Fenomena
Sosial Kehidupan Warga Miskin Pemukiman
Kumuh di Ibu Kota
(Studi
Kasus: Kehidupan Pemukiman Kumuh di derah Pulo Mas, Jakarta Timur)
Oleh: Syaifudin
Kata-kata miskin dan kemiskinan
hampir selalu menjadi alasan (bahkan dikategorikan penghambat) pembangunan.
Indikator pembangunan sering kali dikaitakan dengan data-data tentang
kemiskinan. Miskin atau kemiskinan mempunyai nilai jual atau posisi tawar yang
tinggi. Dalam kenyataannya, kemiskinan menjadi kata kunci untuk melaksanakan
program besar pembangunan yang justru menguntungkan penguasa atau (elite).
Program pembangunan pengentasan kemiskinan semakin gencar tatkala angka
kemiskinan penduduk Indonesia cukup tinggi.[1]
Kemiskinan adalah fenomena sosial
yang kompleks, berdimensi majemuk, dan tidak mudah untuk dijabarkan secara
definitif. Lembaga-lembaga yang berkepentingan untuk hal ini seperti Bank Dunia
dan Badan pusat Statistik menjelaskan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk
memnuhi standar kebutuhan hidup tertentu. Sementara itu, ilmuan Indonesia
seperti Soetandyo Wignjosebroto mengajukan teori kemiskinan struktural di mana
kemiskinan dipahami sebagai sebuah konsekuensi logis dari kondisi struktur atau
tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan. Penjelasan kemiskinan yang majemuk
adalah konsekuensi dari kompleksitas fenomena tersebut. Pada gilirannya hal ini
mempengaruhi metode pengukuran dan kebijakan yang diambil untuk mengatasi
maslah kemiskinan.[2]
Kemiskinan merupakan masalah
sosial yang tidak dapat dibilang mudah untuk mengatasinya. Upaya yang dilakukan
oleh pemerintah sudah cukup banyak, namun hasilnya tetap saja ada pemukiman
kumuh masyarakat miskin di pinggir bahkan ditengah kota Jakarta, karena program
pemerintah yang ada kembali lagi untuk kepentingan kaum elit. Ironisnya
pemukiman ini bahkan terletak di belakang gedung-gedung tinggi yang berada di
tengah kota Jakarta. Dalam pemberantasan pemukiman kumuh ini, sering kali
terjadi penggusuran di daerah-daerah tertentu, akan tetapi hal itu bukanlah
sebuah solusi karena yang terjadi akibat dari penggusuran adalah akan terbentuk
pemukiman baru di tempat yang lain. Hal itu bukanlah upaya untuk mengentaskan
kemiskinan terutama masalah tentang pemukiman kumuh karena sebenarnya upaya itu
hanya memindahkan kemiskinan di daerah satu ke daerah lain.
Melihat fenomena kemiskinan
tersebut hal ini di sebabkan oleh kurangnya lapangan kerja dan minimnya
pendidikan serta keahlian yang dimiliki masyarakat. Ketidakmerataan pembangunan
nasional terutama di daerah pedesaan juga hal yang mempengaruhi munculnya
fenomena kemiskinan di daerah ibu kota. Sehingga penduduk melakukan urbanisasi
dan mencoba hidup di kota dengan membentuk suatu pemukiman tersendiri. Dalam
pemukiman itu masyarakat tidaklah merasa risih dengan keadaan lingkungan
mereka, yang terpenting adalah bagaimana mereka dapat bertahan hidup dan
memiliki tempat tinggal.
Pemukiman
kumuh yang berada di derah Pulo Mas, Jakarta Timur
Daerah Pulo Mas, Jakarta Timur
terdapat pemukiman kumuh. Letak perkampungan ini yang menempati lahan
pemerintah membuat masyarakat yang tinggal di daerah ini tidak memiliki
bangunan tetap (permanen). Hal ini
dikarenakan masyarakat harus siap, jika sewaktu-waktu pemerintah melakukan
penggusuran lahan. Masyarakat yang tinggal di derah ini juga rata-rata bukanlah
penduduk jakarta asli, tetapi orang-orang yang datang dari desa ke kota
seperti, Indramayu, Kuningan, Cirebon, dan bahkan ada yang dari Lampung.
Di sana terdapat
masyarakat-masyarakat dengan keadaan ekonomi yang minim dengan berbagai macam
pekerjaan yang digeluti masyarakatnya. Kebanyakan masyarakat di sana bekerja
sebagai pengumpul barang rongsok, pedagang kaki lima,buruh pabrik dan para
waria yang bekerja sebagai pengamen atau sebagai pekerja tuna susila. Bahkan
tidak dipungkiri ada yang menggeluti pekerjaan sebagai pencopet atau pencuri.
Tidak dapat disalahkan juga tuntututan ekonomi membuat mereka bekerja dengan berbagai
profesi seperti itu, yang penting adalah bagaimana mereka dapat memnuhi
kebutuhan hidupnya dan mengisi perut mereka. Meskipun demikian, hal ini
bukanlah sesuatu yang dianggap tidak wajar, bahkan merupakan pekerjaan yang
dianggap umum dalam lingkungan tempat tinggal mereka.
Sifat dasar
manusia dan alienasi)
Ketika berbicara tentang sifat
dasar umum kita, Marx sering menggunakan istilah species being. Yang dia maksud adalah potensi-potensi dan
kekuatan-kekuatan yang unik yang membedakannya dari species lain. Ide-ide
tentang sifat dasar manusia, seperti ketamakan, kecendrungan pada kekerasan,
perbedaan gender “alamiah” kita-sering digunakan untuk menentang perubahan
sosial apapun. Konsepsi-konsepsi sifat dasar manusia itu konservatif.
Jika problem-problem kita
disebabkan oleh sifat dasar kita, maka kita lebih baik belajar untuk
membiasakan diri untuk mencoba mengubah segala sesuatu.[3] Begitu
pula yang penulis lihat pada masyarakat miskin yang tinggal di pemukiman kumuh,
atas dasar sifat manusia itulah mereka tidak peduli pada keadaan tempat tinggal
mereka. Asalkan dapat memenuhi apa yang mereka inginkan mereka tidak sungkan
untuk bekerja dengan profesi apapaun, sekalipun mereka bekerja dengan berbagai
resiko yang dihadapainya. Seperti pencopet atau pencuri mereka yang bekerja
dengan menggeluti profesi itu tidak sungkan melakukan kekerasan, karena kembali
lagi pada tuntutan hidup mereka.
Bagi Marx, kerja adalah
pengembangan-pengembangan kekuatan dan potensi-potensi kita yang sebenarnya.
dengan mentransformasikan realitas material agar sesuai dengan tujuan kita,
kita juga mentransformasikan diri kita sendiri. Marx menganalisis bentuk yang aneh
bahwa hubungan kita dengan kerja kita berada dibawah kapitalisme. Kita tidak
lagi melihat kerja kita sebagai sebuah ekspresi dari tujuan kita.
Di dalam kapitalisme, kerja tidak
lagi menjadi tujuan pada dirinya sendiri, sebagai ungkapan dari kemampuan dan
potensi kemanusiaan, melainkan tereduksi menjadi sarana untuk mencapai tujuan,
yaitu memperoleh uang.[4]
Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa saat ini kapitalisasi di dunia
menimbulkan dampak kemiskinan untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Seperti yang terjadi pada masyarakat miskin (proletar) segala aktivitas yang
dilaluinya bukan untuk tujuan hidup dan cita-cita yang lainnya, apa yang mereka
lakukan tiap hari adalah bagaimana mereka mendapatkan uang. Kegiatan sosial
lain dan pendidikan sama sekali tidak terpikirkan oleh mereka untuk dilakukan. Hal
ini membuat mereka juga teralienasi dari dunia luar maupun dengan diri mereka
sendiri, mereka hanya terpaku pada aktivitas yang sama setiap harinya.
Melihat fenomena tersebut dapat
disimpulkan yang terjadi pada masyarakat pada pemukiman tersebut sesuai dengan
perkataan Marx, yaitu manusia hanya merasa aktif di dalam fungsi-fungsi
hewaniahnya. Makan, minum, punya keturunan-semetara di dalam proses kerjanya,
mereka tidak lagi merasa diri mereka menjadi apa-apa selain menjadi binatang.
Betapa binatang telah menjadi manusia, dan betapa manusia telah menjadi
binatang. Tentu saja makanan, minuman, punya keturunan, dan sebagainya juga
merupakan fungsi-fungsi dasar yang manusiawi, akan tetapi terpisah dari jangkauan
seluruh aktifitas kemanusiaan yang lain dan beralih kepada tujuan yang tunggal
dan mendasar yang merupakan fungsi-fungsi kebinatangan.[5]
Keterasingan yang dialami pada
masyarakat pemukiman kumuh Pulo Mas membuat mereka menjadi merasa pekerjaan yang
mereka geluti bukanlah sebagai sebuah kebanggaan memberi kepuasan untuk
dirinya, melainkan membuat mereka merasa terasingkan dari pekerjaannya,
dirinya, keluarganya bahkan lingkungan sosial mereka. Pekerjaan yang mereka
lakukan membuat mereka sibuk mencari nafkah dalam fungsi pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Pekerjaan yang mereka lakukan membentuk keterasingan pada diri mereka
sendiri. Keterasingan yang terjadi dari diri individu dalam masyarakat itu
dapat terjadi ketika dalam kehidupan yang mereka tegur sapa antar tetangga di
lingkungan mereka semakin berkurang, anak-anak dari mereka juga masih banyak
yang tidak mengenal pendidikan sebagai penghubung mereka dengan dunia luar.
Berikut adalah data hasil
wawancara dengan beberapa narasumber yang penulis temui:
Identitas Narasumber[6]
No
|
Nama
|
Pekerjaan
|
Usia
|
Asal
|
1
|
Bapak Atam
|
Pemulung
|
43 tahun
|
Indramayu
|
2
|
Ibu Ayi
|
Pengumpul barang rongsok
|
30 tahun
|
Cirebon
|
3
|
Asep
|
Pedagang kaki lima
|
24 tahun
|
Sukabumi
|
Sumber:
data penulis
Menurut narasumber yang penulis
temui, mereka berasal dari luar Jakarta dan pindah ke sini untuk mencari
pekerjaan karena di daerah asal mereka tidak ada pkerjaan yang dapat mereka
lakukan. Jadi, demi memenuhi kebutuhan dan mendapatkan uang untuk menafkahi
keluarga, mereka memilih untuk tetap
tinggal di sini. Menurut mereka di daerah asalnya dalam sehari mereka belum
tentu mendapatkan uang, tetapi di sini mereka bilang dalam sehari minimal
mereka bisa mendapat uang sebesar Rp 25.000 sampai Rp 50.000 per hari. Mereka
juga rata-rata tidak mengetahui program pemerintah dalam mengentaskan
kemiskinan seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai), yang mereka tahu pemerintah
sewaktu-waktu dapat menggusur tempat tinggal mereka.
Bukan hanya program dalam
pengentasan kemiskinan saja yang tidak mereka ketahui tetapi program dalam
pendidikan juga mereka tidak mengetahuinya. Seperti keluarga Pak Atam,
rata-rata keluarganya hanya bersekolah sampai tingkat sekolah dasar saja,
katanya tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan anaknya ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi dengan penghasilannya yang minim. Padahal untuk
masalah pendidikan pemerintah sudah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun
dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dengan biaya pendidikan garatis. Itulah
salah satu bentuk keterasingan diri mereka terhadap dunia luar, karena mereka
setiap harinya sibuk bekerja.
Setiap harinya penduduk pemukiman tersebut mulai
bekerja dari pagi dan pulang sampai sore. Rutinitas yang mereka lakukan setiap
harinya sama dan terus berulang. Waktu yang ada hanyalah untuk bekerja dan
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Waktu untuk beristirahat atau sekedar
berkomunikasi dengan keluarga pun kurang, hal ini makin membuat manusia hanya
bergerak bagaikan mesin yang melakukan kegiatan sama tiap harinya.
Fakta sosial
dan pembagian kerja yang menyebabkan pergeseran solidaritas sosial masyarakat
Para penduduk pemukiman kumuh,
yang rutinitas sehari-harinya hanya bisa bekerja adalah salah satu bentuk fakta
sosial yang berlaku dalam masyarakat. Durkheim mendefinisikan fakta sosial
sebagai kebiasaan-kebiasaan dalam bertindak, berpikir, dan merasakan. Hal ini
berada di luar diri individu, dan memiliki kekuatan untuk memaksa sang
individu. Kebiasaan-kebiasaan ini tak boleh disebut fenomena biologis, karena
ia dianut dan dilakukan oleh orang banyak. Ia pun tak bisa dikatakan fenomena
psikologis, karena ia bukanlah dinamika yang hanya terjadi di dalam kesadaran
individu. Fenomena ini merupakan sebuah fenomena yang lain dari semua itu, dan
kita dapat mengindetifikasinya sebagai fenomena sosial.[7]
Hal ini dapat dilihat dengan
fenomena kemiskinan yang ada, masing-masing individu bekerja sesuai
pekerjaannya masing-masing. Hal itu merupakan bentuk fakta sosial, di mana
masing-masing individu melakukan aktivitas pekerjaannya sbukan karena keinginan
dari dalam diri mereka sendiri, melainkan keadaan lingkungan danb faktor-faktor
eksternal lainnya yang membuat individu itu bekerja bukan sesuai dengan
keinginan mereka sendiri.
Fakta sosial juga punya ciri
koersif, yaitu kemampuan untuk memaksa orang perorangan untuk berpikir,
bertindak, dan berperasaan menuruti cara-cara tertentu. Hal ini tidak berarti
bahwa manusia semata-mata bagaikan robot dihadapan fakta sosial. Individu bisa
saja tidak mematuhi fakta sosial tertentu. Namun bila ini dilakukannya, sanksi
sosial akan diperolehnya.[8]
Kehidupan sosial individu juga diatur oleh oknum yang dianggap sebagai penguasa
di daerah itu. Di mana orang-orang itu lah yang mengatur iuran-iuran baik dari sewa
rumah yang padahal bangunan-bangunan tersebut berdiri diatas tanah pemerintah,
atau dengan alasan iuran keamanan dan iuran patungan kalau sewaktu-waktu
diantara mereka ada yang tertangkap Satpol PP, karena jika mereka tertangkap
satpol PP mereka harus menebus dengan biaya RP 400.000 rupiah.
Jika, mereka tidak mengikuti
aturan atau berdiri sendiri proses kehidupan yang dilakukan mereka sehari-hari
akan cendrung lebih berat. Maka dari itu mau-tidak mau dalam satu bulan mereka
harus menyisihkan uang mereka untuk membayar berbagai macam iuran untuk
menjamin keselamatan hidupa mereka di daerah tersebut. Menurut narasumber yang
penulis temui, mereka tidak merasa keberatan, asalkan mereka masih ada tempat
tinggal dan ada jaminan saat mereka harus berhadapan dengan Satpol PP mereka
juga akan menerima sistem yang ada di lingkungan meraka tersebut. Kembali lagi
pada anggapan mereka hidup di Jakarta dengan keadaan seperti ini, jauh lebih
baik dibanding tinggal di desa dan tidak berpenghasilan.
Salah satu fakta sosial yang
dipandang pentung oleh Emile Durkheim adalah solidaritas sosial. Selain itu
Durkeim juga mengatakan bahwa pembagian kerja (Division of Labour) dalam satu masyarakat menentukan corak
solidaritas sosial di masyarakat tersebut. Pergerseran struktur pembagian
pekerjaan menimbulkan pergeseran dalam corak solidaritas masyarakat. Ikatan
yang mengikat berbagai lapisan masyarakat bkanlah kontrak sosial (keputusan
tiap individu dalam masyarakat dengan sadar dan rasional) atau paksaan dan
kekerasan, tetapi oleh hal-hal yang bersifat sukarela dan non rasional (yaitu,
sentimen moral di antara individu-individu dan atau kelompok-kelompok dalam
masyarakat yang diperkuat oleh pengalaman senasib sepenanggungan-kesadaran
kolektif).
Hal-hal yang non-rasional dan
bersifat sukarela ini membentuk mutual
trus yang bersifat implisit diantara para anggotanya.[9] Untuk
itu masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh tidak merasa terganggu dengan
situasi lingkungan yang ada, meskipun mereka jarang untuk berkomunikasi dengan
sesama tetangga lingkangan tempat tinggalnya. Keadaan yang membentuk mereka
menerima sesama mereka, kesamaan sentimen moral membuat mereka tidak merasa
risih terganggu dengan berbagai macam orang yang tinggal di sana, baik itu yang
bekerja dengan pekerjaan biasa maupun dengan orang-orang dengan pekerjaan lain
seperti pengamen waria, pekerja tuna susila maupun pencuri. Dalam diri mereka
timbul kepercayaan bahwa dalam lingkungan tersebut sesama warga tidak ada yang
saling mengganggu kehidupan warga, termasuk para pencuri juga tidak akan
mencuri di lungkangna tempat tinggalnya.
Berbicara solidaritas sosial
sekarang ini, semakin minim terlihat fungsinya apalagi pada zaman serba modern
saat ini. Solidaritas sosial antar lingkungan masyarakat semakin terkikis
terutama di kota besar seperti DKI Jakarta. Keadaan ekonomi tiap orang membuat
masyarakat terpecah dan cendrung individualisme. Solidaritas yang ada saat ini
mengarah pada solidaritas organik, dimana kesadaran kolektif masyarakatnya
rendah, individualisme yang tinggi dan persaingan yang kuat.
Kehidupan di Ibu kota memang
sulit, maka dari itu kemiskinan yang ada
semakin meningkat apalagi jika dilihat dari sisi solidaritas sosial
organik yang ada di Jakarta membuat msyarakat miskin semakin terpinggirkan,
karena setiap orang bersaing untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Sesuai
dengan pendapat Durkheim, masyarakat modern dipertahankan bersama oleh
spesialisasi orang dan kebutuhan mereka akan jasa sekian banyak orang.
Spesialisasi ini tidak hanya pada tingkat individu saja, akan tetapi juga
kelompok, struktur dan institusi.[10]
Berarti maksudnya adalah apabila seorang individu dan masyarakat tertentu tidak
memiliki modal apapun baik materi ataupun skill hidup di kota besar ini tidak
akan berhasil. akibatnya kemiskinan semakin meningkat tiap tahunnya melanda Ibu
Kota Jakarta.
Kesimpulan
Memasuki era globalisasi membuat
kita harus siap dalam menghadapi masa itu. kapitalisasi dunia akan mennyentuh
negara-negara miskin dan berkembang di dunia, termasuk Indonesia. Kesiapan
negara ini dalam menghadapi globalisasi dirasa msih sangat kurang akibatnya
kemiskinan diberbagai daerah semakin meningkat. Ironisnya bahkan di Ibu kota
Jakarta kemiskinan cukup banyak, dibalik gedung-gedung tinggi. Kemiskinan
merupakan salah satu fenomena sosial yang tidak mudah untuk diatasi, berbagai
program pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan belum dapat memperbaiki
tarah hidup masyarakat miskin di Indonesia.
Untuk itu penelitian ini
dilakukan dalam mencari tahu tentang kehidupan sosial masyarakat miskin di ibu
kota. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kemiskinan yang ada di Ibu
kota memebentuk mereka menjadi terasing dalam dirinya sendiri bahkan dari
lingkungan sosialnya. Serta semakin memperjelas pembagian kerja dalam
masyarakat modern menjadikan solidaritas sosial mekanis semakin tergeser
menjadi solidaritas mekanik. Hal ini semakin memperjelas perbedaan kehidupan
sosial di daerah perkotaan dengan pedesaan yang masih menganut solidaritas
sosial mekanik.
Fenomena sosial kemiskinan yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat modern abad ini. Penuis mencoba menjabarkan
masalah kemiskinan yang ada di Ibu Kota saat ini. Hal ini bertujuan untuk
membangkitkan sikap kritis masyarakat kota yang semakin memudar melihat
fenomena kemiskinan yang ada di Indonesia dan butuh perhatian khusus dari
berbagai pihak dalam perbaikan taraf hidup suatu bangsa.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Ritzer,
George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi. Bantul: Kreasi Wacana.
Samuel,
Henneman. 2010. Emile Durkheim: Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi
Modern. Depok: Kepik Ungu.
Jurnal
Handayani,
Ninik. Menyimak Kehidupan Keluarga “Miskin”. Di kutip dari jurnal Menelusuri Kriteria
kemiskinan perspektif Masyarakat Sipil. Vol 14 Nomor. 2. September 2009.
Bandung: Yayasan Akatiga.
Marbun,
Deswanto dan Asep Suryahadi. Kriteria
Kemiskinan Konsumsi: Praktik di Indonesia dan Beberapa Catatan . Di kutip
dari jurnal Menelusuri Kriteria kemiskinan perspektif Masyarakat Sipil. Vol 14
Nomor. 2. September 2009. Bandung: yayasan Akatiga.
[1] Ninik
Handayani. Menyimak Kehidupan Keluarga “Miskin”. Di kutip dari jurnal Menelusuri Kriteria
kemiskinan perspektif Masyarakat Sipil. Vol 14 no. 2. 2009. Bandung: yayasan
Akatiga. Halaman 1
[2] Deswanto Marbun dan Asep
Suryahadi. Kriteria Kemiskinan Konsumsi:
Praktik di Indonesia dan Beberapa Catatan . Di kutip dari jurnal Menelusuri
Kriteria kemiskinan perspektif Masyarakat Sipil. Vol 14 no. 2. 2009. Bandung:
yayasan Akatiga Halaman 14
[6] Nama-nama diatas adalah narasumber
yang penulis wawancara dan diberikan
berbagai macam pertanyaan seputar kehidupan mereka
[7] Haneman
Samuel. EMILE DURKHEIM Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern.
2010. Depok: Kepik Ungu. Hal. 20.
[9] Ibid. Halaman 28-29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar