Eksploitasi dan Simulakra Manusia dalam Televisi
Oleh
: Syaifudin
Dunia
pertelevisian di Indonesia semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan
munculnya jumlah stasiun penyiaran televisi yang semakin banyak. Hampir lebih
sepuluh stasiun televisi berdiri, antara lain: TVRI, RCTI, SCTV, INDOSIAR, TPI,
ANTV, TRANS TV, TRANS 7, METRO TV, TV ONE, JAK TV, DA’I TV dan stasiun televisi
lokal lainnya. Seiring dengan pertumbuhan tersebut, berarti semakin
kompetitifnya stasiun penyiaran tersebut di dalam pengelolaan siarannya.
Pengelolaan siaran di dalam dunia pertelevisian berarti membicarakan program
acara dan programingnya, atau isi dan format acara siarannya dengan cara
menempatkan acara tersebut. Hal ini berarti kompetisi diantara stasiun televisi
adalah pada pemilihan program acaranya dan strategi penayangannya.
Televisi
pun akhirnya menyajikan berbagai macam program tayangan sesuai dengan tingkat
popularitas pasar. Tayangan inilah yang menjadi aset dari keberlangsungan
eksistensi stasiun televisi itu. Dari tayangan humor, acara mistis, olahraga,
berita, sinetron, film miniseri, realiti show, sampai acara gosip pun disajikan
dalam setiap program televisi. Proses penayangan program ini pun menjadi sebuah
media imitasi bagi masyarakat. Program televisi yang masyarakat tonton ternyata
mempunyai pengaruh bagi sikap dan pola pikir masyarakat. Padahal apa yang
ditonton sebenarnya itu merupakan sebuah simulasi realitas. Dalam analisis
Baudrillard, mengatakan proses tersebut seperti sebuah simulakra. Jika
dikaitkan dalam tayangan televisi, bagi penulis apa yang ditayangkan oleh
televisi merupakan realitas yang diceritakan, dipresentasikan, dan
disebarluaskan, tetapi juga direkayasa, dibuat dan disimulasikan. Simulasi ini
mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan imajiner, anatara
yang benar dengan yang palsu. Proses simulasi inilah yang mendorong lahirnya
term”hiperealitas”, di mana tidak ada lagi yang lebih realitis sebab yang nyata
tidak lagi menjadi rujukan.
Sedangkan
bagi Bourdieu semua itu paradoks, di mana televisi dapat menyembunyikan dengan
mempertunjukannya, yaitu televisi menyembunyikan sesuatu dengan mempertunjukan
sesuatu yang tidak lain dari apa yang ditunjukan. Jika televisi telah melakukan
apa yang harus dilakukan dengan memberikan informasi atau mempertunjukan apa
yang harus dipertunjukan, tapi dalam cara tertentu yang sesungguhnya tidak
dipertunjukan atau dibelokan dalam sesuatu yang tidak penting, atau dengan
mengkonstruksikannya dalam cara tertentu yang hal tersebut mengambil makna yang
sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan kenyataan.
Berdasarkan
simulasi realita itu, program televisi yang ada seperti tayangan sinetron
memberi efek pencitraan bagi manusia. Tentu kita ingat tayangan sinetron “Cinta
Fitri” yang ditayangkan oleh SCTV. Karena ratingnya begitu bagus dan memiliki
pangsa pasar konsumen yang begitu beragam, akhirnya tayangan itu pun diproduksi
terus hingga sampai jilid ketiga yaitu “ Cinta Fitri 3”. Dari tayangan itu,
ternyata memberikan efek dramatis hidup manusia, hingga akhirnya disimulasikan
oleh masyarakat secara melankolis. Dalam hal ini Marshall McLuhan dan Quentin
mengatakan, bahwa di dalam televisi, citra diproyeksikan pada manusia. Manusia
adalah layar televisi itu dan citra-citra itu kemudian membungkus manusia.
Dalam perspektif teori kritis, hal ini merupakan bentuk pembodohan manusia
melalui simulasi media.
Ekpolitasi
Kehidupan Manusia dalam Tayangan Gosip di Televisi
Secara
sosiologis interaksi manusia dibangun oleh komunikasi antar manusia. Dalam
kajian Sosiologi Komunikasi, Onong Uchyana mengatakan, komunikasi sebagai
proses pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran, atau perasaan oleh
seseorang kepada orang lain. Pikiran ini dapat berupa gagasan, informasi,
opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya.
Berangkat
dari hal itu, secara filosofi manusia memiliki hasrat keingintahuan yang besar.
Keingintahuan itulah yang kemudian menjadi diskursus dalam interaksi di
masyarakat atau biasa disebut dengan istilah “ gosip “. Akibat kuatnya budaya
gosip yang ada di masyarakat, membuka peluang bagi stasiun televisi untuk
menjadikan subjek komoditi bagi stasiun televisi itu. Tak kurang dari puluhan
program gosip direproduksi oleh televisi demi melanggengkan eksistensi stasiun
televisi tersebut. Dalam bahasa Marx, ini merupakan bentuk eksploitasi.
Eksploitasi di sini berupa privasi kehidupan manusia yang dinarasikan dalam
sebuah tayangan gosip.
Di
sinilah penulis mencoba menganalis tayangan televisi yang disajikan oleh
beberapa stasiun televisi. Misalnya saja SCTV dengan produk gosipnya seperti
Was-was, Hallo Selebriti, dan Kasak-Kusuk. Sedangkan Indosiar mereproduksi
tayangan ini seperti : Kiss Vaganza, dan Kiss Sore. Bagi penulis tayangan gosip
ini merupakan sebuah pembodohan tersistematis dari para kapitalis. Di mana
manusia (artis) dieksploitasi kehidupannya oleh media. Kemudian didistribusikan
hingga menjadi konsumsi oleh publik. Padahal dibalik tayangan ini ternyata ada
keuntungan yang ingin dicari dari para kapitalis televisi. Untuk itu konsep
“Aletheia” yang digunakan oleh Heidegger bisa menjadi pisau analisis dari
konsep fenomenologi yang menjelaskan segala bentuk penyingkapan sekaligus
penyelubungan yang ada pada tayangan gosip di televisi.
Secara
harfiah tayangan gosip merupakan bentuk reproduksi realita manusia yang
dieksploitasi oleh media televisi. Tayangan ini pun tidak mempunyai kategori
yang jelas dari fungsi televisi itu sendiri. Jika dikategorikan berita ini
bukan bentuk sebuah berita ala jurnalistik, sebab dalam pemberitaan jurnalistik
ada kode etik yang menyebutkan bahwa tidak ada bentuk pemberitaan yang
berkaitan dengan kehidupan pribadi atau privasi seseorang. Sedangkan dari segi
edukasi dan informasi ini justru menjadi sebuah penyimpangan ekstrim dari
filosofi kedua fungsi itu. Sebab tayangan gosip tentu tidak memiliki unsur
edukasi bagi masyarakat, justru sebaliknya ini merupakan pembodohan dan aib
bagi sesorang yang digosipkan itu. Apabila dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia
ini merupakan bentuk pelanggaran hak hidup manusia.
Berdasarkan
pemaparan di atas, menurut penulis logika pasar sepertinya membuat kapitalis
tidak mementingkan masalah HAM. Karena baginya, apa pun bisa menjadi subjek
keuntungan, termasuk privasi hidup manusia (artis). Jika hal ini dibiarkan
menjadi fertilitas budaya, maka tidak menutup kemungkinan eksploitasi kehidupan
manusia akan terus berkembang menjadi sebuah komoditi massal bagi para
kapitalis media. Sepertinya eksploitasi kehidupan manusia dalam tayangan gosip
akan terus menjadi bola salju. Dan masyarakat akan menjadi sasaran empuk oleh
kapitalis media dalam rupa eksploitasi yang dinarasikan secara visual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar