Konstruksi
Makna Kegilaan Dalam Perspektif Michel Foucault
Oleh : Syaifudin
Foucault
adalah intelektual yang paling terkenal di dunia. Foucault lahir di Prancis
pada 15 Oktober 1926 dan meninggal pada tahun 1984. Pada tahun 1948 ia memperoleh licence dalam filsafat dan pada tahun 1950 ia memperoleh
licence dalam psikologi. Di tahun 1952
mendapatkan gelar diploma
psikopatalogi.Kemudian Foucault melanjutkan
penelitiannya dan mengajar di Ecole normale superieure. Usai perang
dunia ke-II ia menjadi anggota partai komunis Perancis hingga tahun 1951.
Tahun 1954 ia menerbitkan buku kecil berjudul Meladie mentale et
personnalite(penyakit jiwa dan kepribadian). Ia kemudian menerima pekerjaan
sebagai dosen di Universitas Uppsala (Swedia) di bidang sastra dan budaya
Prancis selama periode 1954-1958.
Tahun 1958 ia menjadi direktur kebudayaan Perancis di Warsawa, sebelum
kemudian menjabat posisi sejenis di Hamburg pada 1959. Pada tahun itu ia
merampungkan buku ’Folie et deraison. Historie de la folie a l’age
classique’. (Kegilaan dan nir-rasio. Sejarah kegilaan dalam zaman klasik).
Setahun setelahnya ia kembali ke Prancis dengan naskah Hyppolite yang
dikukuhkan sebagai tesis sejarah ilmu pengetahuan dan mengantar Foucault
sebagai peraih gelar doktor negara pada tahun 1961.
Tahun 1963, disertasinya diedit dan dibukukan dengan judul Historie de
la folie (sejarah kegilaan). Tetapi karya monumentalnya adalah Les mots et
les choses. Une archeologie des sciences humanies (Kata-kata dan
benda-benda. Sebuah arkeologi tentang ilmu-ilmu manusia) yang terbit pada tahun
1966. Karya Foucault dipandang sebagai arus strukturalisme Prancis yang masyur. Kemasyurannya itu
berasal dari kumpulan karyanya sendiri yang begitu mengagumkan dari pemikiran
di sejumlah bidang ilmu yang berbeda, termasuk sosiologi. Foucault juga
memiliki kisah hidup yang menarik dan tema yang menandai kehidupan itu
cenderung menentukan karyanya. Sebenarnya karyanya ia mencoba untuk memahami
dirinya sendiri secara lebih baik dan kekuatan-kekuatan yang membuatnya
menjalani kehidupan seperti yang dilakukannya itu.
Ketika karyanya yang berjudul L’archeologie du savoir (arkelologi
pengetahuan) terbit pada tahun 1969, karya itu disambut masyarakat dengan
antusias.Sepanjang periode 1960-1976, Foucault sibuk dengan karya ilmiah dan
aktivitas mengajarnya. Tahun 1960-an ia mengajar di Tunisia, Montpellier,
Clemond-Ferrand, dan Paris-Nanterre. Ia juga mendirikan universitas
Paris-Vincennes. Lalu pada tahun 1969 ia dipilih sebagai profesor di College de
France. Tahun 1975, ia menerbitkan bukuSurveiller et punir. Naissance de la
prison. (Menjaga dan menghukum. Lahirnya penjara). Salah satu laporan
penelitian Foucault yang menarik minat umum adalah riwayat hidup seorang
pembunuh yang dulunya hidup sederhana di sebuah desa pada abad 19. Riwayat itu
ditulis sendiri oleh sang pembunuh, Pierre Riviere, yang kemudian didokumentasi
Foucault dalam judul Moi, Pierre Riviere, ayant egorge ma mere, ma soeur
et mon frere..(Aku, Pierre Riviere, setelah membunuh Ibu, Saudari, dan
Saudaraku...) dan diterbitkan pada tahun 1973. Pada tahun 1976, Foucault
kembali menerbitkan salah satu karya besarnya yang berjudul Histoire de la
sexualite (sejarah seksualitas) yang dirancang hadir dalam enam episode,
namun ia hanya merampungkan tiga, masing-masing La volonte de
savoir (kemauan untuk mengetahui) pada 1976, disusul L’usage des
plaisirs (penggunaan kenikmatan) pada 1982, menyusul Le souci de
soi (keprihatinan untuk dirinya) di tahun 1984.
Popularitas Foucault tidak saja mencuat di Perancis atau di negara-negara
yang menggunakan bahasa Perancis, tetapi juga mencapai negara dengan penduduk
berbahasa Inggris. Ia beberapa kali menjadi dosen tamu di Amerika Serikat dan
aktif dalam perluasan idenya melalui wawancara atau artikel. Beberapa bulan
setelah terbitnya Le souci de soi (keprihatinan untuk
dirinya) di tahun 1984, Michel Foucault meninggal dunia dalam usia 57 tahun. Meski tidak ada konfirmasi
resmi, Michel Foucault diduga meninggal karena HIV AIDS.
Subjek menurut
Foucault adalah subjek yang sejajar dengan individu hanya akan bisa dipisahkan
melalui kekuasaan. Lalu kekuasaan itu sendiri baginya bukanlah nominalis,
tidak bisa dipegang, pengkataan dari multiplisitas dan jalinan
kekuatan-kekuatan. Kekuasaan bukan sesuatu yang bisa dimiliki, oleh kaum
dominan sekali pun, tidak bisa dipengaruhi oleh kebenarannya, dia tidak tunduk
pada teori politik normal, dan tidak bisa direduksi oleh representasi
hukum. Kemudian hubungan antara subjek dan kekuasaan adalah bukan pelaku
dan produk. Sebab bukan subjek (secara substantif) yang menciptakan
kekuasaan, namun kekuasaanlah yang mempengaruhi adanya subjek, dan sifatnya
tidaklah tetap seperti hasil penemuan (founding subject). Demikian manusia juga
akhirnya dipengaruhi oleh kekuasaan, bukan manusia mempengaruhi kekuasaan.
Pada masa
Ratu Victoria I (1819-1901) di Eropa, pemahaman kekuasaan salah satunya
pengaturan dalam kehidupan seksualitas. Kehidupan seksualitas yang
bebas harus dipisahkan dari kesopanan di Eropa. Bahwa kekuasaan yang diartikan
oleh Foucault yang berhubungan dengan kehendak itu harus dibatasi oleh sistem
pemerintahan. Pemikiran yang bersifat mekanisme ini dinyatakan sebagai
sesuatu yang efektif yang ditawarkan fenomenologi. Namun hal ini juga
akan disadari olehnya sebagai penyesatan belaka, sama dengan penyelidikan
filosofis. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali pada zaman pencerahan
pasca Descrates pada abad 17, yaitu ketika manusia menyukai dialog dan
kegilaan. Kegilaan yang maksud adalah bidang medis, hal ini cocok dengan
pengalamannya bekerja di Rumah Sakit Jiwa.
Refleksi
sifat kegilaan dalam masyarakat
Didalam masyarakat saat ini kegilaan adalah suatu hal yang dilarang,
sejak 50 tahun terakhir di tempat yang kita kenal dengan julukan bangsa maju,
keberadaan ahli etnologi dan kejiwaan telah berusaha untuk apakah kegilaan yang
ada di dalam masyarakat di Negara mereka, yakni sebuah gangguan mental seperti
neurosis, obsesif, paranoia dan schizophrenia, yang terdapat juga dalam
kehidupan masyarakat primitif. Hal lain yakni untuk memberikan jawaban apakah
gangguan mental yang terjadi dalam masyarakat primitif tersebut mendapat status yang
berbeda dari pada tampak dinegara-negara yang
berasal dari ilmuan tersebut. Kita ketahui kegilaan itu sangat dilarang oleh
masyarakat kita saat ini, tidaklah masyarakat primitif telah memberikan nilai positif dalam hidup
mereka, lalu mereka bertanya apakah suatu masyarakat tertentu tidak akan
mengucilkan mereka.
Didalam sebuah masyarakat
terdapatlah suatu perilaku yang berbeda oleh masyarakat lain, yang tampak tidak sesuai
dengan aturan-aturan yang terbatasi dan
mereka lebih sehingga disebut individu-individu marjinal, Dalam kehidupan juga terdapat
orang-orang yang berada di luar siklus reproduksi, seperti halnya orang yang
tidak menikah itulah contohnya, dan kebanyakan dari mereka adalah pemeluk agama
yang taat, selain itu juga orang-orang Indian di Amerika Utara adanya orang-orang
homoseksual dan transeksual dan juga kegilaan, orang-orang seperti inilah bisa
dikatakan orang-orang yang terpinggirkan dan termarjinalkan dalam reproduksi masyarakat.
Setiap di dalam masyarakat juga
terdapat orang-orang yang dikucilkan diarea lingkup sosialnya, pengucilan
mereka terkadang soal sepele karena mereka dianggap berbahaya, disisi lain
mereka menjadi objek didalam suatu masyarakat, dalam kasus ini semua orang yang
dikucilkan itu berbeda jenisnya dari satu wilayah ke wilayah lain misalnya
pengucilan terhadap orang gila, dalam setiap masyarakat paling tidak hampir seluruh masyarakat,
orang gila selalu di kucilkan dan di asingkan dalam segala hal tergantung jenis
kasusnya, kerap kali mereka menyandang status seperti religious magis, unik
atau patologis.
Pada zaman suku primitif di Australia,
orang gila di artikan sebagai seorang individu yang ditakuti oleh masyarakat,
mereka di anggap sebagai seorang manusia yang diberkati oleh kekuatan
supranatural. Sedangkan dalam konteks masyarakat lain orang-orang gila tertentu
justru menjadi korban masyarakat. Intinya perilaku yang dilakukan orang gila memang
sebuah perilaku yang berbeda dari perilaku orang lain.
Orang gila pada zaman industri
Sebuah fakta bahwa pada masyarakat industri, keberadaan
orang gila selalu di kucilkan dengan sistem isomorfis, dan mereka terjebak pada
suatu kondisi yang marjinal, contohnya sejauh dalam hal pekerjaan, ada sebuah
penilaian kriteria utama yang menentukan bahwa adanya kegilaan dalam suatu
individu ialah dengan menunjukan bahwa orang itu tidak memiliki kecakapan untuk
bekerja dan mereka akan dianggap seperti itu.
Maka dari itu Freud mengatakan
dengan tepat bahwa orang gila (dalam pembahasannya mengenai neurosis) orang
yang tidak mampu bekerjan dan tidak mampu untuk mencintai, dari pemikiran ide
awal Freud ini ada benarnya yakni bahwa pada abad pertengahan di Eropa eksistensi
orang gila diterima, walau terkadang mereka suka terkejut dan berlaku tidak
stabil. Dan terkadang mereka berubah monjadi malas pada saat yang lain tetapi mereka dibiarkan
berkeliaran.
Pada saat zaman ini ketika
masyarakat industri mulai terbentuk,
keberadaan orang gila seperti itu tidak dapat lagi di toleransi, demi
menanggapi masyarakat industri, pembangunan dalam jumlah besar telah membatasi
mereka telah diciptakan secara simultan di rancis dan Inggris. Tidak hanya
orang gila saja yang dimasukan kedalamnya tetapi juga seperti halnya dengan
pengangguran, orang yang sakit, orang tua serta untuksemua orang yang tak dapat
atau tak mampu lagi untuk bekerja.
Menurut Perhitungan sejarah
tradisional, kira-kira pada akhir abad ke-18 tepatnya pada 1793, di
Prancis yakni Phiippe Pinel ia
membebaskan orang gila dari rantai mereka atau jeratan mereka. Dan yang terjadi
secara bersama hal itu juga terjadi di Inggris. Contoh kecilnya Samuel Tuke, ia
seorang anggota komunitas Kristen tetapi dia anti perang dan anti baptis
(Quaker), membuat sebuah rumah sakit psikiatri, pada saat itulah anggapan orang
kepada orang gila adalah penjahat hingga kemudian Panel dan Tuke memberikan
mereka label yakni “sakit” yang padahal sebenarnya perhitungan tersebut adalah
salah, karena terdapat kecendrungan dua kasus yakni bahwa tidak benar bahwa sebelum
revolusi orang gila, mereka dianggap sebagai penjaahat, yang kedua yakni ada suatu
kesalahan konsepsi jika kita memikirkan atau mempertimbangkan bahwa orang gila
telah dibebaskan dari status bentukan mereka.
Refleksi sejarah orang gila dari beberapa abad
sebelumhya
Secara umum dalam masyarakat primitif dan modern, pada abad pertengahan
seperti halnya masyarakat ada abad ke-20, sesuatu yang disebut universalah yang
diberikan pada orang gila, satu-satunya perbedaan ialah bahwa dari mulai abad
ke-17 hingga ke 19 hak untuk melakukan pengurungan orang gila adalah dari
keluarganya, maka dari itu keluargalah pihak pertama kali yang mengucilkan
orang gila, dan sekarang mulai abad ke-19 ini hak istimewa ini secara perlahan
hilang,kemudian diberikan kepada doketer, guna membatasi perkembangan orang
gila surat kesehatan menjadi penting sekali dibatasi, semua tanggung jawab dan
haknya sebagai anggota dari sebuah keluarga itu dicabut, sampai bahkan mereka
kehilangan status warga negaranya dan monad objek larangan hokum, maka bisa
dikatakan bahwa memberlakukan semua pengobatan dalam membantu orang gila untuk
menyandang status marjinal.
Ada sebuah kasus cara orang
memandang seksualitas dan keluarga,yakni ketika seseorang memeriksa
dokumen-dokumen di Eropa hingga awal abad ke-19 praktik seksual masturbasi,
homoseksual dan pula nimfomania sama sekali tidak di masukan kedalam wilayah
psikiatri, semua ini diawali sejak abad 19. Pada saat itu semua penyimpangan
seksual tersebut diidentifikasikan dengan kegilaan dan dipertimbangkan sebagai
gangguan yang muncul dari seorang individu yang tidak mampu beradaptasi dengan
keluarga borjuis Eropa.Dalam hal ini terlihat bahwa penyebab utama pada
kegilaan terletak pada perilaku penyimpangan seksual dipaksakan. Beyle
menggambarkan kelumpuhan yang maju secara perlahan bisa dikatakan sebagai
sipilis, maka Freud mengatakan bahwa libido sebagai suatu penyebab atau
ekspresi kegilaan karena ini menggunakan jenis pengaruh yang sama.
Adapun hal lain yang lebih
memarjinalkan mereka yakni bahwa ucapan orang gila selalu di tolak karena
dianggap tak berguna, inilah sebuah fase perhatian terhadap bahasa yang
dianggap aneh di Eropa. Maka Foucault mengatakan hal yang sangat konyol dicipatakannya
sebuah institusionalisasi (pelembagaan) terhadap ucapan orang gila itu. Karena hal tersebut
tidak menghubungkannya sebuah moralitas dan politik dan lebih dari pada itu
menyatakan orang-orang gila dalam bentuk simbolik, yakni kebenaranyang tak
dapat diucapkan oleh orang normal.
Terlihat bahwa bahasa bukan lagi
sebagai subjek terhadap aturan yang kuat dari sebuah pernyataan kebenaran yang
konstan, lagi pula si pengucap memiliki kewajiban untuk selalu tetap
sungguh-sungguh terhadap apa yang dia rasakan dan terhadap apa yang dia
pikirkan. Dan tidak seperti halnya kata-kata yang diucapkandalam politik dan
ilmu pengetahuandan mendapatkan sebuah posisi yang marjinal dari bahasa mereka
sehari-hari.
Dilema yang dihadapi penderita kegilaan
Pada abad pertengahan sampai abad 18 lalu. Terjadi
sebuah drama teater tradisional, dimana di dalam teater terdapat aktor, penonton, serta orang gila.
Orang gila ini ternyata berhasil membuat para penonton ketawa, mampu melihat
keadaan yang sebenarnya yang tidak bisa dilihatin oleh aktor-aktor lainnya, dan
orang gila ini berhasil menyelesaikan
keseluruhan struktur jalan cerita. Dengan kata lain, orang gila adalah suatu
bentuk karakter yang mengekpresikan kebenarannya melalui tubuhnya, sehingga
aktor dan penonton tidak menyadari bahwa orang gila itu memiliki kebenaran yang
muncul.
Lalu abad pertengahan,
selama periode Renaisans, dimana orang gila diizinkan hidup di tengah-tengah
masyarakat. Mereka disebut sebagai orang desa yang dungu, yang tidak menikah,
tidak dilibatkan dalam permainan, dan mereka diberi makan serta diberi dukungan
moral oleh orang lain. Orang gila ini diberikan kebebasan untuk berkelana dari
desa ke desa, di izinkan masuk dalam militer, dan menjadi orang seorang
pedagang. Akan tetapi bila kegilaannya sedang kambuh dan membahayaka penduduk
sekitar, maka masyarakat membuat sebuah rumah kecil diluar kota dan masyarakat
berhak untuk mengurung orang gila tersebut.
Pada abad 17, masyakat Eropa berubah menjadi tidak
toleran terhadap orang gila. Hal ini disebabkan oleh mulai terbentuk masyarakat
industri. Masyarakat industri kapitalis tidak bisa lagi menolerir keberadaan
gelandangan ini.
Menurut Pinel, ditahun 1793 orang gila telah
dibebaskan, namun orang-orang yang dibebaskan itu hanyalah orang sakit, lanjut
usia, pemalas, dan pelacur. Masyarakat membiarkan orang gila masuk ke dalam
lembaga itu. Akan tetapi dalam proses pembebasan orang gila memakan waktu lama,
karena di abad 19 pengembangan industri dipercepat dan dibutuhkan penyesuaian
dengan prinsip kapitalisme, lalu adanya kelompok-kelompok pengangguran
proletarian yang dipertahankan sebagai pasukan cadangan inti kaum buruh.
Adapun upaya yang dilakukan oleh suatu institusi
pengurungan, akhirnya berubah menjadi rumah sakit jiwa. Rumah-rumah sakit jiwa
ini didirikan dibeberapa tempat dengan tujuan antara lain:
1.
Mengurung
orang-orang yang tak mampu bekerja dengan alasan keterbatasan fisik.
2.
Mengurung
orang-orang yang tidak bisa bekerja dengan alasan keterbatasan nonfisik.
Dengan cara seperti ini, maka gangguan mental yang
sudah menjadi objek pengobatan dan kategori sosial bernama “psikiatri” lahir.
Dalam sejarah, proses pengobatan orang gila ini terjadi cukup lambat, dan
hasilnya tidak menimbulkan pengaruh yang besar terhadap status. Apabila
keberhasilan pengobatan ini memiliki alasan esensial dalam faktor sosial dan
ekonomi, yaitu masyarakat memberikan identitas pada orang gila yang sedang
sakit disebut penyakit mental. Rumah sakit psikiatri diciptakan sebagai sesuatu
yang sejajar dengan rumah sakit biasa. Maka dari itu, orang gila adalah sebuah avatar dari kapitalitas kita. Pada
dasarnya status orang gila tidak jauh berbeda di antara masyarakat primitif dan
masyarakat maju.
Penutup
Terkadang orang gila di dalam masyarakat sering dimarjinalkan, sehingga masyarakat
tidak mengetahui suatu kebenaran yang ada di dalam diri orang gila. Dalam
sebuah drama teater, orang gila mengekpresikan kebenarannya melalui tubuh, dan
ucapan . Tetapi sebenarnya aktor dan penonton tidak mengetahui suatu kebenaran
yang ditonjolkan oleh orang gila tersebut, padahal ketika kita me pada
abad-abad sebelumnya orang gila memiliki hak dan otonominya sebagai makhluk
hidup yang otonom, seperti halnya pada zaman Renaisans dimana orang gila
diperbolehkan berdagang, menjadi anggota militer, dan mereka boleh berkeliaran
kemana saja, bahkan dari desa ke kota atau kota ke desa.
Pembahasan paper ini adalah untuk merefleksikan
diri untuk tidak memandang kegilaan hanya dari sisi negativitasnya saja,
melainkan nilai guna di dalam masyarakat sehingga keberadaan mereka tidak
dimarginalkan oleh lingkungan sekitar.
Daftar Referensi
Arief. 2009. Pengetahuan dan Metode: Karya-Karya
Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Beilharz, Peter. 2003. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis
Terhadap Para Filosof Terkemuka. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
FIB Universitas Indonesia. 2008. Michel Foucault: La Volonte de Savoir (Histoire de la
Sexualite, tome I). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman.
2010. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Kencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar