Sekilas
Serpihan Pemikiran Sosial Peter Ludwig Berger
Oleh:
Syaifudin
Sejauh ini, realitas
kehidupan sehari-hari terkesan dialami individu secara perorangan. Kenyataannya
tidaklah demikian. Menurut Berger dan Luckmann (1966), realitas sosial dialami
oleh individu bersama-sama dengan individu yang lainnya. Selain itu, individu
lainnya sesungguhnya juga merupakan realitas sosial.[1] Dalam
pengertian yang terakhir, berarti orang lain bukan hanya bagaian atau objek
dalam realitas kehidupan sehari-hari individu, tetapi ia atau mereka juga bisa
dipandang sebagai realitas sosial itu sendiri. Artinya, pengalaman individu
tentang sesamanya merupakan aspek yang penting untuk ditelaah dari konstruksi
realitas dalam diri seseorang.
Pada pokoknya, menurut
Berger dan Luckmann, orang lain yang dihadapi oleh individu bisa digolongkan
menjadi dua kategori: mereka yang dialami atau dihadapi dalam suasana tatap
muka, dan lainnya yang dialami atau dihadapi di luar suasana tatap muka.
Pemahaman individu akan orang lain yang berada dalam suasana tatap muka
dengannya sebenarnya dilandaskan pada skema
tipifikasi yang sangat fleksibel. Ketika baru pertama kali berinteraksi,
tipe yang dibuat individu tentang lawannya masih sedikit dan tidak mendalam.
Tetapi sejalan dengan peningkatan interaksi, tipifikasi yang dimilikinya pun
kian menguat.
Berger menyatakan bahwa
hubungan manusia dengan masyarakat merupakan suatu proses dialektis yang
terdiri atas tiga momen, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Eksternalisasi adalah usaha pencurahan diri manusia terus menerus ke dalam
dunia, dalam kegiatan fisik maupun mental. Melalui eksternalisasi, manusia
mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Dengan demikian, masyarakat
adalah produk ciptaan atau hasil kegiatan manusia.
Objektivasi adalah
disandangnya status realitas objektif oleh hasil-hasil kegiatan manusia. Apa
yang diekspresikan oleh manusia itu lantas menjadi sebuah kenyataan yang
berdiri sendiri, terpisah dan berhadapan dengan manusia. Dalam hal ini,
masyarakat menjadi sebuah kenyataan sendiri yang terpisah dari manusia. Lalu,
internalisasi adalah penyerapan kembali realitas objektif ke dalam kesadaran
subjektif manusia. Melalui internalisasi, manusia melakukan proses adaptasi
terhadap apa yang telah dibuatnya sendiri. Masyarakat kini berfungsi sebagai
pelaku formatif bagi kesadaran individu. Agar tidak menjadi terasing atau
teralienasi, manusia harus menyesuaikan diri dengan masyarakat di mana ia
berada.
Ringkasnya, realitas
sosial kehidupan sehari-hari tidak lepas dari interaksi tatap muka yang
dilakukan individu dengan sesamanya. Dalam arti, bersama dengan orang lain itu
individu mengalami/menghadapi realitas sosial kehidupan sehari-hari, di mana
orang lain dalam suasana tatap muka itu sendiri juga merupakan realitas sosial
bagi si individu. Sama halnya dengan modernitas yang terjadi pada masyarakat
yang tidak lepas dengan hubungan suasana tatap muka atau realitas sosial
kehidupan sehari-hari. Berger menyebutkan corak kognitif yang juga ada
hubungannya dengan realitas kehidupan sehari-hari pada modernisasi. Juga terdapat
proses dialektis yaitu internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi dalam
kehidupan sehari-hari pada modernisasi.
The homeless mind: modernization
and consciousness
Pemikiran Berger
tentang modernitas tertuang dalam The
Homeless Mind: Modernization and Consciousness (1974) yang sedikit banyak
memperlihatkan dialektika eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi dari
gejala modernitas yang terungkap dalam kehidupan sehari-hari. Atau dengan kata
lain, hubungan dialektis antara kesadaran dengan tatanan institusional modern.
Secara sederhana,
modernisasi diartikan sebagai “the
institutional concomitans of technologically induced economic growth”
(tatanan institusional yang menyertai pertumbuhan ekonomi yang dipacu
teknologi)[2].
Berdasarkan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa modernisasi itu menyangkut
tatanan institusional suatu masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya
menyangkut institusi ekonomi saja.
Institusi ekonomi (dan
teknologi) hanyalah motor penggerak modernisasi. Pengertian seperti ini sering
dikacaukan dengan pengertian “development”.
Ada orang yang menyamakan keduanya, ada pula yang membedakannya. Berger sendiri
membedakannya secara definitif. Menurutnya, perbedaan antara modernisasi dan
pembangunan terletak pada dua hal mendasar. Yang pertama, pembicaraan tentang modernisasi lebih luas daripada
pembicaraan tentang pembangunan. Modernisasi menyangkut tatanan institusional,
sedangkan pembangunan hanya bersangkut-paut dengan institusi ekonomi. Meski
berbeda, memang tidak dapat disangakal bahwa melalui pembangunan (ekonomi)
modernisasi bisa dicapai dalam suatu masyarakat.
Perbedaan kedua, menyangkut ihwal “bebas-nilai”.
Modernisasi adalah hal yang bisa dibicarakan tanpa harus diikuti oleh
perbincangan seputar kebijakan yang perlu dilakukan. Berbeda dengan pembicaraan
tentang pembangunan yang sering kali dikaitkan dengan pembicaraan tentang
peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Dunia Ketiga. Pembicaraan tentang
usaha peningkatan semacam ini mau tidak mau akan melibatkan kita pada
pembicaraan yang menjerumus tentang kebijakan perencanaan pembangunan. Dan
pembicaraan tentang kebijakan pada gilirannya akan bersangkut-paut dengan
pembicaraan yang tidak bebas-nilai, dalam perumusan kebijakan mau tidak mau
harus diperhitungkan korban yang timbul akibat dilaksanakannya kebijakan yang
dimaksud. Dibandingkan dengan pembangunan, maka pembicaraan tentang modernisasi
bisa dikatakan bebas-nilai.
Dalam usahanya
melakukan telaah sosiologis tentang modernisasi, dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa Berger menganut prinsip bebas-nilai. Bukan itu saja, ada
beberapa prinsip lain yang digunakan olehnya dalam telaah sosiologis ini. Pertama, secara umum modernitas ditelaah
sebagai realitas yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Dan di sini, secara
khusus analisis dilaksanakan dalam dua level: level kesadaran dan level tatanan
institusional. Premisnya: di satu pihak kesadaran pada dasarnya terbentuk
berlandaskan tatanan institusional, di lain pihak dinamika tatanan
institusional tak bisa dilepaskan dari kesadaran.
Sejalan dengan hubungan
saling membentuk di antara kesadaran dan tatanan institusional, maka selayaknya
modernisasi dipandang sebagai gejala historis. Maksudnya, modernisasi dalam
suatu masyarakat harus dapat ditentukan titik awal dan titik akhirnya, serta
proses yang berlangsung diantara keduanya.
Corak
kognitif: rasionalitas masyarakat modern
Seperti kebanyakan
ilmuwan sosial, Berger memandang modernisasi pada mulanya berlangsung di
masyarakat-masyarakat yang sekarang ini biasa dilihat sebagai negara industri
maju. Baru kemudian ia meluas ke berbagai masyarakat Dunia Ketiga. Dalam
pengertian ini selanjutnya Berger berpendirian bahwa agen modernisasi yang
utama dalam masyarakat adalah institusi birokrasi. Sedangkan agen lainnya, di
antaranya institusi pendidikan, arus komunikasi massa, situasi kota
kontemporer, dan kondisi sosial budaya yang majemuk. Bertolak dari kerangka
teori yang digunakannya, Berger beranggapan bahwa baik produksi berlandaskan
teknologi dan maupun birokrasi mengandung elemen-elemen tertentu yaitu elemen
kognitif yang bersifat intrinsik[3].
Dalam produksi berlandaskan teknologi, elemen termaksud adalah:
1. Mekanisitas,
terlihat jelas pada gejala ban berjalan yang banyak terdapat dalam industri
mobil, misalnya. Pekerja tertentu tidak membuat mobil secara utuh, namun hanya
mengerjakan bagian tertentu setelah pekerja pendahulunya menyelesaikan bagian
lain.
2. Reproduksibilitas,
anggapan bahwa hasil produksi tidak unik sifatnya: barang yang sama bisa
dihasilkan terus menerus dan oleh berbagai pekerja yang memiliki jenjang keterampilan
yang kurang-lebih sama. Berbeda dengan misalnya tindakan seseorang seniman
menciptakan lukisannya.
3. Keterukuran,
pandangan bahwa hasil kerja seseorang bisa dievaluasi berdasarkan kriteria
kuantitatif, baik menyangkut misalnya jumlah poduksi per hari maupun ketepatan
pembuatannya.
Dengan proses produksi
seperti itu, pada diri para pekerja pun tertanam suatu corak kognitif tertentu
yang berpadanan dengannya. Menurut Berger, corak tersebut adalah pengelolaan
emosi. Maksudnya, pekerja dituntut untuk dapat mengendalikan perasaan dan menempatkannya
di bawah rasionya. Bila hal ini tidak dilakukan oleh pekerja, produksi bisa
mengalami kekacauan. Corak kognitif lain yang dituntut dari seorang pekerja di
tengah produksi berlandaskan teknologi adalah abstraksi implisit, di mana dalam
proses produksi, seorang pekerja bukan lagi pribadi yang utuh. Ia hanya
dipandang dari satu sudut saja: peran yang dimainkannya dalam proses produksi.
Atau dengan kata lain, pekerja itu menjadi sesuatu yang abstrak. Hubungan antar
pekerja pun, dengan demikian, menjadi hubungan yang bersifat fungsional. Corak
kognitif lainnya adalah asas maksimalisasi: prinsip untuk meningkatkan hasil
semaksimal mungkin dengan biaya yang serendah-rendahnya.
Corak kognitif seperti
ini tidak hanya terbatas dalam proses produksi. Individu, atau lebih tepatnya
lagi, pekerja berkecenderungan untuk membawanya keluar dari dunia pekerjaan.
Hal ini tercermin dari kehidupan sehari-hari mereka di luar pekerjaan. Hubungan
mereka dengan tetangga, misalnya, menjadi hubungan sosial yang anonim (anonymous social relations). Di samping
itu, ini juga terlihat dari kesadaran yang memisah-misahkan pekerjaan dari
kehidupan pribadi (segregation of work
from private life).
Seperti halnya produksi
berlandaskan teknologi, sebagai institusi birokrasi yang mengandung aspek-aspek
kognitif tertentu yang bersifat intrinsik, yang lebih jauh menuntut corak
kognitif tertentu dari orang-orang yang terlibat di dalamnya (baik itu petugas
maupun klien birokrasi). Corak kognitif yang dimaksud adalah:
1. Ketertataan
(orderliness); suatu persoalan atau
pekerjaan ditangani secara berurutan, mulai dari bagian A, lalu ke bagian B,
lalu ke bagian C, dan seterusnya.
2. Prediktabilitas
(predictability); kegiatan birokratis
pada dasarnya bisa ditaksir. Misalnya, waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan sebuah dokumen tertentu, persyaratan yang harus dipenuhi oleh
seorang klien, dan sebagainya.
3. Tuntutan
umum akan kesamarataan (general
expectation of justice); birokrat dituntut tidak “pandang bulu”. Semua
diperlakukan secara sama sepanjang persyaratan yang dituntut oleh suatu
birokrasi dipenuhinya.
Hasil dari corak
kognitif seperti ini salah satunya adalah anonimitas-hubungan di antara
birokrat dan klien birokrasi, di kalangan birokrat, dan di kalangan klien
birokrasi bukanlah hubungan antarpribadi. Seseorang lantas menjadi anonim bagi
orang lain, hanya dikenal sebagai petugas resepsionis atau sebagai klien nomor
sekian, misalnya. Gaya pengetahuan seperti itu tidak terbatas dalam lingkungan
birokrasi saja, melainkan meluas ke sektor kehidupan sehari-hari di luar
birokrasi. Baik birokrat maupun klien birokrasi memperlakukan orang lain juga
tidak sebagai individu, tidak sebagai pribadi yang utuh (misalnya, dalam
hubungan yang dijalin dengan pedagang minuman ketika ia membutuhkan minum).
Kesadaran
modern masyarakat barat
Apa yang terjadi dalam
masyarakat Barat yang mengalami modernisasi dengan bingkai rasionalitas seperti
itu? Kehidupan sehari-hari tidak hanya dibombardir oleh berbagai objek material
hasil produksi berlandaskan teknologi, tetapi juga oleh kesadaran yang berasal
dari pola produksi tersebut. Perubahan massif serupa pun terjadi menyertai
birokratisasi masyarakat: kehidupan sehari-hari dikelola berlandaskan pada
kesadaran yang bersumber dari birokrasi. Wujudnya, anomitas hubungan sosial,
ketidakbebasan mengungkapkan perasaan, dan berbagai fenomena “kehilangan rumah”
lainnya.
Untuk menanggulangi
keadaan ini, di Barat terjadi kecenderungan pemisahan kehidupan sehari-hari.
Sektor kehidupan tempat individu mengeksternalisasikan diri dijauhkan dari
kesadaran birokratis, pola produksi berlandaskan teknologi, dan sektor-sektor
di mana individu dituntut bertindak dengan kesadaran yang bersumber dari kedua
institusi tersebut. Berger menyebut sektor kehidupan yang pertama sebagai kehidupan
pribadi (private life), sedangkan
sektor kedua disebut kehidupan publik (public
life). Contoh kehidupan pribadi adalah kehidupan keluarga, pergaulan dalam
kelompok sebaya, dan pergaulan dalam kelompok/organisasi yang bersifat sukarela
(misalnya, kelompok keagamaan). Sektor di mana individu bisa berhubungan dengan
orang lain secara personal dan akrab yang dilandaskan pada solidaritas mekanis.
Kemajemukan kehidupan
sosial seperti ini, menurut Berger, merupakan ciri khas masyarakat Barat yang
tinggi derajat modernitasnya. Sebelumnya, tidak ada. Yang ada adalah kehidupan
yang punya ciri-ciri solidaritas mekanis, Geimenschaft,
atau sejenisnya. Modernitas tidak hanya menimbulkan konsekuensi pluralisasi
kehidupan sosial, ia juga menyebabkan gejala sekularisasi agama: agama
mengalami krisis legitimasi. Krisis pun tidak berhenti setelah melanda agama.
Lebih dari itu, ia berpengaruh juga pada kehidupan individu. Individu tidak
bisa lagi memiliki kepastian dalam hidupnya, kepastian yang sebelumnya
diperolehnya dari agama.
Istilah “sekularisasi”
mempunyai perjalanan sejarah tersendiri. Kata tersebut digunakan pada era
Perang Agama untuk menyatakan pemisahan teritori atau properti dari kontrol
kekuasaan gerejawi. Lalu, dalam lingkaran anti-klerikal dan progresif, istilah
sekularisasi digunakan untuk menjelaskan kebebasan manusia modern dari belenggu
agama. Sementara itu, bagi kalangan gereja-gereja tradisional, sekularisasi
dimaknai sebagai “de-kristenisasi”, “paganisasi”, dan semacamnya.
Menurut Berger,
sekularisasi adalah sebuah proses di mana sektor-sektor dalam masyarakat dan
kebudayaan dipisahkan dari dominasi institusi dan simbol-simbol religius[4]. Jika
bicara mengenai masyarakat dan institusi, kita perlu mengacu pada konteks
sejarah Barat modern. Dalam konteks itu, sekularisasi memanifestasikan dirinya
dalam peristiwa terpisahnya masyarakat dari kontrol Gereja Kristen. Contohnya
adalah pemisahan Gereja dan Agama, pengambilalihan lahan-lahan milik Gereja,
atau munculnya emansipasi pendidikan terhadap otoritas gerejawi.
Dalam masyarakat
sendiri, kesadaran modern itu tidak diperoleh individu sebatas ketika ia dewasa
dan berhadapan langsung dengan kedua institusi pokok masyarakat modern yang
dimaksud. Tetapi, sejak kecil individu telah menghadapinya. Melalui institusi
pendidikan, individu mengeksternalisasi kesadaran modern. Ia dipersiapkan agar
dapat mengeksternalisasikan diri sesuai dengan tuntunan masyarakatnya. Namun,
hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak mengalami “kehilangan rumah” ketika
dewasa. Keadaan ini tetap akan mereka alami.
Selain institusi
pendidikan, ada institusi lain yang juga ikut menyebarluaskan kesadaran modern
(berarti, mempertahankan keselarasan hubungan antara dimensi subjektif dengan
dimensi objektif kesadaran modern). Secara tidak langsung, ia dikatakan ikut
mempertahankan pola hidup terasing dalam masyarakat Barat yang modern itu.
Institusi termaksud adalah komunikasi massal. Sejauh ini dapat disimpulkan
bahwa modernisasi merupakan gejala yang khas masyarakat Barat. Ia bersumber
pada tatanan institusional masyarakat Barat. Namun adalah suatu kenyataan bahwa
modernisasi ini, dalam perkembangan selanjutnya, tidak hanya terbatas pada
masyarakat Barat saja. Lebih dari itu, ia disebarluaskan ke Dunia Ketiga.
Misalnya, dalam wujud alih teknologi. Ini berarti bahwa modernisasi yang
berlangsung di Dunia Ketiga sedikit-banyak juga merupakan Westernisasi.
Difusi
gejala modernitas di dunia ketiga
Menurut Berger, bukan
hanya menyangkut difusi berbagai objek material saja, misal teknologi
kesehatan, institusi pendidikan, maupun pemenuh kebutuhan pokok lainnya. Lebih
dari itu, kesadaran modern yang terdapat dalam kesadaran intrinsik dalam objek
material tersebut juga ikut tersebarluaskan; elemen kesadaran yang terdapat
secara intrinsik dalam produksi berlandaskan teknologi dan birokrasi turut pula
merembes. Bagaimana tanggapan warga Dunia Ketiga atas modernisasi yang memasuki
kehidupan mereka?
Menurut Berger, reaksi
ini dapat digolongkan ke dalam tiga tipe: penolakan terhadap modernisasi
(berarti mempertahankan kelangsungan tradisi yang ada), penerimaan modernisasi
secara menyeluruh, dan penerimaan modernisasi secara selektif (hanya
aspek-aspek yang tidak bertentangan dengan tradisi yang diterima)[5].
Dari ketiga tipe ini, yang umum terdapat di masyarakat Dunia Ketiga adalah tipe
kedua dan ketiga. Sedangkan tipe pertama sulit untuk bisa bertahan.
Terlepas dari reaksi
apa yang diberikan suatu masyarakat Dunia Ketiga, yang jelas gejala modernitas
dipandang sebagai sesuatu yang asing, yang berkekuatan kokoh, setidak-tidaknya
pada masa awal difusi. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam kasus alih
teknologi. Secara fisik, alih teknologi bisa saja berlangsung dengan mudah,
tetapi individu tidak mudah memilki corak kesadaran tertentu yang berpadanan
dengan tuntutan teknologi terkait. Hal serupa juga terjadi dalam kasus
birokratisasi di Dunia Ketiga. Terjadilah apa yang biasa dikenal sebagai cultural lag: orang mengidentifikasi
dirinya dengan birokrasi dan proses teknologis tanpa memahami makna yang secara
intrinsik terdapat di dalam kedua motor mdernitas tersebut.
Jelas tidak selamanya cultural lag berlangsung di Dunia
Ketiga. Kesadaran modern yang terkandung dalam motor modernitas bisa saja
kemudian memasyarakat. Namun, bila hal ini terjadi tak berarti tidak ada
konsekuensinya: kerusakan pola hidup tradisional yang sudah dianut masyarakat
setempat (dan hal ini terjadi di berbagai masyarakat Dunia Ketiga pada
umumnya). Orang yang biasa bergaul akrab dengan sesamanya kini tidak lagi
melakukannya. Mereka pun hidup dalam keadaan terasing dan anomi. Di satu pihak
mereka menginternalisasikan baik kesadaran tradisional maupun modern (yang
pertama malah lebih terinternalisasi), di lain pihak mereka dituntut untuk
bereksternalisasi atas dasar kesadaran modern dalam kehidupan sehari-harinya.
Singkatnya, modernisasi yang berlangsung di Dunia Ketiga berarti juga
penyebarluasan fenomena “kehilangan rumah” dari masyarakat industri maju ke
Dunia Ketiga.
Bagaimana dengan
sekularisasi di Dunia Ketiga? Seperti yang terjadi di berbagai masyarakat
Barat, sekularisasi juga terjadi di berbagai masyarakat Dunia Ketiga. Menurut
Berger, semakin suatu masyarakat Dunia Ketiga meyerap kesadaran modern (berarti
semakin rasional), semakin mereka meninggalkan agama-agama yang secara
tradisional mereka kenal. Bagi Berger, sekularisasi adalah fenomena global
masyarakat modern. Sementara itu, bagi sebagian besar sosiolog lain,
sekularisasi merupakan proses yang mendunia dalam rangka “baratisasi” dan
modernisasi. Inilah klaim universal dari teori sekularisasi. Sekularisasi
dipandang sebagai keniscayaan sejarah yang pasti akan terjadi di masa depan dan
di segala tempat di dunia yang telah mengalami modernisasi.
Selain membicarakan
kesadaran modern dan modernitas yang berlangsung di Dunia Ketiga, Berger juga
membicarakan reaksi penolakan warga masyarakat industrial terhadap modernitas.
Menurutnya, reaksi penolakan ini terlihat terutama di kalangan muda. Penolakan
mereka terhadap gejala modernitas diungkapkan dalam berbagai tindakan, yang
kemudian membentuk suatu subkultur yang menentang budaya umum. Tindakan
tersebut misalnya, berupa hidup bebas tanpa mau diatur oleh jam dan kalender
(jadi, tanpa perencanaan masa depan, baik beberapa hari ke depan maupun jangka
panjang) yang merupakan bagian dari kesadaran modern. Ungkapan lain,
pengutamaan perasaan daripada rasio, hidup dalam komunitas yang ditandai oleh
keterbukaan di antara para warganya (baik komunitas religius maupun sekuler)
dan hidup menurut irama alamiah.
Penutup
Modernitas, suatu model
yang berkembang setelah Perang Dunia II. Berbias barat dan juga kuat akan bias
fungsionalismenya. Menurut Berger dalam model ini, ketimpangan penguasaan
sumber daya memang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini terutama terdapat
di Dunia Ketiga. namun, ketimpangan tersebut bersifat sementara. Dengan
perencanaan pembangunan menyeluruh, ia dapat dikikis dari struktur
ekonomi-politik yang ada. Kalaupun dilakukan revolusi, kehancuran masyarakat
secara keseluruhan merupakan taruhannya.
Dalam hal ini, konteks
pemikiran Berger terpengaruh oleh Weber, jelas terlihat dalam pemaknaan
subjektif yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam menjelaskan
gejala-gejala kemanusiaan, rasionalitas sebagai landasan masyarakat modern.
Terlihat pula dalam konsep makna pada level individual dan makna pada level
kolektif. Selain itu, pengarh Weber yang lain adalah pada pandangan Berger
bahwa sosiolog selayaknya bersikap objektif atau bebas-nilai, pada penjelasan
bahwa pemahaman gejala manusiawi mau tidak mau akan bersangkut-paut dengan verstehen sebagai salah satu prinsip
utamanya.
Pandangan Berger
tentang modernisasi dan modernitas memiliki kesan pesimistis yang cukup kental,
terlihat dalam berbagai tinjauan Berger tentang efek yang ditimbulkan oleh
gejala modernitas: anomi, keterasingan, superfisialitas hubungan sosial, dan
pengotak-ngotakan masyarakat (baik masyarakat Barat maupun masyarakat Dunia
Ketiga). di lain pihak, ia mengajukan juga pemikiran-pemikiran yang bersifat
dilematis: sementara orang-perorangan berada dalam suatu tatanan sosial yang
mendehumanisasi, modernitas masyarakat memungkinkan manusia untuk terus
berkembang.
DaftarReferensi :
Berger, Peter L. 1991. Kabar Angin dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Modern.
Jakarta: LP3ES.
Berger, Peter L. Brigitte Berger, dan Hansfried
Kellner. 1974. The Homeless Mind:
Modernization and Consciousness. New York: Vintage Books.
Berger, Peter Ludwig
dan Thomas Luckman. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta : LP3ES.
Samuel, Hanneman. 2012. Peter L. Berger: Sebuah Pengantar Ringkas. Depok: Kepik.