Quo Vadis Pendidikan Karakter dan Masa Depan Generasi Bangsa
Oleh: Syaifudin
Pendidikan karakter yang terus dikampanyekan oleh
pemerintah sepertinya perlu dievaluasi. Sebab nyatanya pendidikan karakter
seperti kehilangan arah. Penulis coba memberikan tiga contoh nyata dari
ketidakmaksimalan pendidikan karakter di sekolah;
Pertama,
saat penulis sedang mengendarai kendaraan di jalan raya sekitar kelurahan
Bungur Jakarta Pusat diwaktu jam pulang sekolah beberapa minggu lalu. Penulis
bertemu dan mengamati 4 pelajar SMP yang sedang pulang sekolah sambil menggunakan
sepeda motor tanpa menggunakan helm serta asyik menghisap sebatang rokok. Tiba-tiba,
pelajar tersebut memberhentikan sepeda motornya dipinggir jalan. Ternyata ada
kejadian yang menarik dan ironis dari kejadian ini. Dimana ada seorang kakek
yang saat itu sedang ingin menyebrang jalan, dan ia juga mengingatkan pelajar
tersebut untuk tidak merokok dan menggunakan helm.
Namun rupanya nasihat baik kakek itu disambut dengan
tidak ramah oleh pelajar tersebut. Pelajar itu memberhentikan motornya
dipinggir jalan, dan menghampiri si kakek, lalu melemparkan putung rokoknya ke
wajah si kakek. Tidak hanya itu saja, kejadian yang tepat berlangsung didepan
bengkel sepeda motor ini, membuat pelajar
itu mengambil sebuah kaleng bekas oli dan
ingin melemparkannya ke si kakek. Untungnya ada warga yang melerai
kejadian tersebut. Sehingga pelajar tersebut tidak jadi melemparkan kaleng
bekas oli itu ke si kakek.
Secara sosiologis, tindakan pelajar ini dapat
dikatakan sebagai tindakan yang asosial. Mengapa? Karena apa yang dilakukan si
kakek sebenarnya dalam posisi yang benar. Apalagi si kakek adalah orang yang
sudah berumur (lebih dewasa) dari
pelajar tersebut. Idealnya pelajar tersebut menghormati apa yang dikatakan si
kakek dan bukannya melawan bahkan ingin melemparnya dengan kaleng bekas oli.
Kedua, saat
penulis sedang menuju ke kantor imigrasi kelas 1 khusus Jakarta barat didekat
area kota tua tepatnya 1 bulan lalu. Saat penulis sedang berjalan-jalan diarea
kota tua, penulis melihat 4 orang pelajar SMP; 3 Laki-laki dan 1 perempuan.
Tampaknya mereka sedang bolos sekolah, karena sekitar pukul 11 masih waktu
belajar di sekolah. Pelajar SMP yang masih mengenakan celana biru SMP dan
menggunakan kaos biasa ini melakukan perbuatan yang membuat penulis miris. 4
pelajar ini tidak malu dan takut melakukan perbuatan asusila didepan publik.
Konteks asusila dalam hal ini yaitu 3 pelajar laki-laki tersebut memegang
bagian tubuh pelajar perempuan itu, dan pelajar perempuan itu pun bersikap
biasa saja.
Kasus asusila yang dilakukan didepan publik,
menyiratkan bahwa pelajar kita kini sudah terkontaminasi oleh budaya seks bebas
yang budaya ini identik dengan negara Eropa (dan Asia juga sebenarnya). Maka tidak
heran diberbagai media cetak maupun elektronik, kita sering dengar dan baca terjadi
kasus video porno yang pelakunya adalah pelajar. Pelaku video porno ini tidak
hanya pelajar di sekolah umum saja, tetapi juga sekolah yang berbasis agama. Jika
masalah ini terus dibiarkan, maka dapat dipastikan kedepannya generasi bangsa
ini kehilangan identitas ketimurannya, yaitu manusia yang tidak lagi menjaga
norma-norma agama dan susila.
Ketiga,
saat di jalan raya Cengkareng (Jakarta Barat) penulis melihat sebuah sepeda
motor yang sedang dikendarai oleh seorang pelajar SMA sambil membonceng
temannya. Pelajar tersebut mengendari sepeda motor secara ugal-ugalan. Dengan kecepatan yang tinggi, pelajar itu terus
menyalip beberapa motor yang ada didepannya, dan tanpa memikirkan keselamatan dirinya dan orang lain. Lalu ada
pengendara lain yang berteriak untuk menegur gaya berkendara pelajar tersebut.
Bukannya meminta maaf pelajar tersebut, tetapi pelajar tersebut malah memberhentikan
sepeda motornya dan menantang penegur tersebut. Hal ini terjadi karena memang secara
psikologi, pelajar itu sedang dalam sifat-sikap yang labil, emosional, agresif,
dan fase imitasi sosial.
Secara hukum dalam UU nomor 22 tahun 2009 tentang
lalu lintas dan angkutan jalan pasal 80 dan 81, pelajar tersebut dinyatakan
melanggar hukum karena belum dizinkan menggunakan kendaraan bermotor. Akan tetapi kita tidak perlu heran, karena
buktinya tren pelajar sekarang setiap sekolah membawa sepeda motor bahkan
mobil, dan ironisnya itu diizinkan oleh pihak sekolah. Banyaknya pelajar
sekarang yang menggunakan kendaraan bermotor, karena tidak lepas dari mudahnya para
orang tua memiliki kendaraan bermotor (sepeda motor khususnya) melalui cara
kredit.
Dalam konteks sosiologi penggunaan kendaraan bermotor
sebenarnya sedang berlangsung konstruksi sifat-sikap kedirian individu. Hal ini
karena saat individu dijalan raya, terjadi kontestasi antara dirinya dan orang
lain dalam suatu momentum kepentingan diri dan publik. Apabila karakter kontrol
diri lemah, maka sifat-sikap emosional dan agresif akan semakin kuat. Sedangkan
jika kontrol diri kuat, maka sifat-sikap kesabaran serta menghormati semakin
kuat.
Kaitan antara kontestasi kedirian ini dengan pelajar
dalam penggunaan kendaraan bermotor yakni, kondisi psikologis pelajar yang
labil dan ia menggunakan kendaraan bermotor dalam kondisi kontrol diri yang
lemah maka secara tidak langsung membentuk atau mengkokohkan sifat-sikap emosional
dan agresifnya. Dan hal ini tentu bisa menjadi ciri karakter pelajar tersebut kelak
jika dibiarkan terus-menerus.
Hal ini tentu berbeda dengan tren sekolah di era
tahun 2000-an kebawah. Dimana sedikit pelajar yang menggunakan kendaraan
bermotor jika ke sekolah (hanya kelas-kelas sosial tertentu yang menggunakan
kendaraan bermotor ini). Umumnya banyak pelajar yang ke sekolah, antara jalan
kaki atau naik angkutan umum. Oleh karena itu kita bisa membedakan secara nyata
kepribadian kehidupan antara dua generasi dari rejim pendidikan yang berbeda
ini.
Empat elemen yang terintegrasi
Ketiga contoh di atas yang penulis deskripsikan,
menjadi indikator belum maksimalnya pelaksanaan pendidikan karakter di
sekolah. Sebab sejatihnya pendidikan
karakter yang ditujukan untuk membentuk karakter pelajar lebih bertata krama
dan arif, justru hal ini jauh panggang dari api. Apalagi ditengah gempuran arus
globalisasi dan iklim demokrasi di Indonesia dewasa ini, setiap individu bebas
melakukan apa saja. Istilah “tindakan yang bertanggung jawab” pun sepertinya
hanya sebuah kalimat tidak bermakna. Maka tidak heran jika pasca reformasi,
bangsa ini terus dihadapi berbagai masalah-masalah sosial, seperti konflik,
kekerasan (tawuran), korupsi dan tindakan asusila video porno pelajar.
Jika karakter amarah, kekerasan dan asusila ini terus
terinternalisasi dan terobjektivasi pada setiap pelajar di Indonesia, maka
sangat mengkuatirkan nasib Indonesia kedepannya, yaitu Indonesia hidup dalam
kondisi masyarakat yang banal. Sebab para pelajar ini merupakan generasi dan
penerus bangsa ini nantinya. Mungkin harapan Indonesia menjadi negara yang
bermartabat, berkarakter dan humanis, hanya akan sebatas mimpi jika masalah
karakter pelajar ini tidak segera direvarasi secara psiko-sosial.
Maka untuk itu menurut penulis, berbicara merevarasi
karakter pelajar tidak hanya dibebankan saja kepihak sekolah semata. Sebab
tidak adil, jika
selalu sekolah yang disalahkan. Padahal ada peran elemen lain dalam berkontribusi
pembentukan karakter pelajar tersebut, yaitu elemen pemerintah, orang tua, dan masyarakat
(lingkungan sosial).
Walaupun begitu, bukan berarti peran sekolah menjadi lebih longgar
karena terbantu elemen lain. Tetapi sekolah pun harus mampu menumbuhkembangkan karakter
positif bagi para anak didiknya melalui contoh dan kegiatan yang positif,
seperti memberi contoh dengan menumbuhkan suasana rukun dan harmonis dikalangan
guru, dengan begitu para pelajar akan mengimitasi apa yang ia lihat dan rasakan
dari gurunya; suasana belajar yang demokratis, dan berbudaya; dan
kegiatan-kegiatan yang menumbuhkan karakter positif pelajar.
Sedangkan peran pemerintah dalam proses pembentukan karakter para
pelajar tidak hanya sebatas membuat kebijakan semata dan proyek yang politis.
Karena pemerintah memiliki otoritas yang besar, maka pemerintah dapat lebih
luas melakukan aksi nyata dalam mendukung pembentukan karakter positif pelajar
ini. Maka untuk itu pemerintah harus serius dan komitmen dalam menghadapi
masalah karakter pelajar ini, seperti memblokir
akses situs porno; melakukan raziah video porno dipedagang DVD/VCD; memberikan
pendidikan berlalu lintas dan pendidikan seks kepada para pelajar di
sekolah-sekolah; memberikan sanksi yang bersifat mendidik (dan bukan menghukum)
bagi para pelajar yang tertangkap tawuran, dan narkoba; serta mengadahkan kegiatan
yang positif dalam tumbuh kembang karakter positif para pelajar ini, seperti
kegiatan pramuka, lomba atau olimpiade mata pelajaran.
Sementara elemen
orang tua atau keluarga merupakan agen sosialisasi primer bagi seorang anak sebelum ia dikenalkan dengan dunia luar. Pengaruh keluarga sangat besar dalam
pertumbuhan seorang anak, karena disamping mempunyai kedekatan
psikologis,
mereka juga mempunyai tingkat kebersamaan yang lebih karena tinggal dalam satu
atap atau satu rumah. Maka untuk itu
orang tua harus cerdas dan peduli terhadap tumbuh kembang karakter anaknya.
Orang tua tidak
hanya sebatas membayar uang SPP dan mengetahui nilai raport anaknya saja. Tetapi
orang tua juga mampu menjadi guru dan sahabat bagi anaknya. Sebab anak itu
sebenarnya tidak hanya semata membutuhkan materi (ekonomi) dari orang tuanya,
tetapi yang paling penting yang dibutuhkan seorang anak adalah kebutuhan atas
kasih sayang, dan kepedulian terhadap dirinya atau kebutuhan psikologis dan
sosiologis. Maka jangan salahkan anak apabila ia mencari pelarian lain seperti
narkoba, miras atau teman sebaya yang membawa dampak negatif buat dirinya, karena
ia tidak mendapatkan kebutuhan psikologis dan sosiologis dari orang tuanya.
Lalu elemen masyarakat
merupakan agen sosialisasi sekunder (dan bahkan bisa menjadi primer) tempat
anak hidup dalam tumbuh kembang kepribadiannya. Masyarakat disini bisa
berwujud teman sebaya atau permainan,
dan orang-orang dewasa yang menjadi simbol dari proses imitasi sosial dalam
diri anak. Masyarakat pun harus mendukung dalam proses pembentukan karakter
positif para pelajar ini dengan memberikan contoh-contoh yang baik.
Selain itu,
masyarakat juga harus memiliki kepedulian terhadap para pelajar ini, seperti
menegur dan mendidik para pelajar yang ketahuan merokok, tawuran, minum-minuman
keras, narkoba, perbuatan asusila, dan kegiatan negatif lainnya. Masyarakat juga selalu memberikan kesempatan
buat para pelajar ini untuk melakukan kegiatan yang positif didalam
kemasyarakatan, seperti menjadi panitia dalam kegiatan sosial dimasyarakat. Dengan
begitu, para pelajar (anak) ini akan merasa hidupnya dalam suasana kepedulian
dan dihargai oleh lingkungan sosialnya.
Oleh karena itu, membahas tentang kondisi kekinian dari karakter
para pelajar tidak lepas dari pertanyaan, “bagaimana peran pemerintah, sekolah,
orangtua, dan masyarakat dalam kehidupan pelajar tersebut?”
Disinilah menurut penulis, perlu adanya integrasi pendidikan
antara pemerintah, sekolah, orang tua dan masyarakat. Integrasi ini dapat
terwujud manakalah setiap elemen ini memiliki kesadaran betapa pentingnya karakter
pelajar bagi kehidupan masa depan bangsa dan negara ini, dan bukan hanya
memikirkan masalah kepentingan diri sendiri saja atau kepentingan yang politis.
Para pelajar ini adalah harapan masa depan bangsa dan negara yang tentunya berefek
domino bagi kehidupan masyarakat Indonesia sendiri. Sebab produk pendidikan
adalah peradaban dan bangsa. Pendidikan merupakan integritas kebangsaan dan
bukan identitas kebangsaan semata. Simpul penulis.
Jakarta, 07 Mei 2012
*Tulisan refleksi penulis terhadap masalah pendidikan di Indonesia