Sebuah Ringkasan Filsafat Pendidikan
Oleh: Syaifudin
Filsafat pendidikan merupakan suatu filsafat terapan. Secara etimologis, filsafat pendidikan terdiri dari term filsafat dan pendidikan. Pendidikan sendiri pada dasarnya membutuhkan filsafat. Mengapa? Sebab permasalahan-permasalahan pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi oleh pengalaman semata, melainkan masalah pendidikan ini lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dipahami oleh ilmu pendidikan sendiri. Untuk itu diperlukan dimensi filsafat sebagai fondasi dari pelaksanaan pendidikan. Lalu apa filsafat pendidikan itu ?
Filsafat pendidikan pada dasarnya sebagai kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dan sebagai upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis. Menurut John Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju tabiat manusia.[1]
Pada dasarnya filsafat pendidikan menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang berkaitan dengan tujuan, cara dan hasilnya, yang berdasarkan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaan dari pendidikan itu sendiri. Adapun subyek filsafat pendidikan yaitu subyek atau seseorang yang berpikir secara mendalam dan kritis tentang hakikat sesuatu serta bagaimana memecahkan permasalahan pendidikan. Sedangkan obyek filsafat pendidikan terbagi menjadi dua, yaitu: obyek material berupa sesuatu atau realitas, mengenai yang harus ada dan yang tidak harus ada: Obyek formal berupa sifat mengasaskan atau berprinsip baik mengenai suatu kebenaran maupun tidak.
Dalam filsafat pendidikan modern ada empat aliran utama yaitu: progresivisme, perenialisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme. Adapun penjelasan secara ringkas dari ke empat aliran tersebut sebagai berikut:
1. Aliran Progresivisme
Aliran progresivisme merupakan gerakan pendidikan yang memandang prinsip penyelenggaraan pendidikan di sekolah idealnya berpusat pada anak didik (child-centered) atau memberi penekanan pada pengembangan aktivitas, kreativitas, belajar, dan juga pengalaman anak. Aliran ini merupakan antitesis dari pandangan pendidikan yang menekankan pelaksanaan pendidikan berpusat pada guru (teacher-centered) atau bahan pelajaran (subject-centered). Aliran progresivisme dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti William James, Charles Sanders Pierce, dan John Dewey, diawal abad 20.[2]
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan yang survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Progresivisme dinamakan sebagai pandangan instrumentalisme, eksperimentalisme dan environmentalisme. Mengapa? Aliran ini beranggapan bahwa kemampuan kognitif manusia merupakan instrumen untuk bertahan hidup dan mengembangkan segala potensi dirinya, ini yang disebut sebagai instrumentalisme. Sedangkan eksperimentalisme, menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen guna menguji kebenaran suatu teori. Aliran progresivisme juga menganggap bahwa lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian anak. Untuk itu aliran ini memandang bahwa proses pembelajaran perlu ditekankan pada pembentukan kreativitas, pemberian sejumlah kegiatan, suasana yang alamiah (natural), dan memperhatikan pengalaman anak didik.
Aliran ini juga ditopang oleh aliran filsafat pragmatisme. Pragmatisme memandang bahwa sesuatu itu benar, apabila kebenaran itu sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan kenyataan. Untuk itulah aliran progresivisme juga diidentikan dengan aliran pragmatisme. Karena memang aliran pragmatisme juga aliran yang dikembangkan oleh John Dewey.
Pada umumnya tujuan pendidikan aliran ini yaitu mengembangkan bakat dan minat setiap anak secara maksimal. Oleh karena itu kurikulum yang yang dibuat berdasarkan pengalaman-pengalaman atau kegiatan-kegiatan belajar yang diminati oleh setiap anak (experience curriculum). John Locke yang juga tokoh dalam aliran ini mengatakan, idealnya sekolah diarahkan untuk kepentingan pendidikan anak.
Ranah pengembangan aliran ini tidak hanya kognitif, melainkan psikomotorik dan afektif. Sehingga segala potensi yang ada dalam diri murid benar-benar berkembang secara maksimal. Ciri khas aliran ini adalah metode learning by doing atau belajar dengan melakukan dan problem solving atau pemecahan masalah. Menurut John Dewey, bentuk belajar seperti ini akan mendorong anak untuk bersikap imajinatif pada semua tataran, dan yang terpenting, akan melatih mereka mencapai kompetensi di segala aktivitas kehidupannya.[3]
Adapun simpulan dari aliran progresivisme yaitu : belajar berpusat pada peserta didik; melihat manusia sebagai pemecah persoalan yang baik; pendidikan dinilai sebagai suatu proses; melatih anak untuk mampu menghadapi persoalan aktual atau potensial; guru sebagai fasilitator dan motivator dalam iklim yang demokratis dan menyenangkan; proses pendidikan bersifat eksperimentasi alamiah dan menuju perubahan yang berguna bagi anak maupun masyarakat.
2. Aliran Perenialisme
Aliran perenialisme merupakan gerakan pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Istilah perenialisme sendiri berasal dari kata perenial yang berarti abadi, atau kekal. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi atas aliran pendidikan progresivisme. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perubahan itu dinilai membuat kehidupan manusia menjadi krisis dan tidak disesuai dengan nilai-nilai yang ada. Sehingga di dunia ini penuh kekacauan, dan tidak ada satu pun kebermanfaatan dari tujuan pendidikan itu sendiri. Atas masalah tersebut, menurut kaum perenialis harus kembali pada nilai nilai atau prinsip prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat. Tokoh-tokoh utama dalam aliran ini yaitu Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas.
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Karena itu, perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang.[4] Aliran ini, memandang manusia sebagai makhluk yang berpikir dengan segala ilmu pengetahuan yang dimilikinya, sehingga dengan berpikir itu manusia dapat menemukan kebenaran. Maka aliran perenialisme menekankan penguasaan pengetahuan sebagai sesuatu yang pertama bagi manusia. Dengan pengetahuan itu manusia dapat mengenal dan memahami segala masalah yang ada serta mencari penyelesaian masalahnya.
Pandangan perenialisme diidentikan sebagai aliran pendidikan yang bersifat relijius. Menurut Alan M. Laibelman, perenialis mengajarkan bahwa setiap penurunan ke arah materi selalu akan diikuti kenaikan kearah spiritual.[5] Aliran ini memandang kebaikan tertinggi manusia yaitu kedekatan diri dengan Tuhan. Oleh karena itu, menurut Robert Hutchkins tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi supaya anak didik dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri.[6] Dengan begitu, aliran ini memandang kenyataan bukanlah pengetahuan yang sebenarnya sebab dia ada dalam pikiran manusia dan Tuhan-lah pengetahuan yang sebenarnya. Maka tujuan pendidikan yang sebenarnya adalah menanamkan kebenaran yang hakiki tersebut. Kebenaran hakiki itu diperoleh melalui pelatihan keintelektualan dan mengembangkan spiritual manusia.
Adapun asas aliran ini bersumber pada dua pandangan yaitu perenialisme teologis yang berdasarkan pada pandangan St. Thomas Aquinas. Menurut St. Thomas Aquinas untuk mengetahui realitas harus berdasarkan iman, sementara perkembangan rasional hanya dapat dijawab dan mesti diikuti dengan iman.[7] Pandangan teologis memandang pikiran bukan menjadi determinan, tetapi imanlah yang determinan. Baginya iman merupakan entitas yang rasional atas permasalahan kehidupan manusia. Sebab kebenaran merupakan suatu yang adikodrati. Pikiran (nalar) kiranya belum mencukupi dalam proses memahami kebenaran tersebut. Oleh karena itu, diperlukan iman sebagai penopang pikiran manusia. Perenialisme teologis membimbing individu kepada kebenaran utama seperti doktrin, etika dan spiritual. Pada asas ini metode yang digunakan yaitu metode trial and error. Murid berusaha mencoba dan mencoba lagi sampai diperoleh suatu pemecahan yang memuaskan atau memperoleh pengetahuan yang proporsional.
Lalu perenialisme sekuler berdasarkan pandangan Plato dan Aristoteles. Bagi Plato, tujuan utama pendidikan yaitu bagaimana membimbing manusia yang sadar akan asas normatif yang sudah ditentukan dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan. Sedangkan Aristoteles memandang, bahwa penanaman kebiasaan dan kesadaran yang berdasarkan aturan moral sangatlah penting pada tingkat pendidikan di usia muda. Jika perenialisme teologis memandang pikiran bukan sesuatu yang determinan. Sebaliknya, perenialisme sekuler memandang pikiran sebagai sesuatu yang harus ada sebagai penyangkalan keraguan adikodrati. Perenialisme sekuler memandang kebenaran tersirat di dalam pemikiran itu sendiri.
Pendekatan perenialisme sekuler yaitu literari (sastra) dalam belajar serta pemakaian seminar dan diskusi sebagai cara yang tepat untuk mengkaji hal-hal yang terbaik bagi dunia. Individu dibimbing untuk membaca materi pengetahuan secara langsung dari buku-buku sumber asli sekaligus teks modern guna memahami kebenaran sesungguhnya. Di sini guru berfungsi memformulasikan masalah yang kemudian didiskusikan dan disimpulkan oleh murid. Sehingga, dengan iklim kritis dan demokratis yang dibangun dalam kultur ini. Individu dapat mengetahui pendapatnya sendiri, sekaligus menghargai perbedaan pemikiran yang ada.
Dari kedua asas tersebut, maka tujuan dari aliran ini adalah bagaimana manusia menuju kebaikan, kebahagiaan dan kematangan intelektual, jasmaniah dan emosional. Posisi guru pada aliran ini dipandang sebagai faktor determinan dalam keberhasilan perkembangan pengetahuan anak atau guru sebagai pusat belajar.
3. Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan gerakan pendidikan yang mengkritik skeptisisme dan sinisme pada aliran progresivisme di sekolah-sekolah. Aliran ini memandang bahwa nilai-nilai kebudayaan yang ada di masyarakat merupakan sesuatu yang sudah terbentuk secara alamiah. Maka aliran ini menekankan proses pendidikan harus perpijak pada nilai-nilai tersebut sebagai kontrol sosial tindakan manusia. Aliran esensialisme dibentuk berdasarkan pandangan filsafat idealisme dan realisme.
Filsafat idealisme memandang realitas sebagai subtansi ide. Idealisme meyakini dibalik ide ada kekuasaan yang tidak terbatas, yaitu Tuhan. Untuk itu manusia sebagai makhluk berpikir berada dalam kekuasaan tersebut. Tuhan sebagai sumber kebenaran dalam pikiran manusia. Sedangkan realisme memandang bahwa segala kejadian yang ada di dunia dan manusia di dasarkan hukum-hukum yang mekanistik dan kausalitas. Oleh karena itu, tujuan umum dari aliran esensialisme adalah membentuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
Walaupun aliran di atas berbeda pandangan. Namun keduanya sepakat bahwa murid haruslah menggunakan kebebasannya dan memerlukan bimbingan guru sebagai kontrol dari kebebasannya tersebut. Menurut Redja Mudyahardjo, tujuan pendidikan esensialisme yaitu menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, yang telah bertahan sepanjang waktu dan dengan demikian adalah berharga untuk diketahui oleh semua orang.[8]
Sama halnya dengan perenialisme, esensialisme meletakan posisi guru sebagai pusat kegiatan pembelajaran. Esensialisme menilai pada dasarnya peserta didik tidaklah tahu apa yang ada dalam dirinya dan keinginannya. Untuk itu guru membimbing dan mempengaruhi peserta didik sebagai bentuk pengembangan kemampuan peserta didik sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh guru maupun sekolah. Diskusi, dan membaca merupakan metode yang biasa digunakan dalam mencapai tujuan pendidikan aliran ini.
4. Aliran Rekonstruksionisme
Aliran rekonstruksionisme merupakan gerakan pendidikan yang berusaha menyusun kembali tata kehidupan kebudayaan yang sudah ada dan kemudian ditafsirkan lebih modern lagi. Jika perenialisme memandang terganggunya kebudayaan dan harus kembali ke pemahaman kebudayaan lama. Lain dengan rekonstruksionisme, yang memandang itu harus ditempuh melalui pembinaan serta penyusunan kembali tata kehidupan manusia yang sesuai dan bukan kembali dalam pemahaman kebudayaan lama. Pada level rekonstruksi, diperlukan konsensus bersama antar manusia. Sebab aliran ini menilai semua manusia memiliki tanggung jawab dalam menjaga stabilitas dan kebaikan kehidupan di dunia.
Aliran ini memandang pendidikan sebagai instrumen dalam mengonstruksi masyarakat masa depan. Maka pembinaan yang baik dan sesuai melalui pendidikan akan menentukan masa depan masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, fungsi sekolah yaitu sebagai lembaga yang menciptakan suatu perubahan sosial, ekonomi maupun politik di dalam masyarakat. Sekolah melahirkan manusia-manusia yang nantinya dapat meubah tata kehidupan di masa depan.
Peran guru dalam hal ini sebagai fasilitator yang turut mengembangkan segala potensi murid. Dengan orientasi, bagaimana murid nantinya dapat menjadi manusia yang mengubah dan memperbaiki masalah-masalah di masyarakat kedepannya. Metode pembelajaran lebih bersifat menganalisis permasalahan-permasalahan di masyarakat dalam bentuk pemecahan masalah, analisis kebutuhan dan penyusunan program aksi perbaikan masyarakat.[9]
Berdasarkan penjelasan mengenai aliran filsafat pendidikan di atas, yang jelas dalam melihat pola-pola pendidikan tidak lepas dari penjelasan filsafat pendidikan.
08 Juli 2011
[1]. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal.20.
[2]. Tokoh-tokoh ini merupakan kelompok filsafat pragmatisme. Di mana pengetahuan sebagai bentuk keterlibatan praktis. Lengkapnya lihat Bryan Magee, The Story of Philosophy, (Yogyakarta: Kanisiius, 2008), hal. 186-191.
[3]. Lihat Bryan Maggee, Op.Cit., hal 191.
[4]. Lihat Jalaluddin dan Abdullah Idi, Op.Cit., hal.110-111.
[5]. Lihat, Ahmad Norma Permata (ed), Perennialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hal. 90.
[6]. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Op.Cit., hal.118.
[7]. Ibid., hal. 121.
[8]. Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), hal. 163.
[9]. Ibid. hal.156.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar