Habermas: Proyek Modernitas dan Tindakan Komunikatif (Sebuah Catatan Ringkas)
Oleh: Syaifudin
Tercapainya
pemahaman verstanding dipandang
sebagai sebuah suatu proses tercapainya kesepakatan antar subjek yang berbicara
dan bertindak. Secara alamiah, sekelompok orang dapat sama-sama merasa berbeda
dalam satu mood yang begitu cair sehingga kandungan proporsional atau objek
intensional yang menjadi sasarannya sulit diidentifikasikan. Suatu kesepakatan
yang dicapai secara komunikatif, atau kesepakatan yang secara timbal balik
diasumsikan terjadi di dalam tindakan komunikatif. Dalam tindakan komunikatif,
aktor-aktor sosial membekali dirinya dengan kapasitas interpretif yang sama
sebagaimana penafsiran sosial ilmiah.
Tindakan komunikatif memerlukan penafsiran yang pendekatannya
rasional. Konsep rasionalitas komunikatif yang dalam perkembangannya cukup
skeptis namun tetap resisten terhadap penciutan kognitif instrumental atas
rasio.
Habermas berargumen bahwa kemampuan
kita dalam berkomunikasi memiliki inti yang universal, struktur dasar atau
aturan fundamental yang dikuasai seluruh subjek dalam belajar berbicara suatu
bahasa.[1]
Kompetensi komunikatif bukan hanya kemampuan memproduksi kalimat-kalimat
gramatikal. Dalam berbicara kita menceritakan diri kita kepada dunia dan atau subjek tentang maksud,
perasaan dan hasrat kita. Komunikasi dengan tujuan pengertian timbal balik
merupakan satu dari tiga kepentingan utama syarat bagi pengetahuan.
Rekonstruksi praduga-praduga begitu penting
untuk komunikasi seperti mempunyai tujuan untuk memulihkan dan menyahihkan
rasionalitas yang diwujudkan dalam komunikasi sehari-hari dan penting untuk
reproduksi sosial, untuk membuka peluang perspektif mengatasi konteks dalam
lingkungan intelektual sekarang yang skeptis terhadap segala upaya untuk
mengatasi konteks seperti itu.[2]
Sekilas tentang Jurgen Habermas
Jurgen Habermas
merupakan pemikir sosial terpenting dunia masa kini. Ia lahir di Dusseldorf,
Jerman pada tanggal 18 Juni 1929, dan keluarganya berasal dari kelas menengah
dan sedikit tradisional. Ayah Habermas adalah direktur Kamar Dagang. Pada awal
usia belasan tahun, selama Perang Dunia II, Habermas banyak dipengaruhi oleh
perang tersebut. Akhir perang membawa harapan baru dan kesempatan bagi banyak
orang Jerman, termasuk Habermas.
Jatuhnya Nazisme
membangun optimisme tentang masa depan Jerman, namun Habermas kecewa pada
tiadanya kemajuan dramatis pada tahun-tahun awal setelah perang usai. Dengan
berakhirnya era Nazisme, segala macam peluang intelektual mereka, dan
buku-bukunya yang sebelumnya dilarang dapat dibaca oleh Habermas muda.
Buku-buku tersebut antara lain literatur Barat dan literatur Jerman, maupun
traktat yang ditulis Marx dan Engels. Antara tahun 1949 sampai dengan 1945
Habermas mempelajari banyak topik (filsafat, psikologi, literatur jerman) di
Gottingen, Zurich, dan Bonn. Namun, tidak satupun guru di sekolah tempat
Habermas belajar benar-benar istimewa, dan sebagian besar melakukan kompromi
dengan fakta bahwa mereka harus mendukung Nazi secara terbuka atau sekedar
harus meneruskan tanggung jawab akademisnya di bawah rezim Nazi. Habermas
menerima gelar doktornya dari Universitas Bonn pada tahun 1945 dan bekerja
selama dua tahun sebagai wartawan.
