengemudi A dianggap melakukan pelanggaran dan dia memiliki KPM. Pengemudi A memberikan KPM nya untuk dilubangi. Namun si ”oknum” memberikan penawaran kepada si pengemudi, lebih baik hilang satu kesempatan dan harus membuat lagi dengan membayar Rp. 150.000,- ( satu lubang jika dirasionalkan harganya sekitar Rp. 40,000,-an) atau membayar ”uang damai” dibawah Rp. 40.000,- atau misalnya Rp. 20.000,-. Untuk menghindari sistem pemalsuan KPM, sistem barcode dapat menjadi alternatif antisipasi pemalsuan ini. Sedangkan ancaman untuk ”oknum” nakal, dalam hal ini pihak kepolisian harus benar-benar komitmen dan konsisten menjalani tanggungjawabnya. Serta masyarakat (pengemudi) pun dituntut untuk tidak mencoba melakukan praktek penyuapan kepada petugas kepolisian.


Referensi:
[1] Pengertian menilang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah menangkap (pengemudi, pengendara) yg terbukti melanggar lalu lintas.
[2] 25 September 2005. Polisi dan Kekerasan. Majalah Forum Keadilan, No. 22. 
[3]  Erlangga Masdiana.  2006. Kejahatan Dalam Wajah Pembangunan. Jakarta: NFU Publishing.Hlm. 11
[4] Ibid. Hlm. 185 


* Tulisan ini hanya bersifat gagasan alternatif penulis, dan tentunya masih banyak kelemahan sana-sini dalam gagasan ini.

Jakarta, 23 Desember 2011

Jumat, 08 Juli 2011

Sebuah Ringkasan Filsafat Pendidikan

Sebuah Ringkasan Filsafat Pendidikan

Oleh: Syaifudin

Filsafat pendidikan merupakan suatu filsafat terapan. Secara etimologis, filsafat pendidikan terdiri dari term filsafat dan pendidikan. Pendidikan sendiri pada dasarnya membutuhkan filsafat. Mengapa? Sebab permasalahan-permasalahan pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi oleh pengalaman semata, melainkan masalah pendidikan ini lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dipahami oleh ilmu pendidikan sendiri. Untuk itu diperlukan dimensi filsafat sebagai fondasi dari pelaksanaan pendidikan. Lalu apa filsafat pendidikan itu ? 

Filsafat pendidikan pada dasarnya sebagai kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dan sebagai upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis. Menurut John Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju tabiat manusia.[1]

Pada dasarnya filsafat pendidikan menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang berkaitan dengan tujuan, cara dan hasilnya, yang berdasarkan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaan dari pendidikan itu sendiri. Adapun subyek filsafat pendidikan yaitu subyek atau seseorang yang berpikir secara mendalam dan kritis tentang hakikat sesuatu serta bagaimana memecahkan permasalahan pendidikan. Sedangkan obyek filsafat pendidikan terbagi menjadi dua, yaitu: obyek material berupa sesuatu atau realitas, mengenai yang harus ada dan yang tidak harus ada: Obyek formal berupa sifat mengasaskan atau berprinsip baik mengenai suatu kebenaran maupun tidak.

Dalam filsafat pendidikan modern ada empat aliran utama yaitu: progresivisme, perenialisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme. Adapun penjelasan secara ringkas dari ke empat aliran tersebut sebagai berikut:
1. Aliran Progresivisme
Aliran progresivisme merupakan gerakan pendidikan yang memandang prinsip penyelenggaraan pendidikan di sekolah idealnya berpusat pada anak didik (child-centered) atau memberi penekanan pada pengembangan aktivitas, kreativitas, belajar, dan juga pengalaman anak. Aliran ini merupakan antitesis dari pandangan pendidikan yang menekankan pelaksanaan pendidikan berpusat pada guru (teacher-centered) atau bahan pelajaran (subject-centered). Aliran progresivisme dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti William James, Charles Sanders Pierce, dan John Dewey, diawal abad 20.[2]

Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan yang survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Progresivisme dinamakan sebagai pandangan instrumentalisme, eksperimentalisme dan environmentalisme. Mengapa? Aliran ini beranggapan bahwa kemampuan kognitif manusia merupakan instrumen untuk bertahan hidup dan mengembangkan segala potensi dirinya, ini yang disebut sebagai instrumentalisme. Sedangkan eksperimentalisme, menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen guna menguji kebenaran suatu teori. Aliran progresivisme juga menganggap bahwa lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian anak. Untuk itu aliran ini memandang bahwa proses pembelajaran perlu ditekankan pada pembentukan kreativitas, pemberian sejumlah kegiatan, suasana yang alamiah (natural), dan memperhatikan pengalaman anak didik.

Aliran ini juga ditopang oleh aliran filsafat pragmatisme. Pragmatisme memandang bahwa sesuatu itu benar, apabila kebenaran itu sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan kenyataan. Untuk itulah aliran progresivisme juga diidentikan dengan aliran pragmatisme. Karena memang aliran pragmatisme juga aliran yang dikembangkan oleh John Dewey.

Pada umumnya tujuan pendidikan aliran ini yaitu mengembangkan bakat dan minat setiap anak secara maksimal. Oleh karena itu kurikulum yang yang dibuat berdasarkan pengalaman-pengalaman atau kegiatan-kegiatan belajar yang diminati oleh setiap anak (experience curriculum). John Locke yang juga tokoh dalam aliran ini mengatakan, idealnya sekolah diarahkan untuk kepentingan pendidikan anak.

Ranah pengembangan aliran ini tidak hanya kognitif, melainkan psikomotorik dan afektif. Sehingga segala potensi yang ada dalam diri murid benar-benar berkembang secara maksimal. Ciri khas aliran ini adalah metode learning by doing atau belajar dengan melakukan dan problem solving atau pemecahan masalah. Menurut John Dewey, bentuk belajar seperti ini akan mendorong anak untuk bersikap imajinatif pada semua tataran, dan yang terpenting, akan melatih mereka mencapai kompetensi di segala aktivitas kehidupannya.[3]
Adapun simpulan dari aliran progresivisme yaitu : belajar berpusat pada peserta didik; melihat manusia sebagai pemecah persoalan yang baik; pendidikan dinilai sebagai suatu proses; melatih anak untuk mampu menghadapi persoalan aktual atau potensial; guru sebagai fasilitator dan motivator dalam iklim yang demokratis dan menyenangkan; proses pendidikan bersifat eksperimentasi alamiah dan menuju perubahan yang berguna bagi anak maupun masyarakat.

2. Aliran Perenialisme
Aliran perenialisme merupakan gerakan pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Istilah perenialisme sendiri berasal dari kata perenial yang berarti abadi, atau kekal. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi atas aliran pendidikan progresivisme. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perubahan itu dinilai membuat kehidupan manusia menjadi krisis dan tidak disesuai dengan nilai-nilai yang ada. Sehingga di dunia ini penuh kekacauan, dan tidak ada satu pun kebermanfaatan dari tujuan pendidikan itu sendiri. Atas masalah tersebut, menurut kaum perenialis harus kembali pada nilai nilai atau prinsip prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat. Tokoh-tokoh utama dalam aliran ini yaitu Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas.

Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Karena itu, perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang.[4] Aliran ini, memandang manusia sebagai makhluk yang berpikir dengan segala ilmu pengetahuan yang dimilikinya, sehingga dengan berpikir itu manusia dapat menemukan kebenaran. Maka aliran perenialisme menekankan penguasaan pengetahuan sebagai sesuatu yang pertama bagi manusia. Dengan pengetahuan itu manusia dapat mengenal dan memahami segala masalah yang ada serta mencari penyelesaian masalahnya.

Pandangan perenialisme diidentikan sebagai aliran pendidikan yang bersifat relijius. Menurut Alan M. Laibelman, perenialis mengajarkan bahwa setiap penurunan ke arah materi selalu akan diikuti kenaikan kearah spiritual.[5] Aliran ini memandang kebaikan tertinggi manusia yaitu kedekatan diri dengan Tuhan. Oleh karena itu, menurut Robert Hutchkins tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi supaya anak didik dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri.[6] Dengan begitu, aliran ini memandang kenyataan bukanlah pengetahuan yang sebenarnya sebab dia ada dalam pikiran manusia dan Tuhan-lah pengetahuan yang sebenarnya. Maka tujuan pendidikan yang sebenarnya adalah menanamkan kebenaran yang hakiki tersebut. Kebenaran hakiki itu diperoleh melalui pelatihan keintelektualan dan mengembangkan spiritual manusia.

Adapun asas aliran ini bersumber pada dua pandangan yaitu perenialisme teologis yang berdasarkan pada pandangan St. Thomas Aquinas. Menurut St. Thomas Aquinas untuk mengetahui realitas harus berdasarkan iman, sementara perkembangan rasional hanya dapat dijawab dan mesti diikuti dengan iman.[7] Pandangan teologis memandang pikiran bukan menjadi determinan, tetapi imanlah yang determinan. Baginya iman merupakan entitas yang rasional atas permasalahan kehidupan manusia. Sebab kebenaran merupakan suatu yang adikodrati. Pikiran (nalar) kiranya belum mencukupi dalam proses memahami kebenaran tersebut. Oleh karena itu, diperlukan iman sebagai penopang pikiran manusia. Perenialisme teologis membimbing individu kepada kebenaran utama seperti doktrin, etika dan spiritual. Pada asas ini metode yang digunakan yaitu metode trial and error. Murid berusaha mencoba dan mencoba lagi sampai diperoleh suatu pemecahan yang memuaskan atau memperoleh pengetahuan yang proporsional.

Lalu perenialisme sekuler berdasarkan pandangan Plato dan Aristoteles. Bagi Plato, tujuan utama pendidikan yaitu bagaimana membimbing manusia yang sadar akan asas normatif yang sudah ditentukan dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan. Sedangkan Aristoteles memandang, bahwa penanaman kebiasaan dan kesadaran yang berdasarkan aturan moral sangatlah penting pada tingkat pendidikan di usia muda. Jika perenialisme teologis memandang pikiran bukan sesuatu yang determinan. Sebaliknya, perenialisme sekuler memandang pikiran sebagai sesuatu yang harus ada sebagai penyangkalan keraguan adikodrati. Perenialisme sekuler memandang kebenaran tersirat di dalam pemikiran itu sendiri.

Pendekatan perenialisme sekuler yaitu literari (sastra) dalam belajar serta pemakaian seminar dan diskusi sebagai cara yang tepat untuk mengkaji hal-hal yang terbaik bagi dunia. Individu dibimbing untuk membaca materi pengetahuan secara langsung dari buku-buku sumber asli sekaligus teks modern guna memahami kebenaran sesungguhnya. Di sini guru berfungsi memformulasikan masalah yang kemudian didiskusikan dan disimpulkan oleh murid. Sehingga, dengan iklim kritis dan demokratis yang dibangun dalam kultur ini. Individu dapat mengetahui pendapatnya sendiri, sekaligus menghargai perbedaan pemikiran yang ada.
Dari kedua asas tersebut, maka tujuan dari aliran ini adalah bagaimana manusia menuju kebaikan, kebahagiaan dan kematangan intelektual, jasmaniah dan emosional. Posisi guru pada aliran ini dipandang sebagai faktor determinan dalam keberhasilan perkembangan pengetahuan anak atau guru sebagai pusat belajar.

3. Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan gerakan pendidikan yang mengkritik skeptisisme dan sinisme pada aliran progresivisme di sekolah-sekolah. Aliran ini memandang bahwa nilai-nilai kebudayaan yang ada di masyarakat merupakan sesuatu yang sudah terbentuk secara alamiah. Maka aliran ini menekankan proses pendidikan harus perpijak pada nilai-nilai tersebut sebagai kontrol sosial tindakan manusia. Aliran esensialisme dibentuk berdasarkan pandangan filsafat idealisme dan realisme.

Filsafat idealisme memandang realitas sebagai subtansi ide. Idealisme meyakini dibalik ide ada kekuasaan yang tidak terbatas, yaitu Tuhan. Untuk itu manusia sebagai makhluk berpikir berada dalam kekuasaan tersebut. Tuhan sebagai sumber kebenaran dalam pikiran manusia. Sedangkan realisme memandang bahwa segala kejadian yang ada di dunia dan manusia di dasarkan hukum-hukum yang mekanistik dan kausalitas. Oleh karena itu, tujuan umum dari aliran esensialisme adalah membentuk kebahagiaan dunia dan akhirat.

Walaupun aliran di atas berbeda pandangan. Namun keduanya sepakat bahwa murid haruslah menggunakan kebebasannya dan memerlukan bimbingan guru sebagai kontrol dari kebebasannya tersebut. Menurut Redja Mudyahardjo, tujuan pendidikan esensialisme yaitu menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, yang telah bertahan sepanjang waktu dan dengan demikian adalah berharga untuk diketahui oleh semua orang.[8]

Sama halnya dengan perenialisme, esensialisme meletakan posisi guru sebagai pusat kegiatan pembelajaran. Esensialisme menilai pada dasarnya peserta didik tidaklah tahu apa yang ada dalam dirinya dan keinginannya. Untuk itu guru membimbing dan mempengaruhi peserta didik sebagai bentuk pengembangan kemampuan peserta didik sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh guru maupun sekolah. Diskusi, dan membaca merupakan metode yang biasa digunakan dalam mencapai tujuan pendidikan aliran ini.

4. Aliran Rekonstruksionisme
Aliran rekonstruksionisme merupakan gerakan pendidikan yang berusaha menyusun kembali tata kehidupan kebudayaan yang sudah ada dan kemudian ditafsirkan lebih modern lagi. Jika perenialisme memandang terganggunya kebudayaan dan harus kembali ke pemahaman kebudayaan lama. Lain dengan rekonstruksionisme, yang memandang itu harus ditempuh melalui pembinaan serta penyusunan kembali tata kehidupan manusia yang sesuai dan bukan kembali dalam pemahaman kebudayaan lama. Pada level rekonstruksi, diperlukan konsensus bersama antar manusia. Sebab aliran ini menilai semua manusia memiliki tanggung jawab dalam menjaga stabilitas dan kebaikan kehidupan di dunia.

Aliran ini memandang pendidikan sebagai instrumen dalam mengonstruksi masyarakat masa depan. Maka pembinaan yang baik dan sesuai melalui pendidikan akan menentukan masa depan masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, fungsi sekolah yaitu sebagai lembaga yang menciptakan suatu perubahan sosial, ekonomi maupun politik di dalam masyarakat. Sekolah melahirkan manusia-manusia yang nantinya dapat meubah tata kehidupan di masa depan.

Peran guru dalam hal ini sebagai fasilitator yang turut mengembangkan segala potensi murid. Dengan orientasi, bagaimana murid nantinya dapat menjadi manusia yang mengubah dan memperbaiki masalah-masalah di masyarakat kedepannya. Metode pembelajaran lebih bersifat menganalisis permasalahan-permasalahan di masyarakat dalam bentuk pemecahan masalah, analisis kebutuhan dan penyusunan program aksi perbaikan masyarakat.[9]

Berdasarkan penjelasan mengenai aliran filsafat pendidikan di atas, yang jelas dalam melihat pola-pola pendidikan tidak lepas dari penjelasan filsafat pendidikan.


08 Juli 2011

[1]. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal.20.
[2]. Tokoh-tokoh ini merupakan kelompok filsafat pragmatisme. Di mana pengetahuan sebagai bentuk keterlibatan praktis. Lengkapnya lihat Bryan Magee, The Story of Philosophy, (Yogyakarta: Kanisiius, 2008), hal. 186-191.
[3]. Lihat Bryan Maggee, Op.Cit., hal 191.
[4]. Lihat Jalaluddin dan Abdullah Idi, Op.Cit., hal.110-111.
[5]. Lihat, Ahmad Norma Permata (ed), Perennialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hal. 90.
[6]. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Op.Cit., hal.118.
[7]. Ibid., hal. 121.
[8]. Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), hal. 163.
[9]. Ibid. hal.156.

Sabtu, 14 Mei 2011

Refleksi Pendidikan Profesi Guru


Refleksi Pendidikan Profesi Guru*

Oleh : Syaifudin

Umar Bakri..Umar Bakri.. Pegawai negeri. Empat puluh tahun mengabdi. Jadi guru jujur berbakti memang makan hati. Umar Bakri..Banyak ciptakan menteri. Umar Bakri. Profesor, dokter, insinyurpun jadi. (Bikin otak orang seperti otak Habibie). Tapi mengapa gaji guru Umar Bakri. Seperti dikebiri. Bakri Bakri. Kasihan amat loe jadi orang…

Petikan syair lagu di atas tentu tidak asing lagi di telinga. Sebuah lagu yang mengisahkan dinamika kehidupan “Umar Bakri” yang berprofesi sebagai guru. Guru tidak semata sebagai sebuah profesi, tetapi ia adalah seorang intelektual transformatif. Nama-nama pahlawan nasional seperti Soekarno, Hatta, Moh. Yamin, dan Tan Malaka, merupakan sederet nama yang besar atas peran guru. Walaupun begitu, tak pelak peran besarnya tersebut menjamin kebahagian hidupnya secara materi. Namun bukanlah materi yang menjadi kebahagiaan utama dalam pikiran dan hati nuraninya. Lebih dari itu, keberhasilan belajar dan kesuksesan hidup peserta didik menjadi kebahagian utama dari sebuah materi.
Terlepas dari permasalahan kehidupan guru. Profesi guru khususnya yang mengajar di lembaga pendidikan formal, terlebih dahulu harus melalui pendidikan di Perguruan Tinggi (PT) yang berlatar belakang Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), salah satunya Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Bagi mahasiswa yang berkuliah di PT LPTK, tentu pernah mengalami kegiatan mata kuliah Program Pengalaman Lapangan (PPL).
PPL merupakan salah satu kegiatan pendidikan dan pelatihan profesional tenaga kependidikan, yang terintegrasi sebagai mata kuliah yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa sebelum menyelesaikan studi kesarjanaan pendidikannya. Pelatihan tersebut dimaksudkan untuk mempersiapkan calon-calon tenaga pendidik atau guru. PPL mencakup pembinaan dan pelatihan kemampuan profesional guru secara terbimbing dan terpadu guna memenuhi persyaratan profesional kependidikan. Pelaksanaan PPL sendiri dikoordinasikan oleh Unit Pelaksana Teknis Program Pengalaman Lapangan (UPT PPL). Sedangkan tanggung jawab pengembangan akademisnya dilakukan oleh masing-masing fakultas maupun jurusan.
Kegiatan PPL sendiri dilaksanakan selama satu semester di salah satu sekolah yang sudah ditentukan dan disetujui antara pihak sekolah dan Universitas mahasiswa yang akan PPL. Adapun syarat PPL, mahasiswa harus sudah menempuh minimal 120 SKS. Penilaian ujian PPL dilakukan oleh guru pamong, kepala sekolah dan dosen pembimbing PPL.

Pendidikan Profesi Guru (PPG)
Namun seiring perkembangan zaman. Guru terus dituntut untuk dapat meningkatkan kualitas dan profesionalitas tugas utamanya, seperti mendidik, mengajar, membimbing, melatih, menilai, dan mengevaluasi hasil belajar peserta didik sebagaimana termaktub dalam UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen.
Guna mewujudkan tujuan tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional menyusun kebijakan yang disebut Program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Program PPG ini dilandasi oleh beberapa UU dan peraturan pemerintah seperti, UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003, UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, PP nomor 74 tahun 2008 tentang guru, Permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru, Permendiknas nomor 8 tahun 2009 tentang Program PPG pra jabatan, Permendiknas nomor 9 tahun 2010 tentang Program PPG bagi guru dalam jabatan, dan panduan PPG Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010. Pelaksana dari Program PPG merupakan PT LPTK, UNJ salah satunya. Walaupun disebutkan PPG sudah dibuka sejak September 2009, namun faktanya PPG sampai tahun 2011 belum berjalan sebagaimana mestinya disetiap PT LPTK, termasuk UNJ.
PPG merupakan program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S1 kependidikan maupun non kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidikan profesional, baik untuk mengajar di pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dengan kata lain, PPG merupakan satu kesatuan dan kelanjutan dari program akademik S1 yang memfasilitasi keinginan mahasiswa atau guru untuk menjadi guru profesional berdasarkan kriteria UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen.
PPG sendiri terbagi menjadi dua jalur, yaitu Program PPG pra jabatan dan program PPG dalam jabatan, sebagaimana yang diatur dalam Permendiknas nomor 8 tahun 2009 dan Permendiknas nomor 9 tahun 2010. Penjelasan ringkas mengenai kedua jalur ini yaitu, PPG pra jabatan dimaksudkan bagi para mahasiswa lulusan S1 kependidikan maupun non kependidikan yang belum mengajar dan ingin menjadi guru. Sedangkan PPG dalam jabatan adalah calon mahasiswa yang sudah mengajar di lembaga pendidikan binaan Kemendiknas minimal lima tahun yang dibuktikan dengan surat keterangan pengangkatan guru dan usia maksimal 35 tahun pada saat mendaftar.
Perbedaan mendasar dari kedua jalur ini terletak dari penerimaan kuota calon mahasiswa. Pada PPG pra jabatan kuota calon mahasiswa ditentukan oleh PT LPTK berdasarkan prinsip supply and demand, sedangkan PPG dalam jabatan kuota mahasiswa ditentukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota calon mahasiswa yang bersangkutan. 

Ruang Lingkup PPG
Secara akademik dampak dari pelaksanaan PPG bagi PT LPTK, yaitu jumlah SKS mata kuliah kependidikan seperti PPL akan dihilangkan atau dikurangi. Sehingga waktu tempuh kelulusan studi mahasiswa yang idealnya minimal delapan semester atau 144 SKS, lebih cepat dari sebelumnya. Sebab mata kuliah kependidikan tersebut akan didapatkan mahasiswa saat ia mengikuti PPG nanti. Adapun beban studi PPG ditetapkan berdasarkan latar belakang keilmuannya. Bagi lulusan S1 PGTK/PGPAUD atau PGSD yang ingin menjadi guru di satuan pendidikan TK/RA/TKLB atau SD/MI/SDLB memiliki beban studi 18 – 20 SKS. Sementara lulusan S1/D-IV baik kependidikan maupun non kependidikan yang bukan keilmuan PGTK/PGPAUD atau PGSD, dan ingin menjadi guru di satuan pendidikan TK/RA/TKLB atau SD/MI/SDLB memiliki beban studi 36-40 SKS. Sedangkan bagi calon guru atau guru yang ingin menjadi guru di satuan pendidikan SMP/MTs/SMPLB atau SMA/MA/SMK/MAK baik lulusan S1/D-IV kependidikan maupun non kependidikan memiliki beban studi 36-40 SKS.
Sedangkan sistem seleksi penerimaan mahasiswa PPG terdiri dari seleksi administrasi dan akademik. Seleksi administrasi terdiri dari formulir biodata calon mahasiswa, fotokopi ijazah S1/D-IV dan transkip nilai dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimal 2,75, surat keterangan bebas narkoba dari rumah sakit pemerintah/BNN, surat keterangan kesehatan dari dokter rumah sakit pemerintah/puskesmas. Untuk calon mahasiswa dalam jabatan ada dokumen tambahan berupa, bagi guru PNS/bukan PNS menyertai surat keterangan sebagai guru PNS/bukan PNS dari Kepala Sekolah bersangkutan, surat keterangan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan sudah memiliki masa kerja sebagai guru minimal lima tahun dengan bukti SK pengangkatan sebagai guru, surat pernyataan kesediaan mengikuti pendidikan dan meninggalkan tugas mengajar yang ditandatangani oleh yang bersangkutan dan Kepala Sekolah, surat persetujuan Kepala Dinas Pendidikan kabupaten/kota, dan beberapa portofolio prestasi.
Sementara seleksi akademik berupa tes dan non tes, yang terdiri dari tes potensi akademik, penguasaan kemampuan bahasa inggris, tes penguasaan bidang studi serta penelusuran minat dan bakat melalui wawancara dan observasi kinerja. Sistem pembelajaran yang berlaku pada PPG terdiri dari pendidikan bidang studi atau Subject Specific Pedagogy (SSP), workshop SSP, pratikum (peer teaching/microteaching sesuai bidang studi), serta praktik PPL. Subject Specific Pedagogy (SSP) mencakup pembelajaran standar kompetensi, materi, strategi, metode, media , dan evaluasi pembelajaran. Workshop SSP merupakan lokakarya mahasiswa yang meliputi persiapan SSP untuk melihat kemampuan dan kesiapan mahasiswa dalam melaksanakan praktik PPL seperti pembuatan silabus dan RPP yang terdiri dari perumusan SK-KD, strategi dan teknik pembelajaran serta media pembelajaran yang digunakan. Dalam kegiatan ini difasilitasi dan dibimbing oleh tim penilai yang terdiri dari dosen pembimbing, dosen pengampu bidang studi, serta guru pamong.
Setelah dirasa mahasiswa siap dan benar dalam merumuskan silabus dan RPP saat kegiatan workshop SSP. Mahasiswa diuji kesiapannya kembali melalui kegiatan peer teaching/microteaching sesuai dengan bidang studinya. Apabila dirasa sudah cukup dan siap, barulah mahasiswa PPG melakukan PPL di sekolah yang sudah dikoordinasikan oleh UPT PPL LPTK bersangkutan. Pelaksanaan PPL sendiri dilakukan baik melalui sistem blok atau nonblok. Jika sebelumnya pelaksanaan PPL hanya bersifat mengajar. Pada sistem PPG, mahasiswa PPL juga melakukan kegiatan penelitian tindakan kelas sesuai dengan perangkat pembelajaran yang dikembangkan oleh mahasiswa bersangkutan. Hal ini guna meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam meneliti dan menentukan perangkat pembelajaran yang sesuai.
Kemudian bagi mahasiswa yang sudah menyelesaikan beban studinya, akan mendapatkan sertifikat pendidik bernomor register yang dikeluarkan oleh PT LPTK tempat mahasiswa tersebut mengikuti PPG. Sertifikat nantinya sebagai bukti syarat untuk melamar mengajar di satuan pendidikan baik negeri maupun swasta. Selain itu, guru yang sudah mengikuti PPG secara otomatis mendapatkan tunjangan kesejahteraan tambahan.

Ikhtisar Harapan PPG
Berdasarkan uraian di atas. Pengembangan sumber daya manusia merupakan dimensi penting dalam proses pembangunan nasional, baik pembangunan dimensi ekonomi, sosial, maupun budaya. Oleh sebab itu, pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan, harus mendapat perhatian secara sungguh-sungguh berdasarkan perencanaan secara sistematis dan rinci yang mengacu pada masa depan.
Dalam hal ini, guru merupakan satu unsur penting yang inheren dalam pelaksanaan pendidikan. Guru memegang peranan di dalam pengembangan masyarakat melalui lembaga pendidikan. Selain itu guru merupakan satu diantara pembentuk-pembentuk utama calon warga masyarakat.
Masalah guru adalah masalah yang sangat penting. Sebab mutu guru turut menentukan mutu pendidikan. Sedangkan mutu pendidikan akan menentukan mutu generasi muda, sebagai calon warga negara dan warga masyarakat. Masalah mutu guru ini sangat bergantung pada sistem pendidikan guru. Sistem pendidikan guru merupakan sub sistem pendidikan nasional yang memiliki peran strategis.
Begitu pentingnya kualitas guru sebagai implikasi dari pembentukan kualitas penerus bangsa ke depannya. Maka pemerintah bersama PT LPTK berusaha melahirkan guru-guru yang berkualitas dan profesional melalui penerapan kebijakan Program PPG ini.
Terlepas dari permasalahan praktik pelaksanaan PPG nantinya. Diharapkan PPG tidaklah semata sebagai Program “Penarikan Pembiayaan Guru”, tetapi sebagai cita-cita dan usaha luhur dalam meningkatkan kualitas dan pofesionalitas guru sebagai pelita bangsa. Bangsa dan peradaban merupakan produk pendidikan. Kegagalan suatu bangsa dan hancurnya peradaban adalah kegagalan dunia pendidikan.Kegagalan dunia pendidikan adalah kegagalan meningkatkan kualitas guru. Kegagalan meningkatkan kualitas guru adalah kegagalan orientasi pemerintah dan PT LPTK.
Guru bukanlah dewa Tantalos yang bergelimang harta. Guru bukanlah obyek proyek demi segelintir tujuan kepentingan elite. Dalam kesahajaan, dia terus berjuang demi anak didik bangsa dan demi tujuan negara. Guru juga bukan semata sebagai tenaga terampil dan profesi, tetapi lebih dari itu. Ia merupakan manusia intelektual transformatif yang senantiasa setia mengabdi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang bermartabat dan beradab. Semoga PPG menjadi suatu solusi mulia dalam rangka meningkatkan kualitas guru dan juga kesejahteraannya. PPG, tinggal kita lihat bagaimana praktiknya nanti.

* Diterbitkan dalam majalah INVERSI UNJ edisi Mei 2011

Kamis, 07 April 2011

Sekilas Serpihan Pemikiran Sosial Peter Ludwig Berger

Sekilas Serpihan Pemikiran Sosial Peter Ludwig Berger

Oleh: Syaifudin


Sejauh ini, realitas kehidupan sehari-hari terkesan dialami individu secara perorangan. Kenyataannya tidaklah demikian. Menurut Berger dan Luckmann (1966), realitas sosial dialami oleh individu bersama-sama dengan individu yang lainnya. Selain itu, individu lainnya sesungguhnya juga merupakan realitas sosial.[1] Dalam pengertian yang terakhir, berarti orang lain bukan hanya bagaian atau objek dalam realitas kehidupan sehari-hari individu, tetapi ia atau mereka juga bisa dipandang sebagai realitas sosial itu sendiri. Artinya, pengalaman individu tentang sesamanya merupakan aspek yang penting untuk ditelaah dari konstruksi realitas dalam diri seseorang.
Pada pokoknya, menurut Berger dan Luckmann, orang lain yang dihadapi oleh individu bisa digolongkan menjadi dua kategori: mereka yang dialami atau dihadapi dalam suasana tatap muka, dan lainnya yang dialami atau dihadapi di luar suasana tatap muka. Pemahaman individu akan orang lain yang berada dalam suasana tatap muka dengannya sebenarnya dilandaskan pada skema tipifikasi yang sangat fleksibel. Ketika baru pertama kali berinteraksi, tipe yang dibuat individu tentang lawannya masih sedikit dan tidak mendalam. Tetapi sejalan dengan peningkatan interaksi, tipifikasi yang dimilikinya pun kian menguat.
Berger menyatakan bahwa hubungan manusia dengan masyarakat merupakan suatu proses dialektis yang terdiri atas tiga momen, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi adalah usaha pencurahan diri manusia terus menerus ke dalam dunia, dalam kegiatan fisik maupun mental. Melalui eksternalisasi, manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Dengan demikian, masyarakat adalah produk ciptaan atau hasil kegiatan manusia.
Objektivasi adalah disandangnya status realitas objektif oleh hasil-hasil kegiatan manusia. Apa yang diekspresikan oleh manusia itu lantas menjadi sebuah kenyataan yang berdiri sendiri, terpisah dan berhadapan dengan manusia. Dalam hal ini, masyarakat menjadi sebuah kenyataan sendiri yang terpisah dari manusia. Lalu, internalisasi adalah penyerapan kembali realitas objektif ke dalam kesadaran subjektif manusia. Melalui internalisasi, manusia melakukan proses adaptasi terhadap apa yang telah dibuatnya sendiri. Masyarakat kini berfungsi sebagai pelaku formatif bagi kesadaran individu. Agar tidak menjadi terasing atau teralienasi, manusia harus menyesuaikan diri dengan masyarakat di mana ia berada.
Ringkasnya, realitas sosial kehidupan sehari-hari tidak lepas dari interaksi tatap muka yang dilakukan individu dengan sesamanya. Dalam arti, bersama dengan orang lain itu individu mengalami/menghadapi realitas sosial kehidupan sehari-hari, di mana orang lain dalam suasana tatap muka itu sendiri juga merupakan realitas sosial bagi si individu. Sama halnya dengan modernitas yang terjadi pada masyarakat yang tidak lepas dengan hubungan suasana tatap muka atau realitas sosial kehidupan sehari-hari. Berger menyebutkan corak kognitif yang juga ada hubungannya dengan realitas kehidupan sehari-hari pada modernisasi. Juga terdapat proses dialektis yaitu internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi dalam kehidupan sehari-hari pada modernisasi.

The homeless mind: modernization and consciousness
Pemikiran Berger tentang modernitas tertuang dalam The Homeless Mind: Modernization and Consciousness (1974) yang sedikit banyak memperlihatkan dialektika eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi dari gejala modernitas yang terungkap dalam kehidupan sehari-hari. Atau dengan kata lain, hubungan dialektis antara kesadaran dengan tatanan institusional modern.
Secara sederhana, modernisasi diartikan sebagai “the institutional concomitans of technologically induced economic growth” (tatanan institusional yang menyertai pertumbuhan ekonomi yang dipacu teknologi)[2]. Berdasarkan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa modernisasi itu menyangkut tatanan institusional suatu masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya menyangkut institusi ekonomi saja.
Institusi ekonomi (dan teknologi) hanyalah motor penggerak modernisasi. Pengertian seperti ini sering dikacaukan dengan pengertian “development”. Ada orang yang menyamakan keduanya, ada pula yang membedakannya. Berger sendiri membedakannya secara definitif. Menurutnya, perbedaan antara modernisasi dan pembangunan terletak pada dua hal mendasar. Yang pertama, pembicaraan tentang modernisasi lebih luas daripada pembicaraan tentang pembangunan. Modernisasi menyangkut tatanan institusional, sedangkan pembangunan hanya bersangkut-paut dengan institusi ekonomi. Meski berbeda, memang tidak dapat disangakal bahwa melalui pembangunan (ekonomi) modernisasi bisa dicapai dalam suatu masyarakat.
Perbedaan kedua, menyangkut ihwal “bebas-nilai”. Modernisasi adalah hal yang bisa dibicarakan tanpa harus diikuti oleh perbincangan seputar kebijakan yang perlu dilakukan. Berbeda dengan pembicaraan tentang pembangunan yang sering kali dikaitkan dengan pembicaraan tentang peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Dunia Ketiga. Pembicaraan tentang usaha peningkatan semacam ini mau tidak mau akan melibatkan kita pada pembicaraan yang menjerumus tentang kebijakan perencanaan pembangunan. Dan pembicaraan tentang kebijakan pada gilirannya akan bersangkut-paut dengan pembicaraan yang tidak bebas-nilai, dalam perumusan kebijakan mau tidak mau harus diperhitungkan korban yang timbul akibat dilaksanakannya kebijakan yang dimaksud. Dibandingkan dengan pembangunan, maka pembicaraan tentang modernisasi bisa dikatakan bebas-nilai.
Dalam usahanya melakukan telaah sosiologis tentang modernisasi, dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Berger menganut prinsip bebas-nilai. Bukan itu saja, ada beberapa prinsip lain yang digunakan olehnya dalam telaah sosiologis ini. Pertama, secara umum modernitas ditelaah sebagai realitas yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Dan di sini, secara khusus analisis dilaksanakan dalam dua level: level kesadaran dan level tatanan institusional. Premisnya: di satu pihak kesadaran pada dasarnya terbentuk berlandaskan tatanan institusional, di lain pihak dinamika tatanan institusional tak bisa dilepaskan dari kesadaran.
Sejalan dengan hubungan saling membentuk di antara kesadaran dan tatanan institusional, maka selayaknya modernisasi dipandang sebagai gejala historis. Maksudnya, modernisasi dalam suatu masyarakat harus dapat ditentukan titik awal dan titik akhirnya, serta proses yang berlangsung diantara keduanya.

Corak kognitif: rasionalitas masyarakat modern
Seperti kebanyakan ilmuwan sosial, Berger memandang modernisasi pada mulanya berlangsung di masyarakat-masyarakat yang sekarang ini biasa dilihat sebagai negara industri maju. Baru kemudian ia meluas ke berbagai masyarakat Dunia Ketiga. Dalam pengertian ini selanjutnya Berger berpendirian bahwa agen modernisasi yang utama dalam masyarakat adalah institusi birokrasi. Sedangkan agen lainnya, di antaranya institusi pendidikan, arus komunikasi massa, situasi kota kontemporer, dan kondisi sosial budaya yang majemuk. Bertolak dari kerangka teori yang digunakannya, Berger beranggapan bahwa baik produksi berlandaskan teknologi dan maupun birokrasi mengandung elemen-elemen tertentu yaitu elemen kognitif yang bersifat intrinsik[3]. Dalam produksi berlandaskan teknologi, elemen termaksud adalah:
1.     Mekanisitas, terlihat jelas pada gejala ban berjalan yang banyak terdapat dalam industri mobil, misalnya. Pekerja tertentu tidak membuat mobil secara utuh, namun hanya mengerjakan bagian tertentu setelah pekerja pendahulunya menyelesaikan bagian lain.
2.    Reproduksibilitas, anggapan bahwa hasil produksi tidak unik sifatnya: barang yang sama bisa dihasilkan terus menerus dan oleh berbagai pekerja yang memiliki jenjang keterampilan yang kurang-lebih sama. Berbeda dengan misalnya tindakan seseorang seniman menciptakan lukisannya.
3.    Keterukuran, pandangan bahwa hasil kerja seseorang bisa dievaluasi berdasarkan kriteria kuantitatif, baik menyangkut misalnya jumlah poduksi per hari maupun ketepatan pembuatannya.
Dengan proses produksi seperti itu, pada diri para pekerja pun tertanam suatu corak kognitif tertentu yang berpadanan dengannya. Menurut Berger, corak tersebut adalah pengelolaan emosi. Maksudnya, pekerja dituntut untuk dapat mengendalikan perasaan dan menempatkannya di bawah rasionya. Bila hal ini tidak dilakukan oleh pekerja, produksi bisa mengalami kekacauan. Corak kognitif lain yang dituntut dari seorang pekerja di tengah produksi berlandaskan teknologi adalah abstraksi implisit, di mana dalam proses produksi, seorang pekerja bukan lagi pribadi yang utuh. Ia hanya dipandang dari satu sudut saja: peran yang dimainkannya dalam proses produksi. Atau dengan kata lain, pekerja itu menjadi sesuatu yang abstrak. Hubungan antar pekerja pun, dengan demikian, menjadi hubungan yang bersifat fungsional. Corak kognitif lainnya adalah asas maksimalisasi: prinsip untuk meningkatkan hasil semaksimal mungkin dengan biaya yang serendah-rendahnya.
Corak kognitif seperti ini tidak hanya terbatas dalam proses produksi. Individu, atau lebih tepatnya lagi, pekerja berkecenderungan untuk membawanya keluar dari dunia pekerjaan. Hal ini tercermin dari kehidupan sehari-hari mereka di luar pekerjaan. Hubungan mereka dengan tetangga, misalnya, menjadi hubungan sosial yang anonim (anonymous social relations). Di samping itu, ini juga terlihat dari kesadaran yang memisah-misahkan pekerjaan dari kehidupan pribadi (segregation of work from private life).
Seperti halnya produksi berlandaskan teknologi, sebagai institusi birokrasi yang mengandung aspek-aspek kognitif tertentu yang bersifat intrinsik, yang lebih jauh menuntut corak kognitif tertentu dari orang-orang yang terlibat di dalamnya (baik itu petugas maupun klien birokrasi). Corak kognitif yang dimaksud adalah:
1.     Ketertataan (orderliness); suatu persoalan atau pekerjaan ditangani secara berurutan, mulai dari bagian A, lalu ke bagian B, lalu ke bagian C, dan seterusnya.
2.    Prediktabilitas (predictability); kegiatan birokratis pada dasarnya bisa ditaksir. Misalnya, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah dokumen tertentu, persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang klien, dan sebagainya.
3.    Tuntutan umum akan kesamarataan (general expectation of justice); birokrat dituntut tidak “pandang bulu”. Semua diperlakukan secara sama sepanjang persyaratan yang dituntut oleh suatu birokrasi dipenuhinya.
Hasil dari corak kognitif seperti ini salah satunya adalah anonimitas-hubungan di antara birokrat dan klien birokrasi, di kalangan birokrat, dan di kalangan klien birokrasi bukanlah hubungan antarpribadi. Seseorang lantas menjadi anonim bagi orang lain, hanya dikenal sebagai petugas resepsionis atau sebagai klien nomor sekian, misalnya. Gaya pengetahuan seperti itu tidak terbatas dalam lingkungan birokrasi saja, melainkan meluas ke sektor kehidupan sehari-hari di luar birokrasi. Baik birokrat maupun klien birokrasi memperlakukan orang lain juga tidak sebagai individu, tidak sebagai pribadi yang utuh (misalnya, dalam hubungan yang dijalin dengan pedagang minuman ketika ia membutuhkan minum).

Kesadaran modern masyarakat barat
Apa yang terjadi dalam masyarakat Barat yang mengalami modernisasi dengan bingkai rasionalitas seperti itu? Kehidupan sehari-hari tidak hanya dibombardir oleh berbagai objek material hasil produksi berlandaskan teknologi, tetapi juga oleh kesadaran yang berasal dari pola produksi tersebut. Perubahan massif serupa pun terjadi menyertai birokratisasi masyarakat: kehidupan sehari-hari dikelola berlandaskan pada kesadaran yang bersumber dari birokrasi. Wujudnya, anomitas hubungan sosial, ketidakbebasan mengungkapkan perasaan, dan berbagai fenomena “kehilangan rumah” lainnya.
Untuk menanggulangi keadaan ini, di Barat terjadi kecenderungan pemisahan kehidupan sehari-hari. Sektor kehidupan tempat individu mengeksternalisasikan diri dijauhkan dari kesadaran birokratis, pola produksi berlandaskan teknologi, dan sektor-sektor di mana individu dituntut bertindak dengan kesadaran yang bersumber dari kedua institusi tersebut. Berger menyebut sektor kehidupan yang pertama sebagai kehidupan pribadi (private life), sedangkan sektor kedua disebut kehidupan publik (public life). Contoh kehidupan pribadi adalah kehidupan keluarga, pergaulan dalam kelompok sebaya, dan pergaulan dalam kelompok/organisasi yang bersifat sukarela (misalnya, kelompok keagamaan). Sektor di mana individu bisa berhubungan dengan orang lain secara personal dan akrab yang dilandaskan pada solidaritas mekanis.
Kemajemukan kehidupan sosial seperti ini, menurut Berger, merupakan ciri khas masyarakat Barat yang tinggi derajat modernitasnya. Sebelumnya, tidak ada. Yang ada adalah kehidupan yang punya ciri-ciri solidaritas mekanis, Geimenschaft, atau sejenisnya. Modernitas tidak hanya menimbulkan konsekuensi pluralisasi kehidupan sosial, ia juga menyebabkan gejala sekularisasi agama: agama mengalami krisis legitimasi. Krisis pun tidak berhenti setelah melanda agama. Lebih dari itu, ia berpengaruh juga pada kehidupan individu. Individu tidak bisa lagi memiliki kepastian dalam hidupnya, kepastian yang sebelumnya diperolehnya dari agama.
Istilah “sekularisasi” mempunyai perjalanan sejarah tersendiri. Kata tersebut digunakan pada era Perang Agama untuk menyatakan pemisahan teritori atau properti dari kontrol kekuasaan gerejawi. Lalu, dalam lingkaran anti-klerikal dan progresif, istilah sekularisasi digunakan untuk menjelaskan kebebasan manusia modern dari belenggu agama. Sementara itu, bagi kalangan gereja-gereja tradisional, sekularisasi dimaknai sebagai “de-kristenisasi”, “paganisasi”, dan semacamnya.
Menurut Berger, sekularisasi adalah sebuah proses di mana sektor-sektor dalam masyarakat dan kebudayaan dipisahkan dari dominasi institusi dan simbol-simbol religius[4]. Jika bicara mengenai masyarakat dan institusi, kita perlu mengacu pada konteks sejarah Barat modern. Dalam konteks itu, sekularisasi memanifestasikan dirinya dalam peristiwa terpisahnya masyarakat dari kontrol Gereja Kristen. Contohnya adalah pemisahan Gereja dan Agama, pengambilalihan lahan-lahan milik Gereja, atau munculnya emansipasi pendidikan terhadap otoritas gerejawi.
Dalam masyarakat sendiri, kesadaran modern itu tidak diperoleh individu sebatas ketika ia dewasa dan berhadapan langsung dengan kedua institusi pokok masyarakat modern yang dimaksud. Tetapi, sejak kecil individu telah menghadapinya. Melalui institusi pendidikan, individu mengeksternalisasi kesadaran modern. Ia dipersiapkan agar dapat mengeksternalisasikan diri sesuai dengan tuntunan masyarakatnya. Namun, hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak mengalami “kehilangan rumah” ketika dewasa. Keadaan ini tetap akan mereka alami.
Selain institusi pendidikan, ada institusi lain yang juga ikut menyebarluaskan kesadaran modern (berarti, mempertahankan keselarasan hubungan antara dimensi subjektif dengan dimensi objektif kesadaran modern). Secara tidak langsung, ia dikatakan ikut mempertahankan pola hidup terasing dalam masyarakat Barat yang modern itu. Institusi termaksud adalah komunikasi massal. Sejauh ini dapat disimpulkan bahwa modernisasi merupakan gejala yang khas masyarakat Barat. Ia bersumber pada tatanan institusional masyarakat Barat. Namun adalah suatu kenyataan bahwa modernisasi ini, dalam perkembangan selanjutnya, tidak hanya terbatas pada masyarakat Barat saja. Lebih dari itu, ia disebarluaskan ke Dunia Ketiga. Misalnya, dalam wujud alih teknologi. Ini berarti bahwa modernisasi yang berlangsung di Dunia Ketiga sedikit-banyak juga merupakan Westernisasi.

Difusi gejala modernitas di dunia ketiga
Menurut Berger, bukan hanya menyangkut difusi berbagai objek material saja, misal teknologi kesehatan, institusi pendidikan, maupun pemenuh kebutuhan pokok lainnya. Lebih dari itu, kesadaran modern yang terdapat dalam kesadaran intrinsik dalam objek material tersebut juga ikut tersebarluaskan; elemen kesadaran yang terdapat secara intrinsik dalam produksi berlandaskan teknologi dan birokrasi turut pula merembes. Bagaimana tanggapan warga Dunia Ketiga atas modernisasi yang memasuki kehidupan mereka?
Menurut Berger, reaksi ini dapat digolongkan ke dalam tiga tipe: penolakan terhadap modernisasi (berarti mempertahankan kelangsungan tradisi yang ada), penerimaan modernisasi secara menyeluruh, dan penerimaan modernisasi secara selektif (hanya aspek-aspek yang tidak bertentangan dengan tradisi yang diterima)[5]. Dari ketiga tipe ini, yang umum terdapat di masyarakat Dunia Ketiga adalah tipe kedua dan ketiga. Sedangkan tipe pertama sulit untuk bisa bertahan.
Terlepas dari reaksi apa yang diberikan suatu masyarakat Dunia Ketiga, yang jelas gejala modernitas dipandang sebagai sesuatu yang asing, yang berkekuatan kokoh, setidak-tidaknya pada masa awal difusi. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam kasus alih teknologi. Secara fisik, alih teknologi bisa saja berlangsung dengan mudah, tetapi individu tidak mudah memilki corak kesadaran tertentu yang berpadanan dengan tuntutan teknologi terkait. Hal serupa juga terjadi dalam kasus birokratisasi di Dunia Ketiga. Terjadilah apa yang biasa dikenal sebagai cultural lag: orang mengidentifikasi dirinya dengan birokrasi dan proses teknologis tanpa memahami makna yang secara intrinsik terdapat di dalam kedua motor mdernitas tersebut.
Jelas tidak selamanya cultural lag berlangsung di Dunia Ketiga. Kesadaran modern yang terkandung dalam motor modernitas bisa saja kemudian memasyarakat. Namun, bila hal ini terjadi tak berarti tidak ada konsekuensinya: kerusakan pola hidup tradisional yang sudah dianut masyarakat setempat (dan hal ini terjadi di berbagai masyarakat Dunia Ketiga pada umumnya). Orang yang biasa bergaul akrab dengan sesamanya kini tidak lagi melakukannya. Mereka pun hidup dalam keadaan terasing dan anomi. Di satu pihak mereka menginternalisasikan baik kesadaran tradisional maupun modern (yang pertama malah lebih terinternalisasi), di lain pihak mereka dituntut untuk bereksternalisasi atas dasar kesadaran modern dalam kehidupan sehari-harinya. Singkatnya, modernisasi yang berlangsung di Dunia Ketiga berarti juga penyebarluasan fenomena “kehilangan rumah” dari masyarakat industri maju ke Dunia Ketiga.
Bagaimana dengan sekularisasi di Dunia Ketiga? Seperti yang terjadi di berbagai masyarakat Barat, sekularisasi juga terjadi di berbagai masyarakat Dunia Ketiga. Menurut Berger, semakin suatu masyarakat Dunia Ketiga meyerap kesadaran modern (berarti semakin rasional), semakin mereka meninggalkan agama-agama yang secara tradisional mereka kenal. Bagi Berger, sekularisasi adalah fenomena global masyarakat modern. Sementara itu, bagi sebagian besar sosiolog lain, sekularisasi merupakan proses yang mendunia dalam rangka “baratisasi” dan modernisasi. Inilah klaim universal dari teori sekularisasi. Sekularisasi dipandang sebagai keniscayaan sejarah yang pasti akan terjadi di masa depan dan di segala tempat di dunia yang telah mengalami modernisasi.
Selain membicarakan kesadaran modern dan modernitas yang berlangsung di Dunia Ketiga, Berger juga membicarakan reaksi penolakan warga masyarakat industrial terhadap modernitas. Menurutnya, reaksi penolakan ini terlihat terutama di kalangan muda. Penolakan mereka terhadap gejala modernitas diungkapkan dalam berbagai tindakan, yang kemudian membentuk suatu subkultur yang menentang budaya umum. Tindakan tersebut misalnya, berupa hidup bebas tanpa mau diatur oleh jam dan kalender (jadi, tanpa perencanaan masa depan, baik beberapa hari ke depan maupun jangka panjang) yang merupakan bagian dari kesadaran modern. Ungkapan lain, pengutamaan perasaan daripada rasio, hidup dalam komunitas yang ditandai oleh keterbukaan di antara para warganya (baik komunitas religius maupun sekuler) dan hidup menurut irama alamiah.


Penutup
Modernitas, suatu model yang berkembang setelah Perang Dunia II. Berbias barat dan juga kuat akan bias fungsionalismenya. Menurut Berger dalam model ini, ketimpangan penguasaan sumber daya memang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini terutama terdapat di Dunia Ketiga. namun, ketimpangan tersebut bersifat sementara. Dengan perencanaan pembangunan menyeluruh, ia dapat dikikis dari struktur ekonomi-politik yang ada. Kalaupun dilakukan revolusi, kehancuran masyarakat secara keseluruhan merupakan taruhannya.
Dalam hal ini, konteks pemikiran Berger terpengaruh oleh Weber, jelas terlihat dalam pemaknaan subjektif yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam menjelaskan gejala-gejala kemanusiaan, rasionalitas sebagai landasan masyarakat modern. Terlihat pula dalam konsep makna pada level individual dan makna pada level kolektif. Selain itu, pengarh Weber yang lain adalah pada pandangan Berger bahwa sosiolog selayaknya bersikap objektif atau bebas-nilai, pada penjelasan bahwa pemahaman gejala manusiawi mau tidak mau akan bersangkut-paut dengan verstehen sebagai salah satu prinsip utamanya.
Pandangan Berger tentang modernisasi dan modernitas memiliki kesan pesimistis yang cukup kental, terlihat dalam berbagai tinjauan Berger tentang efek yang ditimbulkan oleh gejala modernitas: anomi, keterasingan, superfisialitas hubungan sosial, dan pengotak-ngotakan masyarakat (baik masyarakat Barat maupun masyarakat Dunia Ketiga). di lain pihak, ia mengajukan juga pemikiran-pemikiran yang bersifat dilematis: sementara orang-perorangan berada dalam suatu tatanan sosial yang mendehumanisasi, modernitas masyarakat memungkinkan manusia untuk terus berkembang.


DaftarReferensi :
Berger, Peter L. 1991. Kabar Angin dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Modern. Jakarta: LP3ES.
Berger, Peter L. Brigitte Berger, dan Hansfried Kellner. 1974. The Homeless Mind: Modernization and Consciousness. New York: Vintage Books.
Berger, Peter Ludwig dan Thomas Luckman. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta : LP3ES.
Samuel, Hanneman. 2012. Peter L. Berger: Sebuah Pengantar Ringkas. Depok: Kepik.




[1] Peter L. Berger & Thomas Luckmann,  Tafsir Sosial atas Kenyataan..
[2] Haneman Samuel, Peter L. Berger, Sebuah Pengantar Ringkas, hal.  60
[3] Hanemen Samuel, Peter L. Berger: Sebuah Pengantar Ringkas.., hal. 62
[4]  Peter L. Berger., Kabar Angin dari Langit: Makna Teologi,…hal. 90
[5]  Haneman Samuel, Peter L. Berger, Sebuah Pengantar Ringkas,…hal. 67