Pergerakan Tak Henti: Warisan Perjuangan Mahasiswa Mei 1998
Oleh
: Syaifudin
Tugas
intelektual bagi saya adalah justru mencari kontak dan mendorong elemen-elemen
dalam segala lapisan masyarakat untuk bergerak dan berontak terhadap
situasinya. ( Soe Hoek Gie )
Sudah satu dasawarsa peristiwa 12 mei 1998 kita lalui,
banyak perubahan yang terjadi pasca reformasi, khususnya kebebasan berbicara.
Elang Mulya Lesmana, Hendrawan Sie, Heri Hertanto, dan Hafidin Roiyan merupakan
mahasiswa yang gugur diterjang peluru senapan saat tragedi bulan Mei kelabu
itu. Sampai saat ini masih banyak misteri-misteri yang belum terungkap dari
balik tragedi itu.
Walaupun sudah berapa puluh kali, bahkan ratusan kali seruan
untuk menuntut keadilan bagi para korban tragedi 12 Mei 1998 terus
dilantangkan. Salah satunya misteri penculikan dan pembantaian tiga aktivis
pada saat aksi demontrasi mulai memanas yang dimana diduga jenazahnya dibuang
di Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu. Tiga korban itu adalah Bimo Petrus,
Wiji Thukul, dan Dedi Hamdun. Penculikan, dan pembunuhan para aktivis saat itu
menjadi satu dari serangkaian peristiwa yang diyakini turut meledakkan proses
terjadinya kerusuhan 1998.
Berdasarkan laporan dari Tim Gabungan Pencari Fakta ( TGPF
), yang dibentuk pada tanggal 23 Juli 1998 oleh B.J Habibie yang pada saat itu
menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan mantan Presiden
Soeharto. Yang dimana tim ini bertugas mencari fakta, latar belakang, dan
pelaku kerusuhan. Berdasarkan data dilapangan, TGPF menunjukkan ada 1.190 orang
mati terpanggang, 27 orang meninggal karena senjata tajam, 52 korban
pemerkosaan, dan 850 bangunan terbakar.
Peristiwa sepuluh tahun lalu itu terus diperingati setiap
tanggal 12 Mei sebagai tonggak dari lahirnya Reformasi. Kini tepatnya tanggal
12 Mei 2008 kemarin. Barisan aksi mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI, HMI,
KAMMI melakukan demonstrasi di depan Istana Negara, serta Famred, Forkot, FRM,
REPEM Jakarta, DTM memperkuat barisan aksi pada siang hari itu. Ribuan massa
memadati jalan Istana Negara yang membuat macet lalu lintas.
Tema aksi yang di usung pada aksi itu berbeda-beda, salah
satunya BEM SI, yang mengusung tema dengan nama “ TUGU RAKYAT “(tujuh gugatan
rakyat) yang terdiri dari:( (1)Nasionalisasi aset strategis bangsa; (2) Wujudkan
pendidikan dan pelayanan kesehatan bermutu; (3) Tuntaskan kasus BLBI dan korusi
Soeharto beserta kroninya, sebagai perwujudan kepastian hukum di Indonesia; (4)
Kembalikan kedaulatan bangsa pada sektor pangan, ekonomi, dan energy; (5) Menjamin
ketersediaan dan keterjangkauan harga kebutuhan pokok bagi rakyat; (6) Tuntaskan
reformasi birokrasi dan mafia peradilan,; dan (7) Selamatkan lingkungan
Indonesia dan tuntut PT.Lapindo berantas untuk mengganti rugi seluruh dampak
dari Lumpur Lapindo.
Sedangkan Relawan Perjuangan Demokrasi (REPEM) menuntut agar
harga sembako turun dan menolak kenaikan harga BBM. Semua menuntut keadilan dan
kesejahteraan dari SBY-JK yang didengungkan melalui janji-janji saat kampanye
PEMILU 2004 silam. Tapi sayang SBY tidak ada di Istana Negara, beliau sedang
menghadiri acara di Surabaya. Namun hal itu tidak membuat surut semangat para
demonstran untuk beraksi dan berorasi melantangkan tuntutannya. Dari aksi
tersebut yang sangat disayangkan adalah semua kelompok aksi tidak membaur
menjadi satu kekuatan. Semua tidak satu kata. Mereka terkotak-kotak dalam satu
kelompok tertentu dengan berbagai visi dan misi yang berbeda-beda. Kelemahan
inilah yang menjadi kausalitas pembeda antara aksi pada 1998, yang dimana kita
ketahui pada 1998 semua elemen di negeri ini bersatu dengan tujuan yang sama
yaitu menumbangkan rezim orde baru yang tirani.
Tapi yang perlu dicatat dari peristiwa ini adalah kebanggaan
untuk UNJ yang selalu dipercayakan sebagai tuan rumah dan memimpin berbagai
aksi yang dilakukan mahasiswa se-Jabodetabek, bahkan se-Indonesia dari gerakan
1998 sampai kini, sebagaimana yang dituturkan oleh Hendri Bassel, aktivis 1998,
sekaligus mantan ketua senat IKIP Jakarta waktu itu, yang sekarang menjadi UNJ.
Walaupun terkadang eksistensi kampus ini selalu dipandang
sebelah mata dalam setiap gerakan aksi mahasiswa, khususnya media massa. Tapi
biarlah, bukan ketenaran yang diperlukan kampus ini, tapi wujud nyata atas
kepedulian rakyat. Yang terpenting setiap gerakan harus tahu arah, dan
mempunyai konsep agar tidak menjadi gerakan yang rekreatif yang tidak mempunyai
arah dan konsep. Yang jelas pekerjaaan ini belum selesai selama penindasan
masih terjadi. Yang berkuasa sekarang ini adalah orang-orang yang dibesarkan di
zaman orde baru.
Those who cannot remember the past, comdemn to repeat it,
demikian kata filsut Italia George Santayana (1863-1952). Apabila kita
melupakan saja tragedi Mei 1998 begitu saja, maka peristiwa yang serupa,
seperti penindasan akan berulang kembali. Apakah kita dapat membayangkan bila
orang yang menjadi dalang dari kerusuhan Mei 1998 suatu ketika memimpin negeri
ini yang bersikap malaikat bagi rakyat yang kemudian mengkhianati apa yang
diperjuangkan dan dijanjikannya, karena terbuai dengan kekayaan dan kekuasaaan
tanpa memikirkan kesengsaraan yang terjadi pada rakyatnya.