Minggu, 30 Desember 2012

Sosiologi Dalam Cermin Pantul Paradigma


        Sosiologi Dalam Cermin Pantul Paradigma*

Oleh: Syaifudin


Abstrak
Pasca berpisahnya Sosiologi dari induk keilmuannya yaitu filsafat, kemudian Sosiologi berdiri sendiri secara mapan. Kemandirian Sosiologi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan sosial ternyata mendapat banyak warna pemikiran dari para pemikirnya. Warna pemikiran itu disebut dengan istilah paradigma yang memiliki berbagai turunan teori pengikutnya. Dengan paradigma inilah yang membuat Sosiologi masih “hidup” dan terus berkembang. Adapun paradigma yang melekat secara umum dalam keilmuan Sosiologi yaitu paradigma fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial. Namun seiring perkembangan keilmuan Sosiologi,  kemudian lahir  satu paradigma yang berusaha mengintegrasikan ketiga paradigma tersebut. Lahirnya paradigma integratif ini diyakini oleh para pemikirnya untuk menjadi jembatan penghubung dari berbagai perdebatan the subject matter yang selama ini terjadi dalam dialektika keilmuan Sosiologi. Inilah keseruan dan kedinamisan keilmuan Sosiologi ditengah belantara hutan ilmu pengetahuan sosial yang ada.


Pengantar
        Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh fisikawan Amerika Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (2000). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Lebih lanjut  Khun  menjelaskan bahwa paradigma merupakan gambaran fundamental dari pokok bahasan dalam ilmu pengetahuan. Ia menentukan apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus diajukan, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diajukan, dan aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit terluas dari konsensus dalam ilmu pengetahuan dan membedakan satu komunitas ilmiah dari yang lain. Ia memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan sejumlah contoh, teori dan metode serta instrument yang ada didalamnya.
Pada karyanya itu, Kuhn mengemukakan bahwa perkembangan ilmu tidak selalu berjalan linear. Oleh sebab itu, perkembangan ilmu tidak benar jika dikatakan kumulatif. Penolakan Kuhn atas ketidak kumulatifan perkembangan ilmu didasarkan atas hasil analisisnya terhadap perkembangan ilmu itu sendiri. Khun menambahkan,  perkembangan ilmu ternyata sangat berkaitan dengan dominasi paradigma keilmuan yang muncul pada periode tertentu atau dalam satu waktu.
Perbedaan paradigma dalam mengembangkan pengetahuan menurut Kuhn, akan melahirkan pengetahuan yang berbeda pula. Sebab bila cara berpikir (mode of thought) para ilmuwan berbeda satu sama lain dalam menangkap suatu realitas, maka dengan sendirinya pemahaman mereka tentang realitas itu juga menjadi beragam. Perbedaan paradigma ini menurut George Ritzer disebabkan tiga faktor utama. Pertama, perbedaan pandangan filsafat yang mendasari pemikirannya. Kedua, sebagai konsekuensi logis dari pandangan filsafat yang berbeda, maka teori-teori yang dibangun dan dikembangkan masing-masing komunitas ilmuwan juga berbeda. Ketiga, metode yang digunakan untuk memahami dan menerangkan substansi ilmu berbeda antar komunitas ilmuwan lain (2009, h.8).
Adanya keragaman paradigma pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Misalnya, pengetahuan yang didasarkan pada filsafat idealisme tentu berbeda dengan materialisme, empirisme tentu akan berbeda dengan rasionalisme, dan seterusnya. Ini terjadi karena setiap aliran filsafat tentu memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Namun dengan adanya perbedaan paradigma tidaklah selalu bersifat negatif, justru positif. Sebab, dengan adanya perbedaan paradigma membuat keragaman skema konseptual pengembangan pengetahuan semakin kaya, dan keragaman produk pengetahuan yang termanifestasikan dalam  menguraikan pengetahuan ke dalam kerangka kerja teoritis, tingkat metode dan teknik.
           Dengan adanya relasi perbedaan paradigma dengan keragaman konseptual dan teori yang dihasilkan, menandakan adanya dinamika dan dialektika ilmu pengetahuan. Senada dengan hal ini, bagi Albert Einstein ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang paling berguna dan dimiliki manusia. Untuk itu, ilmu pengetahuan harus terus  berkembang seiring peradaban manusia.


Paradigma sebagai kedinamisan keilmuan Sosiologi
        Perbedaan paradigma itu khususnya terjadi juga dalam keilmuan Sosiologi. Perbedaan itu terjadi pada dimensi obyek kajian atau what is the subject matter of sociology. Dengan adanya perbedaan pandangan ini, Geoger Ritzer menilai bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma (multiple paradigm). Setiap paradigma memiliki obyek kajian, teori, metode analisa yang berbeda. Meskipun masih banyak terjadi perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu sosiologi. Namun menurut George Ritzer secara garis besar ada tiga paradigma yang mendominasi dalam keilmuan Sosiologi, yaitu (2010, h.697):

1.   Paradigma fakta sosial
Paradigma ini merupakan sumbangsih dari pemikiran Durkheim yang didasarkan atas karyanya The Rules of Sociological Method dan Suicide. Paradigma fakta sosial dirintis Durkheim sebagai antitesis atas tesis Comte dan Herbert Spencer. Comte dan Herbert Spencer berpendapat bahwa dunia ide adalah pokok bahasan dalam Sosiologi. Dengan tegas pendapat ini ditolak oleh Durkheim. Menurut Durkheim  (1982) dunia ide bukanlah obyek riset dalam Sosiologi. Sebab dunia ide itu hanyalah sebagai suatu konsepsi pikiran dan bukan sesuatu yang dapat dipandang. Bagi Durkheim, pendapat Comte dan Herbert Spencer ini menjerumuskan Sosiologi pada bidang filsafat dan tidak berdiri sendiri. Padahal Sosiologi adalah ilmu yang berdiri sendiri dan lepas dari bidang filsafat.
           Berangkat dari kritik Durkheim ini. Akhirnya Durkheim membangun konsep fakta sosial sebagai dinding pemisah antara obyek kajian Sosiologi dengan filsafat.  Durkheim mengklaim bahwa fakta sosial adalah barang yang nyata dan bukanlah ide. Fakta sosial tidak dapat dipahami melalui kegiatan spekulatif yang dilakukan dalam pemikiran manusia. Sebaliknya fakta sosial dipahami melalui kegiatan penyusunan data nyata yang dilakukan di luar pemikiran manusia.
           Menurut Durkheim, pokok bahasan Sosiologi haruslah mengenai studi fakta sosial. Pembahasan mengenai paradigma fakta sosial terdiri dari struktur sosial,  dan institusi sosial seperti norma-norma, nilai, adat-istiadat, dan segala aturan yang bersifat memaksa diluar kehendak manusia. Berarti struktur dan institusi sosial beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu menjadi subject matter Sosiologi. Dengan kata lain, para teoritisi yang menganut paradigma fakta sosial memusatkan pada relasi antara struktur sosial dengan individu, dan relasi institusi sosial dengan individu. Dengan kata lain, pendorong tindakan individu pada analisis fakta sosial antara struktur dan institusi sosial bersifat terpisah.
Pada studi fakta sosial, Durkheim tidak hanya melihat sesuatu dalam konteks yang nyata saja atau materi. Melainkan fakta sosial juga berkaitan dengan sesuatu diluar materi. Untuk mempermudah memahaminya, Durkheim membagi ranah fakta sosial menjadi dua bentuk, yaitu :
a.    Fakta sosial material, yang terdiri dari sesuatu yang dapat dipahami, dilihat, dan diamati. Inti dari fakta sosial material ini adalah sesuatu yang ada dunia nyata dan bukanlah imajinatif. Misalnya, bentuk bangunan, hukum dan peraturan.
b.   Fakta sosial non-material, sebenarnya dapat dikatakan suatu ekspresi atau fenomena yang terkandung dalam diri manusia sendiri atas fakta sosial materialnya, dan ini hanya muncul dalam kesadaran manusia. Misalnya, moralitas, kesadaran, egoisme, altruisme, dan opini.
Dengan demikian, kajian fakta sosial terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Sedangkan teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu, teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Namun yang dominan dari teori ini yang biasa digunakan oleh para penganut fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme struktural, dan teori konflik.

Teori fungsionalisme struktural
Pemikiran teori fungsionalisme struktural lahir berkat sumbangan pemikiran biologis yang dikonsepkan oleh Comte dan Herbert Spencer. Di mana masyarakat dianalogikan sebagai organisme biologis. Maksudnya, masyarakat terdiri dari organ-organ yang saling bergantung guna kebertahanan hidup. Kemudian lebih lanjut teori ini dikembangkan oleh Durkheim. Karena pengaruh dari Comte dan Herbert Spencer, Durkheim mengonsepkan teori sosiologinya dengan terminologi organisme.
Menurut Durkheim, masyarakat merupakan sebuah kesatuan yang di mana didalamnya terdapat bagian-bagian yang memiliki fungsinya masing-masing, dan saling menyatu dalam keseimbangan. Untuk itu, teori ini lebih menekankan social order dan mengabaikan konflik atau masyarakat bergerak dalam kondisi statis dan seimbang. Menurut George Ritzer, konsep-konsep utama dari teori ini adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan. Adapun tokoh-tokoh dalam teori ini antara lain, Durkheim, Talcott Parsons, Robert K. Merton, dan Herbert J. Gans.
Adapun kelemahan dari teori ini yaitu bersifat tertutup terhadap proses terjadinya perubahan sosial, karena terlalu menekankan order dan kemapanan struktur sosial yang sudah formal. Kelemahan lainnya adalah bahwa struktur fungsional mempertahankan status quo dan tidak membuka kepada orang atau hal lain berperan. Keterlibatan non status quo dipandang sebagai ancaman bagi masyarakat dan pemegang status quo.
 
Teori konflik
Teori konflik merupakan teori yang lahir sebagai kritik atas teori fungsionalisme struktural. Teori ini dikembangkan oleh Marx. Tokoh teori ini antara lain, Marx, George Simmel, Lewis A. Coser, dan Ralf Dahrendorf. Menurut teori ini, masyarakat berada dalam ketidakseimbangan yang selalu ditandai dengan adanya pertentangan atau konflik. Jika teori fungsionalisme struktural memandang keteraturan terjadi karena masyarakat terikat secara informal atas institusi sosialnya, maka teori konflik memandang itu terjadi karena adanya pemaksaan oleh pihak yang berkuasa. 
Konsep utama teori konflik yaitu dominasi, paksaan dan kekuasaan. Adapun kelemahan dari teori ini menolak keseimbangan dalam masyarakat dan terlalu menekankan perubahan dalam konteks konflik.
Kemudian untuk metode yang digunakan dalam paradigma fakta sosial yaitu interviu-kuesioner. Menurut George Ritzer, untuk metode interviu-kuesioner memang bersifat ironi. Sebab, metode ini tidak mampu menyajikan informasi yang bersifat fakta sosial, atau informasi yang didapat lebih bersifat subyektif dari informan. Walaupun begitu, bagi para penganut fakta sosial metode interviu-kuesioner merupakan sesuatu metode yang cocok dalam penelitian empiris mereka guna mendapatkan fakta-fakta sosial yang menjadi subject matter sosiologi.
    

2.   Paradigma definisi sosial
Paradigma ini dilandasi analisa Weber tentang tindakan sosial (social action). Analisa Weber dengan Durkheim sangat terlihat jelas. Jika Durkheim memisahkan struktur dan institusi sosial, sebaliknya Weber melihat ini menjadi satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau makna. Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan sosial (dalam Ritzer, 2009, h. 38).
Menurut Weber, mempelajari perkembangan pranata haruslah juga melihat tindakan manusia. Sebab tindakan manusia merupakan bagian utama dari kehidupan sosial. Bagi Weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta berbagai hubungan sosial sampai kepada penjelasan kausal. Untuk itu, paradigma ini disebut juga sebagai sosiologi interpretatif(dalam Margaret Wetherell, 2019).  Paradigma definisi sosial didukung oleh beberapa teori, seperti teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, dan teori etnometodologi.

Teori aksi
Teori aksi atau teori bertindak pada awalnya dibangun berdasarkan pemikiran Weber, Durkheim dan Pareto. Menurut Weber, individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Di sini Weber melihat tindakan sosial berkaitan dengan interaksi sosial. Sesuatu tidak akan dikatakan tindakan sosial jika individu tersebut tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tersebut.
Dengan konsep rasionalitas, Weber membagi beberapa macam tindakan sosial. Semakin rasional tindakan sosial tersebut, maka semakin mudah memahaminya. Adapun pembagian tindakan sosial itu terbagi menjadi empat macam, yaitu : Pertama tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan yang ditentukan oleh harapan-harapan yang memiliki tujuan untuk dicapai dan menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Bila individu tersebut bertindak rasional maka tindakannya pun dapat dipahami. Kedua rasionalitas yang berorientasi nilai, yaitu tindakan yang didasari oleh kesadaran keyakinan mengenai nilai-nilai yang penting seperti etika, estetika, agama, dan nilai-nilai lainnya yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Tindakan ini masih rasional meski tidak serasional tindakan pertama, sehingga tindakannya masih dapat dipahami.
Ketiga tindakan afektif (affectual), yaitu tindakan yang ditentukan oleh kondisi kejiwaan dan perasaan individu yang melakukannya. Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya, biasanya timbul secara spontan begitu mengalami suatu kejadian. Tindakan ini sukar dipahami karena kurang rasional. Keempat tindakan tradisional, yaitu tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging. Tindakan ini biasanya dilakukan atas dasar tradisi atau adat istiadat secara turun-temurun. Tindakan ini pun sukar dipahami karena kurang rasional bahkan tidak rasional.
Setelah Weber, teori aksi berkembang ketika Sosiolog Amerika Charles Horton Cooley membuktikan bahwa sesuatu yang mempunyai arti penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah “kesadaran subyektif”. Cooley juga membuktikan bahwa perasaan-perasaan individual, sentimen, dan ide-ide merupakan faktor yang mendorong manusia untuk berinisiatif atau mengakhiri tindakannya terhadap orang lain.
Sedangkan Talcott Parsons menyatakan, bahwa penggunaan istilah “action” (aksi atau tindakan) dimaksudkan untuk membedakan teori ini dengan teori perilaku, yang menggunakan istilah “behavior” (perilaku atau tindakan yang dilakukan berulang-ulang). “Aksi” menunjukkan adanya suatu aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan diri individu. Sedangkan “perilaku” menunjukkan adanya penyesuaian mekanistik perilaku, sebagai respon terhadap stimulus (rangsangan) dari luar. Menurut Parsons, teori perilaku mengabaikan sifat kemanusiaan manusia dan subyektivitas tindakan manusia. Sebaliknya, teori aksi sangat memperhatikan sifat kemanusiaan manusia dan subyektivitas tindakan manusia.
Teori aksi terus berkembang seiring banyaknya para sosiolog mengembangkan teori ini, khususnya para sosiolog Amerika. Karya terkemukan yang menjadi rujukan dari teori aksi antara lain, Florian Znaniecki melalui karyanya “The Method of Sociology” (1934) dan “Social Actions” (1936), Robert Morrison MacIver melalui karyanya “Sociology: Its Structure and Changes” (1931), dan Talcott Parsons melalui karyanya “The Structure of Social Action” (1937). Sekitar tahun 1940-an teori aksi mencapai puncak perkembangannya.
Karya-karya di atas kemudian menjadi landasan Roscoe Hinkle untuk merumuskan  asumsi dari teori aksi. Menurut Roscoe Hinkle, tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek, dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. Sebagai subyek, manusia bertindak atau berperilaku tertentu dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode, serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan (lihat Ritzer, 2009, h.46). Kelemahan dari teori ini, cenderung memfokuskan analisis pada level individu dan mengabaikan faktor kolektivisme.

Teori interaksionisme simbolik
Awal sejarah munculnya teori interaksionis simbolik sebagai persfektif baru yang dilatarbelakangi atas kemandekan aplikasi teori aksi. Landasan teori ini didasarkan pada analisis Weber. Teori interaksionis simbolik memfokuskan pada pembahasan individu yang terkait pada hubungan antara simbol dan interaksi yang terjadi (interaksi sosial mikro).
Awalnya teori ini dikembangkan di Universitas Michigan oleh John Dewey dan  Charles Horton Cooley. Kemudian John Dewey pindah mengajar ke Universitas Chicago. Kepindahan John Dewey diikuti dengan mengembangkan teori interaksionis simbolik. Ternyata teori interaksionis simbolik mendapat apresiasi yang sangat baik. Sehingga Universitas Chicago dianggap sebagai tempat yang pertama kali berkembangnya teori interaksionis simbolik. Maka teori ini juga dikenal sebagai aliran Chicago.

Dari John Dewey, teori interaksionis simbolik kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa tokoh sosiolog Amerika seperti William Isaac Thomas, George Herbert Mead, Herbert Blumer, Robert E. Park, William James, Ernest Burgess, James Mark Baldwin, Manfred Kuhn dan Kimball Young.
Prinsip dasar dari teori ini yaitu,  (a) manusia pada dasarnya memiliki kemampuan berpikir, (b) kemampuan berpikir ini kemudian dibentuk melalui interaksi sosial, (c) individu dalam setiap interaksi dengan orang lain mempelajari makna dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikirnya, (d) setiap individu dapat memodifikasi makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka atas situasi yang ada, (e) setiap individu dapat menentukan tindakan apa yang dilakukan setelah individu tersebut menafsirkan situasi, (f) dari interaksi ini kemudian individu tersebut menciptakan kelompok dan masyarakat (Ritzer, 2010, h.392-393). Adapun kelemahan dari teori ini adalah mengabaikan pembahasan pada struktur sosial makro, seperti nilai-nilai, norma sosial, hukum, serta institusi sosial dan terlalu fokus pada pembahasan interaksi sosial mikro, yaitu hubungan antar pribadi.

Teori fenomenologi
Teori ini membahas mengenai bagaimana kehidupan bermasyarakat itu terbentuk. Berangkat dari pandangan Weber, Alfred Schultz sebagai seorang tokoh yang mengembangkan teori ini memandang bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu, dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti.
Dengan kata lain, teori ini berpendapat bahwa manusia atau individu bisa menciptakan dunia sosialnya sendiri dengan memberikan arti kepada perbuatan-perbuatannya itu. Teori ini muncul sebagai reaksi atas anggapan yang memandang bahwa manusia atau individu dibentuk oleh kekuatan- kekuatan sosial yang mengitarinya. Untuk melakukan studi fenomenologis orang harus tinggal dalam masyarakat yang bersangkutan agar ia bisa menangkap arti fenomena sosial yang ada dalam masyarakat tersebut.

Teori etnometodologi
Etnometodologi merupakan cabang dari fenomenologi. Etnometodologi berusaha pengungkap realitas dunia kehidupan dari individu atau masyarakat. Sekalipun etnometodologi oleh beberapa pakar dipandang sebagai sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi, etnometodologi sememiliki kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu fenomenologi, interaksionis simbolik dan teori Talcott Parsons (Margaret M. Poloma, 1994). Teori ini dikembangkan oleh Harold Garfinkel seorang dosen sosiologi di Universitas California of Los Angeles (UCLA). Teori ini mulai berkembang sekitar tahun 1950-an.
Sesudah Grafinkel muncullah beberapa pakar yang mengembangkan studi etnometodologi di antaranya Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, Don Zimmerman dan D. Lawrence Wieder. Dari beberapa pakar ini, Jack Douglas yang  dinilai paling lengkap pembahasan etnometodologinya.
Etnometodologi mempelajari dan berusaha menangkap arti dan makna kehidupan sosial suatu masyarakat berdasarkan ungkapan-ungkapan atau perkataan-perkataan yang mereka ucapkan baik secara eksplisit maupun implisit. Sementara Garfinkel menekankan, pokok masalah etnometodologi tidak lain adalah pertukaran komunikasi yang di dalam penelitian etnometodologis yang disebut proses – proses komunikasi menuju saling memahami di antara para pelaku komunikasi (dalam Anthony Giddens, dan Jonathan H. Turner, 2008, h.127). Menurut teori ini, seorang sosiolog tidak perlu memberikan arti atau makna kepada apa yang dibuat oleh orang lain atau kelompok, tetapi tugas sosiolog adalah menemukan bagaimana individu atau masyarakat mengonstruksi kehidupan sosialnya dan mencoba menemukan bagaimana mereka memberi arti atau makna kepada dunia sosialnya sendiri. Pada pengaplikasian teori etnometodogi, Grafinkel berusaha menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi.
Pada level metode penelitian. Metode penelitian empiris yang digunakan para penganut paradigma definisi sosial cenderung ke arah metode observasi. Sebab menurut penganut paradigma ini, dengan metode observasi akan didapatkan tindakan subyek yang wajar, dan tidak dibuat-buat atau spontan. Metode ini terdiri dari empat tipe  teknik observasi yaitu, (a) participant observation, yaitu peneliti tidak memberitahukan maksud dan tujuan penelitiannya kepada subyek yang diamatinya atau bersifat tertutup, (b) participant as observer, di sini peneliti memberitahukan maksud dan tujuan penelitiannya kepada subyek yang ditelitinya atau bersifat terbuka, (c) observer as participant, yaitu penelitian yang dilakukan dalam waktu singkat sehingga menuntut peneliti untuk merencanakan penelitiannya secara sistematis dan teliti sebelum turun ke lapangan penelitian, dan (d) complete observer, yaitu posisi peneliti dalam mengamati subyek tidak berpartisipasi secara langsung dan dalam hal ini subyek tidak menyadari bahwa dirinya sedang diamati. Variabel penelitian ini bisa bersifat ndividual atau kelompok.


3.   Paradigma perilaku sosial
Paradigma ini memusatkan perhatian pada hubungan antar individu dan hubungan individu dengan lingkungannya. Paradigma ini menyatakan bahwa obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis adalah perilaku manusia atau individu yang tampak dan kemungkinan perulangannya. Menurut paradigma ini, tingkah laku seorang individu mempunyai hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhi ia dalam bertingkah laku. Tingkah laku manusia atau individu di sini lebih ditentukan oleh sesuatu diluar dirinya seperti norma-norma, nilai-nilai atau struktur sosialnya. Jadi dalam hal ini individu kurang sekali memiliki kebebasan. 
Paradigma ini mengacu pada karya psikolog Amerika Burrhus Frederic Skinner, salah satunya Beyond Freedom And Dignity. Menurut George Ritzer, Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam sosiologi. Karyanya meliputi spektrum yang sangat luas.  Teori, gagasan dan praktik yang dilakukannya telah memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behavior.
Pada paradigma perilaku sosial, Skinner mencoba mengkritik apa yang menjadi obyek dari paradigma fakta sosial dan definisi sosial. Obyek dari kedua paradigma ini seperti struktur dan institusi sosial adalah sesuatu yang bersifat mistik atau obyek hanya terjadi dalam pemikiran manusia. Dengan tegas Skinner menolak obyek kedua paradigma ini. Bagi Skinner, obyek mistik itu justru menjauhkan sosiologi dari obyek studi yang sebenarnya yaitu  sesuatu yang bersifat konkrit dan realistis. Skinner mengklaim bahwa obyek perilaku manusia adalah obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis. Teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu teori behavioral sociology dan teori pertukaran (exchange).

Teori behavioral sociology
Teori ini merupakan implementasi dari perpaduan obyek kajian psikologi perilaku ke dalam sosiologi. Menurut George C. Homans, manusia di dalam masyarakat tidak memiliki sifat selain yang diperolehnya dari, dan mungkin juga dibentuknya sendiri, kaidah-kaidah tentang hakikat manusia secara individu. Lebih lanjut Homans menambahkan, bahwa dalam fenomena sosial, susunan penyebab-penyebabnya adalah kaidah yang sifatnya universal (dalam Anthony Giddens, dan Jonathan H. Turner, 2008, h.103).
Inti fokus analisis teori ini pada hubungan kausal atas perilaku individu. Teori ini menekankan adanya hubungan historis antara akibat tingkah laku yang terjadi dalam lingkungan individu dengan tingkah laku yang terjadi sekarang. Akibat dari tingkah laku yang terjadi di masa lalu apakah mempengaruhi tingkah laku yang terjadi di masa sekarang.
  
Teori pertukaran
Teori ini dikembangkan oleh George C. Homans. Di mana teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwa semua kontak di antara manusia bertolak dari skema memberi dan mendapatkan kembali dalam jumlah yang sama. Secara garis besar Homans menyusun lima proposisi dari teori ini yaitu,
1.   Semakin sering individu melakukan suatu tindakan tertentu yang dinilainya membawa keuntungan atau manfaat, maka semakin sering individu tersebut akan melakukan tindakan yang sama.
2.   Jika di masa lalu ada stimulus yang di mana tindakan individu tersebut memperoleh ganjaran (positif), maka semakin besar kemungkinan orang itu melakukan tindakan serupa.
3.   Semakin tinggi apresiasi yang diberikan atas suatu tindakan individu, maka akan semakin sering individu melakukan tindakan tersebut.
4.   Semakin sering seseorang menerima satu ganjaran dalam waktu yang berdekatan, maka semakin kurang bernilai ganjaran tersebut. Dalam hal ini unsur waktu memainkan peranan penting.
5.   Bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkan atau menerima hukuman, maka akan timbul perasaan emosi atau kecewa dalam diri individu tersebut. Sebaliknya bila seseorang menerima ganjaran yang lebih besar dari apa yang dia harapkan, maka dia akan merasa senang dan lebih besar kemungkinan dia akan terus melakukan perilaku tersebut.

Sedangkan metode yang digunakan dalam paradigma perilaku sosial menggunakan metode kuesioner, interviu dan observasi. Namun  praktiknya, para penganut paradigma ini biasa menggunakan metode eksperimen untuk penelitiannya. Variabel pada penelitian ini lebih ke individual


Paradigma integratif sebuah sintesis tiga paradigma
Seiring perkembangan analisis tiga paradigma itu dengan berbagai macam perdebatannya mengenai subject matter dari sosiologi.  Menurut George Ritzer, perlu adanya paradigma yang mengakomodasi penyatuan dari ketiga paradigma ini. Sebab bagi George Ritzer, teramat sulit untuk memahami fenomena sosial yang begitu kompleks.  Melalui bukunya Anthony Giddens pun menjelaskan perihal keterkaitan antar subject matter sosiologi. Menurut Anthony Giddens, analisis mikro dan makro masing-masing tidak berdiri secara terpisah, masing-masing justru membutuhkan, meskipun harus tetap dibedakan (Anthony Giddens, 2010, h. xii).
Contoh nyata dari kelemahan pandangan analisis satu posisi paradigma ini misalnya, analisis Marx sering dinilai memusatkan pada struktur makro-obyektif–khususnya pada struktur ekonomi kapitalis. Tetapi dengan menggunakan skema yang mempunyai berbagai tingkat analisis sosial memungkinkan para ilmuwan sosial dapat melihat bahwa Marx mempunyai wawasan yang kaya mengenai semua tingkat realitas sosial dan antar hubungan berbagai realitas sosial itu. Begitu pula interaksionis simbolik umumnya dianggap sebagai perspektif yang berurusan dengan mikro-subyektif dan mikro-obyektif, tetapi tidak menutup kemungkinan ilmuwan sosial  dapat mengetahui sesuatu yang makro. Sama halnya dengan menganalisis pemikiran Levi Strauss, yang di mana masyarakat dipadankan dengan bahasa. Justru melalui bahasa, kita akan terbantu untuk mengetahui beberapa karakteristik kegiatan masyarakat secara keseluruhan.
Berangkat dari perdebatan paradigma ini. George Ritzer berusaha mengetengahkan masalah ini dengan mengajukan konsep paradigma integratif. Maksudnya adalah menggabungkan  subject matter dari ketiga paradigma ini, yang meliputi semua tingkatan realitas, baik tingkat makro-obyektif seperti masyarakat, hukum, birokrasi, dan bahasa, tingkat makro-subyektif seperti nilai, norma, dan budaya, tingkat mikro-obyektif seperti pola perilaku, tindakan, dan interaksi, dan tingkat mikro-subyektif seperti persepsi, dan keyakinan.
Ketiga paradigma ini memang berbeda subject matter-nya, namun sesungguhnya saling memperkaya analisis.  Meski masing-masing ketiga paradigma yang ada itu menjelaskan satu tingkat realitas sosial tertentu, dan paradigma integratif berusaha menjelaskan semua tingkat. Namun kelemahan pada paradigma integratif terletak pada tingkat kedalaman analisisnya. Paradigma integratif dalam menjelaskan tingkat realitas tidak sedalam analisis pada masing-masing paradigma yang ada. Untuk itu, dalam menentukan suatu paradigma ditentukan dari pertanyaan penelitian yang diajukan. Hal ini berarti bahwa tidak semua masalah sosiologi memerlukan pendekatan integratif, namun bisa juga fokus pada salah satu paradigma.
Penerapan paradigma integratif ini dapat kita temukan pada analisis Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckman (Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckman, 1990). Melalui “The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan)” yang ditulisnya pada tahun 1966. Peter L. Berger dan Thomas Luckman melihat bahwa manusia dan masyarakat merupakan produk yang dialektis (tesis Marx).  Maka keduanya bukanlah sesuatu realitas tunggal yang stagnan dan absolut. Untuk itu, realitas memiliki dimensi subyektif dan obyektif (tesis Schutz).
  Dualitas realitas ini menunjukkan bahwa manusia merupakan instrumen dalam menciptakan ‘realitas yang obyektif’ (tesis Durkheim) melalui proses eksternalisasi, sebagaimana dia memengaruhinya melalui proses internalisasi yang mencerminkan ‘realitas yang subjektif’ (tesis Weber). Analisis Peter L. Berger dan Thomas Luckman dilandasi dari berbagai penyatuan paradigma yang ada pada sosiologi. Peter L. Berger dan Thomas Luckman bersandar dengan berbagai pemikiran seperti Durkheim, Marx, Weber, dan Schutz. Analisis ini kemudian dikenal sebagai teori konstruksi sosial.
Tokoh selanjutnya yang menerapkan paradigma integratif yaitu Anthony Giddens. Karya Anthony Giddens “The Constitution of Society (1984)” merupakan sumbangsih besar bagi penyelesaian perdebatan pada kajian ilmu sosial. Awal lahirnya karya Anthony Giddens ini dilatarbelakangi perbedaan pandangan subyek matter pada kajian ilmu sosial. Perbedaan ini melihat bahwa struktur (makro) adalah yang lebih berperan dibandingkan dengan individu (mikro), yang oleh Anthony Giddens disebut agen. Anthony Giddens berusaha menjadi penengah dengan menunjukkan bahwa yang terpenting bukanlah agen ataupun struktur, melainkan interaksi keduanya. Pemikiran Anthony Giddens ini kemudian dikenal dengan nama teori strukturasi (Lihat Teori Strukturasi: Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat,2010).
Peter L. Berger dan Thomas Luckman  serta Anthony Giddens merupakan sosiolog yang berusaha menjembatani ketegangan antara subyektivisme dan obyektivisme, antara makro dan mikro, dan antara voluntarisme dan determinisme. Keduanya berusaha mencari pertautan antara mentalitas dan struktur. Kiranya inilah pandangan paradigma integratif yang dapat juga dikatakan sebagai paradigma “jalan tengah”. Paradigma ini berusaha menawarkan perpaduan berbagai paradigma sesuai dengan tingkat kebutuhan analisis dari ilmuwan sosial tersebut.
Kiranya pemaparan singkat di atas mengenai berbagai paradigma Sosiologi dapat menjadi jembatan untuk masuk dalam pintu pengetahuan Sosiologi. Walaupun kategori paradigma Sosiologi masih terus menjadi diskursus ilmiah, namun disinilah letak keasyikan rimbah Sosiologi. Sosiologi membuat kepala berputar, tetapi memberdayakan isi kepala dan imajinasi bagi yang bergulat didalamnya.


 *diterbitkan dalam Jurnal Komunitas Vol. 6, No. 2, Desember 2012


REFERENSI BACAAN
Berger, Peter Ludwig dan Thomas Luckman. Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990).
Durkheim, Emile. The Rules of Sociological Method. (New York: The Macmillan Press, 1982)
Giddens, Anthony, dan Jonathan H. Turner (ed). Social Theory Today: Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial, diterjemahkan oleh Yudi Santoso. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Giddens, Anthony. Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah Baru. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Giddens, Anthony. Teori Strukturasi; Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Khun, Thomas.The Structure Of Scientific Revolution: Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, diterjemahkan oleh Tjun Surjaman. (Bandung:  Remaja Rosdakarya, 2000)
Poloma, Margaret M.. Sosiologi Kontemporer. (Jakarta: Rajawali Pers, 1994)
Ritzer, Geoger. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009)
Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern. (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010)
Samuel, Hanneman, Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia, dari Kolonialisme Belanda hingga Modernisme Amerika, (Jakarta: Kepik Ungu, 2010)
Turner, Bryan S.. The Cambridge Dictionary ofSociology. (New York: Cambridge University Press, 2006)
Upe, Ambo, Tradisi Aliran Dalam Sosiologi, Dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik,  (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010)
Wetherell, Margaret. Theorizing Identities And Social Action. (NY: Palgrave Macmillan, 2009)

Minggu, 06 Mei 2012

Quo Vadis Pendidikan Karakter dan Masa Depan Generasi Bangsa



Quo Vadis Pendidikan Karakter dan Masa Depan Generasi Bangsa

Oleh: Syaifudin

Pendidikan karakter yang terus dikampanyekan oleh pemerintah sepertinya perlu dievaluasi. Sebab nyatanya pendidikan karakter seperti kehilangan arah. Penulis coba memberikan tiga contoh nyata dari ketidakmaksimalan pendidikan karakter di sekolah; 

Pertama, saat penulis sedang mengendarai kendaraan di jalan raya sekitar kelurahan Bungur Jakarta Pusat diwaktu jam pulang sekolah beberapa minggu lalu. Penulis bertemu dan mengamati 4 pelajar SMP yang sedang pulang sekolah sambil menggunakan sepeda motor tanpa menggunakan helm serta asyik menghisap sebatang rokok. Tiba-tiba, pelajar tersebut memberhentikan sepeda motornya dipinggir jalan. Ternyata ada kejadian yang menarik dan ironis dari kejadian ini. Dimana ada seorang kakek yang saat itu sedang ingin menyebrang jalan, dan ia juga mengingatkan pelajar tersebut untuk tidak merokok dan menggunakan helm.

Namun rupanya nasihat baik kakek itu disambut dengan tidak ramah oleh pelajar tersebut. Pelajar itu memberhentikan motornya dipinggir jalan, dan menghampiri si kakek, lalu melemparkan putung rokoknya ke wajah si kakek. Tidak hanya itu saja, kejadian yang tepat berlangsung didepan bengkel sepeda motor ini, membuat  pelajar itu mengambil sebuah kaleng bekas oli dan  ingin melemparkannya ke si kakek. Untungnya ada warga yang melerai kejadian tersebut. Sehingga pelajar tersebut tidak jadi melemparkan kaleng bekas oli itu ke si kakek.

Secara sosiologis, tindakan pelajar ini dapat dikatakan sebagai tindakan yang asosial. Mengapa? Karena apa yang dilakukan si kakek sebenarnya dalam posisi yang benar. Apalagi si kakek adalah orang yang sudah berumur  (lebih dewasa) dari pelajar tersebut. Idealnya pelajar tersebut menghormati apa yang dikatakan si kakek dan bukannya melawan bahkan ingin melemparnya dengan kaleng bekas oli.

Kedua, saat penulis sedang menuju ke kantor imigrasi kelas 1 khusus Jakarta barat didekat area kota tua tepatnya 1 bulan lalu. Saat penulis sedang berjalan-jalan diarea kota tua, penulis melihat 4 orang pelajar SMP; 3 Laki-laki dan 1 perempuan. Tampaknya mereka sedang bolos sekolah, karena sekitar pukul 11 masih waktu belajar di sekolah. Pelajar SMP yang masih mengenakan celana biru SMP dan menggunakan kaos biasa ini melakukan perbuatan yang membuat penulis miris. 4 pelajar ini tidak malu dan takut melakukan perbuatan asusila didepan publik. Konteks asusila dalam hal ini yaitu 3 pelajar laki-laki tersebut memegang bagian tubuh pelajar perempuan itu, dan pelajar perempuan itu pun bersikap biasa saja.

Kasus asusila yang dilakukan didepan publik, menyiratkan bahwa pelajar kita kini sudah terkontaminasi oleh budaya seks bebas yang budaya ini identik dengan negara Eropa (dan Asia juga sebenarnya). Maka tidak heran diberbagai media cetak maupun elektronik, kita sering dengar dan baca terjadi kasus video porno yang pelakunya adalah pelajar. Pelaku video porno ini tidak hanya pelajar di sekolah umum saja, tetapi juga sekolah yang berbasis agama. Jika masalah ini terus dibiarkan, maka dapat dipastikan kedepannya generasi bangsa ini kehilangan identitas ketimurannya, yaitu manusia yang tidak lagi menjaga norma-norma agama dan susila.

Ketiga, saat di jalan raya Cengkareng (Jakarta Barat) penulis melihat sebuah sepeda motor yang sedang dikendarai oleh seorang pelajar SMA sambil membonceng temannya. Pelajar tersebut mengendari sepeda motor secara ugal-ugalan. Dengan kecepatan yang tinggi, pelajar itu terus menyalip beberapa motor yang ada didepannya, dan tanpa memikirkan  keselamatan dirinya dan orang lain. Lalu ada pengendara lain yang berteriak untuk menegur gaya berkendara pelajar tersebut. Bukannya meminta maaf pelajar tersebut, tetapi pelajar tersebut malah memberhentikan sepeda motornya dan menantang penegur tersebut. Hal ini terjadi karena memang secara psikologi, pelajar itu sedang dalam sifat-sikap yang labil, emosional, agresif, dan fase imitasi sosial.   

Secara hukum dalam UU nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan pasal 80 dan 81, pelajar tersebut dinyatakan melanggar hukum karena belum dizinkan menggunakan kendaraan bermotor.  Akan tetapi kita tidak perlu heran, karena buktinya tren pelajar sekarang setiap sekolah membawa sepeda motor bahkan mobil, dan ironisnya itu diizinkan oleh pihak sekolah. Banyaknya pelajar sekarang yang menggunakan kendaraan bermotor, karena tidak lepas dari mudahnya para orang tua memiliki kendaraan bermotor (sepeda motor khususnya) melalui cara kredit.

Dalam konteks sosiologi penggunaan kendaraan bermotor sebenarnya sedang berlangsung konstruksi sifat-sikap kedirian individu. Hal ini karena saat individu dijalan raya, terjadi kontestasi antara dirinya dan orang lain dalam suatu momentum kepentingan diri dan publik. Apabila karakter kontrol diri lemah, maka sifat-sikap emosional dan agresif akan semakin kuat. Sedangkan jika kontrol diri kuat, maka sifat-sikap kesabaran serta menghormati semakin kuat. 

Kaitan antara kontestasi kedirian ini dengan pelajar dalam penggunaan kendaraan bermotor yakni, kondisi psikologis pelajar yang labil dan ia menggunakan kendaraan bermotor dalam kondisi kontrol diri yang lemah maka secara tidak langsung membentuk atau mengkokohkan sifat-sikap emosional dan agresifnya. Dan hal ini tentu bisa menjadi ciri karakter pelajar tersebut kelak jika dibiarkan terus-menerus.  

Hal ini tentu berbeda dengan tren sekolah di era tahun 2000-an kebawah. Dimana sedikit pelajar yang menggunakan kendaraan bermotor jika ke sekolah (hanya kelas-kelas sosial tertentu yang menggunakan kendaraan bermotor ini). Umumnya banyak pelajar yang ke sekolah, antara jalan kaki atau naik angkutan umum. Oleh karena itu kita bisa membedakan secara nyata kepribadian kehidupan antara dua generasi dari rejim pendidikan yang berbeda ini.  


Empat elemen yang terintegrasi
Ketiga contoh di atas yang penulis deskripsikan, menjadi indikator belum maksimalnya pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah.  Sebab sejatihnya pendidikan karakter yang ditujukan untuk membentuk karakter pelajar lebih bertata krama dan arif, justru hal ini jauh panggang dari api. Apalagi ditengah gempuran arus globalisasi dan iklim demokrasi di Indonesia dewasa ini, setiap individu bebas melakukan apa saja. Istilah “tindakan yang bertanggung jawab” pun sepertinya hanya sebuah kalimat tidak bermakna. Maka tidak heran jika pasca reformasi, bangsa ini terus dihadapi berbagai masalah-masalah sosial, seperti konflik, kekerasan (tawuran), korupsi dan tindakan asusila video porno pelajar.

Jika karakter amarah, kekerasan dan asusila ini terus terinternalisasi dan terobjektivasi pada setiap pelajar di Indonesia, maka sangat mengkuatirkan nasib Indonesia kedepannya, yaitu Indonesia hidup dalam kondisi masyarakat yang banal. Sebab para pelajar ini merupakan generasi dan penerus bangsa ini nantinya. Mungkin harapan Indonesia menjadi negara yang bermartabat, berkarakter dan humanis, hanya akan sebatas mimpi jika masalah karakter pelajar ini tidak segera direvarasi secara psiko-sosial.

Maka untuk itu menurut penulis, berbicara merevarasi karakter pelajar tidak hanya dibebankan saja kepihak sekolah semata. Sebab tidak adil, jika selalu sekolah yang disalahkan. Padahal ada peran elemen lain dalam berkontribusi pembentukan karakter pelajar tersebut, yaitu elemen pemerintah, orang tua, dan masyarakat (lingkungan sosial).

Walaupun begitu, bukan berarti peran sekolah menjadi lebih longgar karena terbantu elemen lain. Tetapi sekolah pun harus mampu menumbuhkembangkan karakter positif bagi para anak didiknya melalui contoh dan kegiatan yang positif, seperti memberi contoh dengan menumbuhkan suasana rukun dan harmonis dikalangan guru, dengan begitu para pelajar akan mengimitasi apa yang ia lihat dan rasakan dari gurunya; suasana belajar yang demokratis, dan berbudaya; dan kegiatan-kegiatan yang menumbuhkan karakter positif pelajar.
 
Sedangkan peran pemerintah dalam proses pembentukan karakter para pelajar tidak hanya sebatas membuat kebijakan semata dan proyek yang politis. Karena pemerintah memiliki otoritas yang besar, maka pemerintah dapat lebih luas melakukan aksi nyata dalam mendukung pembentukan karakter positif pelajar ini. Maka untuk itu pemerintah harus serius dan komitmen dalam menghadapi masalah  karakter pelajar ini, seperti memblokir akses situs porno; melakukan raziah video porno dipedagang DVD/VCD; memberikan pendidikan berlalu lintas dan pendidikan seks kepada para pelajar di sekolah-sekolah; memberikan sanksi yang bersifat mendidik (dan bukan menghukum) bagi para pelajar yang tertangkap tawuran, dan narkoba; serta mengadahkan kegiatan yang positif dalam tumbuh kembang karakter positif para pelajar ini, seperti kegiatan pramuka, lomba atau olimpiade mata pelajaran.

Sementara elemen orang tua atau keluarga merupakan agen sosialisasi primer bagi seorang anak sebelum ia dikenalkan dengan dunia luar. Pengaruh keluarga sangat besar dalam pertumbuhan seorang anak, karena disamping mempunyai kedekatan psikologis, mereka juga mempunyai tingkat kebersamaan yang lebih karena tinggal dalam satu atap atau satu rumah. Maka untuk itu orang tua harus cerdas dan peduli terhadap tumbuh kembang karakter anaknya.

Orang tua tidak hanya sebatas membayar uang SPP dan mengetahui nilai raport anaknya saja. Tetapi orang tua juga mampu menjadi guru dan sahabat bagi anaknya. Sebab anak itu sebenarnya tidak hanya semata membutuhkan materi (ekonomi) dari orang tuanya, tetapi yang paling penting yang dibutuhkan seorang anak adalah kebutuhan atas kasih sayang, dan kepedulian terhadap dirinya atau kebutuhan psikologis dan sosiologis. Maka jangan salahkan anak apabila ia mencari pelarian lain seperti narkoba, miras atau teman sebaya yang membawa dampak negatif buat dirinya, karena ia tidak mendapatkan kebutuhan psikologis dan sosiologis dari orang tuanya.

Lalu elemen masyarakat merupakan agen sosialisasi sekunder (dan bahkan bisa menjadi primer) tempat anak hidup dalam tumbuh kembang kepribadiannya. Masyarakat disini bisa berwujud  teman sebaya atau permainan, dan orang-orang dewasa yang menjadi simbol dari proses imitasi sosial dalam diri anak. Masyarakat pun harus mendukung dalam proses pembentukan karakter positif para pelajar ini dengan memberikan contoh-contoh yang baik.

Selain itu, masyarakat juga harus memiliki kepedulian terhadap para pelajar ini, seperti menegur dan mendidik para pelajar yang ketahuan merokok, tawuran, minum-minuman keras, narkoba, perbuatan asusila, dan kegiatan negatif lainnya.  Masyarakat juga selalu memberikan kesempatan buat para pelajar ini untuk melakukan kegiatan yang positif didalam kemasyarakatan, seperti menjadi panitia dalam kegiatan sosial dimasyarakat. Dengan begitu, para pelajar (anak) ini akan merasa hidupnya dalam suasana kepedulian dan dihargai oleh lingkungan sosialnya.

Oleh karena itu, membahas tentang kondisi kekinian dari karakter para pelajar tidak lepas dari pertanyaan, “bagaimana peran pemerintah, sekolah, orangtua, dan masyarakat dalam kehidupan pelajar tersebut?”  

Disinilah menurut penulis, perlu adanya integrasi pendidikan antara pemerintah, sekolah, orang tua dan masyarakat. Integrasi ini dapat terwujud manakalah setiap elemen ini memiliki kesadaran betapa pentingnya karakter pelajar bagi kehidupan masa depan bangsa dan negara ini, dan bukan hanya memikirkan masalah kepentingan diri sendiri saja atau kepentingan yang politis. Para pelajar ini adalah harapan masa depan bangsa dan negara yang tentunya berefek domino bagi kehidupan masyarakat Indonesia sendiri. Sebab produk pendidikan adalah peradaban dan bangsa. Pendidikan merupakan integritas kebangsaan dan bukan identitas kebangsaan semata. Simpul penulis.


Jakarta, 07 Mei 2012
*Tulisan refleksi penulis terhadap masalah pendidikan di Indonesia