Sosiologisme Pengemis:
Peran Negara Terhadap Pengemis*
Oleh : Syaifudin
Di tengah merajutnya mimpi kota megapolitan. DKI Jakarta mulai mereformasi dirinya, baik dari segi birokrasi maupun bangunan fisik. Kini transformasi kota Jakarta mulai terlihat lebih mewah daripada sebelumnya. Gedung-gedung pencakar langit satu demi satu berdiri kokoh menggusur rindangnya kota.
Akan tetapi ditengah berkembangnya peradaban kota, dibalik gemerlapnya wajah Jakarta ada sisi wajah yang lain. Di mana sisi wajah itu adalah sisi kehidupan kota Jakarta yang jauh dari gemerlapnya kota dan teranaktirikan dari “kue-kue pembangunan” kota. Dia merupakan wajah dari kerasnya hidup di Jakarta.
Wajah itu adalah warna suram dari struktur masyarakat yang gagal mencapai kulminasi masyarakat sejahtera. Mereka adalah kaum marjinal yang tersingkir dari peruntungan nasib di ibukota - secara umum hal ini terjadi pada kaum urban. Biasanya mereka hidup dalam keterbatasan ekonomi. Gambaran wajah bopeng Jakarta ini dapat kita amati disetiap kolong-kolong jembatan dan bantaran kali. Dengan tipe rumah jauh dari kesan layak untuk ditinggali oleh makhluk yang bernama manusia. Memang secara logika itulah warna kehidupan, ada yang kaya dan miskin. Dan salah satu sisi wajah bopeng itu adalah pengemis.
Belakangan ini, pengemis semakin banyak berkeliaran di jalanan, terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Di Jakarta misalnya, mereka beroperasi di perempatan atau pertigaan lampu merah dan di sekitar terminal. Ada kalanya pengemis ini lari tunggang langgang karena dikejar aparat keamanan dan ketertiban (kamtib). Namun, itu tak menyurutkan niat mereka daalm mencari nafkah.
Di sinilah skenario pertumbuhan kota sering diwarnai dengan berbagai masalah sosial, seperti eksklusi sosial pada masyarakat yang termarjinalkan. Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menjelaskan salah satu narasi kisah dari korban ekslusi sosial yaitu pengemis.
Pengemis produk eksklusi sosial kota
Marx mengatakan bahwa sejarah hidup manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Di sinilah perjuangan kelas itu dilakukan oleh para kaum marjinal atau masyarakat miskin kota. Walaupun akses dan hak mereka terkadang didiskriminasikan, tetapi mereka tetap bertahan, entah menjadi pengamen, pengemis, pedagang asongan, bahkan pelaku kriminal sekalipun. Dalam hal ini penulis mencoba mengambil salah satu contoh masalah ekslusi sosial disekitar lampu merah Grogol, dekat mall Citraland, Jakarta Barat. Di mana penulis melihat kehidupan beberapa para pengemis jalanan.
Di sekitar area lampu merah Grogol ini, penulis melihat beberapa pengemis. Pengemis ini oleh penulis dapat dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama, seorang anak kecil laki-laki dan perempuan (kira-kira usianya 8 tahunan) yang berpakain lesu serta tanpa alas kaki atau sandal. Kategori kedua, seorang ibu yang sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Kategori ketiga, seorang laki-laki paruh baya yang tampak terlihat ada luka borok di bagian kakinya dengan pakaian yang lesu.
Penulis lihat dari kejauhan, mereka tampak terlihat memainkan sosiodrama raut wajah kemiskinan. Hal ini tentu sedikit mengusik pikiran penulis. Untuk itu, penulis ingin sekali mengetahui kebenaran yang sebenarnya. Setelah hampir satu jam menunggu dan mengamati, akhirnya penulis berhasil mendekati dan berbincang dengan salah satu dari pengemis itu. Pengemis itu seorang ibu yang sedang menggendong seorang anak (kira-kira usianya antara 4 tahun) yang tertidur pulas.
Di sini penulis mendapat informasi dari dirinya. Di mana dalam rantai operasi mengemis, ternyata ada sistem pembagian ” jatah” jam kerja. Jatah jam kerja ini dibagi menjadi 2 sesi. Setiap sesi rata-rata sekitar 9 jam. Sesi pertama dari pukul 6 pagi sampai pukul 3 siang. Kemudian dari pukul 3 siang sampai pukul 11 malam. Namun pembagian sistem jam kerja ini tidak bersifat mutlak. Hal ini tergantung dari kesepakatan masing-masing pengemis. Dan kebetulan Ibu pengemis ini sedang mendapat sesi pertama. Dalam setiap operasi kerjanya, rata-rata para pengemis ini minimal dapat mengantongi uang sebanyak 20.000-30.000 rupiah dalam setiap kerjanya. Para pengemis ini biasa tidur dibawah kolong jembatan Grogol. Namun ada juga yang mengontrak rumah.
Terlepas dari realitas informasi yang penulis dapatkan tentang para pengemis ini. Secara sosiologi makro. Penulis berasumsi bahwa apa yang mereka lakukan berkaitan dengan peran negara yang tidak maksimal. Eksklusi sosial terjadi kepada para pengemis ini. Dengan demikian, latar belakang yang membuat mereka mengemis bukan semata mengemis lebih menguntungkan daripada bekerja menjadi buruh pabrik atau berdagang. Tapi masalah sosial ini terletak pada tataran konsistensi regulasi pemerintah sendiri dalam merealisasikan amanah UUD 1945 dan turunannya.
Peran negara terhadap masalah pengemis
Andre Gunder Frank menyatakan keterbelakangan (baca: pengemis) terjadi akibat permasalahan pada struktural. Struktural yang dimaksud penulis adalah peran atau fungsi negara. Kita ketahui dalam konstitusi peran negara yaitu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Namun kenyataannya, amanah konstitusi ini tidak sesuai dengan das sollen. Pada kasus di atas, mereka menjadi pengemis karena akses pekerjaan yang sulit, ketrampilan yang minim, dan latar belakang pendidikan yang rendah. Ini terjadi akibat kurangnya peran negara dalam memberikan akses kepada mereka.
Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan perjuangan bangsa Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Langkah utama untuk mencapai tujuan itu adalah pelaksanaan keadilan sosial. Keadilan sosial mewajibkan masyarakat termasuk negara demi terwujudnya kesejahteraan untuk membagi beban dan manfaat kepada para warga negara secara proporsional. Di sini negara membantu anggota masyarakat secara proporsional. Menurut Anthony Anthony Giddens dalam bukunya The Third Way, bahwa semestinya pemerintah harus menjadi “ rekan ” (partner) dari masyarakat.
Pemerintah sebagai pemimpin negara mempunyai tugas utama untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Maka dalam rangka itu negara berhak memungut pajak kepada warganya sesuai dengan ketentuan yang ada. Namun sebaliknya negara wajib menjamin agar setiap warganya mencapai kesejahteraan dasar atau taraf hidup minimum yang layak bagi kemanusiaan. Ini tentu sesuai dengan konsep dari kontrak sosial yang dikemukakan oleh J.J Rousseau. Kalau kita telaah lebih mendalam pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea IV menjelaskan antara lain :…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan perdamaian dunia…
Kalimat di atas menunjukkan keaktifan negara dalam memberikan jaminan hak-hak warga negara Indonesia. Hal ini guna mengembangkan dan meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Kesejahteraan sosial rakyat ini dijamin UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) : “ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ”, atau dalam Pasal 34: “ Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara ”. Lebih lanjut kesejahteraan sosial ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
Berdasarkan penjelasan di atas, secara struktural fungsional. Seharusnya peran negara berperan penting dalam mewujudkan keadilan sosial atau kesejahteraan rakyatnya. Di sini masalah pengemis menjadi masalah sosial yang di mana melibatkan fungsi negara itu sendiri. Dengan kata lain, masalah pengemis memberikan indikasi bahwa fungsi negara belum mampu menjalankan perannya secara maksimal, baik secara konstitusi maupun institusi. Oleh karena itu, Cardoso melihat keterbelakangan tidak hanya disebabkan faktor dari luar, tapi juga internal negara. Kondisi internal tersebut adalah selain struktur ekonomi tetapi juga kelas-kelas sosial dan distribusi kekuasaan di dalam masyarakat serta peran negara.
Memang dalam meminimalisir masalah eksklusi sosial ini, negara sudah menerapkan berbagai proyek pembangunan sosial guna membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, praktiknya memang belum maksimal. Hal ini disebabkan kurangnya komitmen negara dalam menanggulangi masalah-masalah sosial tersebut. Selain itu, terkadang kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terkadang menyudutkan atau justru memarginalisasi masyarakat, khususnya masyarakat kecil atau miskin,bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satunya UU Perda no.8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Salah satu isi Perda tersebut, yakni membahas mengenai pelarangan keberadaan para pengemis, pedagang asongan, serta pengamen yang berada di jalan raya. Salah satu pasal yang mengatur hal itu terdapat pada pasal 40, yang menyatakan melarang setiap orang menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Selain itu, melarang orang memberi uang kepada para pengemis dan membeli barang dagangan dari pedagang asongan yang ada dijalan. Jika peraturan itu dilanggar, maka akan dikenakan sanksi. Sanksi itu berupa kurungan penjara paling singkat 20 hari dan denda paling sedikit 500.000. Jelas, Perda ini menyudutkan kaum yang tereksklusi.
Berangkat dari pernyataan ini. Menurut hemat penulis, idealnya peran negara dapat memberikan keadilan merata sesuai dengan amanah konstitusi yang ada, tanpa memilah-milih berdasarkan kepentingan politik tertentu. Dalam hal ini lebih mementingkan kepentingan pemilik modal dibanding keadilan sosial masyarakat miskin.
Untuk itu masalah pengemis harus dilihat sebagai problem keadilan ekonomi dalam pengertian luas. Mereka yang jadi pengemis merupakan korban struktur ekonomi yang tidak berkeadilan. Karena itu, jalan keluar yang harus dilakukan adalah membangun struktur ekonomi yang berkeadilan serta membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya. Yang patut dipersalahkan jika masih ada pengemis adalah negara. Karena itu, aneh jika negara menghukum pengemis, padahal pengemis merupakan "anak haram" dari ketidakadilan ekonomi. Negara boleh saja mengkriminalkan mereka jika negara sudah mampu memberi lapangan pekerjaan kepada mereka. Selain keadilan ekonomi, keadilan pendidikan juga harus mampu dilaksanakan negara sebagai pemegang amanah bangsa ini. Sehingga permasalahan pengemis dapat diminimalisir.
Maksimalisasi peran negara terhadap masalah pengemis
Masalah pengemis memang menjadi permasalahan klasik bangsa ini yang belum terselesaikan. Sudah banyak program dan kebijakan pemerintah yang diterapkan untuk meminimalisir masalah ini. Bahkan milyaran atau triliunan rupiah keluar demi mendanai program dan kebijakan ini. Namun hasilnya tetap tidak menyelesaikan masalah. Hal ini disebabkan masih setengah hati berpihaknya pemerintah terhadap rakyat serta kurangnya komitmen negara dalam menjalankan amanah konstitusi.
Untuk memaksimalkan peran negara tersebut maka diperlukanlah sebuah langkah strategis untuk meningkatkan peran negara dalam meminimalisir masalah pengemis ini yaitu, Pertama, pemerintah dapat membuat kebijakan yang lebih arif dan pro terhadap masyarakat kecil khususnya kaum marjinal, baik yang bersifat peraturan maupun tindakan nyata. Kedua, elaborasi transmigrasi (pemerataan penduduk) dengan mempertimbangkan latar belakang budaya untuk menghindari konflik. Dengan cara seperti ini , diharapkan distribusi penduduk merata dan tidak terpusat hingga akhirnya tidak terjadi ledakan jumlah penduduk. Selain itu, pemerataan pembukaan lapangan pekerjaan di daerah-daerah.
Ketiga, secara sosio edukasi. Merubah pola pikir masyarakat yang kreatif dan mandiri melalui pelatihan-pelatihan ketrampilan. Hal ini diharapkan bisa menjadi langkah pencegahan semakin parahnya permasalahan pengemis dan kaum gelandangan, khusunya di Ibu Kota Jakarta. Selain itu, melakukan sosialisasi kepada para pengemis tentang pentingnya semangat etos kerja. Sosialisasi ini dapat dilakukan melalui komunikasi yang dipahami dan diterima oleh kaum pengemis. Sehingga mereka mau meninggalkan pekerjaannya sebagai pengemis dan bekerja di sektor yang layak dan berkeadilan. Keempat, secara hukum. Memberikan tindakan yang tegas kepada para pelaku yang memanfaatkan atau mengeksploitasi para pengemis, karena hal itu jelas-jelas merupakan tindakan kejahatan atau kriminal.Semoga saja negara dapat memainkan perannya sebagai “partner” semua rakyat, bukan “partner” kartel atau golongan tertentu.
* 14 Desember 2010. Tulisan sederhana yang terinspirasi dari realitas sosial yang penulis amati 2 hari lalu.