Oleh:
Syaifudin
Sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia, Indonesia secara alamiah menghadapi persoalan krusial dalam menjaga wilayah
dan keutuhan dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat yang hidup
secara berdampingan dalam kemajemukan yang merupakan warisan kebhinekaan
nusantara terus mengalami dinamika perubahan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Secara teoritis dikatakan bahwa sebuah bangsa terwujud dan kuat
apabila memiliki syarat seperti apa yang dikatakan oleh
mantan presiden sekaligus pahlawan nasional Indonesia yaitu Soekarno dengan mengikuti pendapat Ernest Renan “le desire d’etre ensemble” atau kehendak akan bersatu.
Pada era reformasi, kemajemukan masyarakat
cenderung menjadi beban dari pada modal bangsa Indonesia. Hal itu terbukti
dengan munculnya berbagai persoalan yang sumbernya berbau kemajemukan, terutama
bidang agama. Dalam perspektif keagamaan, semua kelompok agama belum yakin
bahwa nilai dasar setiap agama adalah toleransi. Akibatnya, yang muncul
intoleransi dan konflik. Padahal agama bisa menjadi energi positif untuk membangun
nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera. Seharusnya pada
era reformasi ini, kita menjunjung tinggi demokrasi dan toleransi. Demokrasi
tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang otoritarianistik,
sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan pseudo-toleransi, yaitu
toleransi yang rentan konflik-konflik komunal. Oleh sebab itu, demokrasi dan toleransi
harus terkait, baik dalam komunitas masyarakat, politik maupun masyarakat sipil.
Praktik toleransi
Sejak awal kemerdekaan, Indonesia sesungguhnya memiliki pengalaman
bagus dalam mempraktikkan toleransi. Inilah modal sosial yang memperkuat dan
meneguhkan keragaman bangsa yang dikukuhkan dengan falsafah Bhinneka Tunggal
Ika. Bhinneka Tunggal Ika adalah slogan kebangsaan yang akrab dan familiar di
telinga kita. Slogan ini dapat dimaknai, bahwa bangunan kebangsaan kita antara
lain, ditandai oleh kemampuan tiap kelompok dari elemen bangsa ini, untuk
saling asah, asih dan asuh. Inilah sebuah rangkaian kata yang mudah diucapkan,
tapi tak mudah dijalani. Dari data yang dihimpun Moderate Muslim Society (MMS),
dalam sepuluh tahun pertama Indonesia merdeka, kasus-kasus intoleransi tidak
pernah terjadi.
Kasus intoleransi baru terjadi pada sepuluh tahun kedua dengan dua
kasus. Fenomena intoleransi menjadi semakin sering terjadi setelah Orde Baru
berkuasa, dan makin sering setelah Orde Baru tumbang. Puncaknya pada periode
tahun 1995-2004, yang mencapai 180 kasus.
Kasus-kasus intoleransi tersebut seakan memperlihatkan bahwa relasi
kehidupan keagamaan di negara kita masih banyak diwarnai praktik konflik dan
kekerasan berbasiskan identitas keagamaan. Lebih parah lagi, dalam kasus-kasus
tertentu, negara sepertinya “kalah”
(melakukan pembiaran) terhadap para pelaku kekerasan tersebut. Laporan MMS
tahun 2010 yang lalu mencatat telah terjadi 81 kasus intoleransi, yang berarti meningkat 30% dari
laporan tahun 2009 yang mencatat 59 kasus intoleransi.
Tampaknya, kekerasan berbasis simbol-simbol keagamaan bisa menjadi
pertemuan antara fakta amuk massa
dan fenomena “fundamentalisme” agama. Ditengarai ada dua faktor utama penyebab
eskalasi kekerasan akibat sikap intoleransi meningkat di beberapa tempat, yakni
faktor pembiaran yang dilakukan oleh aparatur negara dan faktor rendahnya pendidikan agama yang
toleran di masyarakat. Meskipun
faktor politik, ekonomi dan lainnya tidak dapat dikesampingkan.
Praktik intoleran ini sudah pasti haruslah kita disudahi, tantangannya adalah bagaimana membangun budaya
yang toleran dan nir-kekerasan?
Belakangan
ini banyak konflik yang terjadi secara kolektif di beberapa daerah yang mana
konflik tersebut terjadi karena tidak adanya toleransi terhadap sesama untuk
saling menghormati dan menghargai sesama yang memiliki perbedaan. Intoleransi merupakan
turunan dari kepercayaan bahwa kelompoknya, sistem kepercayaan atau gaya
hidupnya lebih tinggi daripada yang lain. Hal ini dapat menimbulkan sejumlah
konsekuensi dari kurangnya penghargaan atau pengabaian terhadap orang lain
hingga diskriminasi yang terinstitusionalisasi.
Seluruh tindakan semacam itu
berasal dari penyangkalan nilai fundamental seorang manusia. Tindakan
intoleransi dapat merupakan kejahatan berat, seperti penyerangan atau berkelahi.
Dapat juga berupa tindakan-tindakan yang lebih ringan, seperti ejekan terhadap
ras/agama seseorang. Termasuk vandalisme (perusakan) dan percakapan berdasarkan
intoleransi maupun apa yang dianggap beberapa orang adalah lelucon. Kejahatan berdasar
pada kebencian adalah kekerasan intoleransi dan prasangka yang bertujuan untuk
menyakiti dan mengintimidasi seseorang karena ras, suku, asal negara, agama,
orientasi seksual dan karena faktor different able.
Penyebar kebencian menggunakan
peledakan, pembakaran, senjata, vandalisme, kekerasan fisik, dan ancaman
kekerasan verbal untuk menanamkan ketakutan kepada korbannya, menyebabkan
mereka menjadi rentan terhadap penyerangan lebih lanjut dan merasa terasingkan,
tidak berdaya, curiga dan ketakutan. Sebagian yang lainnya mungkin menjadi
frustasi dan marah jika mereka mengangap bahwa pemerintah dan kelompok lain di
komunitasnya tidak akan melindungi mereka. Ketika pelaku kebencian tidak
dituntut sebagai kriminal dan tindakan mereka dinyatakan sebagai kesalahan,
kejahatan mereka dapat melemahkan komunitas bahkan komunitas dengan hubungan
ras yang paling kuat/ sehat sekalipun.
Penegakan
hukum
Kejahatan
intoleransi dan kebencian merupakan salah satu tindakan kriminal dengan obyek
individu, yang berhubungan dengan kebebasan beragama/ berkeyakinan. Untuk jenis
kejahatan ini pertanggungjawaban dialamatkan pada individu-individu sebagai
subyek hukum pidana. Sedangkan tanggung jawab negara adalah melindungi setiap
orang dari ancaman intoleransi dan memprosesnya secara hukum ketika sebuah kekerasan
telah terjadi. Dalam konteks hukum Indonesia, kejahatan jenis ini sebenarnya
diakomodasi oleh Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Pasal 156 yang menyebutkan:
“barangsiapa menyatakan rasa permusuhan, kebencian
atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia di muka
umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Perkataan golongan dalam pasal ini
dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang
berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal,
agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata
negara.”
Namun demikian,
dalam praktik hukum Indonesia, pasal pasal ini justru dipergunakan sebaliknya,
yakni untuk menjerat orang-orang yang dituduh beraliran sesat dan menodai agama.
Proses reformasi yang datang dengan membawa demokrasi yang bersandar
pada supremasi hukum, persamaan perlakuan dan politik kewarganegaraan serta
janji untuk hidup yang beradab diharapkan dapat membawa perubahan yang
signifikan bagi kehidupan, akan tetapi disadari atau tidak bahwa reformasi
tidak berkorelasi dengan susutnya kekerasan yang terus terjadi akibat dari
gagalnya demokrasi yang dijalankan.
Perlukah dan
berfungsikah pendidikan multikulturalisme
Kini, multikulturalisme sedang menjadi isu penting, utamanya adalah pasca
merebaknya rangkaian konflik etnik dan agama. Isu ini tidak hanya berkaitan
dengan problem mengelola kemajemukan, keragaman serta pengakuan akan
keberbedaan, bahkan sudah merambah ke dunia pendidikan. Beberapa pakar yang
memiliki shared concern terhadap ide ini, mulai menggagas pentingnya
pendidikan multikultural untuk masyarakat Indonesia, suatu pendidikan yang
dirancang khusus untuk menciptakan struktur dan proses yang membuka dan memberi
kesempatan yang sama pada semua ekspresi kultural dan agama senyatanya.
