Kamis, 07 April 2011

Sekilas Serpihan Pemikiran Sosial Peter Ludwig Berger

Sekilas Serpihan Pemikiran Sosial Peter Ludwig Berger

Oleh: Syaifudin


Sejauh ini, realitas kehidupan sehari-hari terkesan dialami individu secara perorangan. Kenyataannya tidaklah demikian. Menurut Berger dan Luckmann (1966), realitas sosial dialami oleh individu bersama-sama dengan individu yang lainnya. Selain itu, individu lainnya sesungguhnya juga merupakan realitas sosial.[1] Dalam pengertian yang terakhir, berarti orang lain bukan hanya bagaian atau objek dalam realitas kehidupan sehari-hari individu, tetapi ia atau mereka juga bisa dipandang sebagai realitas sosial itu sendiri. Artinya, pengalaman individu tentang sesamanya merupakan aspek yang penting untuk ditelaah dari konstruksi realitas dalam diri seseorang.
Pada pokoknya, menurut Berger dan Luckmann, orang lain yang dihadapi oleh individu bisa digolongkan menjadi dua kategori: mereka yang dialami atau dihadapi dalam suasana tatap muka, dan lainnya yang dialami atau dihadapi di luar suasana tatap muka. Pemahaman individu akan orang lain yang berada dalam suasana tatap muka dengannya sebenarnya dilandaskan pada skema tipifikasi yang sangat fleksibel. Ketika baru pertama kali berinteraksi, tipe yang dibuat individu tentang lawannya masih sedikit dan tidak mendalam. Tetapi sejalan dengan peningkatan interaksi, tipifikasi yang dimilikinya pun kian menguat.
Berger menyatakan bahwa hubungan manusia dengan masyarakat merupakan suatu proses dialektis yang terdiri atas tiga momen, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi adalah usaha pencurahan diri manusia terus menerus ke dalam dunia, dalam kegiatan fisik maupun mental. Melalui eksternalisasi, manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Dengan demikian, masyarakat adalah produk ciptaan atau hasil kegiatan manusia.
Objektivasi adalah disandangnya status realitas objektif oleh hasil-hasil kegiatan manusia. Apa yang diekspresikan oleh manusia itu lantas menjadi sebuah kenyataan yang berdiri sendiri, terpisah dan berhadapan dengan manusia. Dalam hal ini, masyarakat menjadi sebuah kenyataan sendiri yang terpisah dari manusia. Lalu, internalisasi adalah penyerapan kembali realitas objektif ke dalam kesadaran subjektif manusia. Melalui internalisasi, manusia melakukan proses adaptasi terhadap apa yang telah dibuatnya sendiri. Masyarakat kini berfungsi sebagai pelaku formatif bagi kesadaran individu. Agar tidak menjadi terasing atau teralienasi, manusia harus menyesuaikan diri dengan masyarakat di mana ia berada.
Ringkasnya, realitas sosial kehidupan sehari-hari tidak lepas dari interaksi tatap muka yang dilakukan individu dengan sesamanya. Dalam arti, bersama dengan orang lain itu individu mengalami/menghadapi realitas sosial kehidupan sehari-hari, di mana orang lain dalam suasana tatap muka itu sendiri juga merupakan realitas sosial bagi si individu. Sama halnya dengan modernitas yang terjadi pada masyarakat yang tidak lepas dengan hubungan suasana tatap muka atau realitas sosial kehidupan sehari-hari. Berger menyebutkan corak kognitif yang juga ada hubungannya dengan realitas kehidupan sehari-hari pada modernisasi. Juga terdapat proses dialektis yaitu internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi dalam kehidupan sehari-hari pada modernisasi.

The homeless mind: modernization and consciousness
Pemikiran Berger tentang modernitas tertuang dalam The Homeless Mind: Modernization and Consciousness (1974) yang sedikit banyak memperlihatkan dialektika eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi dari gejala modernitas yang terungkap dalam kehidupan sehari-hari. Atau dengan kata lain, hubungan dialektis antara kesadaran dengan tatanan institusional modern.
Secara sederhana, modernisasi diartikan sebagai “the institutional concomitans of technologically induced economic growth” (tatanan institusional yang menyertai pertumbuhan ekonomi yang dipacu teknologi)[2]. Berdasarkan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa modernisasi itu menyangkut tatanan institusional suatu masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya menyangkut institusi ekonomi saja.
Institusi ekonomi (dan teknologi) hanyalah motor penggerak modernisasi. Pengertian seperti ini sering dikacaukan dengan pengertian “development”. Ada orang yang menyamakan keduanya, ada pula yang membedakannya. Berger sendiri membedakannya secara definitif. Menurutnya, perbedaan antara modernisasi dan pembangunan terletak pada dua hal mendasar. Yang pertama, pembicaraan tentang modernisasi lebih luas daripada pembicaraan tentang pembangunan. Modernisasi menyangkut tatanan institusional, sedangkan pembangunan hanya bersangkut-paut dengan institusi ekonomi. Meski berbeda, memang tidak dapat disangakal bahwa melalui pembangunan (ekonomi) modernisasi bisa dicapai dalam suatu masyarakat.
Perbedaan kedua, menyangkut ihwal “bebas-nilai”. Modernisasi adalah hal yang bisa dibicarakan tanpa harus diikuti oleh perbincangan seputar kebijakan yang perlu dilakukan. Berbeda dengan pembicaraan tentang pembangunan yang sering kali dikaitkan dengan pembicaraan tentang peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Dunia Ketiga. Pembicaraan tentang usaha peningkatan semacam ini mau tidak mau akan melibatkan kita pada pembicaraan yang menjerumus tentang kebijakan perencanaan pembangunan. Dan pembicaraan tentang kebijakan pada gilirannya akan bersangkut-paut dengan pembicaraan yang tidak bebas-nilai, dalam perumusan kebijakan mau tidak mau harus diperhitungkan korban yang timbul akibat dilaksanakannya kebijakan yang dimaksud. Dibandingkan dengan pembangunan, maka pembicaraan tentang modernisasi bisa dikatakan bebas-nilai.
Dalam usahanya melakukan telaah sosiologis tentang modernisasi, dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Berger menganut prinsip bebas-nilai. Bukan itu saja, ada beberapa prinsip lain yang digunakan olehnya dalam telaah sosiologis ini. Pertama, secara umum modernitas ditelaah sebagai realitas yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Dan di sini, secara khusus analisis dilaksanakan dalam dua level: level kesadaran dan level tatanan institusional. Premisnya: di satu pihak kesadaran pada dasarnya terbentuk berlandaskan tatanan institusional, di lain pihak dinamika tatanan institusional tak bisa dilepaskan dari kesadaran.
Sejalan dengan hubungan saling membentuk di antara kesadaran dan tatanan institusional, maka selayaknya modernisasi dipandang sebagai gejala historis. Maksudnya, modernisasi dalam suatu masyarakat harus dapat ditentukan titik awal dan titik akhirnya, serta proses yang berlangsung diantara keduanya.

Corak kognitif: rasionalitas masyarakat modern
Seperti kebanyakan ilmuwan sosial, Berger memandang modernisasi pada mulanya berlangsung di masyarakat-masyarakat yang sekarang ini biasa dilihat sebagai negara industri maju. Baru kemudian ia meluas ke berbagai masyarakat Dunia Ketiga. Dalam pengertian ini selanjutnya Berger berpendirian bahwa agen modernisasi yang utama dalam masyarakat adalah institusi birokrasi. Sedangkan agen lainnya, di antaranya institusi pendidikan, arus komunikasi massa, situasi kota kontemporer, dan kondisi sosial budaya yang majemuk. Bertolak dari kerangka teori yang digunakannya, Berger beranggapan bahwa baik produksi berlandaskan teknologi dan maupun birokrasi mengandung elemen-elemen tertentu yaitu elemen kognitif yang bersifat intrinsik[3]. Dalam produksi berlandaskan teknologi, elemen termaksud adalah:
1.     Mekanisitas, terlihat jelas pada gejala ban berjalan yang banyak terdapat dalam industri mobil, misalnya. Pekerja tertentu tidak membuat mobil secara utuh, namun hanya mengerjakan bagian tertentu setelah pekerja pendahulunya menyelesaikan bagian lain.
2.    Reproduksibilitas, anggapan bahwa hasil produksi tidak unik sifatnya: barang yang sama bisa dihasilkan terus menerus dan oleh berbagai pekerja yang memiliki jenjang keterampilan yang kurang-lebih sama. Berbeda dengan misalnya tindakan seseorang seniman menciptakan lukisannya.
3.    Keterukuran, pandangan bahwa hasil kerja seseorang bisa dievaluasi berdasarkan kriteria kuantitatif, baik menyangkut misalnya jumlah poduksi per hari maupun ketepatan pembuatannya.
Dengan proses produksi seperti itu, pada diri para pekerja pun tertanam suatu corak kognitif tertentu yang berpadanan dengannya. Menurut Berger, corak tersebut adalah pengelolaan emosi. Maksudnya, pekerja dituntut untuk dapat mengendalikan perasaan dan menempatkannya di bawah rasionya. Bila hal ini tidak dilakukan oleh pekerja, produksi bisa mengalami kekacauan. Corak kognitif lain yang dituntut dari seorang pekerja di tengah produksi berlandaskan teknologi adalah abstraksi implisit, di mana dalam proses produksi, seorang pekerja bukan lagi pribadi yang utuh. Ia hanya dipandang dari satu sudut saja: peran yang dimainkannya dalam proses produksi. Atau dengan kata lain, pekerja itu menjadi sesuatu yang abstrak. Hubungan antar pekerja pun, dengan demikian, menjadi hubungan yang bersifat fungsional. Corak kognitif lainnya adalah asas maksimalisasi: prinsip untuk meningkatkan hasil semaksimal mungkin dengan biaya yang serendah-rendahnya.
Corak kognitif seperti ini tidak hanya terbatas dalam proses produksi. Individu, atau lebih tepatnya lagi, pekerja berkecenderungan untuk membawanya keluar dari dunia pekerjaan. Hal ini tercermin dari kehidupan sehari-hari mereka di luar pekerjaan. Hubungan mereka dengan tetangga, misalnya, menjadi hubungan sosial yang anonim (anonymous social relations). Di samping itu, ini juga terlihat dari kesadaran yang memisah-misahkan pekerjaan dari kehidupan pribadi (segregation of work from private life).
Seperti halnya produksi berlandaskan teknologi, sebagai institusi birokrasi yang mengandung aspek-aspek kognitif tertentu yang bersifat intrinsik, yang lebih jauh menuntut corak kognitif tertentu dari orang-orang yang terlibat di dalamnya (baik itu petugas maupun klien birokrasi). Corak kognitif yang dimaksud adalah:
1.     Ketertataan (orderliness); suatu persoalan atau pekerjaan ditangani secara berurutan, mulai dari bagian A, lalu ke bagian B, lalu ke bagian C, dan seterusnya.
2.    Prediktabilitas (predictability); kegiatan birokratis pada dasarnya bisa ditaksir. Misalnya, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah dokumen tertentu, persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang klien, dan sebagainya.
3.    Tuntutan umum akan kesamarataan (general expectation of justice); birokrat dituntut tidak “pandang bulu”. Semua diperlakukan secara sama sepanjang persyaratan yang dituntut oleh suatu birokrasi dipenuhinya.
Hasil dari corak kognitif seperti ini salah satunya adalah anonimitas-hubungan di antara birokrat dan klien birokrasi, di kalangan birokrat, dan di kalangan klien birokrasi bukanlah hubungan antarpribadi. Seseorang lantas menjadi anonim bagi orang lain, hanya dikenal sebagai petugas resepsionis atau sebagai klien nomor sekian, misalnya. Gaya pengetahuan seperti itu tidak terbatas dalam lingkungan birokrasi saja, melainkan meluas ke sektor kehidupan sehari-hari di luar birokrasi. Baik birokrat maupun klien birokrasi memperlakukan orang lain juga tidak sebagai individu, tidak sebagai pribadi yang utuh (misalnya, dalam hubungan yang dijalin dengan pedagang minuman ketika ia membutuhkan minum).

Kesadaran modern masyarakat barat
Apa yang terjadi dalam masyarakat Barat yang mengalami modernisasi dengan bingkai rasionalitas seperti itu? Kehidupan sehari-hari tidak hanya dibombardir oleh berbagai objek material hasil produksi berlandaskan teknologi, tetapi juga oleh kesadaran yang berasal dari pola produksi tersebut. Perubahan massif serupa pun terjadi menyertai birokratisasi masyarakat: kehidupan sehari-hari dikelola berlandaskan pada kesadaran yang bersumber dari birokrasi. Wujudnya, anomitas hubungan sosial, ketidakbebasan mengungkapkan perasaan, dan berbagai fenomena “kehilangan rumah” lainnya.
Untuk menanggulangi keadaan ini, di Barat terjadi kecenderungan pemisahan kehidupan sehari-hari. Sektor kehidupan tempat individu mengeksternalisasikan diri dijauhkan dari kesadaran birokratis, pola produksi berlandaskan teknologi, dan sektor-sektor di mana individu dituntut bertindak dengan kesadaran yang bersumber dari kedua institusi tersebut. Berger menyebut sektor kehidupan yang pertama sebagai kehidupan pribadi (private life), sedangkan sektor kedua disebut kehidupan publik (public life). Contoh kehidupan pribadi adalah kehidupan keluarga, pergaulan dalam kelompok sebaya, dan pergaulan dalam kelompok/organisasi yang bersifat sukarela (misalnya, kelompok keagamaan). Sektor di mana individu bisa berhubungan dengan orang lain secara personal dan akrab yang dilandaskan pada solidaritas mekanis.
Kemajemukan kehidupan sosial seperti ini, menurut Berger, merupakan ciri khas masyarakat Barat yang tinggi derajat modernitasnya. Sebelumnya, tidak ada. Yang ada adalah kehidupan yang punya ciri-ciri solidaritas mekanis, Geimenschaft, atau sejenisnya. Modernitas tidak hanya menimbulkan konsekuensi pluralisasi kehidupan sosial, ia juga menyebabkan gejala sekularisasi agama: agama mengalami krisis legitimasi. Krisis pun tidak berhenti setelah melanda agama. Lebih dari itu, ia berpengaruh juga pada kehidupan individu. Individu tidak bisa lagi memiliki kepastian dalam hidupnya, kepastian yang sebelumnya diperolehnya dari agama.
Istilah “sekularisasi” mempunyai perjalanan sejarah tersendiri. Kata tersebut digunakan pada era Perang Agama untuk menyatakan pemisahan teritori atau properti dari kontrol kekuasaan gerejawi. Lalu, dalam lingkaran anti-klerikal dan progresif, istilah sekularisasi digunakan untuk menjelaskan kebebasan manusia modern dari belenggu agama. Sementara itu, bagi kalangan gereja-gereja tradisional, sekularisasi dimaknai sebagai “de-kristenisasi”, “paganisasi”, dan semacamnya.
Menurut Berger, sekularisasi adalah sebuah proses di mana sektor-sektor dalam masyarakat dan kebudayaan dipisahkan dari dominasi institusi dan simbol-simbol religius[4]. Jika bicara mengenai masyarakat dan institusi, kita perlu mengacu pada konteks sejarah Barat modern. Dalam konteks itu, sekularisasi memanifestasikan dirinya dalam peristiwa terpisahnya masyarakat dari kontrol Gereja Kristen. Contohnya adalah pemisahan Gereja dan Agama, pengambilalihan lahan-lahan milik Gereja, atau munculnya emansipasi pendidikan terhadap otoritas gerejawi.
Dalam masyarakat sendiri, kesadaran modern itu tidak diperoleh individu sebatas ketika ia dewasa dan berhadapan langsung dengan kedua institusi pokok masyarakat modern yang dimaksud. Tetapi, sejak kecil individu telah menghadapinya. Melalui institusi pendidikan, individu mengeksternalisasi kesadaran modern. Ia dipersiapkan agar dapat mengeksternalisasikan diri sesuai dengan tuntunan masyarakatnya. Namun, hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak mengalami “kehilangan rumah” ketika dewasa. Keadaan ini tetap akan mereka alami.
Selain institusi pendidikan, ada institusi lain yang juga ikut menyebarluaskan kesadaran modern (berarti, mempertahankan keselarasan hubungan antara dimensi subjektif dengan dimensi objektif kesadaran modern). Secara tidak langsung, ia dikatakan ikut mempertahankan pola hidup terasing dalam masyarakat Barat yang modern itu. Institusi termaksud adalah komunikasi massal. Sejauh ini dapat disimpulkan bahwa modernisasi merupakan gejala yang khas masyarakat Barat. Ia bersumber pada tatanan institusional masyarakat Barat. Namun adalah suatu kenyataan bahwa modernisasi ini, dalam perkembangan selanjutnya, tidak hanya terbatas pada masyarakat Barat saja. Lebih dari itu, ia disebarluaskan ke Dunia Ketiga. Misalnya, dalam wujud alih teknologi. Ini berarti bahwa modernisasi yang berlangsung di Dunia Ketiga sedikit-banyak juga merupakan Westernisasi.

Difusi gejala modernitas di dunia ketiga
Menurut Berger, bukan hanya menyangkut difusi berbagai objek material saja, misal teknologi kesehatan, institusi pendidikan, maupun pemenuh kebutuhan pokok lainnya. Lebih dari itu, kesadaran modern yang terdapat dalam kesadaran intrinsik dalam objek material tersebut juga ikut tersebarluaskan; elemen kesadaran yang terdapat secara intrinsik dalam produksi berlandaskan teknologi dan birokrasi turut pula merembes. Bagaimana tanggapan warga Dunia Ketiga atas modernisasi yang memasuki kehidupan mereka?
Menurut Berger, reaksi ini dapat digolongkan ke dalam tiga tipe: penolakan terhadap modernisasi (berarti mempertahankan kelangsungan tradisi yang ada), penerimaan modernisasi secara menyeluruh, dan penerimaan modernisasi secara selektif (hanya aspek-aspek yang tidak bertentangan dengan tradisi yang diterima)[5]. Dari ketiga tipe ini, yang umum terdapat di masyarakat Dunia Ketiga adalah tipe kedua dan ketiga. Sedangkan tipe pertama sulit untuk bisa bertahan.
Terlepas dari reaksi apa yang diberikan suatu masyarakat Dunia Ketiga, yang jelas gejala modernitas dipandang sebagai sesuatu yang asing, yang berkekuatan kokoh, setidak-tidaknya pada masa awal difusi. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam kasus alih teknologi. Secara fisik, alih teknologi bisa saja berlangsung dengan mudah, tetapi individu tidak mudah memilki corak kesadaran tertentu yang berpadanan dengan tuntutan teknologi terkait. Hal serupa juga terjadi dalam kasus birokratisasi di Dunia Ketiga. Terjadilah apa yang biasa dikenal sebagai cultural lag: orang mengidentifikasi dirinya dengan birokrasi dan proses teknologis tanpa memahami makna yang secara intrinsik terdapat di dalam kedua motor mdernitas tersebut.
Jelas tidak selamanya cultural lag berlangsung di Dunia Ketiga. Kesadaran modern yang terkandung dalam motor modernitas bisa saja kemudian memasyarakat. Namun, bila hal ini terjadi tak berarti tidak ada konsekuensinya: kerusakan pola hidup tradisional yang sudah dianut masyarakat setempat (dan hal ini terjadi di berbagai masyarakat Dunia Ketiga pada umumnya). Orang yang biasa bergaul akrab dengan sesamanya kini tidak lagi melakukannya. Mereka pun hidup dalam keadaan terasing dan anomi. Di satu pihak mereka menginternalisasikan baik kesadaran tradisional maupun modern (yang pertama malah lebih terinternalisasi), di lain pihak mereka dituntut untuk bereksternalisasi atas dasar kesadaran modern dalam kehidupan sehari-harinya. Singkatnya, modernisasi yang berlangsung di Dunia Ketiga berarti juga penyebarluasan fenomena “kehilangan rumah” dari masyarakat industri maju ke Dunia Ketiga.
Bagaimana dengan sekularisasi di Dunia Ketiga? Seperti yang terjadi di berbagai masyarakat Barat, sekularisasi juga terjadi di berbagai masyarakat Dunia Ketiga. Menurut Berger, semakin suatu masyarakat Dunia Ketiga meyerap kesadaran modern (berarti semakin rasional), semakin mereka meninggalkan agama-agama yang secara tradisional mereka kenal. Bagi Berger, sekularisasi adalah fenomena global masyarakat modern. Sementara itu, bagi sebagian besar sosiolog lain, sekularisasi merupakan proses yang mendunia dalam rangka “baratisasi” dan modernisasi. Inilah klaim universal dari teori sekularisasi. Sekularisasi dipandang sebagai keniscayaan sejarah yang pasti akan terjadi di masa depan dan di segala tempat di dunia yang telah mengalami modernisasi.
Selain membicarakan kesadaran modern dan modernitas yang berlangsung di Dunia Ketiga, Berger juga membicarakan reaksi penolakan warga masyarakat industrial terhadap modernitas. Menurutnya, reaksi penolakan ini terlihat terutama di kalangan muda. Penolakan mereka terhadap gejala modernitas diungkapkan dalam berbagai tindakan, yang kemudian membentuk suatu subkultur yang menentang budaya umum. Tindakan tersebut misalnya, berupa hidup bebas tanpa mau diatur oleh jam dan kalender (jadi, tanpa perencanaan masa depan, baik beberapa hari ke depan maupun jangka panjang) yang merupakan bagian dari kesadaran modern. Ungkapan lain, pengutamaan perasaan daripada rasio, hidup dalam komunitas yang ditandai oleh keterbukaan di antara para warganya (baik komunitas religius maupun sekuler) dan hidup menurut irama alamiah.


Penutup
Modernitas, suatu model yang berkembang setelah Perang Dunia II. Berbias barat dan juga kuat akan bias fungsionalismenya. Menurut Berger dalam model ini, ketimpangan penguasaan sumber daya memang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini terutama terdapat di Dunia Ketiga. namun, ketimpangan tersebut bersifat sementara. Dengan perencanaan pembangunan menyeluruh, ia dapat dikikis dari struktur ekonomi-politik yang ada. Kalaupun dilakukan revolusi, kehancuran masyarakat secara keseluruhan merupakan taruhannya.
Dalam hal ini, konteks pemikiran Berger terpengaruh oleh Weber, jelas terlihat dalam pemaknaan subjektif yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam menjelaskan gejala-gejala kemanusiaan, rasionalitas sebagai landasan masyarakat modern. Terlihat pula dalam konsep makna pada level individual dan makna pada level kolektif. Selain itu, pengarh Weber yang lain adalah pada pandangan Berger bahwa sosiolog selayaknya bersikap objektif atau bebas-nilai, pada penjelasan bahwa pemahaman gejala manusiawi mau tidak mau akan bersangkut-paut dengan verstehen sebagai salah satu prinsip utamanya.
Pandangan Berger tentang modernisasi dan modernitas memiliki kesan pesimistis yang cukup kental, terlihat dalam berbagai tinjauan Berger tentang efek yang ditimbulkan oleh gejala modernitas: anomi, keterasingan, superfisialitas hubungan sosial, dan pengotak-ngotakan masyarakat (baik masyarakat Barat maupun masyarakat Dunia Ketiga). di lain pihak, ia mengajukan juga pemikiran-pemikiran yang bersifat dilematis: sementara orang-perorangan berada dalam suatu tatanan sosial yang mendehumanisasi, modernitas masyarakat memungkinkan manusia untuk terus berkembang.


DaftarReferensi :
Berger, Peter L. 1991. Kabar Angin dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Modern. Jakarta: LP3ES.
Berger, Peter L. Brigitte Berger, dan Hansfried Kellner. 1974. The Homeless Mind: Modernization and Consciousness. New York: Vintage Books.
Berger, Peter Ludwig dan Thomas Luckman. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta : LP3ES.
Samuel, Hanneman. 2012. Peter L. Berger: Sebuah Pengantar Ringkas. Depok: Kepik.




[1] Peter L. Berger & Thomas Luckmann,  Tafsir Sosial atas Kenyataan..
[2] Haneman Samuel, Peter L. Berger, Sebuah Pengantar Ringkas, hal.  60
[3] Hanemen Samuel, Peter L. Berger: Sebuah Pengantar Ringkas.., hal. 62
[4]  Peter L. Berger., Kabar Angin dari Langit: Makna Teologi,…hal. 90
[5]  Haneman Samuel, Peter L. Berger, Sebuah Pengantar Ringkas,…hal. 67