Selasa, 14 Desember 2010

Sosiologisme Pengemis: Peran Negara Terhadap Pengemis

Sosiologisme Pengemis:
Peran Negara Terhadap Pengemis*

Oleh : Syaifudin

Di tengah merajutnya mimpi kota megapolitan. DKI Jakarta mulai mereformasi dirinya, baik dari segi birokrasi maupun bangunan fisik. Kini transformasi kota Jakarta mulai terlihat lebih mewah daripada sebelumnya. Gedung-gedung pencakar langit satu demi satu berdiri kokoh menggusur rindangnya kota.

Akan tetapi ditengah berkembangnya peradaban kota, dibalik gemerlapnya wajah Jakarta ada sisi wajah yang lain. Di mana sisi wajah itu adalah sisi kehidupan kota Jakarta yang jauh dari gemerlapnya kota dan teranaktirikan dari “kue-kue pembangunan” kota. Dia merupakan wajah dari kerasnya hidup di Jakarta.

Wajah itu adalah warna suram dari struktur masyarakat yang gagal mencapai kulminasi masyarakat sejahtera. Mereka adalah kaum marjinal yang tersingkir dari peruntungan nasib di ibukota - secara umum hal ini terjadi pada kaum urban. Biasanya mereka hidup dalam keterbatasan ekonomi. Gambaran wajah bopeng Jakarta ini dapat kita amati disetiap kolong-kolong jembatan dan bantaran kali. Dengan tipe rumah jauh dari kesan layak untuk ditinggali oleh makhluk yang bernama manusia. Memang secara logika itulah warna kehidupan, ada yang kaya dan miskin. Dan salah satu sisi wajah bopeng itu adalah pengemis.

Belakangan ini, pengemis semakin banyak berkeliaran di jalanan, terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Di Jakarta misalnya, mereka beroperasi di perempatan atau pertigaan lampu merah dan di sekitar terminal. Ada kalanya pengemis ini lari tunggang langgang karena dikejar aparat keamanan dan ketertiban (kamtib). Namun, itu tak menyurutkan niat mereka daalm mencari nafkah.

Di sinilah skenario pertumbuhan kota sering diwarnai dengan berbagai masalah sosial, seperti eksklusi sosial pada masyarakat yang termarjinalkan. Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menjelaskan salah satu narasi kisah dari korban ekslusi sosial yaitu pengemis.

Pengemis produk eksklusi sosial kota
Marx mengatakan bahwa sejarah hidup manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Di sinilah perjuangan kelas itu dilakukan oleh para kaum marjinal atau masyarakat miskin kota. Walaupun akses dan hak mereka terkadang didiskriminasikan, tetapi mereka tetap bertahan, entah menjadi pengamen, pengemis, pedagang asongan, bahkan pelaku kriminal sekalipun. Dalam hal ini penulis mencoba mengambil salah satu contoh masalah ekslusi sosial disekitar lampu merah Grogol, dekat mall Citraland, Jakarta Barat. Di mana penulis melihat kehidupan beberapa para pengemis jalanan.

Di sekitar area lampu merah Grogol ini, penulis melihat beberapa pengemis. Pengemis ini oleh penulis dapat dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama, seorang anak kecil laki-laki dan perempuan (kira-kira usianya 8 tahunan) yang berpakain lesu serta tanpa alas kaki atau sandal. Kategori kedua, seorang ibu yang sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Kategori ketiga, seorang laki-laki paruh baya yang tampak terlihat ada luka borok di bagian kakinya dengan pakaian yang lesu.

Penulis lihat dari kejauhan, mereka tampak terlihat memainkan sosiodrama raut wajah kemiskinan. Hal ini tentu sedikit mengusik pikiran penulis. Untuk itu, penulis ingin sekali mengetahui kebenaran yang sebenarnya. Setelah hampir satu jam menunggu dan mengamati, akhirnya penulis berhasil mendekati dan berbincang dengan salah satu dari pengemis itu. Pengemis itu seorang ibu yang sedang menggendong seorang anak (kira-kira usianya antara 4 tahun) yang tertidur pulas.

Di sini penulis mendapat informasi dari dirinya. Di mana dalam rantai operasi mengemis, ternyata ada sistem pembagian ” jatah” jam kerja. Jatah jam kerja ini dibagi menjadi 2 sesi. Setiap sesi rata-rata sekitar 9 jam. Sesi pertama dari pukul 6 pagi sampai pukul 3 siang. Kemudian dari pukul 3 siang sampai pukul 11 malam. Namun pembagian sistem jam kerja ini tidak bersifat mutlak. Hal ini tergantung dari kesepakatan masing-masing pengemis. Dan kebetulan Ibu pengemis ini sedang mendapat sesi pertama. Dalam setiap operasi kerjanya, rata-rata para pengemis ini minimal dapat mengantongi uang sebanyak 20.000-30.000 rupiah dalam setiap kerjanya. Para pengemis ini biasa tidur dibawah kolong jembatan Grogol. Namun ada juga yang mengontrak rumah.

Terlepas dari realitas informasi yang penulis dapatkan tentang para pengemis ini. Secara sosiologi makro. Penulis berasumsi bahwa apa yang mereka lakukan berkaitan dengan peran negara yang tidak maksimal. Eksklusi sosial terjadi kepada para pengemis ini. Dengan demikian, latar belakang yang membuat mereka mengemis bukan semata mengemis lebih menguntungkan daripada bekerja menjadi buruh pabrik atau berdagang. Tapi masalah sosial ini terletak pada tataran konsistensi regulasi pemerintah sendiri dalam merealisasikan amanah UUD 1945 dan turunannya.

Peran negara terhadap masalah pengemis
Andre Gunder Frank menyatakan keterbelakangan (baca: pengemis) terjadi akibat permasalahan pada struktural. Struktural yang dimaksud penulis adalah peran atau fungsi negara. Kita ketahui dalam konstitusi peran negara yaitu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Namun kenyataannya, amanah konstitusi ini tidak sesuai dengan das sollen. Pada kasus di atas, mereka menjadi pengemis karena akses pekerjaan yang sulit, ketrampilan yang minim, dan latar belakang pendidikan yang rendah. Ini terjadi akibat kurangnya peran negara dalam memberikan akses kepada mereka.

Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan perjuangan bangsa Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Langkah utama untuk mencapai tujuan itu adalah pelaksanaan keadilan sosial. Keadilan sosial mewajibkan masyarakat termasuk negara demi terwujudnya kesejahteraan untuk membagi beban dan manfaat kepada para warga negara secara proporsional. Di sini negara membantu anggota masyarakat secara proporsional. Menurut Anthony Anthony Giddens dalam bukunya The Third Way, bahwa semestinya pemerintah harus menjadi “ rekan ” (partner) dari masyarakat.

Pemerintah sebagai pemimpin negara mempunyai tugas utama untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Maka dalam rangka itu negara berhak memungut pajak kepada warganya sesuai dengan ketentuan yang ada. Namun sebaliknya negara wajib menjamin agar setiap warganya mencapai kesejahteraan dasar atau taraf hidup minimum yang layak bagi kemanusiaan. Ini tentu sesuai dengan konsep dari kontrak sosial yang dikemukakan oleh J.J Rousseau. Kalau kita telaah lebih mendalam pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea IV menjelaskan antara lain :…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan perdamaian dunia…

Kalimat di atas menunjukkan keaktifan negara dalam memberikan jaminan hak-hak warga negara Indonesia. Hal ini guna mengembangkan dan meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Kesejahteraan sosial rakyat ini dijamin UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) : “ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ”, atau dalam Pasal 34: “ Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara ”. Lebih lanjut kesejahteraan sosial ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

Berdasarkan penjelasan di atas, secara struktural fungsional. Seharusnya peran negara berperan penting dalam mewujudkan keadilan sosial atau kesejahteraan rakyatnya. Di sini masalah pengemis menjadi masalah sosial yang di mana melibatkan fungsi negara itu sendiri. Dengan kata lain, masalah pengemis memberikan indikasi bahwa fungsi negara belum mampu menjalankan perannya secara maksimal, baik secara konstitusi maupun institusi. Oleh karena itu, Cardoso melihat keterbelakangan tidak hanya disebabkan faktor dari luar, tapi juga internal negara. Kondisi internal tersebut adalah selain struktur ekonomi tetapi juga kelas-kelas sosial dan distribusi kekuasaan di dalam masyarakat serta peran negara. 

Memang dalam meminimalisir masalah eksklusi sosial ini, negara sudah menerapkan berbagai proyek pembangunan sosial guna membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, praktiknya memang belum maksimal. Hal ini disebabkan kurangnya komitmen negara dalam menanggulangi masalah-masalah sosial tersebut. Selain itu, terkadang kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terkadang menyudutkan atau justru memarginalisasi masyarakat, khususnya masyarakat kecil atau miskin,bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satunya UU Perda no.8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

Salah satu isi Perda tersebut, yakni membahas mengenai pelarangan keberadaan para pengemis, pedagang asongan, serta pengamen yang berada di jalan raya. Salah satu pasal yang mengatur hal itu terdapat pada pasal 40, yang menyatakan melarang setiap orang menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Selain itu, melarang orang memberi uang kepada para pengemis dan membeli barang dagangan dari pedagang asongan yang ada dijalan. Jika peraturan itu dilanggar, maka akan dikenakan sanksi. Sanksi itu berupa kurungan penjara paling singkat 20 hari dan denda paling sedikit 500.000. Jelas, Perda ini menyudutkan kaum yang tereksklusi.

Berangkat dari pernyataan ini. Menurut hemat penulis, idealnya peran negara dapat memberikan keadilan merata sesuai dengan amanah konstitusi yang ada, tanpa memilah-milih berdasarkan kepentingan politik tertentu. Dalam hal ini lebih mementingkan kepentingan pemilik modal dibanding keadilan sosial masyarakat miskin.

Untuk itu masalah pengemis harus dilihat sebagai problem keadilan ekonomi dalam pengertian luas. Mereka yang jadi pengemis merupakan korban struktur ekonomi yang tidak berkeadilan. Karena itu, jalan keluar yang harus dilakukan adalah membangun struktur ekonomi yang berkeadilan serta membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya. Yang patut dipersalahkan jika masih ada pengemis adalah negara. Karena itu, aneh jika negara menghukum pengemis, padahal pengemis merupakan "anak haram" dari ketidakadilan ekonomi. Negara boleh saja mengkriminalkan mereka jika negara sudah mampu memberi lapangan pekerjaan kepada mereka. Selain keadilan ekonomi, keadilan pendidikan juga harus mampu dilaksanakan negara sebagai pemegang amanah bangsa ini. Sehingga permasalahan pengemis dapat diminimalisir.

Maksimalisasi peran negara terhadap masalah pengemis
Masalah pengemis memang menjadi permasalahan klasik bangsa ini yang belum terselesaikan. Sudah banyak program dan kebijakan pemerintah yang diterapkan untuk meminimalisir masalah ini. Bahkan milyaran atau triliunan rupiah keluar demi mendanai program dan kebijakan ini. Namun hasilnya tetap tidak menyelesaikan masalah. Hal ini disebabkan masih setengah hati berpihaknya pemerintah terhadap rakyat serta kurangnya komitmen negara dalam menjalankan amanah konstitusi.

Untuk memaksimalkan peran negara tersebut maka diperlukanlah sebuah langkah strategis untuk meningkatkan peran negara dalam meminimalisir masalah pengemis ini yaitu, Pertama, pemerintah dapat membuat kebijakan yang lebih arif dan pro terhadap masyarakat kecil khususnya kaum marjinal, baik yang bersifat peraturan maupun tindakan nyata. Kedua, elaborasi transmigrasi (pemerataan penduduk) dengan mempertimbangkan latar belakang budaya untuk menghindari konflik. Dengan cara seperti ini , diharapkan distribusi penduduk merata dan tidak terpusat hingga akhirnya tidak terjadi ledakan jumlah penduduk. Selain itu, pemerataan pembukaan lapangan pekerjaan di daerah-daerah.

Ketiga, secara sosio edukasi. Merubah pola pikir masyarakat yang kreatif dan mandiri melalui pelatihan-pelatihan ketrampilan. Hal ini diharapkan bisa menjadi langkah pencegahan semakin parahnya permasalahan pengemis dan kaum gelandangan, khusunya di Ibu Kota Jakarta. Selain itu, melakukan sosialisasi kepada para pengemis tentang pentingnya semangat etos kerja. Sosialisasi ini dapat dilakukan melalui komunikasi yang dipahami dan diterima oleh kaum pengemis. Sehingga mereka mau meninggalkan pekerjaannya sebagai pengemis dan bekerja di sektor yang layak dan berkeadilan. Keempat, secara hukum. Memberikan tindakan yang tegas kepada para pelaku yang memanfaatkan atau mengeksploitasi para pengemis, karena hal itu jelas-jelas merupakan tindakan kejahatan atau kriminal.Semoga saja negara dapat memainkan perannya sebagai “partner” semua rakyat, bukan “partner” kartel atau golongan tertentu.

* 14 Desember 2010. Tulisan sederhana yang terinspirasi dari realitas sosial yang penulis amati 2 hari lalu.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Merapatkan Kesenjangan

Merapatkan Kesenjangan

Oleh : Syaifudin*

Mantan wakil presiden RI Jusuf Kalla mengatakan, bahwa konflik yang terjadi di Indonesia disebabkan karena ketidakadilan. Hal ini senada dengan apa yang diyakini Marx, pertentangan setiap manusia pada dasarnya karena ketidakadilan. Ruang ketidakadilan di sini dapat berupa hak sipil, sosial, ekonomi maupun politik. Secara sosiologis, silsilah ketidakadilan berada pada titik kulminasi akar pemicu konflik.

Proses ketidakadilan akhirnya memproduksi sebuah adegan kekerasan. Adegan kekerasan itu merupakan wujud konkret dari sebuah konflik akut. Misalnya saja seperti konflik di Tarakan Kaltim, kerusuhan di Ampera Jaksel serta kasus Ahmadiyah di Bogor. Setidaknya kasus tersebut menjadi refleksi kita bersama. Apakah ini watak dan budaya yang ada pada masyarakat kita sekarang ini. Dari sudut pandang subjek, kekerasan dari konflik akut lebih banyak diperankan oleh masyarakat bawah (grassroot).

Menurut hemat penulis, ada indikasi bahwa adegan kekerasan yang terjadi karena adanya rekayasa sosial elite. Rekayasa sosial elite ini bergerak akibat adanya ruang kesenjangan di dalam antar masyarakat. Ruang kesenjangan itulah yang dimanfaatkan oleh “oknum” untuk memobilisir psikologi massa menjadi brutal.

Melalui sugesti dan agitasi sosial, diciptakanlah masyarakat yang anarkis serta reaksioner. Inilah bentuk dari rekayasa sosial tersebut. Secara tidak langsung, rekayasa sosial menjadi agen konflik yang memanfaatkan pertentangan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan itu pastinya bersifat politis.

Berdasarkan hal tersebut, kiranya peran negara amatlah penting. Negara harus semaksimal mungkin merapatkan kesenjangan yang ada. Sehingga kesenjangan yang ada tidak mudah terinfiltrasi oleh “oknum-oknum” perekayasa sosial.

Pertama, negara harus konsisten menjalankan amanah UUD 1945. Sebab, amanah UUD 1945 secara filosofis merupakan petunjuk jalan menuju sebuah social justice dan welfare state. Kedua, penciptaan ruang sosiopetal. Di sini negara menciptakan ruang yang dapat meningkatkan interaksi sosial masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar meningkatkan kecerdasan berpikir masyarakat terhadap suatu isu sosial. Dengan meningkatnya interaksi, maka masyarakat tidak mudah bersikap reaksioner.

Ketiga, adanya penegakan hukum secara tegas. Ketegasan penegakan hukum akan memberikan efek jerah bagi para pelaku. Selain itu, keadilan hukum juga menjadi syarat mutlak. Di mana penegakan hukum dilaksanakan secara adil. Hukum tidak berpihak pada golongan tertentu. Entah dia presiden, menteri, ulama, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, serta masyarakat biasa, jika memang salah maka hukum harus tetap ditegakkan. Ini berguna dalam mengkonstruksi kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

Kesenjangan akibat ketidakadilan yang berujung kekerasan massa merupakan konsekuensi sosial. Dan kiranya ini menjadi suatu pekerjaan rumah bagi negara. Jika kesenjangan ini semakin lebar, dipastikan kekacauan sosial akan semakin tinggi. Hal ini ditandai dengan terciptanya masyarakat anomali. Untuk itu, negara harus ekstra keras merapatkan kesenjangan ini dan bukannya loyo.

*Mahasiswa Sosiologi UNJ

Sabtu, 02 Oktober 2010

Refleksi Satu Tahun Kinerja : Menjadi Wakil Rakyat atau Pengkhianat Rakyat


Refleksi Satu Tahun Kinerja :
Menjadi Wakil Rakyat atau Pengkhianat Rakyat

Oleh : Syaifudin
 
Untukmu yang duduk sambil diskusi. Untukmu yang biasa bersafari. Di sana, di gedung DPR…Di hati dan lidahmu kami berharap. Suara kami tolong dengar lalu sampaikan…
Di kantong safarimu kami titipkan. Masa depan kami dan negeri ini. Dari Sabang sampai Merauke…Saudara dipilih bukan dilotre. Meski kami tak kenal siapa saudara… Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat…

Beberapa petikan lirik lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” yang ditulis oleh Iwan Fals di atas, sepertinya sama dengan isi tulisan ini. Pada pemilu 2009 lalu, merupakan pintu gerbang para calon wakil rakyat ini dipilih dan duduk di kursi DPR/MPR secara demokratis. Dan tepat pada tanggal 1 oktober 2009, para wakil rakyat terpilih ini “resmi” dilantik. Pelantikan ini tentu menjadi sebuah senyum dan cahaya baru (baca:harapan) bagi rakyat Indonesia. Terlantiknya para wakil rakyat ini, menandakan sebuah “kontrak sosial” antara rakyat dan wakil rakyat. Secara filosofi, wakil rakyat merupakan seseorang yang dipilih oleh rakyat untuk mengemban amanah dan memperjuangkan hak-hak rakyat. 

Kini tepat 1 Oktober 2010, berarti sudah satu tahun para wakil rakyat ini berpentas di gedung terhomat tersebut. Lantas, apa saja refleksi dari pentas yang sudah dilakukan oleh para wakil rakyat ini? Tulisan ini bukan bermaksud mengecilkan atau me-induksi kinerja buruk para wakil rakyat. Tetapi lebih daripada itu, tulisan ini merupakan sebuah refleksi bentuk perhatian seorang rakyat untuk selalu mengingatkan orang yang diberikan amanah. Bahkan dalam ajaran agama pun ini dibenarkan. 

Wakil rakyat seharusnya merakyat“ Kalimat ini menjadi kata kunci dari refleksi ini. Pada 1 Oktober 2009, bangsa ini disuguhkan perhelatan besar oleh para wakil rakyat yang menelan biaya hampir Rp. 46.049 miliar untuk pelantikan mereka. Padahal disaat yang bersamaan, bangsa ini sedang mengalami duka. Antara lain; pada tanggal 30 September 2009, di Padang Sumatera Barat, mengalami gempa yang sangat dasyat dengan skala 7,6 richter. Akibat bencana alam tersebut, dipastikan menelan ratusan korban jiwa dan harta benda masyarakat yang terkena gempa tersebut. 

Tidak hanya musibah gempa di Padang saja, tapi masih banyak sekali musibah bencana alam lain yang terjadi di pelosok daerah di Indonesia sepanjang tahun 2009. Lalu apa yang dilakukan oleh para wakil rakyat kita? Silahkan bapak – ibu wakil rakyat yang menjawab sendiri! Bagi Taufik Kemas (ketua MPR RI), pelantikan para wakil rakyat yang mencapai Rp. 46 miliar itu bukanlah sesuatu yang berlebihan, menurutnya “demokrasi memang mahal.“ Apakah kemahalan demokrasi ini harus meniadakan kepentingan rakyat? Sehingga prioritas rakyat di nomor dua kan dibandingkan kepentingan para wakil rakyat ini.

Catatan refleksi tahun 2010
Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI), satu tahun pertama kinerja anggota DPR periode 2009-2014 dinilai sangat buruk. Indikator penilaian ini salah satunya dari target 70 RUU hanya enam yang disahkan dan itu pun dari segi kuantitas serta kualitas menuai kritik. Selain itu anggaran yang dialokasikan pun banyak yang harus diaudit atau dipertanggungjawabkan untuk menghindari terjadinya korupsi.

Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), daftar anggaran DPR yang teralokasi dalam DIPA APBN 2010 antara lain :
  • - Alokasi anggaran alat kelengkapan Dewan Rp 393 miliar lebih
  • - Dana fungsi legislasi Rp 211,9 miliar
  • - Dana kunjungan kerja Rp 17,8 miliar
  • - Hak keuangan dan administrasi dewan Rp 763, 69 miliar
  • - Dana anggaran fungsi legislasi Rp 211,8 miliar
  • - Dana kunjungan kerja Rp 17,8 miliar
  • - Dana hak keuangan dan administrasi dewan Rp 763, 69 miliar
  • - Dana anggaran penyerapan aspirasi Rp 230,3 miliar
  • - Dana kunjungan kerja Rp 173,1 miliar
  • - Dana pelaksanaan dan fungsi dewan Rp 52,7 miliar

Ditambah lagi pada pertengahan tahun 2010, para wakil rakyat menginginkan adanya pembangunan gedung baru. Pembangunan gedung baru itu mencapai lebih dari Rp. 1 triliun, dan konon gedung itu juga terisi fasilitas yang mewah seperti hotel berbintang lima. Ironisnya, di tengah wacana pembangunan gedung baru para wakil rakyat ini, di luar sana masih banyak rakyat yang harus tinggal dirumah yang jauh dari kesan layak bahkan ada yang sampai tinggal dikolong jembatan dengan fasilitas seadanya. Tidak hanya itu saja, para wakil rakyat pun mengalokasikan anggaran studi banding ke 5 negara yang diperkirakan mencapai Rp. 100 miliar. 

Alokasi anggaran di atas tentu bukan angka yang terbilang kecil. Pasalnya, anggaran yang besar itu jika di dialokasikan untuk kepentingan rakyat pastilah sangat bermanfaat sekali. Para wakil rakyat, sejatihnya melihat dan melaksanakan amanah rakyat secara maksimal, bukannya memanfaatkan peluang untuk memenuhi hasrat kebahagiannya semata. Pertanyaannya adalah dari sekian banyak program kerja para wakil rakyat selama satu tahun ini, berapa perbandingan prosentase kebermanfaatan program kerja itu bagi rakyat pada umumnya, bukan golongan tertentu?

Rakyat tidak peduli berasal dari partai atau golongan atau profesi apa para wakil rakyat itu. Yang diinginkan dan diharapkan rakyat adalah bagaimana para wakil rakyat yang dipilih dan digaji serta dibiayai oleh rakyat ini dapat menjalankan amanahnya sebagai wakil suara Tuhan di gedung DPR/MPR. Di tengah kemiskinan rakyat yang akut, akses pendidikan yang belum merata, diskriminasi kebijakan pemerintah, dan masalah-masalah lain yang dihadapi oleh rakyat. Sudah semestinya para wakil rakyat ini lebih memprioritaskan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingan pribadi atau golongan. 

Para wakil rakyat seharusnya merakyat dengan anggaran dan program kerja yang ada. Untuk itu, semoga di satu tahun kinerja para wakil rakyat ini, filosofi wakil rakyat sebagai pengemban amanah dan aspirasi rakyat dapat benar-benar dijalankan sebagaimana mestinya. Wakil rakyat adalah wakil rakyat, bukan pengkhianat bagi rakyat!
Jakarta, 30 Oktober 2010

Jumat, 10 September 2010

Film Senjata Revolusi


Film Senjata Revolusi

Oleh : Syaifudin


Bangsa ini sedang mengalami krisis figuritas dan inspirasi moral dalam kehidupan nyata di masyarakat atau formal. Efek dari krisis itu terlihat dari kemerosotan kesalehan dan kearifan sosial bangsa ini. Kemerosotan itu bisa kita amati dari berbagai gelombang konflik sosial, sikap dan kesadaran sosial masyarakat yang berkembang dewasa ini.
Pada konflik sosial, bangsa ini sedang dihadapi dengan berbagai reaksi irasional. Reaksi irasional itu terwujud melalui sebuah aksi kekerasan, dan bukan terlebih dahulu melalui aksi musyawarah secara kekeluargaan. Di lain sisi, sikap dan kesadaran sosial bangsa ini kian individualis. Jika hal ini tidak segera disadari, maka bangsa ini akan mengalami kekacauan sosial dan masyarakat anomali. Bangsa ini sepertinya memerlukan sebuah objek yang mampu membangun kembali kesalehan dan kearifan sosial masyarakat.
Untuk membangun semua itu, kiranya diperlukan konstruksi citra. Urgensi konstruksi citra ini dapat dibangun melalui sebuah simulasi film. Melalui simulasi film, kiranya menjadi media alternatif pembelajaran masyarakat di tengah krisis figuritas dan inspirasi moral formal. Simulasi film ini tentunya melalui film-film yang berkualitas, atau dengan kata lain film yang ber-edukasi bagi masyarakat.
Melalui simulasi bahasa audiovisual (baca:film) inilah, masyarakat lebih mudah memahami suatu kondisi realitasnya. Dengan film, manusia dapat terinspirasi dalam tindakan sosialnya. Untuk itu, film tanpa disadari berefek besar pengaruhnya terhadap psikologis dan sosiologis bagi penontonnya. 

Representasi pembelajaran
Baru-baru ini, masyarakat disuguhkan sebuah film tentang kisah seorang ulama terkenal Indonesia “KH. Ahmad Dahlan”. Film “Sang Pencerah” yang disutradarai Hanung Bramantyo ini mampu menghipnotis kesadaran masyarakat akan sebuah kesalehan dan kearifan sang tokoh dalam perjuangan hidupnya. Hal ini dapat dilihat dari latah sosial yang berkembang di masyarakat tentang kharismatik sang tokoh.
Selain “Sang Pencerah”, kita tentu ingat dengan film “Laskar Pelangi” yang dirilis pada tahun 2008 lalu. Film yang disutradarai Riri Riza ini, ditonton lebih dari 5 juta orang. Film “Laskar Pelangi” membuat masyarakat terefleksi akan arti penting pendidikan dan perjuangan hidup. Tidak hanya itu saja, film ini pun menjadi media figuritas dan inspirasi sosial akan sebuah sikap kepedulian sesama melalui kesadaran education for all.
Lalu pada tahun 2007, film “Naga Bonar Menjadi 2” yang disutradarai oleh Deddy Mizwar yang juga sekuel dari film “Naga Bonar” tahun 1987. Film ini menjadi media pembelajaran moral bagi masyarakat akan sikap nasionalisme dan bentuk kasih sayang antara orang tua dan anak. Untuk itu, tak heran film terlaris 2007 ini mendapat penghargaan sebagai film terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2007.
Selanjutnya film “Gie” yang dirilis tahun 2005. Film “Gie” merupakan media sosialisasi sejarah tokoh pergerakan mahasiswa “Soe Hok Gie”. Melalui film besutan Riri Riza ini, masyarakat mengenal siapa itu “Soe Hok Gie” dan kondisi sosial saat itu. Secara khusus, film ini menjadi inspirasi figuritas dan moral pergerakan bagi mahasiswa kekinian. Bagi masyarakat umum, film ini mampu menggerakan sikap berani dan konsisten dalam menyatakan suatu kebenaran. Bahkan film yang terinspirasi dari buku “Catatan Seorang Demonstran” ini mendapatkan tiga penghargaan sekaligus dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2005, salah satunya penghargaan film terbaik.
Petualangan Sherina (2000) sutradara Riri Riza, Pasir Berbisik (2001) dan Bendera (2002) sutradara Nan Achnas, Kiamat Sudah Dekat (2003) sutradara Deddy Mizwar, Mengejar Matahari (2004) sutradara Rudi Soejarwo, Detik Terakhir (2005) sutradara Nanang Istiabudi, Dennias, Senandung Di atas Awan (2006) sutradara John De Rantau, Long Road to Heaven (2007) sutradara Enison Sinaro, Kantata Takwa (2008) sutradara Eros Djarot, Jamila dan Sang Presiden (2009) sutradara Ratna Sarumpaet, Merah putih (2009) sutradara Yadi Sugandi, dan Alangkah Lucunya Negeri ini (2010). Kiranya judul-judul film tersebut merupakan sekian dari banyak judul film karya anak bangsa yang menjadi representasi pembelajaran masyarakat akan krisis figuritas dan inspirasi moral formal. 

Revolusi kesadaran
Jika kita tarik dalam konteks sosiologi, bahasa film jelas dapat mengikat masyarakat terhadap pesan implisit yang terkandung di dalamnya. Di mana kita ketahui terdapat janusitas implikasi dalam suatu film. Janusitas itu berupa implikasi positif dan negatif. Dominasi dari satu implikasi itu tergantung dari makna atau pesan moral yang ada pada film tersebut.
Maka dalam rangka membangun kesalehan dan kearifan sosial masyarakat melalui film. Para sineas film Indonesia yang juga basis civil society dapat menjadi agen sosial edukasi masyarakat melalui karya-karya filmnya yang berkualitas. Dengan menyajikan film-film yang berkualitas, secara tidak langsung terjadi sebuah revolusi kesadaran. Revolusi kesadaran ini nantinya dapat membentuk peradaban masyarakat yang berkualitas pula. Untuk itulah peran pemerintah pun harus turut andil dalam mendukung para sineas film Indonesia dalam berkarya, baik secara pendanaan maupun kebijakan.
Di tengah krisis figuritas dan inspirasi moral formal. Penulis yakin dengan tontonan film yang berkualitas, masyarakat dapat terstimulus untuk meningkatkan kesalehan dan kearifan sosialnya. Film merupakan senjata untuk metransformasikan kesadaran masyarakat akan eksistensi ke-Indonesiaannya. Eksistensi ke-Indonesiaan itu berupa pemahaman dan penghargaan nilai-nilai sejarah dan budaya bangsanya. Dan itu sudah terbukti melalui film!

Sabtu, 28 Agustus 2010

Kaum Intelektual dan Sosialisme

Kaum Intelektual dan Sosialisme

Oleh: Leon Trotsky (1910)

Sepuluh tahun yang lalu, atau bahkan enam atau tujuh tahun yang lalu, para pembela pemikiran sosiologi Rusia yang subjektif (yakni kaum “Sosialis Revolusioner[1]”) mungkin telah berhasil menggunakan brosur terbaru dari ahli filosofi dari Austria, Max Adler[2], untuk kepentingan mereka. Akan tetapi, selama lima atau enam tahun terakhir, kita telah melalui “pemikiran sosiologi” yang cermat dan objektif, dan pelajaran-pelajarannya tertulis pada tubuh kita di bekas-bekas luka yang sangatlah ekspresif, dimana contoh yang paling baik dari kaum intelektual, bahkan yang datang dari pena “Marxis” Max Adler, tidak akan bisa membantu subjektivisme Rusia. Sebaliknya, nasib dari kaum subjektivis Rusia adalah sebuah argumen yang paling serius terhadap gagasan-gagasan dan kesimpulan-kesimpulan Max Adler.

Subyek dari brosur ini adalah hubungan antara kaum intelektual dan sosialisme. Bagi Adler, ini bukan hanya sebuah masalah analisa teori tetapi juga masalah hati nurani. Ia ingin meyakinkan orang-orang. Brosur Adler, yang berdasarkan pidato yang dia berikan pada kaum pelajar sosialis, dipenuhi dengan keyakinan yang kuat. Semangat untuk merubah keyakinan seseorang memenuhi brosur kecil ini, dan ini memberikannya sebuah nuansa yang spesial pada ide-ide yang tidak baru ini. Untuk memenangkan kaum intelektual ke idenya, untuk meraih dukungan mereka dengan cara apapun, hasrat politik tersebut benar-benar menutupi analisa sosial di dalam brosur Adler. Dan ini memberikannya sebuah nada yang partikular, dan merupakan kelemahannya.

Apa itu kaum intelektual? Tentu saja Adler memberikan konsep ini bukan sebuah definisi moral tetapi sebuah definisi sosial: kaum intelektual bukanlah sebuah kelompok yang terikat oleh sebuah hukum sejarah, tetapi sebuah strata sosial yang meliputi semua pekerjaan “otak”. Bagaimanapun sulitnya untuk menarik garis demarkasi antara kerja “manual” dan “otak”, ciri-ciri sosial umum dari kaum intelektual cukup jelas, tanpa perlu menuju ke detil-detil. Kaum intelektual adalah sebuah kelas tersendiri – Adler menyebut mereka sebuah kelompok inter-kelas [yang dimaksud disini adalah sebuah kelompok yang tidak terikat pada satu kelas saja – Ed.], tetapi pada esensinya tidak ada perbedaan – yang eksis di dalam kerangka masyarakat borjuasi. Dan bagi Adler pertanyaannya adalah: siapa yang memiliki hak untuk memiliki jiwa dari kelas ini? Apa ideologi yang menjadi dasarnya, sebagai hasil dari fungsi sosialnya? Adler menjawab: ideologi kolektivisme. 

Adler tidak menutupi matanya dari kenyataan bahwa kaum intelektual Eropa, selama mereka tidak menentang ide kolektivisme, berdiri mengambang jauh dari kehidupan dan perjuangan rakyat pekerja, tidak panas dan tidak dingin. Tetapi semua tidak harus seperti itu, kata Alder, tidak ada basis objektif yang cukup untuk itu. Adler secara pasti menentang kaum Marxis yang menyangkal keberadaan kondisi-kondisi umum yang dapat menyebabkan sebuah gerakan massa kaum intelektual menuju sosialisme.Dia menyatakan di pembukaannya “Ada faktor-faktor yang memadai – walaupun bukan faktor ekonomi secara murni, tetapi dari lingkupan yang lain – yang dapat mempengaruhi seluruh massa kaum intelektual, bahkan terlepas dari situasi kehidupan kaum proletar, faktor-faktor yang dapat menjadi motif yang cukup bagi mereka untuk bergabung dengan gerakan buruh sosialis. 

Kaum intelektual hanya perlu dibuat sadar akan sifat dasar utama dari gerakan ini dan posisi sosial mereka.” Apa faktor-faktor ini? Adler mengatakan, “Karena kesakralan, dan terutama, peluang untuk perkembangan kepentingan spiritual yang bebas adalah kondisi kehidupan kaum intelektual yang utama, oleh karena itu kepentingan intelektual adalah sama dengan kepentingan ekonomi. Maka, bila basis bagi kaum intelektual untuk bergabung dengan gerakan sosialis harus dicari di luar lingkupan ekonomi, ini adalah karena persyaratan eksistensi ideologi tertentu untuk kerja mental daripada isi kebudayaan sosialisme” (halaman 7). Terlepas dari karakter kelas seluruh gerakan (toh, gerakan hanyalah sebuah jalan!), terlepas dari gambaran partai-politik sehari-hari (toh, partai politik hanyalah sebuah alat!), sosialisme pada dasarnya, sebagai sebuah ide sosial yang universal, berarti pembebasan semua bentuk kerja otak dari segala macam belenggu dan batasan sejarah. Premis ini, visi ini, menyediakan jembatan ideologi dimana kaum intelektual Eropa dapat dan harus lewati untuk menuju ke kamp Sosial Demokrasi[3].

Ini adalah titik pandang Adler yang utama, yang merupakan isi dari seluruh brosurnya. Kekeliruan utamanya, yang segera mencuat ke mata kita, adalah karakternya yang non-historis. Dasar sosial bagi kaum intelektual untuk memasuki kamp kolektivisme yang digunakan oleh Adler sudah ada sejak dulu; akan tetapi tidak ada sama sekali gerakan massa intelektual menuju Sosial Demokrasi di negara Eropa manapun. Tentu saja Adler tahu hal ini seperti juga kita. Tetapi dia cenderung melihat terasingnya kaum intelektual dari gerakan kelas pekerja adalah karena kaum intelektual tidak memahami sosialisme. 

Pada satu pihak ini benar. Tetapi bila begitu apa penjelasan untuk ketidakpahaman ini, yang eksis bersama-sama dengan pemahaman mereka akan hal-hal yang lebih kompleks? Jelas, ini bukan karena kelemahan logika ideologis mereka, tetapi karena kekuatan elemen-elemen irasional di dalam psikologi kelas mereka. Adler sendiri berbicara mengenai ini di dalam babnya Bürgerliche Schranken des Verständnisses (Batas Pemahaman Kaum Borjuis), yang merupakan salah satu bab terbaik di dalam brosur tersebut. Tetapi dia berpikir, dia berharap, dia yakin – dan disini sang teoritis menjadi pengkhotbah – bahwa Sosial Demokrasi Eropa akan bisa menghancurkan elemen-elemen irasional di dalam mentalitas pekerja-otak bila saja Sosial Demokrasi merekonstrusi logika hubungannya dengan mereka [baca kaum intelektual – Ed.]. Kaum intelektual tidak memahami sosialisme karena sosialisme dari hari-ke-hari tampak bagi mereka ada dalam bentuk rutinnya sebagai sebuah partai politik, seperti yang lainya. Tetapi bila kaum intelektual bisa ditunjukkan wajah sosialisme yang sesungguhnya, sebagai sebuah gerakan kebudayaan sedunia, mereka pasti akan bisa melihat harapan dan aspirasi mereka yang terbaik. Begitulah pikir Adler.

Kita sudah sampai sejauh ini tanpa memeriksa apakah benar persyaratan kebudayaan murni (perkembangan teknik, ilmu pengetahuan, kesenian) jauh lebih kuat, sepanjang kaum intelektual disangkutkan, daripada pengaruh kelas dari keluarga, sekolah, gereja, dan negara, atau kepentingan material. Dan bahkan bila kita menerima ini sebagai argumen, bila kita setuju untuk melihat bahwa kaum intelektual adalah pendeta kebudayaan yang sampai sekarang hanya gagal melihat bahwa penumbangan rejim borjuis dengan sosialisme adalah cara terbaik untuk melayani kepentingan kebudayaan, pertanyaan yang utama tetap adalah: dapatkah Sosial Demokrasi Eropa Barat menawarkan kaum intelektual, secara teori dan moral, sesuatu yang lebih meyakinkan atau lebih menarik daripada apa yang sudah ditawarkan sampai sekarang?

Kolektivisme sudah memenuhi dunia dengan suara perjuangannya selama berpuluh-puluh tahun. Selama periode ini jutaan buruh telah bersatu di dalam organisasi politik, serikat buruh, koperasi, organisasi pendidikan, dan organisasi-organisasi lainnya. Seluruh kelas telah bangkit dari dasar kehidupan dan memaksa masuk ke dalam politik, yang sampai sekarang dianggap sebagai hak tunggal dari kelas yang berada. Setiap hari, koran-koran sosialis – koran teori, politik, serikat buruh – mengevaluasi ulang semua nilai-nilai borjuis dari sudut pandang sebuah masyarakat yang baru. Tidak ada satupun masalah mengenai kehidupan sosial dan kebudayaan (perkawinan, keluarga, sekolah, gereja, tentara, patriotisme, kebersihan sosial, prostitusi) yang tidak dipertentangkan dengan nilai-nilai sosialisme. Sosialisme berbicara dalam semua bahasa kemanusiaan yang berbudaya. 

Di dalam gerakan sosialis ini, orang-orang dengan pemikiran yang berbeda-beda dan bermacam temperamen, dengan masa lalu, hubungan sosial, dan kebiasaan hidup yang berbeda-beda, mereka semua saling bekerja dan saling berseteru. Dan bila kaum intelektual tetap “tidak memahami” sosialisme, bila semua ini tidak cukup untuk membuat mereka, mendorong mereka untuk mengerti pentingnya gerakan sedunia ini secara historis dan kultural, maka bukankah kita harus menarik kesimpulan bahwa alasan dari ketidakpahaman ini sangatlah mendasar dan usaha-usaha untuk mengatasi ini dengan teori dan tulisan adalah tidak berguna sama sekali?

Gagasan ini menonjol bahkan lebih jelas bila kita melihat sejarah. Influks kaum intelektual yang terbesar ke dalam gerakan sosialis – dan ini benar di seluruh negara Eropa – terjadi di periode awal dari keberadaan partai pekerja, ketika partai tersebut masih muda. Gelombang influks pertama ini membawa ahli-ahli teori dan politisi yang paling terkemuka ke dalam Internasionale Kedua[4]. Semakin Sosial Demokrasi Eropa tumbuh besar, semakin banyak rakyat pekerja yang bergabung, dan semakin lemah (bukan hanya secara relatif tetapi juga secara absolut) influks elemen-elemen baru dari kaum intelektual. Koran Leipziger Volkszeitung lama mencari dengan sia sia, melalui iklan koran, seorang pekerja editor dengan pendidikan universitas. 

Disini kita terpaksa menerima sebuah kesimpulan, sebuah kesimpulan yang bertentangan dengan Adler: semakin sosialisme menampakkan isinya secara tegas, semakin mudah bagi setiap orang untuk memahami tugas sosialisme di dalam sejarah, dan semakin kecut kaum intelektual terhadap sosialisme. Walaupun ini bukan berarti mereka takut akan sosialisme sendiri; jelas kalau di negara-negara kapitalis Eropa telah terjadi perubahan-perubahan sosial yang dalam yang menghalangi pergaulan antara orang-orang universitas dengan buruh, pada saat yang sama dimana perubahan-perubahan sosial tersebut telah memfasilitasi masuknya buruh ke dalam gerakan sosialis.

Apa perubahan-perubahan tersebut? Individu-individu, kelompok-kelompok, dan strata kaum proletar yang paling cerdas telah bergabung dan sedang bergabung ke Sosial Demokrasi. Pertumbuhan dan konsentrasi industri dan transportasi hanya mempercepat proses ini. Sebuah proses yang sepenuhnya berbeda sedang terjadi di dalam kelompok intelektual. Perkembangan kapitalisme yang besar dalam dua dekade terakhir sudah mengikis lapisan atas dari kelas ini. Kekuatan intelektual yang paling cakap, yakni mereka yang memiliki inisiatif dan kreatifitas, telah dihisap oleh industri kapitalis, oleh sindikat-sindikat, perusahaan-perusahaan rel dan perbankan, yang membayar mereka gaji yang sangat besar untuk mengorganisasi rejim mereka. 

Hanya kaum intelektual kacangan yang tersisa untuk pelayanan negara dan kantor-kantor pemerintah; dan editor-editor koran dari semua tendensi mengeluh mengenai kekurangan “orang”. Dan perwakilan dari kaum intelektual semi-proletar yang jumlahnya semakin meningkat, mereka tidak dapat lari dari kehidupan yang selamanya tergantung pada orang lain dan secara material tidak aman. Bagi mereka, yang melakukan fungsi yang tidak lengkap dan rendah mutunya di dalam mekanisme kebudayaan yang besar, daya tarik kebudayaan yang diajukan oleh Adler tidak cukup kuat dengan sendirinya untuk mengarahkan simpati politik mereka kepada gerakan sosialis.

Terlebih lagi adalah situasi dimana setiap kaum intelektual Eropa yang secara psikologi bisa pindah ke kamp kolektivisme tidak memiliki harapan untuk bisa meraih posisi yang berpengaruh di partai-partai proletar. Ini adalah satu hal yang penting. Seorang buruh menjadi seorang sosialis sebagai sebuah bagian dari keseluruhan, bersama-sama dengan kelasnya, dimana dia tidak punya prospek untuk keluar dari kelasnya. Dia bahkan puas dengan perasaan persatuan moral dengan rakyatnya, yang membuatnya lebih percaya diri dan kuat. 

Akan tetapi kaum intelektual menjadi seorang sosialis sebagai seorang individu, dengan memutuskan tali pusat kelasnya sebagai seorang individu, dan secara tak terelakkan berusaha untuk menggunakan pengaruhnya sebagai seorang individu. Tetapi disinilah dia terbentur oleh rintangan-rintangan – dan seiring waktu berjalan rintangan ini semakin bertambah besar. Pada permulaan gerakan Sosial Demokrasi, setiap kaum intelektual yang bergabung ke Sosial Demokrasi, bahkan bila dia bukan di atas rata-rata, dapat meraih sebuah posisi di gerakan kelas pekerja. Sekarang setiap pendatang-baru menemukan, di negara-negara Eropa Barat, struktur demokrasi kelas-pekerja yang kolosal sudah eksis. Ribuan pemimpin buruh, yang secara otomatis datang dari kelas mereka, membentuk sebuah aparatus yang solid dimana diatasnya berdiri veteran-veteran aktivis buruh yang terhormat, yang memiliki otoritas, figur-figur yang telah menjadi sejarah. 

Hanya seorang yang memiliki bakat luarbiasa yang dapat berharap untuk meraih posisi kepemimpinan untuk dirinya – tetapi orang seperti itu, daripada meloncati jurang menuju sebuah kamp yang asing baginya, dia biasanya akan mengikuti jalan yang rintangannya paling kecil, yakni bekerja sebagai pelayan negara atau industri. Selain semua itu, di antara kaum intelektual dan sosialisme berdiri sebuah tembok, yakni aparatus organisasi Sosial Demokrasi. Aparatus organisasi ini membuat tidak senang para intelektual yang memiliki simpati sosialis, karena aparatus ini menuntut disiplin dan sikap menahan-diri; ini kadang tidak sesuai dengan “oportunisme” mereka, dan juga kadang tidak sesuai dengan “radikalisme” mereka yang berlebihan, dan ini menakdirkan mereka ke peran penonton yang ribut yang terombang-ambing antara anarkisme dan liberalisme-nasional. 

Simplicissimus[5]adalah panji ideologi mereka yang tertinggi. Dengan modifikasi yang berbeda-beda dan dengan kadar yang berbeda-beda, fenomena ini terulang di semua negara di Eropa. Orang-orang ini, lebih daripada kelompok-kelompok lainnya, terlalu sombong dan terlalu sinis untuk bisa menerima arti penting kebudayaan dari sosialisme ke dalam jiwa mereka. Hanya sedikit sekali “kaum ideolog” – dengan konotasi baik dan buruknya – yang dapat meraih keyakinan sosialisme di bawah stimulus pemikiran teori murni, dengan, sebagai titik tolak mereka, tuntutan hukum seperti Anton Menger[6], atau persyaratan teknik seperti Atlanticus[7]. Tetapi bahkan kasus-kasus seperti ini, seperti yang kita ketahui, biasanya tidak bergerak terlalu jauh dari gerakan Sosial-Demokrasi, dan perjuangan kelas proletar di dalam hubungan internalnya dengan sosialisme bagi mereka tetap merupakan sebuah buku yang terkunci dengan tujuh segel.

Dengan mempertimbangkan bahwa tidaklah mungkin memenangkan kaum intelektual ke kolektivisme dengan sebuah program yang bersifat material, Adler sungguh benar. Tetapi ini tidak berarti bahwa mungkin untuk memenangkan kaum intelektual dengan cara apapun, dan juga tidak berarti bahwa kepentingan material segera dan ikatan kelas tidak mempengaruhi kaum intelektual lebih dari prospek historis-kebudayaan yang ditawarkan oleh sosialisme.

Bila kita tidak ikutsertakan kaum intelektual yang secara langsung melayani rakyat pekerja, sebagai doktornya buruh, pengacara buruh, dan sebagainya (sebuah strata, yang secara umum, terdiri dari perwakilan yang kurang berbakat dari profesi-profesi tersebut), maka kita bisa melihat bahwa kaum intelektual yang paling penting dan berpengaruh mendapatkan penghidupannya dari laba industri, uang sewa tanah, atau anggaran negara, dan oleh karena itu mereka secara langsung atau tidak langsung bergantung pada kelas kapitalis atau negara kapitalis.

Bila dipertimbangkan secara abstrak, ketergantungan material ini hanya menihilkan aktivitas politik militan dari kaum intelektual yang anti-kapitalis, tetapi tidak menihilkan kebebasan spiritual mereka dari kelas [kapitalis - Ed.] yang memberikan mereka penghidupan. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak begitu. Justru karena karakter “spiritual” dari kerja kaum intelektual yang membuat kaum intelektual secara tidak terelakkan membentuk sebuah ikatan spiritual antara mereka dan kelas penguasa. Manajer-manajer pabrik dan insinyur-insinyur pabrik dengan tanggungjawab administratif selalu menemukan diri mereka di dalam antagonisme dengan para buruh, dimana mereka harus membela kepentingan kapital. 

Jelas sekali kalau fungsi yang harus mereka lakukan, pada analisa terakhir, merubah cara berpikir mereka dan opini mereka terhadap diri mereka sendiri. Dokter dan pengacara, walaupun karakter profesi mereka yang independen, harus selalu berhubungan secara psikologi dengan klien-klien mereka. Seorang tukang listrik dapat setiap hari memasang kabel listrik di kantor-kantor para menteri, bankir, dan istri-istri gelap mereka, dan dirinya tetap terisolasi dari mereka. Ini berbeda bagi seorang dokter, yang harus menemukan nada di dalam jiwa dan suaranya yang sesuai dengan perasaan dan kebiasaan orang-orang tersebut [para menteri, bankir, dsb – Ed.]. Terlebih lagi, hubungan semacam ini secara tidak terelakkan terjadi bukan hanya di lapisan atas masyarakat borjuis. 

Para suffragette [perempuan yang membela hak memilih untuk perempuan – Ed.] dari London menyewa pengacara pro-suffragette untuk membela mereka. Seorang dokter yang mengobati istri-istri para jendral di Berlin atau istri-istri pemilik toko-kecil “Kristen-Sosial” di Vienna, seorang pengacara yang membela kasus ayah, saudara, dan suami mereka [para jendral dan pemilik toko-kecil tersebut – Ed.] tidak bisa membiarkan dirinya merasa antusias mengenai prospek kebudayaan kolektivisme. Semua ini benar bagi para penulis, artis, pemahat, seniman – tidak secara langsung dan segera, tetapi tetap tak terelakkan. Mereka menawarkan ke publik karya mereka atau kepribadian mereka, mereka tergantung pada persetujuan dan uang mereka, dan oleh karena itu, secara terbuka atau tertutup, mereka menundukkan kekreatifan mereka pada “monster besar” yang mereka benci: kaum borjuis. Nasib para penulis “muda” Jerman – yang sudah semakin menipis – menunjukkan kebenaran ini. Gorky, yang dijelaskan oleh kondisi epos dimana dia tumbuh besar, adalah sebuah pengecualian yang hanya membuktikan kebenaran ini: ketidakmampuan dia untuk mengadaptasi dirinya pada degenerasi anti-revolusioner kaum intelektual secara cepat mengikis “popularitasnya”.

Disini tersingkap sekali lagi perbedaan sosial antara kondisi kerja otak dan kerja otot. Walaupun kerja pabrik memperbudak otot dan melemahkan badan, ia tidak bisa menundukkan pikiran buruh. Semua kebijakan telah dicoba untuk menundukkan pikiran buruh, di Swiss seperti di Rusia, yang terbukti tidak berguna. Otak kaum buruh dari sudut pandang fisik lebih bebas. Penulis tidak harus bangun tidur ketika ayam berkokok, di belakang punggung dokter tidak ada mandor, kantong pengacara tidak diperiksa ketika dia meninggalkan pengadilan. Tetapi sebagai gantinya, mereka [penulis, dokter, pengacara, dsb] bukan hanya harus menjual tenaga-kerjanya, bukan hanya ototnya, tetapi seluruh kepribadiannya sebagai seorang manusia – dan bukan karena rasa takut tetapi karena kewajiban. Sebagai akibatnya, orang-orang ini tidak ingin melihat dan tidak bisa melihat bahwa baju jas profesi mereka adalah hanya sebuah seragam penjara yang lebih baik.

Pada akhirnya, Adler sendiri tampak tidak puas dengan formulanya yang abstrak dan pada dasarnya idealistik mengenai inter-relasi antara kaum intelektual dan sosialisme. Di dalam propaganda dia sendiri, dia sesungguhnya berbicara bukan kepada kelas pekerja otak yang memenuhi fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat borjuasi, tetapi kepada generasi muda kaum intelektual yang sekarang hanya berada di tahapan persiapan untuk peran mereka di masa depan – yakni kepada para pelajar. Bukti untuk ini bukan hanya dapat ditemukan pada siapa brosur Adler ditujukan: “Kepada Serikat Mahasiswa Bebas di Vienna”, tetapi juga dari nada brosur tersebut, agitasinya yang penuh semangat dan nada ceramahnya. Tidak terpikir untuk bisa mengekspresikan diri sendiri seperti itu di hadapan para profesor, penulis, pengacara, dokter. Nada seperti itu akan langsung tersumbat di tenggorokan seseorang setelah beberapa kata. Oleh karena itu, terbatas oleh kondisi material manusia yang harus dia kerjakan, Adler sendiri membatasi tugasnya. Sang politisi memperbaiki formula teorinya. Pada akhirnya, ini adalah perjuangan untuk mempengaruhi para pelajar.

Universitas adalah tahap akhir pendidikan yang diorganisir oleh negara untuk anak-anak kelas penguasa, seperti halnya barak-barak militer adalah institusi pendidikan akhir untuk generasi muda kaum buruh dan tani. Barak membentuk kepatuhan dan kedisiplinan yang dibutuhkan untuk fungsi-fungsi sosial yang akan dipenuhi selanjutnya. Pada prinsipnya, universitas melatih kemampuan manajemen, kepemimpinan, dan pemerintahan. Dari sudut ini, bahkan kelompok fraternitas mahasiswa Jerman adalah institusi kelas yang penting, karena mereka menciptakan tradisi yang menyatukan para ayah dan anak-anaknya, menguatkan kebanggaan nasional, menanam kebiasaan-kebiasaan yang dibutuhkan di lingkungan borjuis, dan, akhirnya, meninggalkan sebuah cap yang menandakan bahwa seseorang adalah bagian dari kelas penguasa. 

Orang-orang yang melalui barak-barak, tentu saja, jauh lebih penting bagi partai Adler dibandingkan mereka yang melalui universitas. Tetapi pada situasi sejarah tertentu – yakni ketika, dengan perkembangan industri yang pesat, tentara memiliki komposisi sosial dari kelas proletar seperti halnya di Jerman – partai dapat mengatakan: “Saya tidak perlu pergi ke barak-barak. Cukup bagi saya untuk mengantarkan sang buruh muda sejauh pintu barak dan yang paling penting adalah menemui dia saat dia keluar lagi. Dia tidak akan meninggalkan saya, dia akan tetap menjadi milik saya.” Tetapi dalam hal universitas, bila partai ingin melakukan perjuangan independen untuk merekrut kaum intelektual, dia harus mengatakan yang sebaliknya: “Hanya disini dan hanya sekarang, ketika sang pemuda bebas dari keluarganya, dan ketika dia belum menjadi sandera dari posisinya di dalam masyarakat, saya dapat merekrut dia ke dalam kelompok kita. Sekarang atau tidak sama sekali.”

Di antara kaum buruh, perbedaan antara “ayah” dan “anak” secara murni hanya perbedaan umur. Di antara kaum intelektual perbedaannya bukan hanya perbedaan umur tetapi juga perbedaan sosial. Kaum pelajar, tidak seperti kaum buruh muda dan ayahnya sendiri, tidak memenuhi fungsi sosial apapun, tidak merasakan ketergantungan langsung kepada kapital atau negara, dan – setidaknya secara objektif bila bukan subjektif – bebas di dalam penilaiannya akan apa yang benar dan salah. Di dalam periode ini semua yang ada di dalam dirinya sedang berkembang, prasangka kelasnya tidak terbentuk seperti halnya juga ketertarikan ideologinya, masalah hati nurani sangat penting baginya, untuk pertama kalinya pikirannya terbuka pada generalisasi ilmu pengetahuan yang agung, segala sesuatu yang luar biasa hampir menjadi sebuah kebutuhan psikologi baginya. 

Bila kolektivisme dapat menguasai pikirannya, sekaranglah saatnya, dan kolektivisme dapat melakukan ini melalui karakter ilmiahnya yang luhur yang menjadi basisnya dan isi kebudayaan yang komprehensif dari tujuan-tujuannya, dan bukan melalui masalah “pisau dan garpu” (baca masalah perut – Ed.) yang membosankan. Di poin terakhir ini Adler sungguh benar.

Tetapi disini juga kita sekali lagi harus berhenti di hadapan sebuah fakta yang jelas. Bukan hanya kaum intelektual Eropa secara keseluruhan tetapi juga anak-anaknya, sang pelajar, yang secara pasti tidak menunjukkan ketertarikan apapun terhadap sosialisme. Ada sebuah tembok di antara partai buruh dan kaum pelajar. Mencoba menjelaskan masalah ini hanya dengan alasan tidak cukupnya kerja agitasi, yang belum mampu mendekati kaum intelektual dari sudut yang tepat, yakni apa yang Adler coba jelaskan, berarti mengabaikan seluruh sejarah hubungan antara kaum pelajar dan “rakyat”. 

 Ini berarti melihat kaum pelajar sebagai sebuah kategori intelektual dan moral dan bukan sebagai sebuah produk dari sejarah sosial. Benar, ketergantungan mereka pada masyarakat borjuasi hanya mempengaruhi mereka secara tidak langsung, melalui keluarga mereka, dan oleh karena itu ketergantungan ini lemah. Tetapi, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan kelas darimana kaum pelajar ini berasal tercerminkan di dalam perasaan dan opini kaum pelajar dengan kekuatan yang penuh, seperti sebuah resonator. Sepanjang seluruh sejarah – di dalam momen-momen heroiknya yang paling hebat dan juga di dalam periode kebangkrutan moral total – kaum pelajar Eropa telah menjadi barometer kelas borjuis yang sensitif. Mereka menjadi ultra-revolusioner, dengan tulus hati dan terhormat bergaul dengan rakyat, ketika masyarakat borjuis tidak ada jalan keluar kecuali dengan revolusi. 

Mereka secara de facto menjadi kekuatan demokrasi borjuis ketika kebangkrutan politik kelas borjuis mencegah mereka [kelas borjuis] untuk memimpin revolusi, seperti yang terjadi di Vienna pada tahun 1848. Tetapi mereka [kaum pelajar] juga menembaki kaum buruh pada bulan Juni pada tahun yang sama, di Paris, ketika kaum borjuis dan kaum buruh saling berhadapan di barikade yang berseberangan. Setelah peperangan Bismark telah menyatukan Jerman dan memenuhi keinginan kelas borjuis, kaum pelajar Jerman dengan cepat menjadi figur yang mabuk dengan bir dan penuh dengan kesombongan, yang bersama-sama dengan pejabat militer Prusia selalu muncul di koran-koran satiris. Di Austria, para pelajar menjadi pembela eksklusifitas nasional dan sovisnisme[8] militan, seiring dengan menajamnya konflik antara nasionalitas-nasionalitas yang berbeda di negara tersebut untuk menguasai pemerintah. Dan tidak diragukan bahwa di dalam semua transformasi sejarah ini, bahkan yang paling menjijikkan sekalipun, kaum pelajar menunjukkan ketajaman politik, dan kesiapan untuk berkorban, dan idealisme yang militan; kualitas-kualitas yang sangat diandalkan oleh Adler. Walaupun kaum filistin[9] berumur 30 atau 40 tidak akan mengambil resiko mengorbankannya wajahnya untuk diremukan demi “kehormatan” yang abstrak, anaknya akan melakukan itu, dengan semangat yang tinggi. 

Para pelajar Ukraina dan Polandia di Universitas Lvov baru-baru ini menunjukkan sekali lagi kepada kita bahwa mereka bukan hanya tahu bagaimana memimpin tendensi nasional atau politik sampai garis akhir tetapi juga tahu bagaimana menyongsongkan dada mereka di depan moncong senjata. Tahun lalu para pelajar German di Prague siap menghadapi kekerasan massa untuk menunjukkan di jalanan hak mereka untuk eksis sebagai sebuah masyarakat Jerman. 

Disini kita saksikan idealisme militan – kadang-kadang seperti ayam jago – yang merupakan karakteristik bukan dari sebuah kelas atau sebuah ide tetapi dari sebuah kelompok-umur; di pihak yang lain, isi politik dari idealisme ini sepenuhnya ditentukan oleh semangat historis kelas-kelas darimana para pelajar tersebut berasal dan kemana dia akan kembali. Dan ini alami dan tidak terelakkan.Pada analisa yang terakhir, semua kelas yang kaya mengirim anak mereka ke universitas dan bila para pelajar ini, ketika ada di universitas, menjadi sebuah tabula rasa (kertas kosong – Ed.) dimana sosialisme dapat menulis pesannya, apa jadinya keturunan kelas dan determinisme sejarah yang tua dan malang ini?


Kita tetap harus memperjelas satu aspek lainnya, yang akan mendukung dan menentang Adler.
Satu-satunya cara untuk menarik kaum intelektual ke sosialisme, menurut Adler, adalah dengan mengedepankan tujuan akhir dari gerakan sosialis, di dalam keseluruhannya. Tetapi tentu saja Adler tahu bahwa tujuan akhir ini menjadi semakin jelas dan menjadi semakin lengkap seiring dengan progres konsentrasi industri, proletarianisasi strata menengah dan intensifikasi antagonisme kelas. Terpisah dari kehendak para pemimpin politik dan perbedaan-perbedaan dalam taktik nasional, di Jerman “tujuan akhir” ini berdiri dengan jauh lebih jelas dan lebih segera dibandingkan di Austria dan Itali. Tetapi proses sosial yang sama ini, yakni intensifikasi pertentangan antara buruh dan kapital, mencegah kaum intelektual dari menyeberang ke partai buruh. 

Jembatan antara kelas-kelas runtuh, dan untuk menyeberang, seseorang harus melompati sebuah jurang yang semakin dalam seiring dengan berlalunya waktu. Oleh karena ini, pararel dengan kondisi-kondisi yang secara objektif membuat lebih mudah kaum intelektual untuk memahami secara teori esensi dari kolektivisme, halangan-halangan sosial tumbuh semakin besar yang mencegah kaum intelektual untuk bergabung dengan pasukan sosialis. Bergabung dengan gerakan sosialis di negara maju manapun, dimana kehidupan sosial eksis, bukanlah sebuah tindakan spekulatif, tetapi sebuah tindakan politik, dan disini kondisi sosial menang melawan logika teori. Dan akhirnya ini berarti bahwa sekarang lebih sulit untuk memenangkan kaum intelektual dibandingkan kemarin, dan akan lebih sulit esok hari dibandingkan sekarang.

Akan tetapi, di dalam proses ini juga ada sebuah “perpecahan di dalam proses yang berjalan lambat ini”. Sikap kaum intelektual terhadap sosialisme, yang sudah kita jelaskan sebagai sikap yang terasingkan yang semakin membesar dengan tumbuhnya gerakan sosialis, dapat dan harus berubah secara pasti sebagai akibat dari perubahan politik secara objektif yang akan menggeser perimbangan kekuatan sosial secara radikal. Di antara gagasan-gagasan Adler, sebanyak ini yang benar: bahwa kaum intelektual ingin mempertahankan eksploitasi kapitalis tidak secara langsung dan tidak tanpa syarat, selama kaum intelektual secara materi tergantung pada kelas kapitalis. 

Kaum intelektual bisa menyeberang ke kolektivisme bila mereka dapat melihat kemungkinan kemenangan kolektivisme yang segera, bila kolektivisme muncul di hadapan mereka bukan sebagai sebuah idealisme dari kelas yang berbeda, jauh, dan asing [baca kelas buruh – Ed.] tetapi sebagai sesuatu yang dekat dan nyata; dan akhirnya, bila – dan ini bukan kondisi yang paling tidak penting – perpecahan politik dengan kelas borjuis tidak mengancam setiap pekerja-otak dengan konsekuensi materi dan moral yang menyeramkan. 

Kondisi-kondisi seperti itu hanya bisa diciptakan bagi kaum intelektual Eropa melalui kekuasaan politik sebuah kelas sosial yang baru; dan sedikit banyak melalui sebuah periode perjuangan langusng dan segera untuk kekuasaan tersebut. Apapun yang menjadi sebab keterasingan kaum intelektual Eropa dari rakyat pekerja – dan keterasingan ini akan tumbuh semakin besar, terutama di negara-negara kapitalis muda seperti Austria, Itali, dan negara-negara Balkan – di sebuah epos rekonstruksi sosial yang hebat kaum intelektual – mungkin lebih awal dari pada kelas-kelas intermediate lainnya – menyeberang ke sisi pembela masyakarat yang baru. 

Sebuah peran yang besar akan dimainkan oleh kualitas sosial kaum intelektual dalam koneksinya dengan ini, yang membedakan mereka dari kelas borjuis kecil komersial dan industrial dan kelas tani: hubungan okupasinya dengan cabang kebudayaan kerja sosial, kapasitasnya dalam menggeneralisasi teori, fleksibilitas dan mobilitas cara berpikirnya; pendeknya, intelektualitas mereka. Dihadapi dengan kenyataan pemindahan seluruh aparatus masyarakat ke tangan yang baru [baca kelas buruh – Ed.], kaum intelektual Eropa akan mampu meyakinkan diri mereka bahwa kondisi baru yang tercipta ini tidak akan mencampakkan mereka ke jurang dalam tetapi justru akan membuka peluang-peluang yang tak terbatas bagi mereka untuk mengaplikasikan kekuatan-kekuatan teknik, organisasi, dan ilmiah; dan mereka akan bisa membawa ke depan kekuatan-kekuatan tersebut dari barisan mereka, bahkan pada periode awal yang sangat kritis ketika rejim yang baru harus menghadapi kesulitan-kesulitan teknik, sosial, dan politik yang besar.

Tetapi bila penaklukan aparatus masyarakat tergantung sebelumnya pada bergabungnya kaum intelektual ke partai kaum proletar Eropa, maka prospek kolektivisme sangatlah buruk – karena, seperti yang sudah kita coba tunjukkan di atas, bergabungnya kaum intelektual ke Sosial Demokrasi di dalam kerangka rejim borjuis, berlawanan dengan harapan-harapan Max Adler, menjadi semakin mustahil seiring dengan berlalunya waktu.

Catatan

[1] Partai Sosialis Revolusioner dibentuk pada tahun 1902, mewarisi banyak ide dan praktek dari Partai Kehendak Rakyat dan Narodniki. Mereka menekankan bahwa kaum tani adalah kelas yang revolusioner, bukan pekerja kota. Pada tahun 1917, partai SR pecah menjadi SR Kiri dan SR Kanan. SR Kanan mendukung Pemerintahan Sementara sedangkan SR Kiri beragitasi untuk penggulingannya. Dengan munculnya pemerintahan Soviet, SR Kiri bergabung dengannya namun SR Kanan meneruskan taktik teroris mereka dan akhirnya dilarang.
[2] Max Adler (1873-1937) adalah seorang kaum intelektual, politisi, dan ahli filosofi dari Austria. Dia adalah perwakilan dari garis pemikiran Austromarxisme.
[3] Sebelum tahun 1914, semua kaum Marxis and Sosialis menyebut diri mereka sebagai kaum Sosial Demokrat. Setelah pengkhianatan parta-partai Sosial Demokrasi yang mendukung Perang Dunia Pertama (tahun 1914), kaum Marxis revolusioner mencampakkan nama Sosial Demokrasi untuk memisahkan diri mereka dari kaum reformis.
[4] Internasional Kedua - Pada tahun 1880, Partai Sosial Demokrat Jerman mendukung seruan dari kamerad-kamerad Belgia untuk mengadakan kongres sosialis internasional pada tahun 1881. Kota kecil bernama Chur dipilih dan kaum sosialis Belgia, Parti Ouvrier dari Perancis, Sosial Demokrat Jerman dan Sosial Demokrat Swiss berpartisipasi dalam persiapan kongres yang akhirnya menuju pada pembentukan Sosialis Internasional atau Internasionale Kedua. Tidak seperti Internasionale Pertama, Internasionale Kedua terdiri dari partai-partai politik yang memiliki pemimpin terpilih, program politik dan keanggotaan yang berbasiskan di negerinya masing-masing. Seksi nasional dari Internasionale Kedua membangun serikat buruh, terlibat dalam pemilihan umum dan sangat terlibat dalam kehidupan klas pekerja di negerinya masing-masing.
Permulaan Perang Besar pada tahun 1914 dan krisis nasional dan revolusioner yang disebabkan perang menyebabkan krisis didalam Internasionale Kedua. Kaum Sosial Demokrat bertemu di Zimmerwald pada tahun 1915 untuk mencoba membentuk platform oposisi bersama terhadap pembantaian yang terjadi dalam Perang. Konferensi Zimmerwald gagal untuk menyatukan kaum Sosial Demokrat ataupun mengakhiri Perang. Namun konferensi tersebut mampu menyatukan sebuah Sayap Kiri yang mendukung Revolusi Rusia dan memberikan basis bagi Internasional Ketiga (Komunis Internasional).
Tokoh-tokoh utama dalam gerakan pekerja internasional dalam periode ini adalah: Karl Kautsky, Rosa Luxemburg, Karl Liebknecht, G V Plekhanov, August Bebel, Clara Zetkin, Daniel De Leon, Franz Mehring dan V I Lenin.
[5] Simplicissimus adalah sebuah majalah satiris mingguan yang diterbitkan di Jerman pada tahun 1896. Ini adalah koran kaum intelektual liberal.
[6] Anton Menger (1841-1906) adalah seorang profesor hukum dari Austria. Dia menulis banyak buku mengenai reformasi hukum untuk membela hak-hak rakyat miskin dan buruh. Beberapa buku yang dia tulis di antaranya: Hak untuk memiliki seluruh hasil produksi dan Hukum sipil dan kaum miskin.
[7] Atlanticus, nama pena Karl Ballod atau Karlis Balodis (1864-1931), seorang ahli statistik ekonomi dari Latvia. Menjabat sebagai profesor di Universitas Berlin. Dia menulis banyak buku mengenai ekonomi sosialisme dan terlibat di dalam perencanaan proses ekonomi Uni Soviet.
[8] Sovinisme: nasionalisme sempit
[9] Filistin adalah seseorang yang tidak tertarik dengan persoalan intelektual

Sumber: The Intelligentsia and Socialism. Leon Trotsky Internet Archive
Penerjemah: Ted Sprague, Agustus 2009
Pertama kali diterbitkan di The New International Vol 4. No.8, Agustus 1938, hal. 249-250