Setelah menghadapi berbagai kasus
yang berkaitan dengan intoleransi, Indonesia terus-menerus dihadapkan pada
tantangan dan ancaman terhadap yurisdiksi dan soverignity NKRI, baik
yang dipicu oleh pihak luar, maupun dari pihak elemen bangsa Indonesia yang
tidak puas dengan kebijakan pemerintah pusat. Dalam beberapa kasus yang terjadi
belakangan ini, terlihat bagaimana sikap toleransi yang terjadi ditengah
masyarakat semakin memudar dan cenderung menimbulkan potensi konflik secara
kolektif dari struktur yang ada didalam masyarakat dalam dimensi agama, suku,
ras dan antar golongan.
Terjadinya peningkatan jumlah pelanggaran
kebebasan beragama dan
intoleransi belakangan ini dikarenakan pemerintah semakin tidak tegas
dalam penegakan hukum terutama kepada ormas-ormas pro kekerasan. Alih-alih
melakukan penegakan hukum, aparat keamanan justru melakukan kriminalisasi
terhadap korban pelanggaran di satu sisi dan malakukan pembiaran terhadap
pelaku kekerasan disisi yang lain. Peningkatan ini juga terjadi karena
pemerintah lebih sibuk dengan politik pencitraan dan mencari aman ketimbang
komitment terhadap hukum.
Pemerintah tidak berani bersikap tegas
terhadap para pelaku intoleransi agama karena tidak ingin dianggap melawan
kelompok mainstream agama tertentu. Pemerintah bahkan tidak berani menindak
Ormas yang secara terang-terangan mengancam akan menggulingkan pemerintah SBY
meskipun muncul desakan berbagai kalangan untuk membubarkan Ormas tersebut
karena terbukti banyak melakukan tindakan kekerasan dan ancaman makar. Lebih jauh lagi, fakta-fakta pelanggaran
kebebasan beragama tahun ini membuktikan bahwa paradigma pemerintah tentang
pengaturan agama dan keyakinan masih bias mayoritas dan selalu menguntungkan
mayoritas. Bahkan dalam implementasi di lapangan, penggunaan alasan ketertiban
umum dan meresahkan masyarakat hanya diasosiasikan untuk kepentingan mayoritas
guna membatasi kelompok minoritas. Penggunaan otoritas negara seperti kekerasan
juga hanya diperuntukkan untuk melayani kelompok mayoritas. Jadi, perlu dan berfungsikah pendidikan multikulturalisme itu?
Kondisi toleransi dan kaitannya
Kapasitas
aparat keamanan dan Pemerintah Daerah dalam menjamin hak-hak beragama warga
negara juga sangat lemah. Hal ini tercermin dari tingginya pelanggaran
kebebasan beragama oleh aparat kepolisian dan kepala daerah seperti bupati dan
walikota. Polisi dan kepala daerah sama-sama sering menggunakan alasan
ketertiban umum secara gegabah guna membatasi hak-hak beragama warga negara.
Selain
itu, masih banyaknya peraturan daerah yang muncul pada tahun ini
menunjukkan bahwa isu agama masih dianggap menguntungkan baik secara politik
oleh pemerintah dan kelompok mayoritas. Bahkan pada tahun ini, fenomena
lahirnya peraturan-peraturan di daerah memperlihatkan adanya modifikasi modus. Apabila
pada tahun-tahun sebelumnya peraturan-peraturan yang lahir banyak berbentuk
Perda, maka tahun ini hampir semua peraturan yang diterbitkan berbentuk Surat
Keputusan, Surat Edaran dan Keputusan Bersama. Modifikasi modus ini nampaknya
untuk menghindari polemik di masyarakat.
Banyaknya aturan yang membatasi kebebasan beragama di daerah
diterbitkan juga untuk menutupi kegagalan pemerintah daerah dalam menjawab
problem spasial ekonomi
masyarakat.
Permasalahannya sekarang bahwa toleransi dalam
kehidupan bersama semakin lemah, dan anti toleransi serta anti pluralisme
semakin menguat. Untuk itu sebaiknya toleransi perlu dikembangkan, dan cara
mengembangkan toleransi dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan
sistem sosial dan sistem budaya.Pendekatan sistem sosial dilakukan melalui inter-group
relation, yaitu hubungan antara anggota-anggota dari berbagai kelompok (etnik dan
agama) untuk meningkatkan integrasi diantara mereka.
Dengan adanya inter-group relation ini dapat pula
menetralisir konflik-konflik diantara kelompok, karena setiap anggota kelompok
tidak akan memiliki loyalitas tunggal dalam suatu kelompok tertentu, namun sebaliknya
loyalitas mereka ganda berdasarkan kelompok-kelompok yang mereka masuki. Dengan
demikian kekhawatiran akan terjadi fanatisme sempit, sentimen-sentimen
primordial juga akan dapat dinetralisir karena kegandaan loyalitas yang
dimiliki oleh masing-masing anggota kelompok.
Pendekatan sistem budaya, bahwa masyarakat majemuk
dapat bersatu melalui penganutan nilai-nilai umum yang berlaku bagi semua
anggota masyarakat. Nilai nilai umum ini sebagai perekat bagi kelompok-kelompok
dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai umum itu bersumber pada budaya dominan
masyarakat multi etnik yang menjadi acuan perilaku yang terpola. Melalui kedua
pendekatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan toleransi untuk memperkuat
ketahanan sosial masyarakat.
Dari beberapa konflik yang
terjadi terlihat bahwa kesemuanya ini menunjukkan betapa pluralitas yang telah lama
menjadi bagian penting dari fondasi bangsa telah hancur berkeping-keping.
Pluralitas tidak lagi menjadi sumbangan positif bagi terciptanya bangsa yang
toleran. Hal itu disebabkan oleh karena makna hidup dimaknai secara radikal dan
intoleran. Toleransi pun hilang begitu saja ketika sentimen kepentingan (vested
interest), agama menghendakinya, sehingga toleransi dikorbankan demi
berbagai kepentingan.
Dalam konteks inilah, pemahaman keagamaan
masyarakat sangat mempengaruhi terwujudnya wawasan multikulturalisme yang
mendorong terciptanya masyarakat yang damai. Sebab, agama memiliki dua sisi
yang bertentangan sekaligus. Di satu sisi, agama mempunyai kekuatan yang luar
biasa dalam menyatukan manusia dari berbagai latar belakang etnik budaya, tapi
di sisi lain agama juga menjadi potensi pemicu konflik yang sangat efektif. Di
sinilah terlihat betapa pemahaman agama bisa mendorong konflik yang pada
gilirannya akan merusak harmoni sosial.
Kekerasan yang terjadi pada agama sesungguhnya tidak serta merta
disebabkan oleh pemahaman terhadap ajaran agama, tetapi juga dipengaruhi oleh
kondisi politik dan sosial ekonomi. Masalah kesenjangan yang mencolok antara si
kaya dan si miskin sangat bepengaruh terhadap kehidupan beragama. Tindak KKN
(korupsi, kolusi, dan nepotisme) di berbagai tempat menjadikan rakyat tidak
berdaya dan tidak mempunyai akses kesentra-sentra ekonomi, kekuasaan, dan
pendidikan.
Lambatnya penegakkan hukum terhadap pelaku tindak korupsi semakin
mendorong masyarakat frustasi. Dengan kata lain, lemahnya kinerja pemerintah
dari pusat hingga daerah dalam melayani kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat
menambah akumulasi frustasi masyarakat. Ketidakadilan yang disebabkan oleh
struktur (politik, sosial dan ekonomi) terekspresikan dalam wilayah pelayanan
sosial, seperti kesehatan, sandang, pangan, pendidikan, penerangan,
transportasi, air bersih, komunikasi, dan hukum. Tidak terpenuhinya rasa
keadilan masyarakat secara struktural sangat mempengaruhi masyarakat untuk
bersikap intoleran terhadap sesamanya. Semoga kedepannya
pendekatan struktural dan sistematis menjadi suatu pendekatan yang strategis
untuk mengurai benang kusut tentang toleransi dan intoleransi di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar