Humanisasi Demonstrasi Ditengah Dehumanisasi
Oleh : Syaifudin
Demonstrasi sebelum tahun 1974 memang menjadi trend pada masa itu. Salah satunya gerakan mahasiswa 1966, yang akhirnya menumbangkan rezim orde lama atau kepemimpinan Presiden Soekarno. Iklim demonstrasi itu kemudian mulai redup semenjak tahun 1974 yang ditandai transisi pergantian kekuasaan dari orde lama ke orde baru, yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Semua orang tiarap cari selamat. Melawan berarti penjara, bahkan kematian. Kalaupun melakukan perlawanan atau demonstrasi itu hanya dilakukan secara diam-diam.
Namun aksi demonstrasi itu mulai terlihat taringnya kembali sejak era reformasi dikumandangkan pada pertengahan tahun 1997 yang menggulingkan rezim orde baru. Demonstrasi itu bangkit kembali sebagai perlawanan atas otoriter kekuasaan Presiden Soeharto yang semakin memperburuk perekonomian Indonesia.
Sejak saat itu demonstrasi massa marak kembali dimana-mana, hingga hari ini. Demonstrasi kini menjadi simbol kebebasan berekspresi di Indonesia dalam konteks negara demokrasi. Jika dikaitkan dengan perhatian Max Weber yang utama, bahwa demonstrasi merupakan landasan keteraturan sosial yang absah. Ini berarti bahwa demonstrasi dalam keteraturan sosial dan pola-pola dominasi yang berhubungan dengan itu, diterima sebagai yang baik oleh mereka yang tunduk pada dominasi maupun yang dominan.
Demonstrasi memang hak semua orang dalam negara demokrasi ini. Sepertinya deifikasi demonstrasi memang menjadi suatu keharusan dalam masyarakat yang memiliki ideologi negara demokrasi.Walaupun sebenarnya negara demokrasi tidak selalu di indentikkan dengan demonstrasi.
Popularitas Demonstrasi
Demonstrasi lantas menjadi semacam trend baru, yang menjadi produk demokrasi di negeri ini. Akhirnya demonstrasi sudah menjadi hal yang rutin, bahkan kini demonstrasi sudah menjadi kegiatan bayaran yang menjadi sumber mata pencarian segelintir orang. Dimana pendemo bayaran ini diatur oleh organisasi-organisasi tertentu atau oknum yang memiliki kepentingan politis.
Era reformasi, kehidupan politik indonesia memang selalu diwarnai aksi demonstrasi. Baik mahasiswa, buruh, guru, petani, pejabat, sampai siswa SD pun melakukan demonstrasi. Dari media cetak sampai elektronik, kata demonstrasi selalu menjadi komoditi berita yang paling favorit bagi media tersebut. Demonstrasi sepertinya mengalahkan popularitas para artis di Indonesia. Sebab dari orang tua sampai anak kecil mengenal kata demonstrasi, dari epistemologi sampai wujud demonstrasi itu sendiri.
Demonstrasi menjadi idola bagi umat manusia, khususnya di Indonesia. Pengidolaan itu kemudian diwujudkan dalam proses imitasi dalam bentuk aksi demonstrasi. Yang jelas selama proses imitasi itu, demonstrasi harus dalam koridor nilai-nilai kemanusiaan.
Degradasi aktualisasi demonstrasi
Akan tetapi demonstrasi sudah mulai kehilangan jati dirinya sebagai bahasa keadilan dan kemanusiaan. Demonstrasi kini sudah kebablasan dari nilai yang ada. Semua yang berbau demonstrasi selalu dibahasakan dalam bahasa kekerasan. Setiap aksi demonstrasi akan selalu meninggalkan jejak-jejak kekerasan dan kerusakan, baik fasilitas pribadi maupun publik.
Degradasi aktualisasi demonstrasi itu selalu kita saksikan dalam ruang media elekronik maupun cetak. Bahkan media ruang pengalaman hidup secara langsung. Salah satu contoh dari beberapa catatan kelam degradasi itu, yakni kasus kematian ketua DPRD Sumatera Utara, H.Abdul Azis Angkat beberapa hari lalu. Dimana para pendemo semakin brutal dalam melakukan aksi demonstrasi yang berujung kematian dan kerusakan fasilitas publik itu.
Ironis, aktualisasi demonstrasi kini harus meninggalkan tumbal. Entah itu kematian nyawa manusia ataupun kerusakan fasilitas. Menurut Erich Fromm, masyarakat modern yang mengalami alienasi mendukung tumbuh dan berkembangnya kekerasan. Keterasingan itu yang menghilangkan kepekaan nilai-nilai kemanusiaan yang ada di dalam diri manusia.
Humanisasi Demonstrasi
Apakah sejarah perubahan yang melalui pintu demonstrasi harus meninggalkan rekam jejak yang dehumanisasi?. Walaupun dalam sejarahnya aktualisasi demonstrasi selalu diwarnai pertumpahan darah. Bertolak dari pernyataan tersebut, Freud mengatakan bahwa dalam diri manusia itu ada sifat dan keinginan jahat. Dan bagi Rousseau sifat jahat itu akan berkembang bila dipengarui oleh masyarakat pula. Sedangkan bagi Hegel, masyarakat luas akan mengalami kekacaubalauan karena manusia hanya memuaskan egoismenya sendiri.
Namun bahasa kekerasan itu sebenarnya tidak harus selalu dibahasakan dalam setiap aksi demonstrasi. Lebih daripada itu, demonstrasi harus dibahasakan dalam bahasa kemanusiaan yang lebih arif dan bijaksana. Sebab pada dasarnya, penulis yakin dalam diri manusia itu memiliki nilai kemanusiaan yang lebih besar kapasitasnya daripada nilai jahat yang ada didalam diri manusia.
Untuk itu aktualisasi demonstrasi harus berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Tidak boleh direduksi diluar pemaknaan kemanusiaan itu sendiri. Sebab bangsa ini adalah bangsa yang beradab, bukan bangsa Balkan apalagi Bar-bar. Alangkah indah bila demonstrasi dibahasakan dalam bahasa yang arif dan bijak, tentunya dalam koridor negara demokrasi.