Rabu, 16 Februari 2011

Konstruksi Makna Kegilaan Dalam Perspektif Michel Foucault


Konstruksi Makna Kegilaan Dalam Perspektif Michel Foucault

Oleh : Syaifudin





Foucault adalah intelektual yang paling terkenal di dunia. Foucault lahir di Prancis pada 15 Oktober 1926 dan meninggal pada tahun 1984. Pada tahun 1948 ia memperoleh licence dalam filsafat dan pada tahun 1950 ia memperoleh licence dalam psikologi. Di tahun 1952 mendapatkan gelar diploma psikopatalogi.Kemudian Foucault melanjutkan penelitiannya dan mengajar di  Ecole normale superieure. Usai perang dunia ke-II  ia menjadi anggota partai komunis Perancis hingga tahun 1951. Tahun 1954 ia menerbitkan buku kecil berjudul Meladie mentale et personnalite(penyakit jiwa dan kepribadian). Ia kemudian menerima pekerjaan sebagai dosen di Universitas Uppsala (Swedia) di bidang sastra dan budaya Prancis selama periode 1954-1958. 
Tahun 1958 ia menjadi direktur kebudayaan Perancis di Warsawa, sebelum kemudian menjabat posisi sejenis di Hamburg pada 1959. Pada tahun itu ia merampungkan buku ’Folie et deraison. Historie de la folie a l’age classique’. (Kegilaan dan nir-rasio. Sejarah kegilaan dalam zaman klasik). Setahun setelahnya ia kembali ke Prancis dengan naskah Hyppolite yang dikukuhkan sebagai tesis sejarah ilmu pengetahuan dan mengantar Foucault sebagai peraih gelar doktor negara pada tahun 1961.
Tahun 1963, disertasinya diedit dan dibukukan dengan judul Historie de la folie (sejarah kegilaan). Tetapi karya monumentalnya adalah Les mots et les choses. Une archeologie des sciences humanies (Kata-kata dan benda-benda. Sebuah arkeologi tentang ilmu-ilmu manusia) yang terbit pada tahun 1966. Karya Foucault dipandang sebagai arus strukturalisme Prancis yang masyur. Kemasyurannya itu berasal dari kumpulan karyanya sendiri yang begitu mengagumkan dari pemikiran di sejumlah bidang ilmu yang berbeda, termasuk sosiologi. Foucault juga memiliki kisah hidup yang menarik dan tema yang menandai kehidupan itu cenderung menentukan karyanya. Sebenarnya karyanya ia mencoba untuk memahami dirinya sendiri secara lebih baik dan kekuatan-kekuatan yang membuatnya menjalani kehidupan seperti yang dilakukannya itu.
Ketika karyanya yang berjudul L’archeologie du savoir (arkelologi pengetahuan) terbit pada tahun 1969, karya itu disambut masyarakat dengan antusias.Sepanjang periode 1960-1976, Foucault sibuk dengan karya ilmiah dan aktivitas mengajarnya. Tahun 1960-an ia mengajar di Tunisia, Montpellier, Clemond-Ferrand, dan Paris-Nanterre. Ia juga mendirikan universitas Paris-Vincennes. Lalu pada tahun 1969 ia dipilih sebagai profesor di College de France. Tahun 1975, ia menerbitkan bukuSurveiller et punir. Naissance de la prison. (Menjaga dan menghukum. Lahirnya penjara). Salah satu laporan penelitian Foucault yang menarik minat umum adalah riwayat hidup seorang pembunuh yang dulunya hidup sederhana di sebuah desa pada abad 19. Riwayat itu ditulis sendiri oleh sang pembunuh, Pierre Riviere, yang kemudian didokumentasi Foucault dalam judul Moi, Pierre Riviere, ayant egorge ma mere, ma soeur et mon frere..(Aku, Pierre Riviere, setelah membunuh Ibu, Saudari, dan Saudaraku...) dan diterbitkan pada tahun 1973. Pada tahun 1976, Foucault kembali menerbitkan salah satu karya besarnya yang berjudul Histoire de la sexualite (sejarah seksualitas) yang dirancang hadir dalam enam episode, namun ia hanya merampungkan tiga, masing-masing La volonte de savoir (kemauan untuk mengetahui) pada 1976, disusul L’usage des plaisirs (penggunaan kenikmatan) pada 1982, menyusul Le souci de soi (keprihatinan untuk dirinya)  di tahun 1984.
Popularitas Foucault tidak saja mencuat di Perancis atau di negara-negara yang menggunakan bahasa Perancis, tetapi juga mencapai negara dengan penduduk berbahasa Inggris. Ia beberapa kali menjadi dosen tamu di Amerika Serikat dan aktif dalam perluasan idenya melalui wawancara atau artikel. Beberapa bulan setelah terbitnya Le souci de soi (keprihatinan untuk dirinya)  di tahun 1984, Michel Foucault meninggal dunia dalam usia 57 tahun. Meski tidak ada konfirmasi resmi, Michel Foucault diduga meninggal karena HIV AIDS.
Subjek menurut Foucault adalah subjek yang sejajar dengan individu hanya akan bisa dipisahkan melalui kekuasaan. Lalu kekuasaan itu sendiri baginya bukanlah nominalis, tidak bisa dipegang, pengkataan dari multiplisitas dan jalinan kekuatan-kekuatan. Kekuasaan bukan sesuatu yang bisa dimiliki, oleh kaum dominan sekali pun, tidak bisa dipengaruhi oleh kebenarannya, dia tidak tunduk pada teori politik normal, dan tidak bisa direduksi oleh representasi hukum. Kemudian hubungan antara subjek dan kekuasaan adalah bukan pelaku dan produk. Sebab bukan subjek (secara substantif) yang menciptakan kekuasaan, namun kekuasaanlah yang mempengaruhi adanya subjek, dan sifatnya tidaklah tetap seperti hasil penemuan (founding subject). Demikian manusia juga akhirnya dipengaruhi oleh kekuasaan, bukan manusia mempengaruhi kekuasaan.
Pada masa Ratu Victoria I (1819-1901) di Eropa, pemahaman kekuasaan salah satunya pengaturan dalam kehidupan seksualitas. Kehidupan seksualitas yang bebas harus dipisahkan dari kesopanan di Eropa. Bahwa kekuasaan yang diartikan oleh Foucault yang berhubungan dengan kehendak itu harus dibatasi oleh sistem pemerintahan. Pemikiran yang bersifat mekanisme ini dinyatakan sebagai sesuatu yang efektif yang ditawarkan fenomenologi.  Namun hal ini juga akan disadari olehnya sebagai penyesatan belaka, sama dengan penyelidikan filosofis. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali pada zaman pencerahan pasca Descrates pada abad 17, yaitu ketika manusia menyukai dialog dan kegilaan. Kegilaan yang maksud adalah bidang medis, hal ini cocok dengan pengalamannya bekerja di Rumah Sakit Jiwa.
 

Refleksi sifat kegilaan dalam masyarakat
            Didalam masyarakat saat ini kegilaan adalah suatu hal yang dilarang, sejak 50 tahun terakhir di tempat yang kita kenal dengan julukan bangsa maju, keberadaan ahli etnologi dan kejiwaan telah berusaha untuk apakah kegilaan yang ada di dalam masyarakat di Negara mereka, yakni sebuah gangguan mental seperti neurosis, obsesif, paranoia dan schizophrenia, yang terdapat juga dalam kehidupan masyarakat primitif. Hal lain yakni untuk memberikan jawaban apakah gangguan mental yang terjadi dalam masyarakat primitif tersebut mendapat status yang berbeda dari pada tampak  dinegara-negara yang berasal dari ilmuan tersebut. Kita ketahui kegilaan itu sangat dilarang oleh masyarakat kita saat ini, tidaklah masyarakat primitif telah memberikan nilai positif dalam hidup mereka, lalu mereka bertanya apakah suatu masyarakat tertentu tidak akan mengucilkan mereka.
            Didalam sebuah masyarakat terdapatlah suatu perilaku yang berbeda oleh masyarakat lain, yang tampak tidak sesuai dengan aturan-aturan  yang terbatasi dan mereka lebih sehingga disebut individu-individu marjinal, Dalam kehidupan juga terdapat orang-orang yang berada di luar siklus reproduksi, seperti halnya orang yang tidak menikah itulah contohnya, dan kebanyakan dari mereka adalah pemeluk agama yang taat, selain itu juga orang-orang Indian di Amerika Utara adanya orang-orang homoseksual dan transeksual dan juga kegilaan, orang-orang seperti inilah bisa dikatakan orang-orang yang terpinggirkan dan termarjinalkan dalam reproduksi masyarakat.
            Setiap di dalam masyarakat juga terdapat orang-orang yang dikucilkan diarea lingkup sosialnya, pengucilan mereka terkadang soal sepele karena mereka dianggap berbahaya, disisi lain mereka menjadi objek didalam suatu masyarakat, dalam kasus ini semua orang yang dikucilkan itu berbeda jenisnya dari satu wilayah ke wilayah lain misalnya pengucilan terhadap orang gila, dalam setiap masyarakat paling tidak hampir seluruh masyarakat, orang gila selalu di kucilkan dan di asingkan dalam segala hal tergantung jenis kasusnya, kerap kali mereka menyandang status seperti religious magis, unik atau patologis.
            Pada zaman suku primitif di Australia, orang gila di artikan sebagai seorang individu yang ditakuti oleh masyarakat, mereka di anggap sebagai seorang manusia yang diberkati oleh kekuatan supranatural. Sedangkan dalam konteks masyarakat lain orang-orang gila tertentu justru menjadi korban masyarakat. Intinya perilaku yang dilakukan orang gila memang sebuah perilaku yang berbeda dari perilaku orang lain.
           

Orang gila pada zaman industri
            Sebuah fakta bahwa pada masyarakat industri, keberadaan orang gila selalu di kucilkan dengan sistem isomorfis, dan mereka terjebak pada suatu kondisi yang marjinal, contohnya sejauh dalam hal pekerjaan, ada sebuah penilaian kriteria utama yang menentukan bahwa adanya kegilaan dalam suatu individu ialah dengan menunjukan bahwa orang itu tidak memiliki kecakapan untuk bekerja dan mereka akan dianggap seperti itu.
            Maka dari itu Freud mengatakan dengan tepat bahwa orang gila (dalam pembahasannya mengenai neurosis) orang yang tidak mampu bekerjan dan tidak mampu untuk mencintai, dari pemikiran ide awal Freud ini ada benarnya yakni bahwa pada abad pertengahan di Eropa eksistensi orang gila diterima, walau terkadang mereka suka terkejut dan berlaku tidak stabil. Dan terkadang mereka berubah monjadi malas pada saat yang lain tetapi mereka dibiarkan berkeliaran.
            Pada saat zaman ini ketika masyarakat industri  mulai terbentuk, keberadaan orang gila seperti itu tidak dapat lagi di toleransi, demi menanggapi masyarakat industri, pembangunan dalam jumlah besar telah membatasi mereka telah diciptakan secara simultan di rancis dan Inggris. Tidak hanya orang gila saja yang dimasukan kedalamnya tetapi juga seperti halnya dengan pengangguran, orang yang sakit, orang tua serta untuksemua orang yang tak dapat atau tak mampu lagi untuk bekerja.
            Menurut Perhitungan sejarah tradisional, kira-kira pada akhir abad ke-18 tepatnya pada 1793, di Prancis  yakni Phiippe Pinel ia membebaskan orang gila dari rantai mereka atau jeratan mereka. Dan yang terjadi secara bersama hal itu juga terjadi di Inggris. Contoh kecilnya Samuel Tuke, ia seorang anggota komunitas Kristen tetapi dia anti perang dan anti baptis (Quaker), membuat sebuah rumah sakit psikiatri, pada saat itulah anggapan orang kepada orang gila adalah penjahat hingga kemudian Panel dan Tuke memberikan mereka label yakni “sakit” yang padahal sebenarnya perhitungan tersebut adalah salah, karena terdapat kecendrungan dua kasus yakni bahwa tidak benar bahwa sebelum revolusi orang gila, mereka dianggap sebagai penjaahat, yang kedua yakni ada suatu kesalahan konsepsi jika kita memikirkan atau mempertimbangkan bahwa orang gila telah dibebaskan dari status bentukan mereka.


Refleksi sejarah orang gila dari beberapa abad sebelumhya
            Secara umum dalam masyarakat primitif dan modern, pada abad pertengahan seperti halnya masyarakat ada abad ke-20, sesuatu yang disebut universalah yang diberikan pada orang gila, satu-satunya perbedaan ialah bahwa dari mulai abad ke-17 hingga ke 19 hak untuk melakukan pengurungan orang gila adalah dari keluarganya, maka dari itu keluargalah pihak pertama kali yang mengucilkan orang gila, dan sekarang mulai abad ke-19 ini hak istimewa ini secara perlahan hilang,kemudian diberikan kepada doketer, guna membatasi perkembangan orang gila surat kesehatan menjadi penting sekali dibatasi, semua tanggung jawab dan haknya sebagai anggota dari sebuah keluarga itu dicabut, sampai bahkan mereka kehilangan status warga negaranya dan monad objek larangan hokum, maka bisa dikatakan bahwa memberlakukan semua pengobatan dalam membantu orang gila untuk menyandang status marjinal.
            Ada sebuah kasus cara orang memandang seksualitas dan keluarga,yakni ketika seseorang memeriksa dokumen-dokumen di Eropa hingga awal abad ke-19 praktik seksual masturbasi, homoseksual dan pula nimfomania sama sekali tidak di masukan kedalam wilayah psikiatri, semua ini diawali sejak abad 19. Pada saat itu semua penyimpangan seksual tersebut diidentifikasikan dengan kegilaan dan dipertimbangkan sebagai gangguan yang muncul dari seorang individu yang tidak mampu beradaptasi dengan keluarga borjuis Eropa.Dalam hal ini terlihat bahwa penyebab utama pada kegilaan terletak pada perilaku penyimpangan seksual dipaksakan. Beyle menggambarkan kelumpuhan yang maju secara perlahan bisa dikatakan sebagai sipilis, maka Freud mengatakan bahwa libido sebagai suatu penyebab atau ekspresi kegilaan karena ini menggunakan jenis pengaruh yang sama.
            Adapun hal lain yang lebih memarjinalkan mereka yakni bahwa ucapan orang gila selalu di tolak karena dianggap tak berguna, inilah sebuah fase perhatian terhadap bahasa yang dianggap aneh di Eropa. Maka Foucault mengatakan hal yang sangat konyol dicipatakannya sebuah institusionalisasi (pelembagaan) terhadap ucapan orang gila itu. Karena hal tersebut tidak menghubungkannya sebuah moralitas dan politik dan lebih dari pada itu menyatakan orang-orang gila dalam bentuk simbolik, yakni kebenaranyang tak dapat diucapkan oleh orang normal.
            Terlihat bahwa bahasa bukan lagi sebagai subjek terhadap aturan yang kuat dari sebuah pernyataan kebenaran yang konstan, lagi pula si pengucap memiliki kewajiban untuk selalu tetap sungguh-sungguh terhadap apa yang dia rasakan dan terhadap apa yang dia pikirkan. Dan tidak seperti halnya kata-kata yang diucapkandalam politik dan ilmu pengetahuandan mendapatkan sebuah posisi yang marjinal dari bahasa mereka sehari-hari.
           

Dilema yang dihadapi penderita kegilaan
Pada abad pertengahan sampai abad 18 lalu. Terjadi sebuah drama teater tradisional, dimana di dalam teater  terdapat aktor, penonton, serta orang gila. Orang gila ini ternyata berhasil membuat para penonton ketawa, mampu melihat keadaan yang sebenarnya yang tidak bisa dilihatin oleh aktor-aktor lainnya, dan orang gila ini  berhasil menyelesaikan keseluruhan struktur jalan cerita. Dengan kata lain, orang gila adalah suatu bentuk karakter yang mengekpresikan kebenarannya melalui tubuhnya, sehingga aktor dan penonton tidak menyadari bahwa orang gila itu memiliki kebenaran yang muncul.
            Lalu abad pertengahan, selama periode Renaisans, dimana orang gila diizinkan hidup di tengah-tengah masyarakat. Mereka disebut sebagai orang desa yang dungu, yang tidak menikah, tidak dilibatkan dalam permainan, dan mereka diberi makan serta diberi dukungan moral oleh orang lain. Orang gila ini diberikan kebebasan untuk berkelana dari desa ke desa, di izinkan masuk dalam militer, dan menjadi orang seorang pedagang. Akan tetapi bila kegilaannya sedang kambuh dan membahayaka penduduk sekitar, maka masyarakat membuat sebuah rumah kecil diluar kota dan masyarakat berhak untuk mengurung orang gila tersebut.
Pada abad 17, masyakat Eropa berubah menjadi tidak toleran terhadap orang gila. Hal ini disebabkan oleh mulai terbentuk masyarakat industri. Masyarakat industri kapitalis tidak bisa lagi menolerir keberadaan gelandangan ini.
Menurut Pinel, ditahun 1793 orang gila telah dibebaskan, namun orang-orang yang dibebaskan itu hanyalah orang sakit, lanjut usia, pemalas, dan pelacur. Masyarakat membiarkan orang gila masuk ke dalam lembaga itu. Akan tetapi dalam proses pembebasan orang gila memakan waktu lama, karena di abad 19 pengembangan industri dipercepat dan dibutuhkan penyesuaian dengan prinsip kapitalisme, lalu adanya kelompok-kelompok pengangguran proletarian yang dipertahankan sebagai pasukan cadangan inti kaum buruh.
Adapun upaya yang dilakukan oleh suatu institusi pengurungan, akhirnya berubah menjadi rumah sakit jiwa. Rumah-rumah sakit jiwa ini didirikan dibeberapa tempat dengan tujuan antara lain:
1.      Mengurung orang-orang yang tak mampu bekerja dengan alasan keterbatasan fisik.
2.      Mengurung orang-orang yang tidak bisa bekerja dengan alasan keterbatasan nonfisik.
Dengan cara seperti ini, maka gangguan mental yang sudah menjadi objek pengobatan dan kategori sosial bernama “psikiatri” lahir. Dalam sejarah, proses pengobatan orang gila ini terjadi cukup lambat, dan hasilnya tidak menimbulkan pengaruh yang besar terhadap status. Apabila keberhasilan pengobatan ini memiliki alasan esensial dalam faktor sosial dan ekonomi, yaitu masyarakat memberikan identitas pada orang gila yang sedang sakit disebut penyakit mental. Rumah sakit psikiatri diciptakan sebagai sesuatu yang sejajar dengan rumah sakit biasa. Maka dari itu, orang gila adalah sebuah avatar dari kapitalitas kita. Pada dasarnya status orang gila tidak jauh berbeda di antara masyarakat primitif dan masyarakat maju.


Penutup
Terkadang orang gila di dalam masyarakat  sering dimarjinalkan, sehingga masyarakat tidak mengetahui suatu kebenaran yang ada di dalam diri orang gila. Dalam sebuah drama teater, orang gila mengekpresikan kebenarannya melalui tubuh, dan ucapan . Tetapi sebenarnya aktor dan penonton tidak mengetahui suatu kebenaran yang ditonjolkan oleh orang gila tersebut, padahal ketika kita me pada abad-abad sebelumnya orang gila memiliki hak dan otonominya sebagai makhluk hidup yang otonom, seperti halnya pada zaman Renaisans dimana orang gila diperbolehkan berdagang, menjadi anggota militer, dan mereka boleh berkeliaran kemana saja, bahkan dari desa ke kota atau kota ke desa.
Pembahasan paper ini adalah untuk merefleksikan diri untuk tidak memandang kegilaan hanya dari sisi negativitasnya saja, melainkan nilai guna di dalam masyarakat sehingga keberadaan mereka tidak dimarginalkan oleh lingkungan sekitar.


Daftar Referensi
Arief. 2009. Pengetahuan  dan Metode: Karya-Karya Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Beilharz, Peter. 2003. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
FIB Universitas Indonesia. 2008. Michel Foucault:  La Volonte de Savoir (Histoire de la Sexualite, tome I). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.



Tidak ada komentar: