Sosiologi Dalam Cermin Pantul Paradigma*
Oleh: Syaifudin
Abstrak
Pasca berpisahnya Sosiologi dari induk keilmuannya
yaitu filsafat, kemudian Sosiologi berdiri sendiri secara mapan. Kemandirian
Sosiologi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan sosial ternyata mendapat banyak
warna pemikiran dari para pemikirnya. Warna pemikiran itu disebut dengan
istilah paradigma yang memiliki berbagai turunan teori pengikutnya. Dengan
paradigma inilah yang membuat Sosiologi masih “hidup” dan terus berkembang.
Adapun paradigma yang melekat secara umum dalam keilmuan Sosiologi yaitu
paradigma fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial. Namun seiring
perkembangan keilmuan Sosiologi,
kemudian lahir satu paradigma
yang berusaha mengintegrasikan ketiga paradigma tersebut. Lahirnya paradigma
integratif ini diyakini oleh para pemikirnya untuk menjadi jembatan penghubung
dari berbagai perdebatan the subject matter yang selama ini terjadi dalam dialektika keilmuan Sosiologi. Inilah
keseruan dan kedinamisan keilmuan Sosiologi ditengah belantara hutan ilmu
pengetahuan sosial yang ada.
Pengantar
Istilah paradigma pertama kali
diperkenalkan oleh fisikawan Amerika Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) dalam
bukunya The Structure of Scientific
Revolution (2000). Menurut Kuhn,
paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode
of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan
mode of knowing yang spesifik. Lebih lanjut Khun
menjelaskan bahwa paradigma merupakan gambaran fundamental dari pokok bahasan
dalam ilmu pengetahuan. Ia menentukan apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa
yang harus diajukan, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diajukan,
dan aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang
diperoleh. Paradigma adalah unit terluas dari konsensus dalam ilmu pengetahuan
dan membedakan satu komunitas ilmiah dari yang lain. Ia memasukkan,
mendefinisikan, dan menghubungkan sejumlah contoh, teori dan metode serta
instrument yang ada didalamnya.
Pada karyanya itu, Kuhn mengemukakan
bahwa perkembangan ilmu tidak selalu berjalan linear. Oleh sebab itu,
perkembangan ilmu tidak benar jika dikatakan kumulatif. Penolakan Kuhn atas
ketidak kumulatifan perkembangan ilmu didasarkan atas hasil analisisnya
terhadap perkembangan ilmu itu sendiri. Khun menambahkan, perkembangan ilmu ternyata sangat berkaitan
dengan dominasi paradigma keilmuan yang muncul pada periode tertentu atau dalam
satu waktu.
Perbedaan paradigma dalam
mengembangkan pengetahuan menurut Kuhn, akan melahirkan pengetahuan yang
berbeda pula. Sebab bila cara berpikir (mode of thought) para ilmuwan
berbeda satu sama lain dalam menangkap suatu realitas, maka dengan sendirinya
pemahaman mereka tentang realitas itu juga menjadi beragam. Perbedaan paradigma
ini menurut George Ritzer disebabkan tiga faktor utama. Pertama, perbedaan pandangan filsafat yang mendasari pemikirannya. Kedua, sebagai konsekuensi logis dari
pandangan filsafat yang berbeda, maka teori-teori yang dibangun dan
dikembangkan masing-masing komunitas ilmuwan juga berbeda. Ketiga, metode yang digunakan untuk memahami dan menerangkan
substansi ilmu berbeda antar komunitas ilmuwan lain (2009, h.8).
Adanya keragaman paradigma pada
dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda
sejak zaman Yunani. Misalnya, pengetahuan yang didasarkan pada filsafat
idealisme tentu berbeda dengan materialisme, empirisme tentu akan berbeda
dengan rasionalisme, dan seterusnya. Ini terjadi karena setiap aliran filsafat
tentu memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki
ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Namun dengan
adanya perbedaan paradigma tidaklah selalu bersifat negatif, justru positif.
Sebab, dengan adanya perbedaan paradigma membuat keragaman skema konseptual pengembangan
pengetahuan semakin kaya, dan keragaman produk pengetahuan yang
termanifestasikan dalam menguraikan
pengetahuan ke dalam kerangka kerja teoritis, tingkat metode dan teknik.
Dengan
adanya relasi perbedaan paradigma dengan keragaman konseptual dan teori yang
dihasilkan, menandakan adanya dinamika dan dialektika ilmu pengetahuan. Senada
dengan hal ini, bagi Albert
Einstein ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang paling berguna dan
dimiliki manusia. Untuk itu, ilmu pengetahuan harus terus berkembang seiring peradaban manusia.
Paradigma sebagai kedinamisan keilmuan Sosiologi
Perbedaan paradigma itu khususnya
terjadi juga dalam keilmuan Sosiologi. Perbedaan itu terjadi pada dimensi obyek
kajian atau what is the subject matter of sociology. Dengan adanya perbedaan pandangan ini, Geoger Ritzer
menilai bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma (multiple
paradigm). Setiap paradigma memiliki obyek kajian, teori, metode analisa
yang berbeda. Meskipun masih banyak terjadi
perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu sosiologi. Namun menurut George
Ritzer secara garis besar ada tiga paradigma yang mendominasi dalam keilmuan Sosiologi,
yaitu (2010, h.697):
1.
Paradigma fakta sosial
Paradigma
ini merupakan sumbangsih dari pemikiran Durkheim yang didasarkan atas karyanya The Rules of Sociological Method dan Suicide. Paradigma fakta sosial
dirintis Durkheim sebagai antitesis atas tesis Comte dan Herbert Spencer. Comte
dan Herbert Spencer berpendapat bahwa dunia ide adalah pokok bahasan dalam Sosiologi.
Dengan tegas pendapat ini ditolak oleh Durkheim. Menurut Durkheim (1982) dunia ide bukanlah obyek riset dalam Sosiologi.
Sebab dunia ide itu hanyalah sebagai suatu konsepsi pikiran dan bukan sesuatu
yang dapat dipandang. Bagi Durkheim, pendapat Comte dan Herbert Spencer ini
menjerumuskan Sosiologi pada bidang filsafat dan tidak berdiri sendiri. Padahal
Sosiologi adalah ilmu yang berdiri sendiri dan lepas dari bidang filsafat.
Berangkat dari kritik Durkheim ini.
Akhirnya Durkheim membangun konsep fakta sosial sebagai dinding pemisah antara
obyek kajian Sosiologi dengan filsafat.
Durkheim mengklaim bahwa fakta sosial adalah barang yang nyata dan
bukanlah ide. Fakta sosial tidak dapat dipahami melalui kegiatan spekulatif
yang dilakukan dalam pemikiran manusia. Sebaliknya fakta sosial dipahami
melalui kegiatan penyusunan data nyata yang dilakukan di luar pemikiran
manusia.
Menurut Durkheim, pokok bahasan Sosiologi
haruslah mengenai studi fakta sosial. Pembahasan mengenai paradigma fakta
sosial terdiri dari struktur sosial, dan
institusi sosial seperti norma-norma, nilai, adat-istiadat, dan segala aturan
yang bersifat memaksa diluar kehendak manusia. Berarti struktur dan institusi sosial
beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu menjadi subject
matter Sosiologi. Dengan kata lain, para teoritisi yang menganut paradigma
fakta sosial memusatkan pada relasi antara struktur sosial dengan individu, dan
relasi institusi sosial dengan individu. Dengan kata lain, pendorong tindakan
individu pada analisis fakta sosial antara struktur dan institusi sosial
bersifat terpisah.
Pada studi fakta sosial, Durkheim
tidak hanya melihat sesuatu dalam konteks yang nyata saja atau materi.
Melainkan fakta sosial juga berkaitan dengan sesuatu diluar materi. Untuk
mempermudah memahaminya, Durkheim membagi ranah fakta sosial menjadi dua
bentuk, yaitu :
a.
Fakta sosial material, yang terdiri
dari sesuatu yang dapat dipahami, dilihat, dan diamati. Inti dari fakta sosial
material ini adalah sesuatu yang ada dunia nyata dan bukanlah imajinatif.
Misalnya, bentuk bangunan, hukum dan peraturan.
b.
Fakta sosial non-material,
sebenarnya dapat dikatakan suatu ekspresi
atau fenomena yang terkandung dalam diri manusia sendiri atas fakta sosial
materialnya, dan ini hanya muncul dalam kesadaran manusia. Misalnya, moralitas,
kesadaran, egoisme, altruisme, dan opini.
Dengan demikian, kajian fakta
sosial terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial,
peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Sedangkan teori
yang tergabung dalam paradigma ini yaitu, teori fungsionalisme struktural,
teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Namun yang dominan dari
teori ini yang biasa digunakan oleh para penganut fakta sosial, yaitu teori
fungsionalisme struktural, dan teori konflik.
Teori
fungsionalisme struktural
Pemikiran teori fungsionalisme
struktural lahir berkat sumbangan pemikiran biologis yang dikonsepkan oleh
Comte dan Herbert Spencer. Di mana masyarakat dianalogikan sebagai organisme
biologis. Maksudnya, masyarakat terdiri dari organ-organ yang saling bergantung
guna kebertahanan hidup. Kemudian lebih lanjut teori ini dikembangkan oleh
Durkheim. Karena pengaruh dari Comte dan Herbert Spencer, Durkheim mengonsepkan
teori sosiologinya dengan terminologi organisme.
Menurut
Durkheim, masyarakat merupakan sebuah kesatuan yang di mana didalamnya terdapat
bagian-bagian yang memiliki fungsinya masing-masing, dan saling menyatu dalam
keseimbangan. Untuk itu, teori ini lebih menekankan social order dan mengabaikan konflik
atau masyarakat bergerak dalam kondisi statis dan seimbang. Menurut George
Ritzer, konsep-konsep utama dari teori ini adalah fungsi, disfungsi, fungsi
laten, fungsi manifest dan keseimbangan. Adapun tokoh-tokoh dalam teori ini
antara lain, Durkheim, Talcott Parsons, Robert K. Merton, dan Herbert J. Gans.
Adapun kelemahan dari teori ini yaitu bersifat tertutup terhadap
proses terjadinya perubahan sosial, karena terlalu
menekankan order dan kemapanan
struktur sosial yang sudah formal. Kelemahan lainnya
adalah bahwa struktur fungsional mempertahankan status quo dan tidak membuka kepada
orang atau hal lain berperan. Keterlibatan non status quo dipandang sebagai ancaman
bagi masyarakat dan pemegang status
quo.
Teori
konflik
Teori
konflik merupakan teori yang lahir sebagai kritik atas teori fungsionalisme
struktural. Teori ini dikembangkan oleh Marx. Tokoh teori ini antara lain,
Marx, George Simmel, Lewis A. Coser, dan Ralf Dahrendorf. Menurut teori ini, masyarakat berada dalam
ketidakseimbangan yang selalu ditandai dengan adanya pertentangan atau konflik.
Jika teori fungsionalisme struktural memandang
keteraturan terjadi karena masyarakat terikat secara informal atas institusi
sosialnya, maka teori konflik memandang itu terjadi karena adanya pemaksaan
oleh pihak yang berkuasa.
Konsep
utama teori konflik yaitu dominasi, paksaan dan kekuasaan. Adapun kelemahan
dari teori
ini menolak keseimbangan dalam masyarakat dan terlalu menekankan
perubahan dalam konteks konflik.
Kemudian
untuk metode yang
digunakan dalam paradigma fakta sosial yaitu interviu-kuesioner. Menurut George Ritzer, untuk metode interviu-kuesioner
memang bersifat ironi. Sebab, metode ini tidak mampu menyajikan informasi yang
bersifat fakta sosial, atau informasi yang didapat lebih bersifat subyektif
dari informan. Walaupun begitu, bagi para penganut fakta sosial metode
interviu-kuesioner merupakan sesuatu metode yang cocok dalam penelitian empiris
mereka guna mendapatkan fakta-fakta sosial yang menjadi subject matter sosiologi.
2.
Paradigma definisi sosial
Paradigma
ini dilandasi analisa Weber tentang tindakan sosial (social action). Analisa Weber dengan Durkheim sangat terlihat
jelas. Jika Durkheim memisahkan struktur dan institusi sosial, sebaliknya Weber
melihat ini menjadi satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang penuh
arti atau makna. Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang mempunyai
makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang
lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek
fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan
sosial (dalam Ritzer, 2009, h. 38).
Menurut
Weber, mempelajari perkembangan pranata haruslah juga melihat tindakan manusia.
Sebab tindakan manusia merupakan bagian utama dari kehidupan sosial. Bagi
Weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan
sosial serta berbagai hubungan sosial sampai kepada penjelasan kausal. Untuk
itu, paradigma ini disebut juga sebagai sosiologi interpretatif(dalam Margaret Wetherell, 2019). Paradigma definisi sosial didukung oleh
beberapa teori, seperti teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori
fenomenologi, dan teori etnometodologi.
Teori aksi
Teori
aksi atau teori
bertindak pada awalnya dibangun berdasarkan pemikiran Weber, Durkheim dan
Pareto. Menurut Weber, individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas
pengalaman, persepsi, pemahaman dan atas suatu obyek stimulus atau situasi
tertentu. Di sini Weber melihat tindakan sosial berkaitan dengan interaksi
sosial. Sesuatu tidak akan dikatakan tindakan sosial jika individu tersebut
tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tersebut.
Dengan konsep rasionalitas, Weber
membagi beberapa macam tindakan sosial. Semakin rasional tindakan sosial
tersebut, maka semakin mudah memahaminya. Adapun pembagian tindakan sosial itu
terbagi menjadi empat macam, yaitu : Pertama
tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan yang ditentukan oleh
harapan-harapan yang memiliki tujuan untuk dicapai dan menentukan nilai dari
tujuan itu sendiri. Bila individu tersebut bertindak rasional maka tindakannya
pun dapat dipahami. Kedua rasionalitas
yang berorientasi nilai, yaitu tindakan yang didasari oleh kesadaran keyakinan
mengenai nilai-nilai yang penting seperti etika, estetika, agama, dan
nilai-nilai lainnya yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya.
Tindakan ini masih rasional meski tidak serasional tindakan pertama, sehingga
tindakannya masih dapat dipahami.
Ketiga tindakan afektif (affectual), yaitu tindakan yang
ditentukan oleh kondisi kejiwaan dan perasaan individu yang melakukannya.
Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya,
biasanya timbul secara spontan begitu mengalami suatu kejadian. Tindakan ini
sukar dipahami karena kurang rasional. Keempat
tindakan tradisional, yaitu tindakan yang didasarkan atas
kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging. Tindakan ini biasanya dilakukan
atas dasar tradisi atau adat istiadat secara turun-temurun. Tindakan ini pun
sukar dipahami karena kurang rasional bahkan tidak rasional.
Setelah
Weber, teori aksi berkembang ketika Sosiolog Amerika Charles Horton Cooley
membuktikan bahwa sesuatu yang mempunyai arti penting dalam kehidupan bermasyarakat
adalah “kesadaran subyektif”. Cooley juga membuktikan bahwa perasaan-perasaan
individual, sentimen, dan ide-ide merupakan faktor yang mendorong manusia untuk
berinisiatif atau mengakhiri tindakannya terhadap orang lain.
Sedangkan
Talcott Parsons menyatakan, bahwa penggunaan istilah “action” (aksi atau
tindakan) dimaksudkan untuk membedakan teori ini dengan teori perilaku, yang
menggunakan istilah “behavior” (perilaku atau tindakan yang dilakukan
berulang-ulang). “Aksi” menunjukkan adanya suatu aktivitas, kreativitas dan
proses penghayatan diri individu. Sedangkan “perilaku” menunjukkan adanya
penyesuaian mekanistik perilaku, sebagai respon terhadap stimulus (rangsangan)
dari luar. Menurut Parsons, teori perilaku
mengabaikan sifat kemanusiaan manusia dan subyektivitas tindakan manusia.
Sebaliknya, teori aksi sangat memperhatikan sifat kemanusiaan manusia dan
subyektivitas tindakan manusia.
Teori
aksi terus berkembang seiring banyaknya para sosiolog mengembangkan teori ini,
khususnya para sosiolog Amerika. Karya terkemukan yang menjadi rujukan dari
teori aksi antara lain, Florian Znaniecki melalui karyanya “The Method of
Sociology” (1934) dan “Social Actions” (1936), Robert Morrison
MacIver melalui karyanya “Sociology: Its Structure and Changes” (1931),
dan Talcott Parsons melalui karyanya “The Structure of Social Action”
(1937). Sekitar tahun 1940-an teori aksi mencapai puncak perkembangannya.
Karya-karya di atas kemudian menjadi
landasan Roscoe Hinkle untuk merumuskan
asumsi dari teori aksi. Menurut Roscoe Hinkle, tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek, dan dari
situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. Sebagai subyek, manusia
bertindak atau berperilaku tertentu dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Dalam
bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode, serta perangkat
yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan (lihat Ritzer, 2009, h.46).
Kelemahan dari teori ini, cenderung memfokuskan analisis pada level individu
dan mengabaikan faktor kolektivisme.
Teori
interaksionisme simbolik
Awal
sejarah munculnya teori interaksionis simbolik sebagai persfektif baru yang
dilatarbelakangi atas kemandekan aplikasi teori aksi. Landasan teori ini
didasarkan pada analisis Weber. Teori
interaksionis simbolik memfokuskan pada pembahasan individu yang terkait pada
hubungan antara simbol dan interaksi yang terjadi (interaksi sosial mikro).
Awalnya
teori ini dikembangkan di Universitas Michigan oleh John Dewey dan Charles Horton Cooley. Kemudian John Dewey
pindah mengajar ke Universitas Chicago. Kepindahan John Dewey diikuti dengan
mengembangkan teori interaksionis simbolik. Ternyata teori interaksionis
simbolik mendapat apresiasi yang sangat baik. Sehingga Universitas Chicago
dianggap sebagai tempat yang pertama kali berkembangnya teori interaksionis
simbolik. Maka teori ini juga dikenal sebagai aliran Chicago.
Dari John Dewey, teori interaksionis
simbolik kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa tokoh sosiolog
Amerika seperti William Isaac Thomas, George Herbert Mead, Herbert Blumer,
Robert E. Park, William James, Ernest Burgess, James Mark Baldwin, Manfred Kuhn
dan Kimball Young.
Prinsip
dasar dari teori ini yaitu, (a) manusia
pada dasarnya memiliki kemampuan berpikir, (b) kemampuan berpikir ini kemudian
dibentuk melalui interaksi sosial, (c) individu dalam setiap interaksi dengan
orang lain mempelajari makna dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan
kemampuan berpikirnya, (d) setiap individu dapat memodifikasi makna dan simbol
yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka atas
situasi yang ada, (e) setiap individu dapat menentukan tindakan apa yang
dilakukan setelah individu tersebut menafsirkan situasi, (f) dari interaksi ini
kemudian individu tersebut menciptakan kelompok dan masyarakat (Ritzer, 2010,
h.392-393). Adapun kelemahan dari teori ini adalah mengabaikan
pembahasan pada struktur sosial makro, seperti nilai-nilai, norma sosial, hukum, serta institusi sosial dan terlalu fokus pada
pembahasan interaksi sosial mikro, yaitu hubungan antar
pribadi.
Teori fenomenologi
Teori ini membahas mengenai
bagaimana kehidupan bermasyarakat itu terbentuk. Berangkat dari pandangan
Weber, Alfred Schultz sebagai seorang tokoh yang mengembangkan teori ini
memandang bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial bila manusia
memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu, dan manusia lain
memahami pula tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti.
Dengan kata lain, teori ini
berpendapat bahwa manusia atau individu bisa menciptakan dunia sosialnya
sendiri dengan memberikan arti kepada perbuatan-perbuatannya itu. Teori ini
muncul sebagai reaksi atas anggapan yang memandang bahwa manusia atau individu
dibentuk oleh kekuatan- kekuatan sosial yang mengitarinya. Untuk melakukan
studi fenomenologis orang harus tinggal dalam masyarakat yang bersangkutan agar
ia bisa menangkap arti fenomena sosial yang ada dalam masyarakat tersebut.
Teori
etnometodologi
Etnometodologi
merupakan cabang dari fenomenologi. Etnometodologi berusaha pengungkap realitas
dunia kehidupan dari individu atau masyarakat. Sekalipun etnometodologi oleh
beberapa pakar dipandang sebagai sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi,
etnometodologi sememiliki kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya
yaitu fenomenologi, interaksionis simbolik dan teori Talcott Parsons (Margaret
M. Poloma, 1994). Teori ini dikembangkan oleh Harold Garfinkel seorang dosen
sosiologi di Universitas California of Los Angeles (UCLA). Teori ini mulai
berkembang sekitar tahun 1950-an.
Sesudah
Grafinkel muncullah beberapa pakar yang mengembangkan studi etnometodologi di
antaranya Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, Don Zimmerman
dan D. Lawrence Wieder. Dari beberapa pakar ini, Jack Douglas yang dinilai paling lengkap pembahasan
etnometodologinya.
Etnometodologi
mempelajari dan berusaha menangkap arti dan makna kehidupan sosial suatu
masyarakat berdasarkan ungkapan-ungkapan atau perkataan-perkataan yang mereka
ucapkan baik secara eksplisit maupun implisit. Sementara Garfinkel menekankan,
pokok masalah etnometodologi tidak lain adalah pertukaran komunikasi yang di
dalam penelitian etnometodologis yang disebut proses – proses komunikasi menuju
saling memahami di antara para pelaku komunikasi (dalam Anthony Giddens, dan Jonathan
H. Turner, 2008, h.127). Menurut teori ini, seorang sosiolog tidak perlu
memberikan arti atau makna kepada apa yang dibuat oleh orang lain atau
kelompok, tetapi tugas sosiolog adalah menemukan bagaimana individu atau
masyarakat mengonstruksi kehidupan sosialnya dan mencoba menemukan bagaimana
mereka memberi arti atau makna kepada dunia sosialnya sendiri. Pada
pengaplikasian teori etnometodogi, Grafinkel berusaha menekankan pada kekuatan
pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi.
Pada
level metode penelitian. Metode penelitian empiris yang digunakan para penganut
paradigma definisi sosial cenderung ke arah metode observasi. Sebab menurut
penganut paradigma ini, dengan metode observasi akan didapatkan tindakan subyek
yang wajar, dan tidak dibuat-buat atau spontan. Metode ini terdiri dari empat
tipe teknik observasi yaitu, (a) participant observation, yaitu peneliti
tidak memberitahukan maksud dan tujuan penelitiannya kepada subyek yang
diamatinya atau bersifat tertutup, (b)
participant as observer, di sini peneliti memberitahukan maksud dan tujuan
penelitiannya kepada subyek yang ditelitinya atau bersifat terbuka, (c) observer as participant, yaitu
penelitian yang dilakukan dalam waktu singkat sehingga menuntut peneliti untuk
merencanakan penelitiannya secara sistematis dan teliti sebelum turun ke
lapangan penelitian, dan (d) complete observer, yaitu posisi
peneliti dalam mengamati subyek tidak berpartisipasi secara langsung dan dalam
hal ini subyek tidak menyadari bahwa dirinya sedang diamati. Variabel
penelitian ini bisa bersifat ndividual atau kelompok.
3.
Paradigma perilaku sosial
Paradigma ini memusatkan perhatian
pada hubungan antar individu dan hubungan individu dengan lingkungannya. Paradigma
ini menyatakan bahwa obyek studi sosiologi yang konkrit dan
realistis
adalah perilaku manusia atau individu yang tampak dan
kemungkinan
perulangannya. Menurut paradigma ini, tingkah laku seorang individu
mempunyai
hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhi ia dalam
bertingkah
laku. Tingkah laku manusia atau individu di sini lebih
ditentukan
oleh sesuatu diluar dirinya seperti norma-norma, nilai-nilai atau
struktur
sosialnya. Jadi dalam hal ini individu kurang sekali
memiliki
kebebasan.
Paradigma ini mengacu pada karya
psikolog Amerika Burrhus Frederic Skinner, salah satunya Beyond Freedom And Dignity. Menurut George Ritzer, Skinner mencoba
menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam sosiologi.
Karyanya meliputi spektrum yang sangat luas.
Teori, gagasan dan praktik yang dilakukannya telah memegang peranan
penting dalam pengembangan sosiologi behavior.
Pada
paradigma perilaku sosial, Skinner mencoba mengkritik apa yang menjadi obyek
dari paradigma fakta sosial dan definisi sosial. Obyek dari kedua paradigma ini
seperti struktur dan institusi sosial adalah sesuatu yang bersifat mistik atau
obyek hanya terjadi dalam pemikiran manusia. Dengan tegas Skinner menolak obyek
kedua paradigma ini. Bagi Skinner, obyek mistik itu justru menjauhkan sosiologi
dari obyek studi yang sebenarnya yaitu
sesuatu yang bersifat konkrit dan realistis. Skinner mengklaim bahwa
obyek perilaku manusia adalah obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis.
Teori yang tergabung dalam paradigma
ini yaitu teori behavioral sociology
dan teori pertukaran (exchange).
Teori behavioral sociology
Teori ini merupakan implementasi dari perpaduan obyek kajian
psikologi perilaku ke dalam sosiologi. Menurut George C. Homans, manusia di
dalam masyarakat tidak memiliki sifat selain yang diperolehnya dari, dan
mungkin juga dibentuknya sendiri, kaidah-kaidah tentang hakikat manusia secara
individu. Lebih lanjut Homans menambahkan, bahwa dalam fenomena sosial, susunan
penyebab-penyebabnya adalah kaidah yang sifatnya universal (dalam Anthony
Giddens, dan Jonathan H. Turner, 2008, h.103).
Inti fokus analisis teori ini pada hubungan kausal atas
perilaku individu. Teori ini menekankan adanya hubungan historis antara akibat
tingkah laku yang terjadi dalam lingkungan individu dengan tingkah laku yang
terjadi sekarang. Akibat dari tingkah laku yang terjadi di masa lalu apakah
mempengaruhi tingkah laku yang terjadi di masa sekarang.
Teori
pertukaran
Teori ini dikembangkan oleh George C. Homans. Di
mana teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwa semua kontak di antara manusia
bertolak dari skema memberi dan mendapatkan kembali
dalam jumlah yang sama. Secara garis besar Homans menyusun lima proposisi dari
teori ini yaitu,
1.
Semakin sering individu melakukan
suatu tindakan tertentu yang dinilainya membawa keuntungan atau manfaat, maka
semakin sering individu tersebut akan melakukan tindakan yang sama.
2.
Jika di masa lalu ada stimulus yang
di mana tindakan individu tersebut memperoleh ganjaran (positif), maka semakin
besar kemungkinan orang itu melakukan tindakan serupa.
3.
Semakin tinggi apresiasi yang
diberikan atas suatu tindakan individu, maka akan semakin sering individu
melakukan tindakan tersebut.
4.
Semakin sering seseorang menerima
satu ganjaran dalam waktu yang berdekatan, maka semakin kurang bernilai ganjaran
tersebut. Dalam hal ini unsur waktu memainkan peranan penting.
5.
Bila tindakan seseorang tidak
memperoleh ganjaran yang diharapkan atau menerima hukuman, maka akan timbul
perasaan emosi atau kecewa dalam diri individu tersebut. Sebaliknya bila seseorang
menerima ganjaran yang lebih besar dari apa yang dia harapkan, maka dia akan
merasa senang dan lebih besar kemungkinan dia akan terus melakukan perilaku
tersebut.
Sedangkan metode yang digunakan
dalam paradigma perilaku sosial menggunakan metode kuesioner, interviu dan
observasi. Namun praktiknya, para
penganut paradigma ini biasa menggunakan metode eksperimen untuk penelitiannya.
Variabel pada penelitian ini lebih ke individual
Paradigma integratif sebuah sintesis tiga paradigma
Seiring perkembangan analisis
tiga paradigma itu dengan berbagai macam perdebatannya mengenai subject
matter dari sosiologi. Menurut
George Ritzer, perlu adanya paradigma yang mengakomodasi penyatuan dari ketiga
paradigma ini. Sebab bagi George Ritzer, teramat sulit untuk memahami fenomena
sosial yang begitu kompleks. Melalui
bukunya Anthony Giddens pun menjelaskan perihal keterkaitan antar subject
matter sosiologi. Menurut Anthony Giddens, analisis mikro dan makro
masing-masing tidak berdiri secara terpisah, masing-masing justru membutuhkan,
meskipun harus tetap dibedakan (Anthony Giddens, 2010, h. xii).
Contoh nyata dari kelemahan
pandangan analisis satu posisi paradigma ini misalnya, analisis Marx sering
dinilai memusatkan pada struktur makro-obyektif–khususnya pada struktur ekonomi
kapitalis. Tetapi dengan menggunakan skema yang mempunyai berbagai tingkat
analisis sosial memungkinkan para ilmuwan sosial dapat melihat bahwa Marx
mempunyai wawasan yang kaya mengenai semua tingkat realitas sosial dan antar
hubungan berbagai realitas sosial itu. Begitu pula interaksionis simbolik
umumnya dianggap sebagai perspektif yang berurusan dengan mikro-subyektif dan
mikro-obyektif, tetapi tidak menutup kemungkinan ilmuwan sosial dapat mengetahui sesuatu yang makro. Sama
halnya dengan menganalisis pemikiran Levi Strauss, yang di mana masyarakat
dipadankan dengan bahasa. Justru melalui bahasa, kita akan terbantu untuk
mengetahui beberapa karakteristik kegiatan masyarakat secara keseluruhan.
Berangkat
dari perdebatan paradigma ini. George Ritzer berusaha mengetengahkan masalah
ini dengan mengajukan konsep paradigma integratif. Maksudnya adalah
menggabungkan subject matter dari
ketiga paradigma ini, yang meliputi semua tingkatan realitas, baik tingkat
makro-obyektif seperti masyarakat, hukum, birokrasi, dan bahasa, tingkat
makro-subyektif seperti nilai, norma, dan budaya, tingkat mikro-obyektif
seperti pola perilaku, tindakan, dan interaksi, dan tingkat mikro-subyektif
seperti persepsi, dan keyakinan.
Ketiga
paradigma ini memang berbeda subject matter-nya, namun sesungguhnya
saling memperkaya analisis. Meski
masing-masing ketiga paradigma yang ada itu menjelaskan satu tingkat realitas
sosial tertentu, dan paradigma integratif berusaha menjelaskan semua tingkat. Namun
kelemahan pada paradigma integratif terletak pada tingkat kedalaman
analisisnya. Paradigma integratif dalam menjelaskan tingkat realitas tidak
sedalam analisis pada masing-masing paradigma yang ada. Untuk itu, dalam
menentukan suatu paradigma ditentukan dari pertanyaan penelitian yang diajukan.
Hal ini berarti bahwa tidak semua masalah sosiologi memerlukan pendekatan
integratif, namun bisa juga fokus pada salah satu paradigma.
Penerapan
paradigma integratif ini dapat kita temukan pada analisis Peter Ludwig Berger
dan Thomas Luckman (Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckman, 1990). Melalui “The Social Construction of Reality: A
Treatise in the Sociology of Knowledge
(Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan)” yang
ditulisnya pada tahun 1966. Peter L. Berger dan Thomas Luckman melihat bahwa
manusia dan masyarakat merupakan produk yang dialektis (tesis Marx). Maka keduanya bukanlah sesuatu realitas
tunggal yang stagnan dan absolut. Untuk itu, realitas memiliki dimensi
subyektif dan obyektif (tesis Schutz).
Dualitas realitas ini menunjukkan bahwa
manusia merupakan instrumen dalam menciptakan ‘realitas yang obyektif’ (tesis
Durkheim) melalui proses eksternalisasi, sebagaimana dia memengaruhinya melalui
proses internalisasi yang mencerminkan ‘realitas yang subjektif’ (tesis Weber).
Analisis Peter L. Berger dan Thomas Luckman dilandasi dari berbagai penyatuan
paradigma yang ada pada sosiologi. Peter L. Berger dan Thomas Luckman bersandar
dengan berbagai pemikiran seperti Durkheim, Marx, Weber, dan Schutz. Analisis
ini kemudian dikenal sebagai teori konstruksi sosial.
Tokoh
selanjutnya yang menerapkan paradigma integratif yaitu Anthony Giddens. Karya
Anthony Giddens “The Constitution of Society (1984)” merupakan sumbangsih besar
bagi penyelesaian perdebatan pada kajian ilmu sosial. Awal lahirnya
karya Anthony Giddens ini dilatarbelakangi perbedaan pandangan subyek matter pada kajian ilmu sosial.
Perbedaan ini melihat bahwa struktur (makro) adalah yang lebih berperan
dibandingkan dengan individu (mikro), yang oleh Anthony Giddens disebut agen.
Anthony Giddens berusaha menjadi penengah dengan menunjukkan bahwa yang
terpenting bukanlah agen ataupun struktur, melainkan interaksi keduanya.
Pemikiran Anthony Giddens ini kemudian dikenal dengan nama teori strukturasi (Lihat
Teori Strukturasi: Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat,2010).
Peter
L. Berger dan Thomas Luckman serta
Anthony Giddens merupakan sosiolog yang berusaha menjembatani ketegangan antara
subyektivisme dan obyektivisme, antara makro dan mikro, dan antara voluntarisme
dan determinisme. Keduanya berusaha mencari pertautan antara mentalitas dan struktur. Kiranya inilah pandangan
paradigma integratif yang dapat juga dikatakan sebagai paradigma “jalan
tengah”. Paradigma ini berusaha menawarkan perpaduan berbagai paradigma sesuai
dengan tingkat kebutuhan analisis dari ilmuwan sosial tersebut.
Kiranya
pemaparan singkat di atas mengenai berbagai paradigma Sosiologi dapat menjadi
jembatan untuk masuk dalam pintu pengetahuan Sosiologi. Walaupun kategori
paradigma Sosiologi masih terus menjadi diskursus ilmiah, namun disinilah letak
keasyikan rimbah Sosiologi. Sosiologi membuat kepala berputar, tetapi
memberdayakan isi kepala dan imajinasi bagi yang bergulat didalamnya.
*diterbitkan dalam Jurnal Komunitas Vol. 6, No. 2, Desember 2012
REFERENSI BACAAN
Berger,
Peter Ludwig dan Thomas Luckman. Tafsir
Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta:
LP3ES, 1990).
Durkheim, Emile.
The Rules of Sociological Method. (New
York: The Macmillan Press, 1982)
Giddens,
Anthony, dan Jonathan H. Turner (ed). Social
Theory Today: Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial, diterjemahkan
oleh Yudi Santoso. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Giddens,
Anthony. Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah
Baru. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Giddens,
Anthony. Teori Strukturasi; Dasar-dasar
Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010).
Khun,
Thomas.The Structure Of Scientific
Revolution: Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, diterjemahkan oleh Tjun
Surjaman. (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2000)
Poloma,
Margaret M.. Sosiologi Kontemporer. (Jakarta:
Rajawali Pers, 1994)
Ritzer,
Geoger. Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2009)
Ritzer,
George. Teori Sosiologi Modern.
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010)
Samuel,
Hanneman, Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial
Indonesia, dari Kolonialisme Belanda hingga Modernisme Amerika, (Jakarta:
Kepik Ungu, 2010)
Turner, Bryan
S.. The Cambridge Dictionary ofSociology.
(New York: Cambridge University Press, 2006)
Upe,
Ambo, Tradisi Aliran Dalam Sosiologi,
Dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010)
Wetherell, Margaret. Theorizing Identities And Social Action. (NY: Palgrave Macmillan,
2009)