Pada
tahun 1956 Habermas tiba di Institut
Penelitian Sosial di Franfurt. Kemudian ia menjadi seorang asisten peneliti
bagi salah seorang anggota mahzab paling menonjol, yaitu Theodor Adorno, sekaligus sebagai staf institusi.[3]
Kendati
bergabung dengan Institut Penelitian Sosial, sejak awal Habermas menunjukkan
orientasi intelektual independen. Habermas menyerukan pemikiran kritis dan
tindakan praktis, namun Horkheimer takut bahwa pendapat semacam itu akan
membahayakan institusi yang didanai oleh negara. Hokheimer secara tegas
mengusulkan agar Habermas dikeluarkan dari institusi. Horkheimer berkata
tentang Habermas, “mungkin ia memiliki
karier yang bagus, bahkan brilian sebagai penulis dihadapannya, namun ia hanya
akan menyebabkan kehancuran pada institut”.[4]
Perbedaan pemikiran inilah yang membuat hubungan
Habermas dengan Horkheimer tidak harmonis. Akhirnya
Horkheimer mengajukan syarat-syarat mustahil bagi pekerjaan Habermas, dan
Habermas pun mengundurkan
diri dari institusi.
Pada tahun 1961
Habermas menjadi dosen muda dan menyelesaikan “Habilitation”-nya
(disertasi)
di Universitas Marburg. Setelah menerbitkan sejumlah karya
penting, Habermas direkomendasikan untuk menjadi guru besar filsafat di
Universitas Heidelberg bahkan sebelum ia menyelesaikan Habilitaion-nya. Ia tetap di Heidelberg sampai pada tahun 1964,
ketika ia pindah ke
Universitas Frankfurt
sebagai profesor filsafat dan sosiologi. Dari tahun 1971 sampai dengan 1981 ia
menjadi direktur Marx Planck Institut. Ia kembali ke Universitas Frankfurt sebagai
guru besar filsafat, dan pada tahun 1994 menjadi guru besar emeritus di
institusi tersebut. Ia pun banyak meraih banyak penghargaan akademis dan
dianugerahi guru besar kehormatan di sejumlah universitas di dunia.
Habermas dan cita – cita proyek modernitasnya
Selama
bertahun-tahun, Habermas menjadi neo-Marxis terkemuka di dunia. Namun dalam
tahun-tahun tersebut karyanya meluas dan memasukkan banyak input teoritis yang
berlainan. Habermas terus berpegang teguh pada harapan masa depan dunia modern,
dalam konteks inilah Habermas menulis tentang modernitas sebagai proyek yang
belum selesai. Kalau Marx memusatkan perhatian pada kerja, Habermas terutama
berkutat pada komunikasi,
yang dipandangnya sebagai proses yang lebih umum daripada kerja.
Kalau Marx
memusatkan perhatian pada efek distortif struktur masyarakat kapitalis terhadap
kerja, justru Habermas memusatkan
perhatian pada bagaimana struktur masyarakat modern mendistorsi komunikasi.
Kalau Marx inigin membangun dunia masa depan dengan melibatkan tenaga kerja penuh dan
kreatif, Habermas mendambakan masyarakat masa depan yang ditandai oleh
komunikasi bebas dan terbuka. Jadi antara Marx dan Hebermas sama – sama memiliki keyakinan atas sebuah masa
depan, namun mereka berbeda orientasi subjek-objeknya.
Lebih umum lagi, keduanya adalah modernis yang pernah percaya atau masih
percaya bahwa pada proyek modernitas ( kerja kreatif dan memuaskan menurut
Marx, komunikasi terbuka bagi Habermas) belum selesai. Namun keduanya yakin
bahwa dimasa yang akan datang proyek tersebut akan selesai.
Komitmen pada
modernisme, bersama dengan keyakinan di masa yang akan datang, yang membedakan
Habermas dari banyak pemikir kontemporer terkemuka, seperti Jean Baudrillard
dan postmodernis lain. Kalau yang terakhir sering mendorong kearah nihilisme,
Habermas terus percaya pada proyek sepanjang hidup (dan modernitas). Dalam
kaitan dengan itu, kalau postmodernisme (misalnya Lyotard) menolak kemungkinan
terciptanya narasi besar (grand
narativies), Habermas terus-menerus bekerja dan mendukung apa yang menjadi
teori besar (grand theory) paling
menonjol di dalam teori sosial modern. Banyak hal yang dipertaruhkan Habermas
dalam perseturuannya dengan
para postmodernis. Jika mereka menang, Habermas mungkin akan dipandang sebagai
pemikir modernis besar terakhir.
Jika Habermas dan para pendukungnya lahir sebagai pemenang, mungkin ia
dipandang sebagai juru selamat proyek modernis dan teori besar ilmu sosial.
Dipandang dari
segi politik yang terkandung dalam karya Habermas, terlihat adanya urgensi,
suatu kesan bahwa warisan yang berupa rasio praktik yakni bentuk rasio yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan tentang norma-norma sosial dan
praktik-praktik etis, serta bagaimana keduanya dibentuk dan dipertanggung
jawabkan, dan dinilai sudah dianggap tidak layak lagi sebagai dasar modernitas.
Dalam pandangan Habermas, rasio praktis tidak perlu disingkirkan, namun harus dipertahankan
dan direkonseptualisasikan, sehingga menyanggah pandangan mereka yang
menganggap rasio praktis sekedar perwujudan lain dari dominasi rasionalitas sui generis. Dan dalam persoalan inilah
Habermas mengemukakan argumennya terus menerus gagasan mengenai rasio yang sepintas lalu tampak
tidak sama
dengan proyek rasio pengkalkulasian.
Dikatakan sepintas karena bagi Habermas, persoalan mempertahankan rasionalitas
sekarang ini bukan sekedar berkaitan dengan maknanya, namun juga perihal
bagaimana ia harus didasarkan dan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
bagaiman rasionalitas itu dikaitkan dengan peneguhan diri spesies manusia.[5]
Rasionalitas
dan
pengetahuan[6]
Ketika
menggunakan istilah “rasional” kita mengandaikan adanya suatu hubungan erat
antara rasionalitas dan pengetahuan. Pengetahuan kita memiliki struktur
proporsional, apa yang diyakini dapat dipresentasikan dalam bentuk pernyataan.
Dengan memakai konsep pengetahuan ini tanpa klarifikasi lebih lanjut, karena
rasionalitas lebih berhubungan dengan bagaimana subjek yang berbicara dan
bertindak, memperoleh dan menggunakan pengethauan ketimbang dengan kepemilikan
pengetahuan.
Di dalam tuturan
bahasa, pengetahuan diekspresikan secara eksplisit, sementara dalam
tindakan-tindakan yang berorientasi tujuan, suatu kemampuan, suatu pengetahuan
di ekspresikan secara eksplisit, kecakapan (know-how) ini secara prinsipiil
dapat diubah menjadi pemahaman (know-that). Apa yang dimaksud ketika dikatakan
bahwa orang bertindak secara rasional dalam situasi tertentu atau ketika
ekspresi-ekspresi mereka dikatakan rasional? Pengetahuan dapat dikritik sebagai
sesuatu yang tidak dapat diandalkan dan dipercayai.
Kaitan erat
antara pengetahuan dan rasionalitas mengandaikan bahwa rasionalitas suatu
ekspresi tergantung kepada reliabilitas (keterpercayaan) pengetahuan yang ada
di dalamnya, misalnya suatu pernyataan yang dikeluarkan X dalam suatu sikap
komunikatif untuk mengekspresikan keyakinannya dan suatu intervensinya yang
mengarah kepada tujuan yang dijadikan Y
sebagai tujuan spesifik yang ingin ia capai. Rasionalitas ekspresi mereka dapat
dikaji berdasarkan hubungan internal antara kandungan semantik
ekspresi-ekspresi tersebut, syarat validitasnya, dengan alasan yang mendasari
kebenaran pernyataan atau bagi efektivitas tindakan tersebut, alasan ini dapat
diberikan ketika diperlukan.
Refleksi-refleksi
ini sebenarnya ingin mendasarkan rasionalitas ekspresi pada kemungkinannya
untuk dikritik dan punya dasar. Suatu ekspresi dapat dikatakan telah memenuhi
prasyarat rasionalitas jika dan selama ia mengandung pengetahuan yang bisa
salah dan punya kaitan dengan dunia objektif (hubungan dengan fakta) serta
terbuka bagi penilaian objektif. Suatu penilaian dapat bersifat objektif jika
dilakukan berdasarkan klaim validitas dan trans-subjektif
yang memiliki arti yang sama bagi pengamat dan nonpartisipan (pihak luar
yang tidak terlibat) sebagaimana bagi subjek yang bertindak iru sendiri.
Kebenaran dan efesiensi adalah contoh klaim yang valid ini. dengan demikian
semakin rasional pernyataan dan tindakan-bertujuan, semakin bisa klaim atas kebenaran
proporsional atau atas efisiensinya yang terkait dengan pertanyaan atau
tindakan itu dipertahankan ketika menghadapi kritik. Kita juga menggunakan
istilah “rasional” sebagai predikat bagi orang-orang yang dianggap dapat
melahirkan ekspresi-ekspresi di atas, khususnya dalam situasi-situasi sulit.
Konsep rasional
komunikatif mengandung pengertian yang didasarkan pada pengalaman initi yang
bebas kendala, padu, dan menjembatani konsensus, dimana berbagai partisipan
yang terlibat melampaui pandangan subjektif mereka dan meyakinkan diri mereka
akan kesatuan dunia objektif dan intersubjektivitas dunia kehidupan mereka
karena mereka telah memilki mutualitas keyakinan yang berlandaskan
kerasionalan. Suatu rencana yang dapat dilaksanakan dalam kondisi-kondisi
tertentu menurut tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Suatu pernyataan
dapat disebut rasional jika pembicara memenuhi syarat-syarat yang diperlukan
dalam mencapai tujuan ilokusionernya untuk memperoleh pemahaman tentang sesuatu
di dunia ini paling tidak dengan seorang partisipan lain di dalam komunikasi.
Sementara suatu tindakan bertujuan dapat dikatakan rasional jika aktornya
memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk merealisasikan maksudnya melakukan
intervensi di dunia. Max Black mencatat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
tindakan agar dapat dikatakan sebagai tindakan rasional “masuk akal” dan dapat
ditinjau secara kritis, yaitu.[7]
1. Tindakan-tindakan yang
dilakukan agen dengan kontrol potensial atau aktualnya.
2. Tindakan
yang dapat dikatakan masuk akal atau tidak masuk akal hanyalah tindakakan yang
diarahkan pada tujuan yang direncanakan.
3. Tindakan tergantung pada agen
dan rencana tujuan yang dipilihnya.
4. Penilaian
atas ke-masuk akal-an baru dapat diterima kalau sudah ada pengetahuan parsial
tentang ketersediaan dan efektivitas cara yang digunakan.
5. Tindakan selalu dapat didukung
dengan alasan-alasan.
Konsep rasional
kognitif-instrumental yang muncul dari pendekatan realis dapat sesuai dengan
konsep rasionalitas komunikatif yang lebih komprehensif yang berkembang dalam
pendekatan fenomenologis. Dengan kata lain ada beberapa keterkaitan internal
antara kemampuan memilah-milah bagai persepsi dan perekayasaan berbagai hal dan
peristiwa di satu sisi, dengan kapasitas untuk mencapai pemahaman
intersubjektif tentang berbagai hal dan peristiwa di sisi yang lain. Dalam
konteks tindakan komunikatif, hanya orang-orang yang bertanggung jawab, sebagai
anggota komunitas
komunikasi, yang dapat mengorientasikan tindakan mereka kepada klaim yang valid
dan diakui secara intersubjektif.[8]
Konsep-konsep
otonomi yang berbeda dapat dikoordinasikan dengan konsep-konsep tanggung jawab
yang berbeda. Semakin tinggi derajat rasionalitas kognitif instrumental yang
dihasilkan, semakin tinggi pula keindependenannya dari halangan-halangan yang
dihadapkan lingkungan kontingen kepada pernyataan diri subjek yang melakukan
tindakan berorientasi tujuan. Tingkat rasionalitas komunikatif yang lebih
tinggi di dalam suatu komunitas komunikasi memperluas cakupan koordinasi
tindakan tanpa hambatan dan resolusi konflik melalui konsensus. Kualifikasi
terakhir diperlukan selama kita berorientasi kepada wicara konstantif
dalam mengembangkan konsep rasionalitas komunikatif.
Menurut Hebermas
yang disebut sebagai tindakan komunikatif adalah interaksi yang diperantarai
secara linguistik yang didalamnya semua partisipan ingin mencapai tujuan-tujuan ilokuisioner, dan
hanya tujuan ilokuisioner, dengan tindakan komunikasi sebagai perantaranya.
Disisi lain yang disebut dengan tindakan strategis yang diperantarai secara
linguistik adalah interaksi-interaksi yang didalamnya paling tidak salah satu
partisipan ingin agar tindakannya menghasilkan efek perklokuisioner kepada
partnernya.
Teori tindakan
komunikatif menandai adanya pergeseran penekanan dari segi-segi pragmatik
universal di mana situasi bertutur yang ideal berfungsi sebagai cakrawala normatif,
menuju aktivitas diskursif
atau argumentasi itu sendiri. Kriteria rasionalitas bagi tindakan sosial ditempatkan dan
diperjelas di dalam tindakan berbicara itu sendiri. Dalam pandangan Hebermas,
kita bukanlah bintang yang menulis, melainkan binatang yang berbicara,
berinteraksi, dan secara potensial merupakan insan yang otonom dan demokratis.[9]
Tindakan
bertujuan dan komunikatif
Konsep tindakan
komunikatif mengandaikan bahasa sebagai media bagi tercapainya pemahaman, yang
didalamnya partisipan, ketika berhubungan dengan dunia, secara timbal balik
mengajukan klaim validitas yang dapat diterima atau ditentang. Dengan model
tindakan ini kita mengandaikan bahwa partisipan dalam interaksi kini dapat
memobilisasi potensi rasionalitas yang menurut analisisnya terdapat tiga bentuk
relasi aktor dan dengan dunia yang dilakukan secara ekspresif dengan tujuan
mencapai pemahaman secara kooperatif.
Jika kita menerapkan
kesempurnaan bentuk ekspresi simbolis yang digunakan kepada satu sisi, maka
dalam hal ini seorang aktor yang diorientasikan ke arah pemahaman paling tidak
harus mengemukakan tiga klaim validitasnya dengan tuturannya, antara lain:[10]
1. Bahwa pernyataan yang
dikemukakan benar atau bahwa pengandaian-pengandaian eksistensial kandungan
proporsional tersebut sebenarnya
telah memadai.
2. Bahwa tindak-wicara
benar berdasarkan konteks normatif yang ada atau bahwa konteks normatif yang
hendak dipenuhi sudah terlegitimasi dengan sendirinya.
3.
Bahwa maksud yang
manifes dari pembicara sama dengan yang diungkapkan.
Tindakan yang
berorientasi pada keberhasilan disebut sebagai tindakan instrumental jika
tindakan itu dilihat berdasarkan
aturan-aturan teknis tindakan yang dijajaki
keampuhannya dalam mengintervensi suatu kompleks situasi dan
peristiwa-peristiwa. Tindakan strategis jika tindakan itu dilihat berdasarkan aspek
aturan-aturan pilihan rasional dan dijajaki keampuhannya dalam mempengaruhi
keputusan-keputusan lawan rasional.
Sementara
tindakan rasional dapat dikaitkan dan
disubordinasikan ke bawah tipe interaksi sosial yang berbeda, misalnya sebagai
elemen-elemen tugas peran sosial, sedangkan tindakan strategis sudah dengan
sendirinya menjadi tindakan-tindakan sosial. Dalam tindakan komunikatif apabila
tindakan para agen yang terlibat tidak diatur dengan kalkulasi egosentris
keberhasilan namun dengan aktus-aktus pencapaian pemahaman. Dalam tindakan
komunikatif, orientasi utama partisipan bukanlah mencapai keberhasilan pribadi,
para partisipan tersebut dapat mengejar tujuan-tujuan asalkan mereka dapat
mengharmoniskan rencana tindakan mereka berdasarkan definisi situasi yang sama.
Dalam hal ini negosiasi definisi situasi adalah suatu elemen mendasar bagi
upaya interpretif yang diperlukan bagi tindakan komunikatif.
Suatu
kesepakatan yang dicapai secara komunikatif memiliki basis rasional yang dimana ia tidak dapat
dipaksakan oleh salah satu pihak, apakah secara instrumental melalui
interverensi di dalam situasi secara langsung atau secara strategis dengan cara
mempengaruhi keputusan pihak lawan. Kesepakatan memang bisa dicapai secara
objektif melalui paksaan, namun yang muncul secara terang-terangan melalui
pengaruh luar atau penggunaan kekerasan tidak dapat secara subjektif disebut
sebagai kesepakatan. Kesepakatan terletak pada keyakinan bersama. Tindak wicara
seorang baru berhasil jika orang lain menerima tawaran yang ada didalamnya
dengan mengambil posisi “ya” atau “tidak” terhadap klaim validitasnya yang
dapat dikritik. Kedua, ego. Pihak yang mengajukan klaim yang valid
dengan cara berbicara, dan orang lain yang mengakui atau menolaknya,
mendasarkan keputusan masing-masing pada dasar atau alasan-alasan potensial.
Konsep percakapan dan pemahaman saling menafsirkan satu sama lain dengan
menganalisis ciri formal pragmatis sikap yang diorientasikan pada tercapainya
pemahaman dengan mengaitkan dengan model sikap partisipan dalam komunikasi,
dimana salah seorang dari mereka memberikan tanggapan saat berbicara dengan
lawannya.
Menurut
Habermas, komunikasi dapat dibedakan menjadi dua tipe: yang pertama ‘komunikasi
strategis’, dan yang kedua ‘tindakan komunikatif’. Hanya tindakan komunikatif
yang cocok dengan konsep komunikasi normal
menurut Habermas. Dalam komunikasi strategis,
tujuan tindakan sosial sudah ditentukan lebih dulu dan seringkali tersembunyi.
Maksudnya bukan untuk mencapai kesepakatan tentang tujuan-tujuan tindakan,
tetapi hanya melaksanakan secara efektif rencana pembicara bukan untuk mencapai
kesepakatan tentang tujuan-tujuan tindakan, tetapi hanya melaksanakan secara
efektif rencana pembicara, khususnya bila pendengar tidak setuju dengan maksud
pembicara. Walaupun tindakan strategis mempergunakan bahasa dan
mengikutsertakan orang lain, tujuannya tidak inheren dengan penggunaan bahasa
dan orang lain diperlakukan seakan-akan mereka objek.[11]
Norma sosial,
bahkan ekspresi subjektif pembicara sendiri, menjadi alat yang dipergunakan
untuk memajukan tujuan-tujuan pembicara yang sudah lebih dulu ditetapkan. Rasionalitas
komunikasi ini dinilai dalam hubungannya dengan efesiensinya memerintahkan
orang lain untuk melakukan apa yang dikehendaki pembicara dari mereka.
Komunikasi strategis dipengaruhi oleh akal budi instrumental dan menyebabkan
semua masalah yang pernah diperediksikan oleh Weber dan Mazhab Frankfurt.
Sebaliknya tindakan
komunikatif bertujuan mencapai pengertian yang inheren dalam percakapan
manusia. Kunci utama dalam tindakan komunikatif adalah penggunaan istilah
pengertian understanding yaitu pengertian maupun proses untuk mencapai suatu
pengertian dianggap sebagai proses mufakat di antara subjek-subjek yang
berbicara dan bertindak.
Habermas
menyatakan bahwa dalam tindakan komunikatif penyampaian informasi tentang
kepentingan-kepentingan yang terletak diluar bahasa terganggu, dan ada
pergeseran prespektif dari sikap pengobjektifan seorang aktor yang
diorientasikan ke arah keberhasilan yang ingin merealisasikan suatu tujuan di
dunia. Habermas mengemukakan bahwa sebagai pengunaan normal bahasa, dalam tindakan
komunikatif tujuan itu sendiri tidak dapat dipisahkan dri proses-proses
penggunaan bahasa untuk mencapai tujuan, tindakan komuniatif memerlukan
struktur praduga yang secara kualitatif berbeda dengan interaksi-interaksi
bahasa yang hanya untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Hal
ini terkait dengan mekanisme-mekanisme untuk koordinasi sosial tindakan
strategis dan tindakan komunikatif yang berlainan. Perbedaan itu dapat
diringkas sebagai perbedaan antara pengertian timbal balik dan memengaruhi
timbal balik. Pada tindakan komunikatif, individu dikoordinasikan dengan
membangun konsensus yang daya koordinasinya diperoleh dari energi pengikat dan
energi penyatu bahasa itu sendiri.
Sebagai
perbandingan, tindakan strategis dikoordinasikan dengan menambah
situasi-situasi kepentingan. Sarana nonbahasa digunakan untuk memanipulasi
situasi sedemikian rupa sehingga orang merasa berkepentingan untuk bekerjasama.
Tujuan-tujuan egosentris tindakan strategis dapat dicapai tanpa komunikasi.
Jika menggunakan bahas itu hanya meneruskan informasi atau mengungkapkan
kekuatan. Dalam tindakan komunikatif, sebaliknya, bahasa itu sendirilah yang
menyatukan tindakan. Menurut Habermas, semua komunikasi harus mempradugakan
suatu ‘situasi percakapan ideal’ konsesus alami, dalam mengambil sikap terkait
klaim-klaim kesahihan berarti mempradugakan suatu situasi ketika klaim-klaim
kesasihan ditantang dan dipertahankan dengan argumentasi rasional saja, bukan
berpaling dengan status, uang, dan kekuasaan.[12]
Situasi percakapan yang ideal adalah inti dari tindakan komunikatif dan
berfungsi sebagai metafora untuk tahap normal komunikasi. Tindakan strategis
juga mengharuskan bayangan tentang situasi percakapan ideal ini, paling tidak
sebagai lawan faktual. Dalam bentuk-bentuk manipulasi terburuk pun, pembicara
harus membayangkan bagaimana orang akan menyetujui tanpa manipulasi, seandainya
akan memanipulasi mereka dengan lebih efektif. Dari konsepsi situasi percakapan
ideal ini, dapat dirumuskan dua praduga tentang komunikasi normal dan beberapa
ciri khas yang terkait.
1. Peserta
percakapan harus mampu mengambil sikap hanya dengan berdasarkan rasionalitas
argumen saja.
2. Harus
ada ketimbal-balikan yang didasarkan pada pengakuan tombal balik oleh semua
subjek yang kompeten.
Praduga pertama
penting bila tujuan komunikasi ialah pengertian. Pengertian didasarkan pada
setiap kekuatan di luar komunikasi, menurut Habermas, bukanlah pengertian yang
sebenarnya. Misalkan seorang dosen memberitahu mahasiswa atau mahasiswinya
bahwa dia akan mendapat nilai ‘D’ untuk
salah satu matakuliahnya. Tidak ada pengertian akan makna nilai ‘D’ itu,
kecuali jika mereka berdua dapat mengurung daya-daya eksternal sehingga si
mahasiswa atau mahasiswi bisa mengambil sikap hanya dengan berdasarkan
rasionalitas alasan-alasan dia memberikan nilai ‘D’ dan jika mahasiswa atau mahasiswi mengesampingkan
tekanan-tekanan eksternal dan mengambil sikap hanya dengan rasionalitas
alasan-alasan sang dosen. Jika tujuannya adalah oengertian, maka persoalan
untuk mencapai konsensus berdasarkan argumentasi rasionalnya ialah tindakan
sosial memberikan nilai.
Praduga kedua
mensyaratkan agar kita mengakui semua subjek komponen sebagai sumber yang sama
sahnya untuk klaim-klaim kesahihan dan tantangan. Mengambil sikap terhadap
klaim-klaim kesahihan dengan hanya berdasarkan pada rasionalitas argumen saja
memerlukan pengakuan bahwa sudut-sudut pandang lain mungkin saja meyakinkan
secara lebih rasional daripada sudut pandang kita sendiri. Agar argumen yang
paling rasional bisa berkuasa, tidak boleh ada argumen relevan yang ditekan
atau disingkirkan. Setiap subjek yang mampu berbicara dan bertindak, diizinkan
berpartisipasi di dalam wacana. Setiap subjek diizinkan mengajukan usulan ke
dalam wacana. Setiap subjek diizinkan mempertanyakan setiap usulan. Setiap
subjek diizinkan mengajukan usulan ke dalam wacana. Setiap subjek diizinkan
menyatakan sikap, keinginan, dan kebutuhannya.
DAFTAR
REFERENSI
Beilharz, Peter. 2005. Teori-teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Habermas, Jurgen. 1984. The Theory of Communicative Action I: Reason and The
Rationalization of Society,. Boston: Beacon Press.
Hardiman, Frans Budi.1993.Menuju Masyarakat Komunikatif.
Yogyakarta:Kanisius.
Ingram, David. 1987. Habermas and Dialectic
of Reason, New Haven, Yale University Press.
Ritzer, George,
dan Goodman, Douglas J.. 2011. Sociological Theory. Bantul: Kreasi Wacana.
Ritzer, George, dan Smart, Barry . 2011. Handbook Teori Sosial. Jakarta: Nusa
Media.
Wiggershaus, Rolf. 1995. The Frankfurt School: Its
History, Theories, and Political Significance: (Studies in Contemporary German Social Thought) . The MIT
Press.
[1]
Jurgen Habermas. 1984. The Theory of Communicative Action I: Reason and The
Rationalization of Society. Boston:
Beacon Press.
[3] Rolf Wiggershaus.
1995. The Frankfurt School: Its History,
Theories, and Political Significance: (Studies
in
Contemporary German Social Thought). The MIT Press.
[6]
Lengkapnya dapat lihat Jurgen Habermas. 1984. The Theory of Communicative Action I: Reason and The
Rationalization of Society. Boston: Beacon Press.
[9] Peter Beilharz. 2005. Teori-teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Hal 221
[10] Ibid., Hal. 129-130.
[12] Ibid., Hal. 406.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar