Merapatkan Kesenjangan
Oleh : Syaifudin*
Mantan wakil presiden RI Jusuf Kalla mengatakan, bahwa konflik yang terjadi di Indonesia disebabkan karena ketidakadilan. Hal ini senada dengan apa yang diyakini Marx, pertentangan setiap manusia pada dasarnya karena ketidakadilan. Ruang ketidakadilan di sini dapat berupa hak sipil, sosial, ekonomi maupun politik. Secara sosiologis, silsilah ketidakadilan berada pada titik kulminasi akar pemicu konflik.
Proses ketidakadilan akhirnya memproduksi sebuah adegan kekerasan. Adegan kekerasan itu merupakan wujud konkret dari sebuah konflik akut. Misalnya saja seperti konflik di Tarakan Kaltim, kerusuhan di Ampera Jaksel serta kasus Ahmadiyah di Bogor. Setidaknya kasus tersebut menjadi refleksi kita bersama. Apakah ini watak dan budaya yang ada pada masyarakat kita sekarang ini. Dari sudut pandang subjek, kekerasan dari konflik akut lebih banyak diperankan oleh masyarakat bawah (grassroot).
Menurut hemat penulis, ada indikasi bahwa adegan kekerasan yang terjadi karena adanya rekayasa sosial elite. Rekayasa sosial elite ini bergerak akibat adanya ruang kesenjangan di dalam antar masyarakat. Ruang kesenjangan itulah yang dimanfaatkan oleh “oknum” untuk memobilisir psikologi massa menjadi brutal.
Melalui sugesti dan agitasi sosial, diciptakanlah masyarakat yang anarkis serta reaksioner. Inilah bentuk dari rekayasa sosial tersebut. Secara tidak langsung, rekayasa sosial menjadi agen konflik yang memanfaatkan pertentangan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan itu pastinya bersifat politis.
Berdasarkan hal tersebut, kiranya peran negara amatlah penting. Negara harus semaksimal mungkin merapatkan kesenjangan yang ada. Sehingga kesenjangan yang ada tidak mudah terinfiltrasi oleh “oknum-oknum” perekayasa sosial.
Pertama, negara harus konsisten menjalankan amanah UUD 1945. Sebab, amanah UUD 1945 secara filosofis merupakan petunjuk jalan menuju sebuah social justice dan welfare state. Kedua, penciptaan ruang sosiopetal. Di sini negara menciptakan ruang yang dapat meningkatkan interaksi sosial masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar meningkatkan kecerdasan berpikir masyarakat terhadap suatu isu sosial. Dengan meningkatnya interaksi, maka masyarakat tidak mudah bersikap reaksioner.
Ketiga, adanya penegakan hukum secara tegas. Ketegasan penegakan hukum akan memberikan efek jerah bagi para pelaku. Selain itu, keadilan hukum juga menjadi syarat mutlak. Di mana penegakan hukum dilaksanakan secara adil. Hukum tidak berpihak pada golongan tertentu. Entah dia presiden, menteri, ulama, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, serta masyarakat biasa, jika memang salah maka hukum harus tetap ditegakkan. Ini berguna dalam mengkonstruksi kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.
Kesenjangan akibat ketidakadilan yang berujung kekerasan massa merupakan konsekuensi sosial. Dan kiranya ini menjadi suatu pekerjaan rumah bagi negara. Jika kesenjangan ini semakin lebar, dipastikan kekacauan sosial akan semakin tinggi. Hal ini ditandai dengan terciptanya masyarakat anomali. Untuk itu, negara harus ekstra keras merapatkan kesenjangan ini dan bukannya loyo.
*Mahasiswa Sosiologi UNJ