Sterilitas Budaya Ilmiah Di Kalangan Mahasiswa
Oleh : Syaifudin
Oleh : Syaifudin
Romantisme pasca reformasi banyak menciptakan budaya-budaya baru di kalangan mahasiswa dalam tatanan pergulatan ke-intelektualan ilmiah. Semua berpacu dalam persaingan yang kompetitif. Seperti terhipnotis dengan kultur normalisasi kegiatan kampus yang dulu di aktifkan pada masa rezim orde baru. Kini romantisme itu terimpresi dalam stereotif sterilitas budaya kekritisan mahasiswa. Sterilitas itu terjadi dalam tatanan di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta.
Mahasiswa yang diagung-agungkan menjadi generasi penerus bangsa ini jauh dari kesan yang diharapkan. Kultur Ilmiah bukan lagi menjadi ciri khas di Fakultas ini. Jarang kita menjumpai komunitas mahasiswa yang hobi berdiskusi, serta mencoba hal-hal baru yang positif.. Tampak mahasiswa kehilangan jiwa penalaran ilmiah, kritisisme dan kepekaan akan isu yang faktual untuk didiskusikan secara bersama dan dicari pemecahan masalah secara inkuiri. Seakan semua terbuai dengan fatamorgana kuliah, dalam arti sempit. Padahal kuliah tidak hanya sebatas di ruang kuliah saja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gie, “Tugas intelektual bagi saya adalah justru mencari kontak dan mendorong elemen-elemen dalam segala lapisan masyarakat untuk bergerak dan berontak terhadap situasinya. Dalam persfektif Gie semua itu paradoksal dengan mahasiswa yang ada di Fakultas Ilmu Sosial.
Ada pergeseran gaya hidup dalam kehidupan kampus yang dimana mahasiswa sebagai aktor dari sistem kuliah yang ada. Jiwa hedonisme, individualistis, pragmatis, dan instanisasi terinternalisasi dalam pola pemikiran mahasiswa. Tidak ada lagi usaha-usaha intelektual untuk mencari cita-cita bersama yang penuh dengan kontemplasi. Hingga bisa menuju masyarakat yang homeostatis. Kalaupun ada, jumlahnya tidak signifikan. Salah satu komunitas penalaran ilmiah yang terlihat eksistensinya adalah Diskusi Kamis Sore (DKS). Yang di mobilisir mahasiswa Sosiologi.
Akan tetapi eksistensinya masih kurang di apreasiasi oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, khususnya mahasiswa Sosiologi sendiri. Esensial kuliah bukan lagi menjadi kebutuhan mahasiswa, tetapi hanya keinginan sesaat untuk menjalani hidup dengan harapan masuk ketatanan tingkatan status yang lebih baik lagi. Tidak ada apresiasi semangat yang terinternalisasi untuk mengubah ketimpangan struktur sosial kehidupan intelektual. Ketika daya kritis tak lagi membuana dalam kehidupan kuliah, maka proses kemiskinan intelektual menjadi sebuah niscayaan yang tersistem. Mahasiswa terbelenggu dalam rutinitas kuliah, sehingga teralienasi dalam pola pikirnya. Inilah yang menjadi regresisasi prestasi penalaran Ilmiah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial. James A. Froude pernah mengatakan ; Kita tidak bisa sekadar mendambakan diri menjadi seseorang, tapi kita harus menempa dan mendorong diri kita untuk bisa menjadi seseorang tersebut.
Persepsi pragmatisme mahasiswa yang hanya mementingkan kepentingan sesaat pada akhirnya memsterilitas gerakan sosial kampus. Hal itu diperparah dengan konsumerisme kapital yang terus berekspansi, mengebiri potensi-potensi unggul mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, sehingga menambah regresisasi kultur kreatif-ilmiah-akademik di kampus..
Selain itu, motivasi mahasiswa turut memengaruhi gejala kelesuan kultur kritis mahasiswa. Dulu yang kuliah adalah mahasiswa yang mempunyai arah tujuan yang visioner. Akan tetapi esensial kuliah sekarang hanya sebatas tren dari gaya hidup yang terwesternisasi. Hal ini yang menyebabkan mahasiswa kurang memahami makna dari kuliah itu. Jika mereka memahami arti kuliah secara reflektif, pasti mereka akan bersungguh-sungguh menempa dirinya selama dalam tatanan kehidupan kampus.
Bagi mahasiswa yang kurang memahami makna kuliah, pada akhirnya belajar hanya sebatas memenuhi orientasi jangka pendek. Setelah kuliah, wisuda, kemudian kerja. Sementara itu, problem-problem sosial bukan menjadi tugas utama yang harus diselesaikan. Dalam hal ini Talcott Parsons, seorang Sosiolog modern mengklasifikasikan bentuk tindakan ini self-orientation. Yang dimana suatu hubungan ( tindakan ) seseorang berorientasi pada kepentingan diri-sendiri.
Individualistis mahasiswa ini muncul akibat tuntutan pasar yang kapitalis. Mahasiswa lebih tertarik untuk menekuni dunia kerja ketimbang harus menjadi pionir dalam gerakan sosial. Untuk itu mahasiswa kurang meminati kultur ilmiah yang abstrak dan kurang menjanjikan secara ekonomis.
Kultur Penalaran Ilmiah sebagai identitas Fakultas Ilmu Sosial
Fakultas Ilmu Sosial sepertinya kehilangan generasi kritis yang bermental ilmiah. Yang ada adalah kaum terdidik yang tunduk pada rekayasa sosial, bukan yang memperbaikinya. Oleh karena itu untuk menumbuhkan kembali kultur intelektual ilmiah, dalam hal ini dunia penalaran. Para stake holder Fakultas Ilmu Sosial harus membuat suatu kebijakan yang kontruksional di dalam dunia penalaran ilmiah mahasiswa.
Setiap kebijakan pendidikan seharusnya lebih mendukung berkembangnya situasi akademik yang ilmiah, tidak hanya pembangunan fisik semata, tapi juga membangun iklim yang dapat mendorong terciptanya kultur ilmiah yang menciptakan para pemikir yang kritis dan solutif. Salah satu contohnya mengadakan perlombaan karya tulis ilmiah atau esai. Yang nantinya akan melahirkan para esais-esais yang nantinya dapat mengangkat citra Fakultas pada ajang perlombaan, baik intern maupun ekstern Fakultas dan Universitas. Jika di analogikan mahasiswa sebagai atlet, maka sebagai mana yang dikatakan Menpora RI Adyaksa Daut, bahwa atlet tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi ada proses dalam penciptaannya. Untuk itu budaya ilmiah dalam dunia penalaran harus disemai sejak dini dan di apresiasi dengan dukungan dari semua sivitas akademika Fakultas Ilmu Sosial.
Selain itu pembentukan komunitas ilmiah dalam dunia penalaran menjadi agenda penting dalam menumbuhkan minat penalaran ilmiah mahasiswa. Sehingga kultur penalaran ilmiah nantinya bisa menjadi identitas dari Fakultas Ilmu Sosial itu sendiri. Serta orientasi tujuan kuliah juga perlu ditanamkan secara arti luas. Maksudnya agar kegiatan kuliah tidak dimaknai sebagai kegiatan mengisi waktu belaka, tapi bisa dimaknai sebagai bagian yang terintegrasi dari upaya membangun nasionalisme bangsa, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Tanpa adanya komunitas penalaran ilmiah dan dukungan yang baik dalam bidang penalaran ini, sterilitas akan terus melanda civitas akademik Fakultas Ilmu Sosial. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, bahwa tujuan pendidikan nasional antara lain, menciptakan manusia yang berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kita semua tahu bahwa kampus adalah tempat dilahirkannya manusia-manusia yang visioner. Hal itu senada dengan motto dari Universitas Negeri Jakarta sendiri, yaitu “ Building Future Leaders “. Yang artinya mempersiapkan pemimpin masa depan. Di tangan mahasiswalah harapan masa depan dipertaruhkan menjadi sebuah estafet dari developmentalisme negara menuju masyarakat yang madani sejahtera baik secara fisik maupun humanistis. Dengan bekal kultur penalaran ilmiah yang terinternalisasi oleh semua civitas akademik Fakultas Ilmu Sosial, maka Fakultas Ilmu Sosial diharapkan bisa melebarkan sayapnya dalam persaingan-persaingan yang akademis kedepannya nanti menuju Fakultas terbaik.
Referensi :
1. Santoso, Agus. 2005. Memoar Biru Gie. Yogyakarta : Gradien Books.
2. Drost. J. 2003. Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
3. Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas E konomi Universitas Indonesia.
Mahasiswa yang diagung-agungkan menjadi generasi penerus bangsa ini jauh dari kesan yang diharapkan. Kultur Ilmiah bukan lagi menjadi ciri khas di Fakultas ini. Jarang kita menjumpai komunitas mahasiswa yang hobi berdiskusi, serta mencoba hal-hal baru yang positif.. Tampak mahasiswa kehilangan jiwa penalaran ilmiah, kritisisme dan kepekaan akan isu yang faktual untuk didiskusikan secara bersama dan dicari pemecahan masalah secara inkuiri. Seakan semua terbuai dengan fatamorgana kuliah, dalam arti sempit. Padahal kuliah tidak hanya sebatas di ruang kuliah saja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gie, “Tugas intelektual bagi saya adalah justru mencari kontak dan mendorong elemen-elemen dalam segala lapisan masyarakat untuk bergerak dan berontak terhadap situasinya. Dalam persfektif Gie semua itu paradoksal dengan mahasiswa yang ada di Fakultas Ilmu Sosial.
Ada pergeseran gaya hidup dalam kehidupan kampus yang dimana mahasiswa sebagai aktor dari sistem kuliah yang ada. Jiwa hedonisme, individualistis, pragmatis, dan instanisasi terinternalisasi dalam pola pemikiran mahasiswa. Tidak ada lagi usaha-usaha intelektual untuk mencari cita-cita bersama yang penuh dengan kontemplasi. Hingga bisa menuju masyarakat yang homeostatis. Kalaupun ada, jumlahnya tidak signifikan. Salah satu komunitas penalaran ilmiah yang terlihat eksistensinya adalah Diskusi Kamis Sore (DKS). Yang di mobilisir mahasiswa Sosiologi.
Akan tetapi eksistensinya masih kurang di apreasiasi oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, khususnya mahasiswa Sosiologi sendiri. Esensial kuliah bukan lagi menjadi kebutuhan mahasiswa, tetapi hanya keinginan sesaat untuk menjalani hidup dengan harapan masuk ketatanan tingkatan status yang lebih baik lagi. Tidak ada apresiasi semangat yang terinternalisasi untuk mengubah ketimpangan struktur sosial kehidupan intelektual. Ketika daya kritis tak lagi membuana dalam kehidupan kuliah, maka proses kemiskinan intelektual menjadi sebuah niscayaan yang tersistem. Mahasiswa terbelenggu dalam rutinitas kuliah, sehingga teralienasi dalam pola pikirnya. Inilah yang menjadi regresisasi prestasi penalaran Ilmiah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial. James A. Froude pernah mengatakan ; Kita tidak bisa sekadar mendambakan diri menjadi seseorang, tapi kita harus menempa dan mendorong diri kita untuk bisa menjadi seseorang tersebut.
Persepsi pragmatisme mahasiswa yang hanya mementingkan kepentingan sesaat pada akhirnya memsterilitas gerakan sosial kampus. Hal itu diperparah dengan konsumerisme kapital yang terus berekspansi, mengebiri potensi-potensi unggul mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, sehingga menambah regresisasi kultur kreatif-ilmiah-akademik di kampus..
Selain itu, motivasi mahasiswa turut memengaruhi gejala kelesuan kultur kritis mahasiswa. Dulu yang kuliah adalah mahasiswa yang mempunyai arah tujuan yang visioner. Akan tetapi esensial kuliah sekarang hanya sebatas tren dari gaya hidup yang terwesternisasi. Hal ini yang menyebabkan mahasiswa kurang memahami makna dari kuliah itu. Jika mereka memahami arti kuliah secara reflektif, pasti mereka akan bersungguh-sungguh menempa dirinya selama dalam tatanan kehidupan kampus.
Bagi mahasiswa yang kurang memahami makna kuliah, pada akhirnya belajar hanya sebatas memenuhi orientasi jangka pendek. Setelah kuliah, wisuda, kemudian kerja. Sementara itu, problem-problem sosial bukan menjadi tugas utama yang harus diselesaikan. Dalam hal ini Talcott Parsons, seorang Sosiolog modern mengklasifikasikan bentuk tindakan ini self-orientation. Yang dimana suatu hubungan ( tindakan ) seseorang berorientasi pada kepentingan diri-sendiri.
Individualistis mahasiswa ini muncul akibat tuntutan pasar yang kapitalis. Mahasiswa lebih tertarik untuk menekuni dunia kerja ketimbang harus menjadi pionir dalam gerakan sosial. Untuk itu mahasiswa kurang meminati kultur ilmiah yang abstrak dan kurang menjanjikan secara ekonomis.
Kultur Penalaran Ilmiah sebagai identitas Fakultas Ilmu Sosial
Fakultas Ilmu Sosial sepertinya kehilangan generasi kritis yang bermental ilmiah. Yang ada adalah kaum terdidik yang tunduk pada rekayasa sosial, bukan yang memperbaikinya. Oleh karena itu untuk menumbuhkan kembali kultur intelektual ilmiah, dalam hal ini dunia penalaran. Para stake holder Fakultas Ilmu Sosial harus membuat suatu kebijakan yang kontruksional di dalam dunia penalaran ilmiah mahasiswa.
Setiap kebijakan pendidikan seharusnya lebih mendukung berkembangnya situasi akademik yang ilmiah, tidak hanya pembangunan fisik semata, tapi juga membangun iklim yang dapat mendorong terciptanya kultur ilmiah yang menciptakan para pemikir yang kritis dan solutif. Salah satu contohnya mengadakan perlombaan karya tulis ilmiah atau esai. Yang nantinya akan melahirkan para esais-esais yang nantinya dapat mengangkat citra Fakultas pada ajang perlombaan, baik intern maupun ekstern Fakultas dan Universitas. Jika di analogikan mahasiswa sebagai atlet, maka sebagai mana yang dikatakan Menpora RI Adyaksa Daut, bahwa atlet tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi ada proses dalam penciptaannya. Untuk itu budaya ilmiah dalam dunia penalaran harus disemai sejak dini dan di apresiasi dengan dukungan dari semua sivitas akademika Fakultas Ilmu Sosial.
Selain itu pembentukan komunitas ilmiah dalam dunia penalaran menjadi agenda penting dalam menumbuhkan minat penalaran ilmiah mahasiswa. Sehingga kultur penalaran ilmiah nantinya bisa menjadi identitas dari Fakultas Ilmu Sosial itu sendiri. Serta orientasi tujuan kuliah juga perlu ditanamkan secara arti luas. Maksudnya agar kegiatan kuliah tidak dimaknai sebagai kegiatan mengisi waktu belaka, tapi bisa dimaknai sebagai bagian yang terintegrasi dari upaya membangun nasionalisme bangsa, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Tanpa adanya komunitas penalaran ilmiah dan dukungan yang baik dalam bidang penalaran ini, sterilitas akan terus melanda civitas akademik Fakultas Ilmu Sosial. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, bahwa tujuan pendidikan nasional antara lain, menciptakan manusia yang berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kita semua tahu bahwa kampus adalah tempat dilahirkannya manusia-manusia yang visioner. Hal itu senada dengan motto dari Universitas Negeri Jakarta sendiri, yaitu “ Building Future Leaders “. Yang artinya mempersiapkan pemimpin masa depan. Di tangan mahasiswalah harapan masa depan dipertaruhkan menjadi sebuah estafet dari developmentalisme negara menuju masyarakat yang madani sejahtera baik secara fisik maupun humanistis. Dengan bekal kultur penalaran ilmiah yang terinternalisasi oleh semua civitas akademik Fakultas Ilmu Sosial, maka Fakultas Ilmu Sosial diharapkan bisa melebarkan sayapnya dalam persaingan-persaingan yang akademis kedepannya nanti menuju Fakultas terbaik.
Referensi :
1. Santoso, Agus. 2005. Memoar Biru Gie. Yogyakarta : Gradien Books.
2. Drost. J. 2003. Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
3. Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas E konomi Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar