Jumat, 25 Maret 2011

Sekilas Tentang Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons

Sekilas Tentang Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons

Oleh: Syaifudin


Ada sebuah tradisi dalam sebuah pemikiran sosiologi yang lazim disebut “fungsionalisme”, “fungsionalisme struktural”, “analisis fungsional”, dan “teori fungsional”. Kebaikan yang bersifat relatif dan tradisi fungsionalisme bukan hanya diperdebatkan tetapi juga sering mendapat kritik dasar yang merusak. Walaupun demikian tradisi tersebut masih dipegang teguh oleh para pengikutnya.[1]  
Tradisi pemikiran para fungsionalis barat mengenai teori fungsionalisme struktural berangkat dari analogi sistem biologi yang melihat jasad atau badan sebagai sebuah sistem. Karena merupakan sebuah sistem, badan terdiri dari kesatuan komponen-komponen pembentuk yang bekerjasama dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan pemeliharaan diri. Berdasarkan analogi tersebut, para ahli mengamati masyarakat sebagai sebuah rangkaian komponen beserta fungsinya masing-masing yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Pokok – pokok para ahli yang telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini telah menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari paradigma tentang fungsionalisme struktural ini, sebut saja Ritzer (1980), Poloma (1987), dan Turner (1986). Soetomo (1995) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta sosial. 
Tampilnya paradigma ini merupakan usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru lahir agar mempunyai kedudukkan sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri. Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Inilah yang menjadi subject matter dari paradigm tersebut.
Menurut teori fungsionalisme struktural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori ini (fungsional–struktural) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahandalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori ini pun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.
Pada tahun 1937, Talcott Parsons menerbitkan bukunya yang berjudul The Structure of Social Action, dan buku ini merupakan hasil karya utama Talcott Parsons yang pertama. Secara cermat dan rinci, Parsons mencoba untuk menguraikan bagaimana kelebihan dan kekurangan yang dimiliki para pendahulu ahli-ahli fikir tiga tradisi intelektual pokok, yakni utilitarisme, positivisme, dan idealisme. Asumsi dasar dan konsep dari ke tiga tradisi tersebut dapat dirangkum dan membentuk dasar konseptual yang lebih memadai untuk penyusunan-penyusunan teori sosiologi selanjutnya. Hasil dari kegiatan tersebut tidak hanya terbatas pada adanya pandangan substantif mengenai gejala sosial, akan tetapi juga suatu strategi khas untuk menyusun teori sosiologi[2].
Dari langkah awal inilah, Parson melahirkan teori tindakan yang menganggap tindakan manusia bersifat voluntaristik, intensional, dan simbolik. Kemudian ia mengemukakan bahwa pada dasarnya suatu sistem tindakan umum terdiri dari tiga sistem yang saling berkaitan; sistem sosial, personalitas, dan kultural. Dari sistem sosial inilah, Parson melihat adanya struktur-struktur dalam masyarakat yang memiliki fungsi masing-masing. Dalam pengembangan ide tersebut, Parson banyak berkiblat pada hasil-hasil pemikiran pendahulunya, diantaranya Durkheim, Malinowski, Weber, dan Pareto.
Dalam The Structure of Social Action, Parsons mengembangkan realism analitis untuk menyusun sebuah teori sosiologi. Teori dalam sosilogi haruslah menggunakan sejumlah konsep penting yang terbatas yang secara proposional mencakup aspek-aspek dunia eksternal yang objektif. Konsep-konsep itu tidaklah sama dengan gejala konkrit, akan tetapi sama dengan unsur-unsurnya yang secara analitis dapat dipisahkan dengan unsur-unsurnya yang lain (Talcott Parsos 1937: 730). Sehingga, pertama-tama teori beraitan dengan perkembangan konsep-konsep yang merupakan abstraksi realitas empiris, sehingga menjadi unsur-unsur analitis yang sama. Dengan cara ini, konsep-konsep akan mengisolasikan gejala dari kerumitan hubungan-hubungan yang membentuk suatu realitas sosial[3].
Talcott Parson merupakan seorang tokoh fungsionalisme struktural modern terbesar hingga saat ini. Pendekatan fungsionalisme struktural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat dikaji melalui anggapan-anggapan dasar berikut:
a.  Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain 
b. Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut  bersifat timbal balik 
c. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapi dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah ekuilibrium yang bersifat dinamis.
d. Sistem sosial senantiasa berproses ke arah integrasi sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi dan penyimpangan.
e.  Perubahan-perubahan dalam sistem sosial, terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner.
f.    Faktor  paling  penting  yang memiliki daya integrasi suatu sistem sosial adalah konsensus atau mufakat di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilaikemasyarakatan tertentu.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa suatu sistem sosial, pada dasarnya, tidak lain adalah suatu sistem dari tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu yang tumbuh berkembang tidak secara kebetulan, namun tumbuh dan berkembang di atas konsensus, di atas standar penilaian umum masyarakat. Yang paling penting di antara berbagai standar penilaian umum tersebut adalah norma-norma sosial. Norma-norma sosial itulah yang membentuk struktur sosial. Sistem nilai ini, selain menjadi sumber yang menyebabkan berkembangnya integrasi sosial, juga merupakan unsur yang menstabilir sistem sosial budaya itu sendiri.
Oleh karena setiap orang menganut dan mengikuti pengertian-pengertian yang sama mengenai situasi-situasi tertentu dalam bentuk norma-norma sosial, maka tingkah laku mereka kemudian terjalin sedemikian rupa ke dalam bentuk suatu struktur sosial tertentu. Kemudian pengaturan interaksi sosial di antara mereka dapat terjadi Karena komitmen mereka terhadap norma-norma yang mampu mengatasi perbedaan pendapatdan kepentingan individu. Dua macam mekanisme sosial yang paling penting di mana hasrat-hasrat para anggota masyarakat dapat dikendalikan pada tingkat dan arah menujuterpeliharanya sistem sosial adalah mekanisme sosialisasi dan pengawasan sosial (social control).

Sistem sosial dan hubungannya dengan fungsionalisme
Perhatian Parsons terletak pada saraf fungsional sistem sosial, tetapi terlebih dahulukita harus mengingat pengertian sistem itu. Parsons menyatakan bahwa konsep sistemmenunjuk pada dua hal.  Pertama, Saling ketergantungan antara bagian, komponen, dan proses-proses yang meliputi keteraturan-keteraturan yang dapat dilihat.  Kedua, Sebuah tipeyang sama dari ketergantungan antara beberapa kompleks dan lingkungan-lingkungan yang mengelilinginya. Sementara itu, batasan tentang konsep sistem sosial hampir dibuat secara baragam dalam setiap tulisan Parsons dalam kurun waktu yang berbeda. Sistem sosial dapat dilihat sebagai terdiri atas anggota-anggotaindividual masyarakat yang melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berbeda atau memainkan beragam peran, dalam kerangka umum pembagian kerja masyarakat.
Dengan kata lain, kita juga harus mengerti batasan-batasan dari sistem sosial itu.  Pertama, Sistem sosial merupakan jaringan hubungan-hubungan antaraktor atau jaringan hubungan interaktif. Kedua, Sistem sosial menyediakan kerangka konseptual untuk menghubungkan tindakan individu dalam situasi yang bervariasi.  Ketiga, Pandangan aktor tentang alat dan tujuan didapat pada situasi yang dibentuk oleh kepercayaan, norma, dan nilaiyang diorganisasikan dalam harapan peran. Keempat,  Aktor tidak menghadapi situasi sebagai  individu sendirian, tetapi lebih sebagai posisi dalam peran sosial yang menyediakan perilakuyang sesuai dan juga berhubungan dengan peran-peran sosial lain[4].
Di dalam The Social System, Parsons sendiri mencoba menggambarkannya sebagai suatu “skema konseptual untuk menganalisa struktur dan beberapa proses sistem sosial”, yaitu suatu pernyataan tentang teori sosiologi secara umum; dan seperangkat teori sistem yang pada gilirannya, merupakan “suatu bagian integral dari skema konseptual yang lebih luas yang kita menyebutnya dengan teori tindakan”. Titik berangkat Parsons adalah interaksi aktor-aktor individu di bawah kondisi yang mendorong kita menggunakan interaksi mereka sebagai suatu sistem di dalam pengertian keilmuan dan mengontrol tatanan analisa teoritis yang sama di mana telah berhasil ditetapkan pada jenis sistem lain di dalam ilmu-ilmu lainnya. Sistem yang paling sederhana dari interaksi tersebut adalah yang bersifat “hubungan berpasangan”, yang dalam analisa terakhirnya menyatakan bahwa organisme-organisme bukanlah tindakan-tindakan yang secara memadai dapat dimengerti melalui referensi terhadap sistem biologisnya atau fisio kimiawi. Interaksi sosial harus dipahami pada tingkatnya sendiri dan bukan dikurangi oleh faktor-faktor yang bukan sosial, walaupun hal seperti ini bisa jadi relevan.
Oleh karena itu, Parsons lebih suka berbicara tentang tindakan seorang aktor dan keadaan tindakannya daripada perilaku organisme dan lingkungannya. Posisinya makin jelas bila dibedakan dari kelompok behavioris. Orang tidak dapat memahami suatu sistem sosial secara memadai jika ia gagal mengkaji bahwa sistem budaya secara bertahap merupakan suatu sistem budaya yangmewujudkan dirinya ke dalam sistem kepribadian dan motivasi-motivasi para kator individu. Di dalam ungkapan Parsons, kita tidak bisa berbicara sama sekali tentang stuktur dari sistemsosial dalam pengertian teoritis, di mana tanpa berbicara tentang pelembagaan pola-pola budaya, khususnya pola-pola orientasi nilai. Demikian pula proses-proses motivasi darisistem sosial tersebut adalah merupakan proses di dalam kepribadian darikomponen aktor-aktor individu.

Paradigma AGIL
Kehidupan sosial sebagai suatu sistem sosial memerlukan terjadinya ketergantungan yang berimbas pada kestabilan sosial. Sistem yang timpang, sebut saja karena tidak adanya kesadaran bahwa mereka merupakan sebuah kesatuan, menjadikan sistem tersebut tidak teratur. Sepanjang hidupnya, Talcott Parsons banyak menghasilkan karya teoritis. Ada beberapa perbedaan penting antara karya awal dengan karya akhirnya. Dalam Fungsionalime struktural Parsons, terdapat empat imperatif fungsional bagi sistem “tindakan”.  Suatu sistem sosial akan selalu terjadi keseimbangan apabila iamenjaga Safety Valve atau katup pengaman yang terkandung dalam paradigma AGIL. Paradigma AGIL adalah salah satu teori Sosiologi yang dikemukakan oleh ahli sosiologi Amerika, Talcott Parsons pada sekitar tahun 1950. Teori ini adalah lukisan abstraksi yang sistematis mengenai keperluan sosial (kebutuhan fungsional) tertentu, yang mana setiap masyarakat harus memeliharanya untuk memungkinkan pemeliharaan kehidupan  sosial yang stabil. Teori AGIL adalah sebagian teori sosial yang dipaparkan oleh Parson mengenai struktur fungsional, diuraikan dalam bukunya The Social System, yang bertujuan untuk membuat persatuan pada keseluruhan system sosial. Teori Parsons danParadigma AGIL sebagai elemen utamanya mendominasi teori sosiologi dari tahun1950 hingga 1970.
AGIL merupakan akronim dari Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency atau latent pattern-maintenance, meskipun demikian tidak terdapat skala prioritas dalam pengurutannya.
Adaptation yaitu kemampuan masyarakat untuk berinteraksi dengan lingkungan danalam. Hal ini mencakup segala hal; mengumpulkan sumber-sumber kehidupan dan menghasilkan komuditas untuk redistribusi sosial. Misalnya bagaimana seseorang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 
Goal-Attainment adalah kecakapan untuk  mengatur  dan  menyusun tujuan-tujuanmasa depan dan membuat keputusan yang sesuai dengan itu. Pemecahan permasalahan politik dan sasaran-sasaran sosial adalah bagian dari kebutuhan ini.
Integration atau harmonisasi keseluruhan anggota sistem sosial setelah sebuah generalagreement mengenai nilai-nilai atau norma pada masyarakat ditetapkan. Di sinilah perannilai tersebut sebagai pengintegrasi sebuah sistem sosial, misalnya pemenangan hasil pemilu.
Latency (Latent-Pattern-Maintenance) adalah memelihara sebuah pola, dalam hal ininilai-nilai kemasyrakatan tertentu seperti budaya, norma, aturan dan sebagainya.

Organisme behavioral  adalah sistem tindakan yang menangani fungsi adaptasi dengan menyesuaikan dam mengubah dunia luar. Sistem kepribadian menjalankan fungsi pencapaian tujuan dengan mendefinisikan tujuan sistem dam memobilisasi sumber daya yang digunakan untuk mencapainya. Sistem sosial  menangani fungsi integrasi dengan mengontrol bagian-bagian yang menjadi komponenya. Akhirnya, sistem kultural  menjalankan fungsi latensi dengan membekali aktor dengan norma dan nilai-nilai yang memotivasi mereka untuk  bertindak.[5]
Di samping itu, Parsons menilai, keberlanjutan sebuah  sistem  bergantung  padapersyaratan dibawah ini:
a.   Sistem harus terstruktur agar bisa menjaga keberlangsungan hidupnya dan juga harusmampu harmonis dengan sistem lain 
b.      Sistem harus mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem lain.
c.       Sistem harus mampu mengakomodasi para aktornya secara proporsional.
d.      Sistem harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para aktornya
e.       Sistem harus mampu untuk mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu
f.       Bila terjadi konflik menimbulkan kekacauan harus dapat dikendalikan
g.      Sistem harus memiliki bahasa Aktor dan Sistem Sosial.

Menurut Parsons persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai dan norma kedalam sistem ialah dengan sosialisasi dan internalisasi. Pada proses sosialisasi yang sukses, nilai dan norma sistem sosial itu akan diinternalisasikan. Artinya ialah nilai dan norma sistem sosial ini menjadi bagian kesadaran dari aktor tersebut. Akibatnya ketikasang aktor sedang mengejar kepentingan mereka maka secara langsung dia juga sedangmengejar kepentingan sistem sosialnya.Sementara proses sosialisasi ini berhubungan dengan pengalaman hidup (dan spesifik) dan harus berlangsung secara terus menerus, karena nilai dan norma yang diproleh sewaktu kecil tidaklah cukup untuk menjawab tantangan ketika dewasa.
Tidak ada sesuatu yang tidak problematis atau otomatis tentang kelangsungan dari harapan-harapan normatif atau sistem-sistem nilai pandangan Parsons bahwa tatanan sosial didasarkan atas suatu nilai umum, jelas bertentangan dengan apa yang ditekankan oleh Weber, suatu masyarakat yang ditandai dengan keragaman nilai-nilai selalu mempertarungkan satu dengan yang lainnya. Nilai-nilai tersebut tidak juga jatuh dari langit maupun mengontrol secara mandiri dari suatu kelompok atau strata sosial secara khusus. Disaat upaya dibuat untuk melembagakan suatu sistem nilai yang lebih utuh, maka nilai-nilai tersebut secara khas mendukung kepentingan suatu kekuasaan dan harga diri. Oleh karena itu, sering upaya-upaya seperti ini menjumpai tekanan dan oposisi. Akhirnya hal ini tidak bisa diasumsikan bahwa setiap generasi akan menerima nilai-nilai tertentu sebagai suatu hal yang paling akhir. Ringkasnya, dengan mengucilkann nilai-nilai dari kepentingan, kelas-kelassosial, dan negara serta dengan meletakkan kepasifan, maka Parsons telah mengabaikan suatu fakta bahwa mencangkokkan dan mempertahankan nilai-nilai sering melibatkan “sakit dan ketakutan besar”.

Tindakan dan aliran aksi sosial teori fungsionalisme struktural
Dalam The Structure of Social Action, Parsons menunjukkan teori aksi (action theory) di mana ini menuju titik sentral konsep perilaku voluntaristik. Konsep ini mengandung pengertian kemampuan individu menentukan cara dan alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuan. Bahwa individu yang memiliki tujuan disebutnya sebagai aktor. Tidak ada individu yang bertindak tanpa memiliki tujuan tertentu. Tujuan merupakan keseluruhan keadaan konkret di masa depan yang diharapkan, sejauh relevan dengan kerangka acuan tindakan. Bisa dikatakan bahwa aktor terlibat dalam pengejaran, realisasi, atau pencapaian tujuan itu. Oleh karena itu, demi memfasilitasi ini, ia memerlukan seperangkat alat. Alat bisa dipilih secara acak, juga bisa bergantung pada kondisi tindakan. Alat tersebut bisa muncul satu per satu, bisa muncul secara bebarengan.
Selama tahun-tahun studi dan karir awalnya sebagai seorang instruktur muda, Parsons sangat tertarik kepada karya empat ilmuwan terkenal yaitu: Sosiolog Emile Durkheim,Ekonom Alfred Marshall, sosiolog-enginer Vilfredo Pareto, dan Sosiolog-ekonom MaxWeber. Hasil dari minat terhadap karya Marshall, Pareto, dan Weber ini ialah sebuah buku yang terbit di tahun 1937 dengan judul The Structure of Social Action.
Buku yang merupakan sintesa dari karya empat sarjana tersebut menyangkut masalah tata sosio-ekonomi, dan menandai apa yang disebut Parsons sebagai “titik balik yang mendasar dalam karir saya”.[6] Ide-ide memainkan peranan penting dalam menentukan aksi, yang tidak berarti bahwa pengarangnya terikat dengan semacam metafisika idealistik manusia yang dari situ seringkalidisimpulkan bahwa ide-ide mesti muncul melalui suatu proses “doktrin suci” (immaculate conseption) yang tanpa cacat oleh kekuatan-kekuatan sosial dan ekonomi atau ide-ide itu memengaruhi aksi dengan suatu proses otomatis dan misterius kesadaran diri atau “emanasi” tanpa berhubungan dengan unsur-unsur lain dari sistem sosial.
Parsons banyak mencurahkan waktu untuk menganalisis komponen dasar proses subjektif dari aktor. Tidak seperti kaum fungsionalis lain, ia lebih kepada gagasan makro yang konsen dengan pola-pola penting tindakan kolektif. Seperti dinyatakan Lewis Coser, sekalipun tidak bisa dimungkiri bahwa cukup kental pengaruh Max Weber atas gagasan Parsons, seperti yang kita lihat ketika Parsons menjelaskan tentang teori aksi (action theory). Tetapi, bisa dinyatakan bahwa Parsons cenderung kepada gagasan yang bersifat Durkheimian.[7]


Daftar Referensi
Craib, Ian. 1986. Teori-Teori Sosial Modern: dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: Rajawali.
Parsons, Talcott. 1970. Social Scturcture and  Personality. London: The Free Press
Parsons, Talcott. 2005. The Social System. New York: Routledge.
Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.
Rachmad K. Dwi. 2008. 20 Tokoh Teori Sosiologi Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi.  Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Soekanto, Soejono. 2011. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: Rajawali Pers.
Zeitlin, Irving M. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers.



[1] Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi: Kritik terhadap Teori Sosiologi Kontemporer, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1998, hal. 3.
[2] Soerjono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hal. 400.
[3] Ibid., hal. 401
[4] Rachmad K. Dwi , 20 Tokoh Teori Sosiologi Modern , hal. 119-120
[5] George Ritzer dan Douglass J. Goodman, Teori Sosiologi, hal. 256-257
[6] Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, hal. 168-169.

[7] Rachmad K. Dwi , 20 Tokoh Teori Sosiologi Modern , hal. 113-114

Tidak ada komentar: