Selasa, 15 Desember 2009

Film Dalam Bingkai Sosiologi

 Film Dalam Bingkai Sosiologi
Oleh : Syaifudin

Jika anda suka menonton film, maka siap-siaplah anda menyelam dalam bahasa bit-bit photogram…

Film sebagai bahasa audiovisual memiliki kaitan dalam hal kehidupan sosial masyarakat. Secara singkat film sendiri sudah ada pada tahun 1895 yang diperkenalkan oleh kakak-beradik Lumiere. Pada awal kelahiran film dimulai dari film bisu. Akan tetapi walaupun bisu tetap saja bahasa audiovisual ini mampu mensugesti masyarakat yang menontonnya. Film merupakan jendela dunia yang menjadi representasi atas realitas. Tanpa kita sadari sebenarnya film mempunyai kekuatan sihir dalam bahasa visualnya.

Di era 1990-an perfilman Indonesia diwarnai film-film panas. Di mana “film panas” yang dimaksud adalah film Indonesia yang mengangkat tema seksualitas dan birahi, dengan menampilkan adegan-adegan seks yang cukup eksplisit . Menurut JB. Kristanto ini sebagai film Indonesia pertama yang menonjolkan seks,perkosaan, dan dialog-dialog kasar. Alhasil pada perkembangannya film ini mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku masyarakat. Kemudian proses ini menjadi identitas budaya yang terbentuk pada masyarakat Indonesia.

Berdasarkan penjelasan di atas, maksud pembahasan dalam tulisan ini adalah pengaruh makna film yang terkandung dengan kehidupan masyarakat. Secara sosiologis pengaruh tayangan film ini memiliki dampak yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat, baik secara politik, sosial maupun budaya. Kita ketahui untuk film sendiri, baik film karya sineas Indonesia maupun luar negeri ternyata menjadi suatu kebutuhan yang diminati oleh masyarakat. Maka tidak heran film dalam perkembangannya terkadang menjadi alat ideologis yang digunakan untuk mempengaruhi masyarakat. Misalnya saja film pemberontakan G 30 S/PKI tentang pemusnahan ideologi komunis, Perempuan Berkalung Sorban dengan konsep feminisme, atau Naga Bonar Jadi 2 dengan dasar nasionalisme.

Jika kita tarik dalam kontekstual sosiologis, bahasa film jelas dapat mengikat masyarakat terhadap pesan implisit yang terkandung didalamnya. Misalnya saja, film “ Laskar Pelangi “ ternyata secara sosiologis membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap dunia pendidikan. Di mana fenomena ini ditandai dengan opini-opini di media cetak maupun elektronik bahkan aksi demo yang terkait pendidikan atas nama inspirasi film tersebut. Karena betapa besar kekuatan pengaruh film, maka kehadiran film “ 2012 “ yang baru-baru ini mengalami penolakan oleh beberapa kalangan, sebab ditakutkan film ini akan merusak akidah masyarakat. Padahal pada tahun 1990-an sudah pernah ada film serupa dengan judul `” The Day After “` yang menggambarkan kerusakan yang menyisakan beberapa orang untuk kehidupan baru dan film ini pun ditolak penayangannya.

Jika diuraikan secara teoritis, pengaruh film ini jelas mempunyai efek yang hebat bagi pencitraan pola pikir dan tindakan masyarakat melalui frame image dan efek visual. Ramon William mengungkapkan bahwa bahasa film itu implisit. Oleh sebab itu film merupakan komunikasi efektif bagi sebuah proses pembentukan pencitraan masyarakat. Sebab pada dasarnya film memiliki fungsi sebagai pengetahuan, informasi, hiburan dan pendidikan. Dan pada akhirnya pengaruh film ini ditentukan oleh seberapa besar penonton memaknainya.

Tidak ada komentar: