Sekilas
Tentang Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons
Oleh:
Syaifudin
Ada
sebuah tradisi dalam sebuah pemikiran sosiologi yang lazim disebut
“fungsionalisme”, “fungsionalisme struktural”, “analisis fungsional”, dan
“teori fungsional”. Kebaikan yang bersifat relatif dan tradisi fungsionalisme
bukan hanya diperdebatkan tetapi juga sering mendapat kritik dasar yang
merusak. Walaupun demikian tradisi tersebut masih dipegang teguh oleh para
pengikutnya.[1]
Tradisi
pemikiran para fungsionalis barat mengenai teori fungsionalisme struktural
berangkat dari analogi sistem biologi yang melihat jasad atau badan sebagai
sebuah sistem. Karena merupakan sebuah sistem, badan terdiri dari kesatuan
komponen-komponen pembentuk yang bekerjasama dalam rangka pemenuhan
kebutuhan dan pemeliharaan diri. Berdasarkan analogi tersebut, para ahli
mengamati masyarakat sebagai sebuah rangkaian komponen beserta fungsinya
masing-masing yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Pokok
– pokok para ahli yang telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini telah
menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari paradigma tentang fungsionalisme
struktural ini, sebut saja Ritzer (1980), Poloma (1987), dan Turner (1986). Soetomo
(1995) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini
dikembangkan dari paradigma fakta sosial.
Tampilnya paradigma ini
merupakan usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru lahir agar mempunyai
kedudukkan sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri. Secara garis besar
fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu
struktur sosial dan pranata sosial. Inilah yang menjadi subject matter dari paradigm tersebut.
Menurut
teori fungsionalisme struktural, struktur sosial dan pranata sosial
tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang berdiri
atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam
keseimbangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori ini (fungsional–struktural)
menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan
perubahan-perubahandalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap
struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau
tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya.
Dalam proses lebih lanjut, teori ini pun kemudian
berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.
Pada
tahun 1937, Talcott Parsons menerbitkan bukunya yang berjudul The Structure of Social Action, dan buku
ini merupakan hasil karya utama Talcott Parsons yang pertama. Secara cermat dan
rinci, Parsons mencoba untuk menguraikan bagaimana kelebihan dan kekurangan
yang dimiliki para pendahulu ahli-ahli fikir tiga tradisi intelektual pokok,
yakni utilitarisme, positivisme, dan idealisme. Asumsi dasar dan konsep dari ke
tiga tradisi tersebut dapat dirangkum dan membentuk dasar konseptual yang lebih
memadai untuk penyusunan-penyusunan teori sosiologi selanjutnya. Hasil dari
kegiatan tersebut tidak hanya terbatas pada adanya pandangan substantif
mengenai gejala sosial, akan tetapi juga suatu strategi khas untuk menyusun
teori sosiologi[2].
Dari
langkah awal inilah, Parson melahirkan teori tindakan yang menganggap tindakan
manusia bersifat voluntaristik, intensional, dan simbolik. Kemudian ia
mengemukakan bahwa pada dasarnya suatu sistem tindakan umum terdiri dari tiga sistem
yang saling berkaitan; sistem sosial, personalitas, dan kultural.
Dari sistem sosial inilah, Parson melihat adanya struktur-struktur dalam
masyarakat yang memiliki fungsi masing-masing. Dalam pengembangan ide
tersebut, Parson banyak berkiblat pada hasil-hasil
pemikiran pendahulunya, diantaranya Durkheim, Malinowski, Weber,
dan Pareto.
Dalam
The Structure of Social Action, Parsons
mengembangkan realism analitis untuk menyusun sebuah teori sosiologi. Teori
dalam sosilogi haruslah menggunakan sejumlah konsep penting yang terbatas yang
secara proposional mencakup aspek-aspek dunia eksternal yang objektif.
Konsep-konsep itu tidaklah sama dengan gejala konkrit, akan tetapi sama dengan
unsur-unsurnya yang secara analitis dapat dipisahkan dengan unsur-unsurnya yang
lain (Talcott Parsos 1937: 730). Sehingga, pertama-tama teori beraitan dengan
perkembangan konsep-konsep yang merupakan abstraksi realitas empiris, sehingga
menjadi unsur-unsur analitis yang sama. Dengan cara ini, konsep-konsep akan
mengisolasikan gejala dari kerumitan hubungan-hubungan yang membentuk suatu
realitas sosial[3].
Talcott
Parson merupakan seorang tokoh fungsionalisme struktural modern terbesar hingga
saat ini. Pendekatan fungsionalisme struktural sebagaimana yang telah
dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat dikaji melalui
anggapan-anggapan dasar berikut:
a. Masyarakat haruslah dilihat sebagai
suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain
b. Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian
tersebut bersifat timbal balik
c. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah
dapat dicapi dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial
selalu cenderung bergerak ke arah ekuilibrium yang bersifat dinamis.
d. Sistem sosial senantiasa berproses ke
arah integrasi sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi dan penyimpangan.
e. Perubahan-perubahan dalam sistem sosial,
terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak
secara revolusioner.
f.
Faktor paling penting yang memiliki daya integrasi suatu sistem
sosial adalah konsensus atau mufakat di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilaikemasyarakatan
tertentu.
Dengan
kata lain, dapat dikatakan bahwa suatu sistem sosial, pada dasarnya, tidak lain
adalah suatu sistem dari tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari interaksi sosial
yang terjadi di antara berbagai individu yang tumbuh berkembang tidak secara kebetulan, namun tumbuh dan berkembang
di atas konsensus, di atas standar penilaian umum masyarakat. Yang
paling penting di antara berbagai standar penilaian umum tersebut adalah
norma-norma sosial. Norma-norma sosial itulah yang membentuk struktur
sosial. Sistem nilai ini, selain menjadi sumber yang menyebabkan berkembangnya
integrasi sosial, juga merupakan unsur yang menstabilir sistem sosial budaya
itu sendiri.
Oleh
karena setiap orang menganut dan mengikuti pengertian-pengertian yang sama
mengenai situasi-situasi tertentu dalam bentuk norma-norma sosial, maka tingkah
laku mereka kemudian terjalin sedemikian rupa ke dalam bentuk suatu struktur
sosial tertentu. Kemudian pengaturan interaksi sosial di antara mereka dapat
terjadi Karena komitmen mereka terhadap norma-norma yang mampu mengatasi
perbedaan pendapatdan kepentingan individu. Dua macam mekanisme sosial yang
paling penting di mana hasrat-hasrat para anggota masyarakat dapat dikendalikan
pada tingkat dan arah menujuterpeliharanya sistem sosial adalah mekanisme
sosialisasi dan pengawasan sosial (social
control).
Sistem
sosial dan hubungannya dengan fungsionalisme
Perhatian
Parsons terletak pada saraf fungsional sistem sosial, tetapi terlebih
dahulukita harus mengingat pengertian sistem itu. Parsons menyatakan bahwa
konsep sistemmenunjuk pada dua hal. Pertama, Saling ketergantungan
antara bagian, komponen, dan proses-proses yang meliputi
keteraturan-keteraturan yang dapat dilihat. Kedua, Sebuah tipeyang
sama dari ketergantungan antara beberapa kompleks dan lingkungan-lingkungan
yang mengelilinginya. Sementara itu, batasan tentang konsep sistem sosial
hampir dibuat secara baragam dalam setiap tulisan Parsons dalam kurun waktu yang
berbeda. Sistem sosial dapat dilihat sebagai terdiri atas
anggota-anggotaindividual masyarakat yang melaksanakan kegiatan-kegiatan yang
berbeda atau memainkan beragam peran, dalam kerangka umum pembagian
kerja masyarakat.
Dengan
kata lain, kita juga harus mengerti batasan-batasan dari sistem sosial itu. Pertama,
Sistem sosial merupakan jaringan hubungan-hubungan antaraktor atau jaringan
hubungan interaktif. Kedua, Sistem sosial menyediakan kerangka
konseptual untuk menghubungkan tindakan individu dalam situasi yang
bervariasi. Ketiga, Pandangan aktor tentang alat dan tujuan
didapat pada situasi yang dibentuk oleh kepercayaan, norma, dan nilaiyang
diorganisasikan dalam harapan peran. Keempat, Aktor tidak menghadapi situasi sebagai
individu sendirian, tetapi lebih sebagai posisi dalam peran sosial yang
menyediakan perilakuyang sesuai dan juga berhubungan dengan peran-peran sosial
lain[4].
Di
dalam The Social System, Parsons sendiri mencoba menggambarkannya
sebagai suatu “skema konseptual untuk menganalisa struktur dan beberapa proses
sistem sosial”, yaitu suatu pernyataan tentang teori sosiologi secara umum; dan
seperangkat teori sistem yang pada gilirannya, merupakan “suatu bagian
integral dari skema konseptual yang lebih luas yang kita menyebutnya dengan
teori tindakan”. Titik berangkat Parsons adalah interaksi aktor-aktor individu
di bawah kondisi yang mendorong kita menggunakan interaksi mereka sebagai suatu
sistem di dalam pengertian keilmuan dan mengontrol tatanan analisa teoritis
yang sama di mana telah berhasil ditetapkan pada jenis sistem lain di
dalam ilmu-ilmu lainnya. Sistem yang paling sederhana dari interaksi tersebut
adalah yang bersifat “hubungan berpasangan”, yang dalam analisa terakhirnya
menyatakan bahwa organisme-organisme bukanlah tindakan-tindakan yang secara
memadai dapat dimengerti melalui referensi terhadap sistem biologisnya atau fisio
kimiawi. Interaksi sosial harus dipahami pada tingkatnya sendiri dan bukan
dikurangi oleh faktor-faktor yang bukan sosial, walaupun hal seperti ini bisa
jadi relevan.
Oleh
karena itu, Parsons lebih suka berbicara tentang tindakan seorang aktor dan
keadaan tindakannya daripada perilaku organisme dan lingkungannya. Posisinya
makin jelas bila dibedakan dari kelompok behavioris. Orang tidak dapat memahami
suatu sistem sosial secara memadai jika ia gagal mengkaji bahwa sistem budaya
secara bertahap merupakan suatu sistem budaya yangmewujudkan dirinya ke dalam
sistem kepribadian dan motivasi-motivasi para kator individu. Di dalam ungkapan
Parsons, kita tidak bisa berbicara sama sekali tentang stuktur dari
sistemsosial dalam pengertian teoritis, di mana tanpa berbicara tentang
pelembagaan pola-pola budaya, khususnya pola-pola orientasi nilai.
Demikian pula proses-proses motivasi darisistem sosial tersebut adalah
merupakan proses di dalam kepribadian darikomponen aktor-aktor individu.
Paradigma
AGIL
Kehidupan
sosial sebagai suatu sistem sosial memerlukan terjadinya ketergantungan yang
berimbas pada kestabilan sosial. Sistem yang timpang, sebut saja karena tidak adanya
kesadaran bahwa mereka merupakan sebuah kesatuan, menjadikan sistem tersebut
tidak teratur. Sepanjang hidupnya, Talcott Parsons banyak menghasilkan karya
teoritis. Ada beberapa perbedaan penting antara karya awal dengan karya
akhirnya. Dalam Fungsionalime struktural Parsons, terdapat empat imperatif
fungsional bagi sistem “tindakan”. Suatu sistem sosial akan selalu
terjadi keseimbangan apabila iamenjaga Safety Valve atau katup pengaman
yang terkandung dalam paradigma AGIL. Paradigma AGIL adalah salah satu teori
Sosiologi yang dikemukakan oleh ahli sosiologi Amerika, Talcott Parsons
pada sekitar tahun 1950. Teori ini adalah lukisan abstraksi yang sistematis
mengenai keperluan sosial (kebutuhan fungsional) tertentu, yang mana setiap
masyarakat harus memeliharanya untuk memungkinkan pemeliharaan kehidupan
sosial yang stabil. Teori AGIL adalah sebagian teori sosial yang
dipaparkan oleh Parson mengenai struktur fungsional, diuraikan dalam bukunya The
Social System, yang bertujuan untuk membuat persatuan pada
keseluruhan system sosial. Teori Parsons danParadigma AGIL sebagai elemen
utamanya mendominasi teori sosiologi dari tahun1950 hingga 1970.
AGIL
merupakan akronim dari Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency atau
latent pattern-maintenance, meskipun demikian tidak terdapat skala prioritas
dalam pengurutannya.
Adaptation
yaitu kemampuan masyarakat untuk berinteraksi dengan lingkungan danalam.
Hal ini mencakup segala hal; mengumpulkan
sumber-sumber kehidupan dan menghasilkan komuditas untuk redistribusi sosial.
Misalnya bagaimana seseorang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Goal-Attainment adalah
kecakapan untuk mengatur dan menyusun tujuan-tujuanmasa depan
dan membuat keputusan yang sesuai dengan itu. Pemecahan
permasalahan politik dan sasaran-sasaran sosial adalah bagian dari
kebutuhan ini.
Integration
atau harmonisasi keseluruhan anggota sistem sosial setelah sebuah
generalagreement mengenai nilai-nilai atau norma pada masyarakat ditetapkan. Di
sinilah perannilai tersebut sebagai pengintegrasi sebuah sistem sosial,
misalnya pemenangan hasil pemilu.
Latency
(Latent-Pattern-Maintenance) adalah memelihara sebuah pola, dalam hal
ininilai-nilai kemasyrakatan tertentu seperti budaya, norma, aturan dan sebagainya.
Organisme behavioral adalah sistem tindakan
yang menangani fungsi adaptasi dengan menyesuaikan dam mengubah dunia luar. Sistem kepribadian menjalankan
fungsi pencapaian tujuan dengan mendefinisikan tujuan sistem dam
memobilisasi sumber daya yang digunakan untuk mencapainya. Sistem sosial menangani fungsi
integrasi dengan mengontrol bagian-bagian yang menjadi komponenya.
Akhirnya, sistem kultural
menjalankan fungsi latensi dengan membekali aktor dengan norma
dan nilai-nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.[5]
Di samping itu, Parsons menilai, keberlanjutan sebuah
sistem bergantung padapersyaratan dibawah ini:
a. Sistem harus terstruktur agar bisa
menjaga keberlangsungan hidupnya dan juga harusmampu harmonis dengan sistem
lain
b.
Sistem harus mendapat dukungan yang
diperlukan dari sistem lain.
c.
Sistem harus mampu mengakomodasi
para aktornya secara proporsional.
d.
Sistem harus mampu melahirkan
partisipasi yang memadai dari para aktornya
e.
Sistem harus mampu untuk mengendalikan
perilaku yang berpotensi mengganggu
f.
Bila terjadi konflik menimbulkan
kekacauan harus dapat dikendalikan
g.
Sistem harus memiliki bahasa Aktor
dan Sistem Sosial.
Menurut
Parsons persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai dan norma
kedalam sistem ialah dengan sosialisasi dan internalisasi. Pada proses sosialisasi
yang sukses, nilai dan norma sistem sosial itu akan diinternalisasikan. Artinya
ialah nilai dan norma sistem sosial ini menjadi bagian kesadaran dari aktor
tersebut. Akibatnya ketikasang aktor sedang mengejar kepentingan mereka maka
secara langsung dia juga sedangmengejar kepentingan sistem sosialnya.Sementara
proses sosialisasi ini berhubungan dengan pengalaman hidup (dan spesifik) dan
harus berlangsung secara terus menerus, karena nilai dan norma yang diproleh sewaktu
kecil tidaklah cukup untuk menjawab tantangan ketika dewasa.
Tidak
ada sesuatu yang tidak problematis atau otomatis tentang kelangsungan dari
harapan-harapan normatif atau sistem-sistem nilai pandangan Parsons bahwa
tatanan sosial didasarkan atas suatu nilai umum, jelas bertentangan dengan apa
yang ditekankan oleh Weber, suatu masyarakat yang ditandai dengan keragaman
nilai-nilai selalu mempertarungkan satu dengan yang lainnya. Nilai-nilai
tersebut tidak juga jatuh dari langit maupun mengontrol secara mandiri dari
suatu kelompok atau strata sosial secara khusus. Disaat upaya dibuat untuk
melembagakan suatu sistem nilai yang lebih utuh, maka nilai-nilai tersebut
secara khas mendukung kepentingan suatu kekuasaan dan harga diri. Oleh karena
itu, sering upaya-upaya seperti ini menjumpai tekanan dan oposisi. Akhirnya hal
ini tidak bisa diasumsikan bahwa setiap generasi akan menerima nilai-nilai
tertentu sebagai suatu hal yang paling akhir. Ringkasnya, dengan
mengucilkann nilai-nilai dari kepentingan, kelas-kelassosial, dan negara serta
dengan meletakkan kepasifan, maka Parsons telah mengabaikan suatu fakta bahwa
mencangkokkan dan mempertahankan nilai-nilai sering melibatkan “sakit dan
ketakutan besar”.
Tindakan
dan aliran aksi sosial teori fungsionalisme struktural
Dalam
The Structure of Social Action, Parsons menunjukkan teori aksi (action
theory) di mana ini menuju titik sentral konsep perilaku
voluntaristik. Konsep ini mengandung pengertian kemampuan individu
menentukan cara dan alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka
mencapai tujuan. Bahwa individu yang memiliki tujuan disebutnya sebagai aktor.
Tidak ada individu yang bertindak tanpa memiliki tujuan tertentu. Tujuan
merupakan keseluruhan keadaan konkret di masa depan yang diharapkan, sejauh
relevan dengan kerangka acuan tindakan. Bisa dikatakan bahwa aktor terlibat
dalam pengejaran, realisasi, atau pencapaian tujuan itu. Oleh karena itu, demi
memfasilitasi ini, ia memerlukan seperangkat alat. Alat bisa dipilih secara
acak, juga bisa bergantung pada kondisi tindakan. Alat tersebut bisa muncul
satu per satu, bisa muncul secara bebarengan.
Selama
tahun-tahun studi dan karir awalnya sebagai seorang instruktur muda, Parsons sangat
tertarik kepada karya empat ilmuwan terkenal yaitu: Sosiolog Emile
Durkheim,Ekonom Alfred Marshall, sosiolog-enginer Vilfredo Pareto, dan
Sosiolog-ekonom MaxWeber. Hasil dari minat terhadap karya Marshall, Pareto, dan
Weber ini ialah sebuah buku yang terbit di tahun 1937 dengan judul The
Structure of Social Action.
Buku
yang merupakan sintesa dari karya empat sarjana tersebut menyangkut masalah
tata sosio-ekonomi, dan menandai apa yang disebut Parsons sebagai “titik balik
yang mendasar dalam karir saya”.[6] Ide-ide
memainkan peranan penting dalam menentukan aksi, yang tidak berarti
bahwa pengarangnya terikat dengan semacam metafisika idealistik manusia
yang dari situ seringkalidisimpulkan bahwa ide-ide mesti muncul melalui suatu
proses “doktrin suci” (immaculate conseption) yang tanpa cacat oleh
kekuatan-kekuatan sosial dan ekonomi atau ide-ide itu memengaruhi aksi dengan
suatu proses otomatis dan misterius kesadaran diri atau “emanasi” tanpa
berhubungan dengan unsur-unsur lain dari sistem sosial.
Parsons
banyak mencurahkan waktu untuk menganalisis komponen dasar proses subjektif
dari aktor. Tidak seperti kaum fungsionalis lain, ia lebih kepada gagasan makro
yang konsen dengan pola-pola penting tindakan kolektif. Seperti dinyatakan
Lewis Coser, sekalipun tidak bisa dimungkiri bahwa cukup kental pengaruh Max
Weber atas gagasan Parsons, seperti yang kita lihat ketika Parsons menjelaskan
tentang teori aksi (action theory). Tetapi, bisa dinyatakan bahwa
Parsons cenderung kepada gagasan yang bersifat Durkheimian.[7]
Daftar
Referensi
Craib,
Ian. 1986. Teori-Teori Sosial Modern:
dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: Rajawali.
Parsons, Talcott.
1970. Social Scturcture and Personality. London: The Free Press
Parsons, Talcott.
2005. The Social System. New York: Routledge.
Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi
Kontemporer. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.
Rachmad K. Dwi. 2008. 20 Tokoh
Teori Sosiologi Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Ritzer, George dan Douglas J.
Goodman. 2004. Teori Sosiologi.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Soekanto, Soejono. 2011. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Zeitlin, Irving M. 1995. Memahami
Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers.
[1] Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi: Kritik terhadap
Teori Sosiologi Kontemporer, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1998,
hal. 3.
[2] Soerjono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Jakarta:
Rajawali Pers, 2011, hal. 400.
[3] Ibid., hal. 401
[4] Rachmad K. Dwi , 20 Tokoh Teori Sosiologi Modern , hal. 119-120
[5] George Ritzer dan Douglass J.
Goodman, Teori Sosiologi, hal. 256-257
[6] Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, hal. 168-169.
[7] Rachmad K. Dwi , 20 Tokoh Teori Sosiologi Modern , hal.
113-114
Tidak ada komentar:
Posting Komentar