Gaya
Hidup Masyarakat Jakarta Dalam Persfektif Pierre Bourdieu
Oleh:
Syaifudin
Struktur
Sosial Masyarakat Jakarta
Struktur sosial secara etimologis berarti susunan
masyarakat. Secara definitif merupakan skema penempatan nilai-nilai
sosial-budaya dan organ-organ masyarakat pada posisi yang dianggap sesuai, demi
berfungsinya organisme masyarakat sebagai suatu keseluruhan, dan demi
kepentingan masing-masing bagian. Artinya bahwa, setiap bagian yang ada pada
struktur tersebut memiliki fungsi. Jika salah satu struktur tidak berfungsi,
maka akan terjadi penyimpangan.
Skema dibangun secara objektif,
agar dapat mengenal posisi yang diberikan masyarakat kepada nilai-nilai sosial
budaya, dan organ-organ atau komponen sosial yang menjadi milik masyarakat. Nilai-nilai
sosial budaya terdiri dari ajaran agama, ideologi, dan kaidah-kaidah moral
serta peraturan sopan santun. Organ masyarakat merupakan semua komponen yang
bersama-sama mewujudkan masyarakat.
Struktur masyarakat Indonesia
terlebih Jakarta, ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara
horizontal ditandai oleh kenyataanya adanya kesatuan-kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta perbedaan kedaerahan.
Secara vertikal struktur masyarakat ditandai oleh adanya perbedaan vertikal
antara lapisan atas dan bawah yang cukup tajam[1].
Jakarta sebagai contohya, memiliki
masyarakat multikultural yang menampakan keragaman dari berbagai aspek sosial
budaya secara horizontal, seperti keragaman dalam tata cara kehidupan, bahasa
yang digunakan, seni budaya yang dimiliki, maupun tradisi. Dalam berinteraksi
masing-masing anggota masyarakat jika tidak ada rasa toleransi dan rasa simpati
maupun empati akan dihadapkan pada gesekan-gesekan yang disebabkan adanya
keragaman sosial-budaya tersebut yang cenderung dapat menimbulkan konflik
horizontal. Sedang keragaman secara vertikal dapat dilihat bahwa pada masyarakat
Jakarta cenderung terjadi polarisasi secara ekonomi yang semakin jelas.
Sebagian anggota masyarakat yang kaya akan semakin kaya, ini ditandai dengan
bertambah banyaknya barang-barang yang bersifat materi atau ekonomis, itu semua
oleh sebagian anggota masyarakat dijadikan simbol-simbol status untuk lapisan
sosial atas, sedangkan masyarakat miskin akan cenderung semakin miskin, hal ini
ditandai mereka semakin tidak dapat mengakses fasilitas hidup dasar yang
dibutuhkan, seperti rumah yang layak, pendidikan, maupun fasilitas kesehatan.
Cara pandang, perilaku, gaya
hidup, sikap dan nilai-nilai masing masing etnis dan entitas sosial yang
berbeda memang dapat terlihat dengan jelas. Namun, perbedaan ini tidak ada
dengan sendirinya. Identitas yang berbeda dikarenakan adanya ciri, karakter
atau suatu yang khas dari entitas itu, yang tidak dimiliki oleh entitas
lainnya.
Ketidaksamaan identitas yang dalam bentuk praksisnya
termanifestasikan melalui gaya hidup, dan perilaku umum yang dianut oleh suatu
entitas tertentu inilah yang seringkali menimbulkan gesekan dengan gaya hidup
atau perilaku dari entitas lainnya.Jika dilihat dari bentuk
masyarakatnya, Jakarta merupakan bentuk masyarakat modern atau masyarakat
organik. Dengan berbagai macam ciri-ciri, seperti menurut Emile Durkheim, yaitu:
a. Keterkaitan struktur sosial lemah
b. Hukum restitutif
c. Nilai bersifat abstrak
d. Sifat ketergantungan tinggi
e. Muncul industrilisasi
f. Lembaga-lembaga yang langsung
menghukum.
Adapun beberapa ciri yang lain, seperti:
1. Tindakan-tindakan sosial
Dalam
masyarakat modern, tindakan-tindakan sosial akan lebih banyak bersifat pilihan.
Oleh karena itu, ciri masyarakat modern adalah kemampuan dan hak masyarakat
untuk mengembangkan pilihan-pilihan dan mengambil tindakan berdasarkan
pilihannya sendiri.
2. Orientasi terhadap perubahan
Masyarakat
modern adalah masyarakat yang senantiasa berubah cepat. Percepatannya didorong
dan dipercepat oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Berkembangnya organisasi dan
diferensiasi
Dalam
masyarakat modern, organisasi berkembang, cakupannya makin luas dan makin
rumit. Bersamaan dengan itu, berkembang spesialisasi. Makin maju suatu masyarakat makin tajam
spesialisasi yang diperlukan.
Dalam masyarakat modern, struktur sosial bersifat terbuka
dan bersifat sukarela. Namun, apabila kita berbicara mengenai struktur sosial,
ada ciri-ciri yang nyata dalam masyarakat modern, yaitu: (1) Sebagian besar
anggota masyarakat berada pada lapisan menengah; lapisan atas dan bawah adalah
minoritas. (2) Dalam masyarakat modern tidak tampak batas pemisah
(diskontinuitas), tetapi stratanya lebih bersifat keberlanjutan. (3) Dalam
masyarakat modern mobilitas sosial tinggi baik ke atas, maupun ke bawah. (4)
Dalam masyarakat modern, pandangan keadilan, kesamaan hak dan kewajiban menjadi
kesempatan yang sama bagi setiap orang.
Kapitalisme
Dalam Pandangan Pierre Bourdieu
Secara etimologi, kapital berasal dari kata “capital”, yang akar katanya dari kata
Latin, caput, berarti “kepala”.
Sedangkan artinya dipahami, pada abad ke-12 dan ke-13, adalah dana, persediaan
barang, sejumlah uang dan bunga uang pinjaman.[2]
Kapital dapat dikatakan sebagai salah satu faktor untuk menentukan
karakteristik seorang individu, hal ini dengan jelas menjadi salah satu cara
untuk seseorang menunjukkan identitasnya. Kapital seringkali disebut dengan
istilah modal.
Bila ditelusuri gagasan Marx, kapital dilihatnya sebagai
bagian dari nilai surplus (surplus value/mehrwert)
yang diperoleh kapitalis atau borjuis, yang mengontrol cara-cara produksi,
dalam sirkulasi komoditas dan uang antara proses produksi dan konsumsi (Brewer,
1984; Lin, 2001). Secara umum, kapitalis bercirikan individu yang menjadi
pemilik bagi apa yang dihasilkannya, dan orang lain tidak punya hak. Ia berhak
untuk memonopoli semua alat produk yang dapat dicapainya dengan usahanya
sendiri, berhak untuk tidak mengeluarkannya, kecuali dengan jalan yang memberi
keuntungan padanya.
Masyarakat kapitalis menurut Marx terbagi menjadi dua kelas
yakni kelas borjuis dan proletar. Kelas borjuis menguasai sumber-sumber
kekayaan dan bertindak sekehendak hatinya, serta tidak mempergunakannya kecuali
untuk kepentingan pribadinya. Sehingga kepentingan masyarakat dikorbankan demi
untuk menambah kekayaan. Maka orang-orang proletar tidak lagi punya kesempatan
untuk memperoleh sumber-sumber kekayaan kecuali hanya untuk memperoleh
kebutuhannya, demi kelanjutan hidup. Sumber kekayaan ini di eksploitasi oleh
kaum borjuis, sehingga menciptakan kapitalisme. Dalam kapitalisme ini, buruh
dapat dilihat sebagai sumber nilai guna dan juga nilai tukar.
Berbeda dengan
pandangan Pierre Bourdieu. Bourdieu berpendapat bahwa kapital tidak hanya
bersifat kebendaan (material), tetapi juga hal-hal yang immaterial, seperti
hubungan kekuasaan, sosial, dan posisi. Kapital adalah sumber daya yang mempunyai nilai tertentu
yang dimiliki oleh seseorang agar dapat bertahan dalam suatu arena. Setiap
arena menuntut individu untuk mempunyai kapital khusus agar hidup baik dan
bertahan di dalamnya.
Kapital menurut Bourdieu juga memiliki arti yang luas,
mencakup hal material dan immaterial yang dapat memiliki nilai simbolik secara
kultural. Misalnya prestise, status dan otoritas yang merujuk sebagai kapital
simbolik. Kapital ini harus berada di dalam sebuah ranah. Karena dalam rumusan generatif Bourdieu, ada
keterkaitan antara habitus, kapital dan juga ranah yang bersifat langsung.
Dimana nilai yang diberikan pada kapital dihubungkan dengan berbagai
karakteristik sosial dan habitus.
(Habitus
x Kapital) + Ranah = Praktik
Dicontohkan bahwa
kapital ini dapat digunakan dalam hal kekuasaan sebagai kapital simbolik untuk
mewakili pendapat umum dan mencoba mempresentasikan ke dalam dunia sosial. Pada
akhirnya akan memberikan sebuah identitas yang resmi.
Ada perbedaan dengan
konsep kapital-nya Marxian yang cenderung bersifat materialistik dan
determinasi ekonomi yang kemudian menerbitkan pertentangan kelas, Bourdieu
tidak membatasi kapital pada ekonomi. Bourdieu
dalam bukunya The Form
of Capital (1986), membagi
3 kapital, yaitu:
kapital ekonomi yang secara
langsung dapat ditukar
menjadi uang dan terinstitusionalisasi dalam
bentuk hak kepemilikan barang;
(2) kapital budaya, yang dalam kondisi tertentu dapat
ditukar menjadi kapital ekonomi dan terinstitusi kedalam
bentuk kualifikasi pendidikan; (3) kapital
sosial yang kemudian membentuk ikatan sosial. Tiga kapital
Bourdieu kemudian dikembangkan oleh Jonathan
S. Turner dengan menambahkan satu tipe kapital, yaitu
kapital simbolik.
Gaya hidup masyarakat
Jakarta sebagai Ibukota
yang merupakan kota metropolitan, mengalami perkembangan pola dan gaya hidup
yang berimplikasi kepada setiap kelas sosial. Gaya hidup disini adalah sebuah
penampilan luar seorang individu ataupun kelompok manusia dalam usahanya
mengaktualisasikan diri dalam lingkungan bermasyarakat. Konteks gaya hidup
menyangkut kepada hal-hal yang bersifat terindera dan memiliki wujud nyata dan
cenderung bersifat kebendaan. Benda-benda tersebut dapat dijadikan simbol yang
erat kaitannya dengan kebutuhan individu untuk mengaktualisasikan dirinya dalam
lingkup sosialnya. Ketika benda tersebut dianggap sebagai benda yang sesuai
dengan kebutuhannya baik secara fungsi dan nilai sosial, maka individu ini akan
mengkonsumsinya sebagai sebuah prestise dan sebagai gaya hidupnya. Hal inilah
yang memicu adanya gaya hedonisme dalam masyarakat Jakarta.
Hedonisme
masyarakat Jakarta dapat dikatakan sebagai efek dari sifat konsumtif. Namun
konsumsi yang dilakukan disini bukan lagi sekedar kegiatan yang berasal dari
produksi. Konsumsi tidak lagi menjadi kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
dasar dan fungsional individu atau kelompok. Dapat dikatakan bahwa konsumsi
yang dilakukan masyarakat Jakarta sudah menjadi gaya hidup.
Konsumsi
yang dilakukan sebagai proses objektif, yaitu proses eksternalisasi atau internalisasi diri lewat objek-objek
sebagai medianya.[3]
Maksudnya bagaimana kita memahami dan mengkonseptualisasikan diri maupun
realitas di sekitar kita melalui objek-objek material. Disini terjadi proses
menciptakan nilai-nilai melalui objek-objek dan kemudian memberikan pengakuan
serta penginternalisasian nilai-nilai tersebut.
Tanda-tanda
pada objek konsumsi pada kenyataannya justru cenderung digunakan untuk menandai
relasi-relasi sosial. Saat ini objek konsumsi mampu menentukan prestise, status
dan simbol-simbol sosial tertentu bagi pemakainya. Hal ini mencerminkan sejauhmana
daya kapital masyarakat Jakarta terbentuk. Dimana individu cenderung menilai
dan mengenali individu lain dari penampilan luarnya, apa yang dikenakan dan
asseoris yang dimilikinya, mulai dari pakaian, tas, sepatu, kacamata, dan
sebagainya.
Tentu
tidak hanya itu, merek pun diperhatikan dalam hal menilainya. Barang-barang
bermerek menunjukkan nilai sosial yang tinggi, dan menunjukkan dimana individu
ini memiliki kelas sosialnya. Pakaian misalnya, kesan pertama yang dapat
ditangkap dari individu pada saat berinteraksi tatap muka adalah citra yang
dipantulkan oleh pakaian yang dikenakan pada saat itu. Melalui pakaian, orang
lain mencoba memahami identitas seseorang.
Bagi
masyarakat konsumen yang ada di Jakarta, saat ini hampir tidak ada ruang dan
waktu yang tersisa untuk menghindari diri dari serbuan berbagai informasi yang
berurusan dengan kegiatan konsumsi. Di
rumah, di kantor atau di kampus, tidak berhenti disodori akan berbagai
informasi yang menstimulasi konsumsi melalui iklan di televisi, koran maupun
majalah-majalah. Di jalan, selain terus melewati pertokoan dan pusat
perbelanjaan, masyarakat juga terus dihadapkan dengan pemandangan attraktif
dari promosi media luar ruang yang menghiasi jalan-jalan dan berbagai sudut
strategis kota. Iklan atau promosi dijadikan penarik yang ampuh bagi kapitalis,
agar masyarakat memilih prodak mereka.
Dapat dikatakan bahwa investor asing mudah
masuk di dalam kegiatan konsumsi di Jakarta. Hal ini dibuktikan dengan adanya
iklan-iklan dan promosi yang terdapat di televisi, koran dan majalah. Di dalam
pertokoan dan pusat perbelanjaan pun terdapat para investor yang menguasainya.
Investor lebih memilih menginvestasikan modal mereka di Jakarta, karena mereka
cenderung menilai masyarakat Jakarta memiliki tingkat konsumsi yang tinggi.
Tidak hanya itu, para investor asing mudah untuk masuk karena memang peraturan
di Indonesia yang memudahkan mereka untuk menanamkan modal yang mereka miliki
ke Indonesia.
Kelas
sosial
Dalam
masyarakat terlebih di Jakarta, terdapat jenjang (stratifikasi
sosial) yang merupakan penggolongan seseorang sesuai dengan status sosialnya. Penggolongan tersebut apabila
didasari oleh kriteria ekonomi disebut kelas sosial. Kelas sosial ini terbagi
atas kelas sosial atas, menengah, dan bawah. Pada umumnya istilah kelas sosial
lebih menunjukkan pada kelompok kelas sosial atas. Mereka merupakan golongan
orang-orang yang kaya dan bergengsi.
Mereka bangga dengan status sosial
yang disandangnya. Semakin tinggi kelas sosialnya, maka semakin tinggi pula
prestise (gengsi) yang dimilikinya. Oleh karena itu, mereka membentuk ciri
tertentu agar tampak berbeda dengan kelas sosial yang lain. Ciri tersebut
merupakan kebanggaan bagi pemiliknya. Ciri-ciri inilah yang dapat menunjukkan
kelas sosial yang disebut simbol status.
Ada beberapa simbol
yang dapat menunjukkan mereka memiliki kelas sosial yang tinggi, seperti tempat
tinggal, kegemaran, kekayaan, dan pakaian. Kelas sosial atas biasanya tinggal
di perumahan elite yang mewah dan memiliki prestise tinggi. Perumahan mewah
dengan fasilitasnya akan memberikan kebanggan bagi pemiliknya. Pada simbol
kegemaran, bisanya kelas sosial atas memiliki kegiatan yang memerlukan biaya
besar, seperti shopping ke luar negeri, olahraga golf dan sebagainya. Kegemaran
ini menunjukkan prestise pada mereka yang memiliki kelas sosial atas. Lain
halnya dengan simbol kekayaan. Pada simbol kekayaan, yang sering ditonjolkan
seperti mobil mewah, perhiasan dan sebagainya. Sama dengan simbol pakaian.
Kelas sosial atas biasanya memiliki pakaian yang bagus dan mahal. Mereka bangga
mengenakan pakaian produksi luar negeri seperti baju buatan Italian, parfum
dari Perancis dan sebagainya.
Hal di atas menunjukkan bahwa simbol mempengaruhi status
sosial seseorang. Tidak hanya itu, pola dan gaya hidup seseorang pun dapat
berpengaruh terhadap status atau kelas sosial. Terdapat prestise di dalam
simbol-simbol tersebut. Implikasi dari simbol tersebut, muncullah ranah baru
bagi kaum sosialita. Mereka rela menggelontorkan
biaya yang tak sedikit demi sebuah penampilan yang menunjang prestise. Busana,
tas, sepatu, jam tangan, kacamata, stelan perhiasan, hingga parfum pun dibuat
serasi, bahkan lebih memilih band-brand luar negeri.
Kaum
sosialita ini biasanya memiliki pola konsumtif dan memiliki gaya hidup dengan
menonjolkan penampilannya. Hal ini dapat mencerminkan adanya sindrom kapitalis
yang cenderung menjatuhkan kelas sosial bawah. Kelas sosial bawah semakin
terpuruk akan keadaannya, sedangkan kelas sosial atas seperti kaum sosialita
semakin meningkat dengan kekayaan, pola dan gaya hidupnya. Dapat disimpulkan
bahwa pada masyaraka Jakarta, terdapat kapital simbolik yang menunjukkan
prestise dan kelas sosialnya.
Hubungan
dengan kapital sosial dan kapital budaya
Saat
ini dapat dilihat bahwa masyarakat Jakarta memiliki kapital simbolik yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Berkembangnya pola dan gaya hidup yang
menimbulkan prestise di masyarakat, dapat ditandai dengan adanya simbol-simbol
yang menunjukkan kelas sosial mereka. Menurut Bourdieu,[4]
kapital simbolik merupakan suatu bentuk kapital ekonomi fisikal yang telah
mengalami transformasi dan karenannya telah tersamarkan, menghasilkan efeknya
yang tepat, menyembunyikan fakta bahwa ia tampil dalam bentuk- bentuk kapital
material yang pada hakikatnya bersumber dari efek-efek itu sendiri.
Bourdieu
beranggapan bahwa, kapital simbolik memiliki makna atau status pengakuan yang
dapat diwujudkan dalam bentuk yang objektif maupun institusi seperti
penghargaan atau anugerah yang diraih karena prestasinya. Kapital simbolik ini
berkaitan dengan penggunaan simbolik
sebagai legitimasi atau pengabsahan posisi individu/kelompok dalam level tertentu dan pada konfigurasi
dari bentuk kapital lainnya. Dengan kata lain, kapital simbolik ini adalah
modal yang berkaitan dengan simbol-simbol yang diterima atau dimiliki seseorang
dalam hidupnya. Simbol yang menunjukkan bagaimana seseorang mendapatkan
penerimaan dan perlakuan dari individu lain dan masyarakat di sekitarnya.
Kapital simbolik ini tidak bersifat wujud fisik yang tampak secara nyata
sehingga tak bisa diukur kekuatannya, namun lebih berupa pengakuan secara umum
oleh sekelompok masyarakat dalam wilayah tertentu.
Kapital ini juga
memerlukan proses sosial yang bergantung pada pengakuan publik berdasarkan
ukuran tertentu, seperti status, prestise, dan kemampuan. Kapital simbolik dapat
ditunjukkan dengan simbol seperti tempat tinggal, kegemaran, kekayaan, dan
pakaian. Dapat disumpulkan bahwa kapital simbolik merupakan kapital yang
terwujud dalam prestise, status, otoritas dan kehormatan sosial, yang berasal
dari keterampilan mengatur simbol sosial. Oleh sebab itu, kapital simbolik
dapat memproduksi kekuasaan simbolik dan
juga kekerasan simbolik.
Bourdieu
melihat kapital simbolik, seperti, harga diri, dan martabat, merupakan sumber
kekuasaan yang krusial. Kapital simbolik adalah setiap spesis modal yang
dipandang melalui skema klasifikasi, yang ditanamkan secara sosial. Ketika
pemilik kapital simbolik menggunakan kekuatannya, ini akan berhadapan dengan
agen yang memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena itu si agen berusaha
mengubah tindakan-tindakannya. Maka, hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan
simbolik (symbolic violence). Namun
kapital simbolik ini tidak akan maksimal
jika tidak didukung dengan
kapital lain, seperti kapital sosial dan budaya.
Kapital sosial adalah kumpulan
sejumlah sumberdaya, baik secara aktual
maupun potensial yang terhubung dengan jaringan atau relasi sosial. Kapital
sosial menentukan suatu posisi atau relasi dalam suatu kelompok serta
jaringan-jaringan sosial. Kapital ini mempunyai serangkaian nilai/norma
informal yang dimiliki bersama yang
memungkinkan terjadinya kerjasama
diantara anggota kelompok.
Menurut Bourdieu (1986),
mendefinisikan kapital sosial sebagai sumber daya actual dan potensial yang
dimiliki seseorang berasal dari jaringan sosail yang terlembaga serta langsung
terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbale balik (dengan kata
lain, keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya
berbegai bentuk dukungan kolektif.
Sedangkan
kapital budaya adalah nilai-nilai yang bisa dipertukarkan, yang merkapan
akumulasi bentuk kultur yang berkembang dalam dunia sosial. Kapital ini menurut
Bouedieu dianggap kurang rasional jika dibandingkan dengan kapital lain. Akan
tetapi kapital budaya pada satu posisi akan menjadi penting. Karena kapital
budaya merupakan bentuk keterampilan informal yang bersifat interpersonal, adat
istiadat, kelakuan, gaya bertutur (bahasa/dialek), tingkat pendidikan, selera
dan gaya hidup. Kapital budaya ini tidak
bersifat tunggal, tetapi selalu eksis dalam tiga bentuk, yaitu bentuk yang menyatu dalam diri seseorang,
menjelma dalam bentuk objektif (objectified state) seperti buku,
perkakas rumah tangga, dan terinstitusi, seperti kualifikasi akademik.
Dalam praktik
sosialnya, semua kapital
ini saling terkait atau konversi
antar kapital. Konversi antar kapital ini memungkinkan terjadinya perubahan
atau pertukaran, khususnya pada wilayah dominan. Konversi antar kapital ini
hanya pada batasan tertentu.
Kapital sosial,
budaya, simbolik tidak
bisa direduksi dalam kapital
ekonomi semata, karena
setiap bentuk memiliki
spesifikasi masing-masing. Akan
tetapi pada akhirnya kapital
ekonomi memang menjadi
akar dari semuanya. Dengan
kata lain setiap
kapital akan mengalami transformasi
atau konversi dari satu bentuk ke dalam bentuk lainnya. Transformasi dan
konversi kapital ini
tidak bersifat otomatis, tetapi
memerlukan elaborasi usaha dari sang agen (individu/kelompok), dan terkadang hasilnya dapat terasa dalam jangka
panjang.
Hubungan antara kapital
sosial, budaya dan simbolik dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 1:
Hubungan antara Kapital Ekonomi
Sosial, Budaya dan Simbolis
Menurut Bourdieu[5]
Jenis Kapital
|
Perbedaan
|
Persamaan
|
Ekonomi
|
Langsung
menjadi uang
|
Uang
|
Sosial
|
Tidak
langsung menjadi uang. Perlu kondisi tertentu. Kewajiban sosial, koneksi.
|
Menjadi
uang melalui pembentukan kapital ekonomi.
|
Budaya
|
Tidak
langsung menjadi uang. Perlu kondisi tertentu. Ijazah, sertifikat dan
lainnya.
|
Menjadi
uang melalui pembentukan kapital ekonomi.
|
Simbolik
|
Tidak
langsung menjadi uang. Perlu kondisi tertentu. Keterampilan mengatur simbol.
|
Menjadi
uang melalui pembentukan kapital ekonomi.
|
Penutup
Struktur sosial
masyarakat Jakarta memiliki sifat
yang unik, yaitu secara horizontal dan vertikal. Tetapi cenderung lebih
terlihat secara vertikal, yang ditandai oleh adanya perbedaan antara lapisan
atas dan bawah yang cukup tajam. Hal ini menimbulkan sebuah identitas yang khas.
Identitas disini berhubungan dengan adanya kepemilikan
kapital. Kapital dapat dikatakan sebagai salah satu faktor untuk menentukan
karakteristik seorang individu, hal ini dengan jelas menjadi salah satu cara
untuk seseorang menunjukkan identitasnya.
Bourdieu berpendapat
bahwa kapital tidak hanya bersifat kebendaan (material), tetapi juga hal-hal
yang immaterial, seperti hubungan kekuasaan, sosial, dan posisi. Kapital adalah sumber daya yang
mempunyai nilai tertentu yang dimiliki oleh seseorang agar dapat bertahan dalam
suatu arena. Misalnya prestise, status dan otoritas yang merujuk sebagai
kapital simbolik.
Jakarta sebagai kota
metropolitan, mengalami perkembangan pola dan gaya hidup yang berimplikasi
kepada setiap kelas sosial.
Gaya
hidup yang berhubungan dengan indera dan cenderung bersifat kebendaan.
Benda-benda tersebut dapat dijadikan simbol yang erat kaitannya dengan
kebutuhan individu untuk mengaktualisasikan dirinya dalam lingkup sosialnya.
Hal inilah yang memicu adanya gaya hidup hedonisme dalam masyarakat Jakarta.
Masyarakat Jakarta memiliki
struktur sosial yang cenderung digolongkan dalam hal kriteria ekonomi yaitu kelas sosial.
Adanya kelas sosial membentuk ciri tertentu agar tampak berbeda dengan kelas
sosial yang lain. Ciri-ciri inilah yang disebut simbol status. Ada
beberapa simbol yang dapat menunjukkan mereka memiliki kelas sosial yang
tinggi, seperti tempat tinggal, kegemaran, kekayaan, dan pakaian. Simbol-simbol
di atas, dapat dijadikan kapital simbolik. Bagi Bourdieu, kapital simbolik
memiliki makna atau status pengakuan yang dapat diwujudkan dalam bentuk yang
objektif maupun institusi seperti penghargaan atau anugerah yang diraih karena
prestasinya. Kapital ini juga memerlukan proses sosial yang bergantung pada
pengakuan publik berdasarkan ukuran
tertentu, seperti status, prestise, dan kemampuan.
Namun kapital simbolik
ini tidak akan maksimal
jika tidak didukung dengan
kapital lain, seperti kapital sosial dan budaya. Dalam praktik
sosialnya, semua kapital ini saling terkait atau konversi
antar kapital. Konversi antar kapital ini memungkinkan terjadinya perubahan
atau pertukaran, khususnya pada wilayah dominan. Dari kapital yang ada, pada
akhirnya kapital simboliklah yang menentukan peran dan status sosial dari agen
(individu/kelompok) dalam struktur sosial.
Daftar
Referensi
Damsar. 2011. Sosiologi
Ekonomi. (Ed. Revisi). Jakarta: Kencana.
George Ritzer. 2012. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasikun. 1995. Sistem
Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Peter L. Berger. 1990. Revolusi Kaptalis. (terj). Jakarta:
LP3ES
Pierre Bourdieu. 1977. Outline of a Theory of Practice. London: Cambridge University
Press.
Pierre Bourdieu. 1986. “The Forms of Capital” dalam Handbook
of Theory and Research for the Sociology of Education, John G. Richardso.
New York: Greenword Press.
Robert M.Z. Lawang. 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar. Depok:
FISIP UI Press.
Yasraf Amir
Piliang. 2004. Dunia
Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaaan.
Yogyakarta: Jalasutra.
[1]
Nasikun. 1995. Sistem Sosial Indonesia.
Jakarta: Rajawali Press. Hal: 30
[2]
Peter L. Berger. 1990. Revolusi Kaptalis.
(terj). Jakarta: LP3ES. Hal: 20
[3]
Yasraf Amir Piliang. 2004. Dunia
Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaaan.
Yogyakarta: Jalasutra. Hal : 180
[4]
Pierre Bourdieu, Pierre. Outline of a
Theory of Practice. London: Cambridge University Press. Hal: 183
[5] Robert M.Z. Lawang.
2004. Kapital Sosial dalam Perspektif
Sosiologik: Suatu Pengantar. Depok: FISIP UI Press. Hal: 19