Kamis, 04 Februari 2010

Sterilitas Budaya Ilmiah Di Kalangan Mahasiswa

Eksploitasi dan Simulakra Manusia dalam Televisi

Oleh : Syaifudin


Dunia pertelevisian di Indonesia semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan munculnya jumlah stasiun penyiaran televisi yang semakin banyak. Hampir lebih sepuluh stasiun televisi berdiri, antara lain: TVRI, RCTI, SCTV, INDOSIAR, TPI, ANTV, TRANS TV, TRANS 7, METRO TV, TV ONE, JAK TV, DA’I TV dan stasiun televisi lokal lainnya. Seiring dengan pertumbuhan tersebut, berarti semakin kompetitifnya stasiun penyiaran tersebut di dalam pengelolaan siarannya. Pengelolaan siaran di dalam dunia pertelevisian berarti membicarakan program acara dan programingnya, atau isi dan format acara siarannya dengan cara menempatkan acara tersebut. Hal ini berarti kompetisi diantara stasiun televisi adalah pada pemilihan program acaranya dan strategi penayangannya.
Televisi pun akhirnya menyajikan berbagai macam program tayangan sesuai dengan tingkat popularitas pasar. Tayangan inilah yang menjadi aset dari keberlangsungan eksistensi stasiun televisi itu. Dari tayangan humor, acara mistis, olahraga, berita, sinetron, film miniseri, realiti show, sampai acara gosip pun disajikan dalam setiap program televisi. Proses penayangan program ini pun menjadi sebuah media imitasi bagi masyarakat. Program televisi yang masyarakat tonton ternyata mempunyai pengaruh bagi sikap dan pola pikir masyarakat. Padahal apa yang ditonton sebenarnya itu merupakan sebuah simulasi realitas. Dalam analisis Baudrillard, mengatakan proses tersebut seperti sebuah simulakra. Jika dikaitkan dalam tayangan televisi, bagi penulis apa yang ditayangkan oleh televisi merupakan realitas yang diceritakan, dipresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi juga direkayasa, dibuat dan disimulasikan. Simulasi ini mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan imajiner, anatara yang benar dengan yang palsu. Proses simulasi inilah yang mendorong lahirnya term”hiperealitas”, di mana tidak ada lagi yang lebih realitis sebab yang nyata tidak lagi menjadi rujukan.
Sedangkan bagi Bourdieu semua itu paradoks, di mana televisi dapat menyembunyikan dengan mempertunjukannya, yaitu televisi menyembunyikan sesuatu dengan mempertunjukan sesuatu yang tidak lain dari apa yang ditunjukan. Jika televisi telah melakukan apa yang harus dilakukan dengan memberikan informasi atau mempertunjukan apa yang harus dipertunjukan, tapi dalam cara tertentu yang sesungguhnya tidak dipertunjukan atau dibelokan dalam sesuatu yang tidak penting, atau dengan mengkonstruksikannya dalam cara tertentu yang hal tersebut mengambil makna yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan kenyataan.
Berdasarkan simulasi realita itu, program televisi yang ada seperti tayangan sinetron memberi efek pencitraan bagi manusia. Tentu kita ingat tayangan sinetron “Cinta Fitri” yang ditayangkan oleh SCTV. Karena ratingnya begitu bagus dan memiliki pangsa pasar konsumen yang begitu beragam, akhirnya tayangan itu pun diproduksi terus hingga sampai jilid ketiga yaitu “ Cinta Fitri 3”. Dari tayangan itu, ternyata memberikan efek dramatis hidup manusia, hingga akhirnya disimulasikan oleh masyarakat secara melankolis. Dalam hal ini Marshall McLuhan dan Quentin mengatakan, bahwa di dalam televisi, citra diproyeksikan pada manusia. Manusia adalah layar televisi itu dan citra-citra itu kemudian membungkus manusia. Dalam perspektif teori kritis, hal ini merupakan bentuk pembodohan manusia melalui simulasi media.

Ekpolitasi Kehidupan Manusia dalam Tayangan Gosip di Televisi
Secara sosiologis interaksi manusia dibangun oleh komunikasi antar manusia. Dalam kajian Sosiologi Komunikasi, Onong Uchyana mengatakan, komunikasi sebagai proses pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran, atau perasaan oleh seseorang kepada orang lain. Pikiran ini dapat berupa gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya.
Berangkat dari hal itu, secara filosofi manusia memiliki hasrat keingintahuan yang besar. Keingintahuan itulah yang kemudian menjadi diskursus dalam interaksi di masyarakat atau biasa disebut dengan istilah “ gosip “. Akibat kuatnya budaya gosip yang ada di masyarakat, membuka peluang bagi stasiun televisi untuk menjadikan subjek komoditi bagi stasiun televisi itu. Tak kurang dari puluhan program gosip direproduksi oleh televisi demi melanggengkan eksistensi stasiun televisi tersebut. Dalam bahasa Marx, ini merupakan bentuk eksploitasi. Eksploitasi di sini berupa privasi kehidupan manusia yang dinarasikan dalam sebuah tayangan gosip.
Di sinilah penulis mencoba menganalis tayangan televisi yang disajikan oleh beberapa stasiun televisi. Misalnya saja SCTV dengan produk gosipnya seperti Was-was, Hallo Selebriti, dan Kasak-Kusuk. Sedangkan Indosiar mereproduksi tayangan ini seperti : Kiss Vaganza, dan Kiss Sore. Bagi penulis tayangan gosip ini merupakan sebuah pembodohan tersistematis dari para kapitalis. Di mana manusia (artis) dieksploitasi kehidupannya oleh media. Kemudian didistribusikan hingga menjadi konsumsi oleh publik. Padahal dibalik tayangan ini ternyata ada keuntungan yang ingin dicari dari para kapitalis televisi. Untuk itu konsep “Aletheia” yang digunakan oleh Heidegger bisa menjadi pisau analisis dari konsep fenomenologi yang menjelaskan segala bentuk penyingkapan sekaligus penyelubungan yang ada pada tayangan gosip di televisi.
Secara harfiah tayangan gosip merupakan bentuk reproduksi realita manusia yang dieksploitasi oleh media televisi. Tayangan ini pun tidak mempunyai kategori yang jelas dari fungsi televisi itu sendiri. Jika dikategorikan berita ini bukan bentuk sebuah berita ala jurnalistik, sebab dalam pemberitaan jurnalistik ada kode etik yang menyebutkan bahwa tidak ada bentuk pemberitaan yang berkaitan dengan kehidupan pribadi atau privasi seseorang. Sedangkan dari segi edukasi dan informasi ini justru menjadi sebuah penyimpangan ekstrim dari filosofi kedua fungsi itu. Sebab tayangan gosip tentu tidak memiliki unsur edukasi bagi masyarakat, justru sebaliknya ini merupakan pembodohan dan aib bagi sesorang yang digosipkan itu. Apabila dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia ini merupakan bentuk pelanggaran hak hidup manusia.
Berdasarkan pemaparan di atas, menurut penulis logika pasar sepertinya membuat kapitalis tidak mementingkan masalah HAM. Karena baginya, apa pun bisa menjadi subjek keuntungan, termasuk privasi hidup manusia (artis). Jika hal ini dibiarkan menjadi fertilitas budaya, maka tidak menutup kemungkinan eksploitasi kehidupan manusia akan terus berkembang menjadi sebuah komoditi massal bagi para kapitalis media. Sepertinya eksploitasi kehidupan manusia dalam tayangan gosip akan terus menjadi bola salju. Dan masyarakat akan menjadi sasaran empuk oleh kapitalis media dalam rupa eksploitasi yang dinarasikan secara visual.


Tidak ada komentar: