KEMISKINAN IBU DARI MASALAH SOSIAL
Oleh: Syaifudin
Mereka
dirampas haknya, tergusur dan lapar
Bunda
relakan darah juang kami, padamu kami mengabdi….
Setelah
63 tahun Indonesia merdeka, hasil dari perjuangan rakyat Indonesia. Kini yang
ada kemerdekaan itu jauh dari tujuan yang dicita-citakan, sebagaimana termaktub
dalam Pembukaaan Undang-Undang Dasar 1945. Produk dari pembiasan tujuan itu
salah satunya melahirkan kemiskinan – dalam hal ini kemiskinan dalam aspek
kebutuhan hidup, seperti sandang, pangan, dan papan – yang terlebih bahaya
adalah kemiskinan moral.
Kemiskinan
merupakan salah satu permasalahan yang ada di setiap negara, khususnya
Indonesia. Kemiskinan timbul karena rakyat yang berada dalam tatanan struktur
sosial kebawah tidak dapat mengakses kesempatan untuk dapat meningkatkan taraf
hidupnya. Kesempatan itu menjadi pertimbangan bagi mereka, jika melihat strata
di mana mereka berada. Dari status pendidikan sampai kondisi fisik menjadi
perihal pertimbangan dalam lingkaran kesempatan untuk mencoba memperbaiki
hidupnya yang lebih baik lagi. Kemiskinan yang terjadi menandakan adanya
ketimpangan kesempatan serta ketidakadilan didalam sistem dan struktur
masyarakat global, serta ketidakpekaan pemerintah atas nasib rakyatnya.
Sejarah
peradaban manusia adalah sejarah penindasan yang penuh intrik dengan kekuasaan
penguasa. Mereka ( penguasa ) akan terus menjelma seperti dewa yang mempunyai
muka dua. Satu sisi mereka memperjuangkan kesejahteraan rakyat, di sisi lain
mencoba untuk membohongi rakyat dengan manuver – manuvernya yang picisan,
berlagak seperti pahlawan yang mencoba menjadi Tuhan, untuk menyelamatkan
umatnya – rakyat yang sedang kebingungan harus berteriak kepada siapa lagi
untuk meluapkan tekanan yang dialaminya agar dapat keluar dari jeratan
kemiskinan. Disaat itulah para politisi oportunis berorasi atas nama
kesejahteraan. Sungguh malang nasib rakyat, ibarat pepatah sudah jatuh, ketiban
tangga pula, tragis.
Kemiskinan
akar dari masalah sosial
Kemiskinan
pun beranak pinang menjadi masalah-masalah yang menambah kompleks kehidupan
sosial bangsa ini. Dia adalah hulu dari kompleksitas permasalahan yang ada di
Indonesia. Pengangguran, premanisme, tindakan kriminal, dan putus sekolah, itu
merupakan anak hasil dari perkawinan kemiskinan dengan ketidakadilan yang
diterapkan penguasa kepada rakyatnya.
Jika
dilihat dari aspek pendidikan, maka berapa puluh ribu anak di Indonesia yang
harus putus sekolah, dan terpaksa menjadi pekerja anak. Mereka terenggut haknya
untuk mendapatkan pendidikan, padahal sudah diamanatkan dalam UUD 1945, pasal
28C ayat 1 “ setiap orang berhak mendapatkan pendidikan demi meningkatkan
kualitas hidupnya demi kesejahterahaan umat manusia “.
Jika
dilihat dari segi asfek realita, anak putus sekolah yang kemudian masuk ke
pasar kerja, itu merupakan rasionalisasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarganya yang dilanda kemiskinan. Hal itu diperkuat dari hasil Sensus
Ekonomi Nasional 2003 yang menyatakan ada 67% anak putus sekolah dikarenakan
tidak mempunyai biaya untuk sekolah. Bukankah bangsa yang berkualitas, bangsa
yang berpendidikan, sebagaimana yang dikatakan John P. Miller, produk
pendidikan adalah bangsa dan peradaban.
Sekilas
bila kita melihat dunia pendidikan di Indonesia pun belum semuanya dapat
dinikmati oleh segenap masyarakat, terlebih masyarakat yang berada pada lapisan
bawah. Jargon – jargon yang terus dilantangkan oleh UNICEF “ Education For All
“ hanya menjadi nyanyian penghibur dari sebuah harapan yang kosong di negeri
ini. Program visi Indonesia maju 2030,yang dicanangkan oleh pemerintah akan
menjadi utopis, bila pendidikan tidak dijadikan prioritas yang merakyat. Selain
itu program pengentasan kemiskinan pada tahun 2015, juga menuntut implementasi
education for all dapat terlaksana dengan baik,dan terakses oleh semua lapisan
masyarakat. Semoga saja para “ stake holder “ negeri ini melihat pendidikan itu
sebagai transportasi menuju masyarakat yang berkualitas dan beradab.
Di
sisi lain faktor kemiskinan menciptakan manusia-manusia baru yang tidak lagi
terkontrol oleh nilai dan norma humanis. Dari kemiskinan kesejahteraan, sampai
miskin moral. Tindakan kriminal merupakan momok nyata yang ada dalam dinamika
aktivitas manusia. Hal itu terjadi karena ada kausalitas yang melahirkan
fenomena itu. Karena tidak mempunyai uang untuk membeli sekaleng susu untuk
anaknya, seorang ibu nekat mencuri susu, serta ada seorang bapak yang nekat
menjambret emas di sebuah pasar tradisional, padahal saat itu banyak sekali
orang yang melintas, tetapi dia tetap melakukannya karena terdesak untuk
membayar biaya sekolah anaknya. Kasus tadi hanyalah gambaran sekilas dari
realita yang terjadi akibat dari efek kemiskinan kronis.
Apakah
akar dari kemiskinan ini akan terus menjalar dalam rupa yang lebih menakutkan
lagi. Di mana tidak ada lagi batas kemanusiaan dan agama yang menjadi pembatas
moral seorang manusia, bahkan batas hewan sekalipun dilewatinya. Seperti
kanibalisme yang terjadi di Rusia pada tahun 1930-an masa rezim Stalin, akibat
kelaparan manusia yang begitu hebatnya, hingga menghilangkan rasionalitas
manusia. Hal itu mungkin dapat terjadi di Indonesia, salah satunya tragedi
kelaparan massal yang terjadi di Yahukimo, Papua, untungnya masih dalam batas
rasionalitas. Namun hal itu bisa terjadi bila pemerintah tak segera melakukan
tindakan tanggap dalam menangani kasus kelaparan akibat kemiskinan itu. Proses
irasional tersebut, penulis istilahkan peradaban tanpa peradaban. Dengan sebab
kemiskinan kesejahteraan ini bermetamorfosis menjadi kemiskinan moral atau “
demoralisasi “. Hingga hilang bentuk dari sebuah peradaban yang rasional menuju
irasional.
Pemerintah =
Pengabdi Rakyat
Belum
lama ini pemerintah menaikkan harga BBM dengan alibi anggaran negara mengalami
defisit. Penolakan pun terus disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tetapi
tetap saja yang mempunyai otoritas keputusan ada ditangan pemerintah. Hingga
akhirnya harga BBM pun dinaikan. Dengan kenaikan harga BBM ini, tentunya
membuat rakyat semakin tercekik, apalagi kenaikan BBM ini akan terus bertambah.
Sungguh malang nasib menjadi rakyat.
Dengan
kenaikan BBM ini, rakyat pun diminta untuk beralih menggunakan enegi bahan
bakar GAS, tetapi sungguh sial jadi rakyat, harga GAS pun dipastikan akan naik.
Cara- cara kebijaksanaan negara dan pemerintah yang impolisi bukan saja
bertentangan dengan asas-asas kerakyatan dan hikmah musyawarah - yang di
amanatkan dalam UUD 1945, bahkan menindas dan memperkosa asas – asas itu. Para
pemimpin negara dan pemerintahan sekarang ini bukannya menjadi saluran pengabdi
rakyat, malahan sebaliknya menjadi penindas dan pemeras rakyat sendiri. Contoh
kecil, yang seharusnya pembuatan KTP tanpa dikenakan biaya, tapi tetap saja ada
praktek kotor di dalamnya.
Untuk
itu pimpinan negara dan pemerintah ini harus dapat menerapkan asas- asas
kerakyatan dengan menjadi abdi rakyat yang bermoral dan berkeadilan - bukannya
menjadi lintah bagi rakyat. Selama asas itu mampu dijalankan, maka kemiskinan
pun tidak akan menjadi suatu penyakit kronis di negeri ini. Semoga saja para
pemimpin negeri ini mampu menjalankan amanahnya sebagai abdi rakyat.
Selain
itu pola pengentasan kemiskinan harus terintegrasi dalam konteks tujuan negara
yang merakyat, bukan menumbalkan rakyat. Hal yang harus direkondisi terlebih
dahulu adalah lembaga – lembaga negara, baik pusat maupun daerah. Dengan cara
memberikan sanksi yang tegas kepada para oknum yang menyimpang dari tujuan
awalnya. Supaya dapat menjalankan amanahnya sesuai dengan kode etik
keprofesiannya. Sebab dialah agen distribusi para pemegang kebijakan, yang di
mana produk kebijakan tersebut disalurkan kepada rakyat, demi kesejahteraan
rakyat. Apabila lembaga ini rusak, maka rakyat pun yang menjadi tumbal dari
oknum birokrat nakal ini, akhirnya lagi-lagi rakyat yang menjadi sengsara dalam
kemiskinannya. Kemudian, menasionalisasi aset badan usaha milik negara agar
tidak sepenuhnya dikuasai oleh pihak asing.
Selain
itu, membangun sekolah-sekolah rakyat berbasis teknologi bagi rakyat ekonomi
kelas kebawa, khususnya daerah-daerah pedalaman yang belum mendapat akses
pendidikan, Diharapkan dari proses pendidikan ini, masyarakat dapat
meningkatkan taraf hidupnya, sehingga terbebas dari jeratan kemiskinan. Lalu,
menguatkan ketahanan pangan dengan menerapkan diversifikasi produk
pertanian,melalui pembinaan yang tersistem kepada para petani, serta
merevitalisasi produk kerajinan tangan khas daerah sebagai kekuatan lokal
budaya demi terciptanya kemandirian lokal bangsa, dengan memberikan modal usaha
lunak (tanpa bunga) dan pelatihan kewirausahaan bagi masyarakat.
Kemudian
pelaksanaan program dialog rakyat, di mana pemerintah, khususnya Presiden,
melakukan dialog langsung dengan mendatangi para warga, baik dari lapisan bawah
sampai daerah pedalaman sekalipun, untuk berdialog bersama mengenai apa yang
dirasakan oleh rakyat dan apa yang diinginkan rakyat. Agar tidak ada dinding
tebal yang membatasi ruang aspirasi rakyat kepada para abdi rakyat ini dan
pemerintah pun mengetahui serta melihat langsung kondisi yang di alami rakyatnya,
bukan meraba, apalagi memprediksi kondisi kehidupan masyarakat yang
termarginalkan. Kemudian dari hasil dialog tersebut pemerintah pun menjawab
aspirasi rakyat ini dengan implementasi konkret, bukan dengan onani politis.
Program
dialog rakyat ini merupakan batu tapal dari sebuah kebijakan yang nantinya
bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat banyak. Ibarat sebuah radio yang rusak.
Bagaimana kita dapat membetulkan radio yang rusak, bila kita tidak memeriksanya
langsung, serta mengetahui di mana kerusakan itu terjadi, dan kenapa radio itu
bisa rusak.
Semoga
dengan kepekaan pemerintah melihat realita yang terjadi pada rakyatnya melalui
ruang dialog. Maka diharapkan kasus ironis makan nasi aking yang terjadi di
Serang, Banten, serta di daerah lain, akibat ekses kemiskinan. Dapat
diminimalisir, sehingga terwujudnya kondisi bangsa yang madani, sesuai dengan
apa yang diharapkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negeri ini,
hanyalah sebuah bahan mentah, yang kemudian dikelola oleh penghuninya, yaitu
oleh semua lapisan yang ada, dari rakyat, sampai pemerintah. Jika dikelola
dengan alat dan tujuan yang berjiwa kemanusiaan dan semangat moral kebangsaan,
niscaya negeri ini makmur, namun bila dikelola dengan alat dan tujuan yang
berjiwa kekuasaan kepentingan, jangan harap negeri ini akan makmur. Bangsa-ku,
bangkitlah dari keterpurukan, menuju sebuah renaisans, agar dapat menjadi
bangsa yang bermartabat.