Kamis, 05 Desember 2013

Catatan Ringkas: Toleransi dan Intoleransi di Indonesia


 
Oleh: Syaifudin

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia secara alamiah menghadapi persoalan krusial dalam menjaga wilayah dan keutuhan dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat yang hidup secara berdampingan dalam kemajemukan yang merupakan warisan kebhinekaan nusantara terus mengalami dinamika perubahan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara teoritis dikatakan bahwa sebuah bangsa terwujud dan kuat apabila memiliki syarat seperti apa yang dikatakan oleh mantan presiden sekaligus pahlawan nasional Indonesia yaitu Soekarno dengan  mengikuti pendapat Ernest Renan “le desire d’etre ensemble” atau kehendak akan bersatu.
Pada era reformasi, kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban dari pada modal bangsa Indonesia. Hal itu terbukti dengan munculnya berbagai persoalan yang sumbernya berbau kemajemukan, terutama bidang agama. Dalam perspektif keagamaan, semua kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar setiap agama adalah toleransi. Akibatnya, yang muncul intoleransi dan konflik. Padahal agama bisa menjadi energi positif untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera. Seharusnya pada era reformasi ini, kita menjunjung tinggi demokrasi dan toleransi. Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang otoritarianistik, sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan pseudo-toleransi, yaitu toleransi yang rentan konflik-konflik komunal. Oleh sebab itu, demokrasi dan toleransi harus terkait, baik dalam komunitas masyarakat, politik maupun masyarakat sipil.


Praktik toleransi
Sejak awal kemerdekaan, Indonesia sesungguhnya memiliki pengalaman bagus dalam mempraktikkan toleransi. Inilah modal sosial yang memperkuat dan meneguhkan keragaman bangsa yang dikukuhkan dengan falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika adalah slogan kebangsaan yang akrab dan familiar di telinga kita. Slogan ini dapat dimaknai, bahwa bangunan kebangsaan kita antara lain, ditandai oleh kemampuan tiap kelompok dari elemen bangsa ini, untuk saling asah, asih dan asuh. Inilah sebuah rangkaian kata yang mudah diucapkan, tapi tak mudah dijalani. Dari data yang dihimpun Moderate Muslim Society (MMS), dalam sepuluh tahun pertama Indonesia merdeka, kasus-kasus intoleransi tidak pernah terjadi.
Kasus intoleransi baru terjadi pada sepuluh tahun kedua dengan dua kasus. Fenomena intoleransi menjadi semakin sering terjadi setelah Orde Baru berkuasa, dan makin sering setelah Orde Baru tumbang. Puncaknya pada periode tahun 1995-2004, yang mencapai 180 kasus.   Kasus-kasus intoleransi tersebut seakan memperlihatkan bahwa relasi kehidupan keagamaan di negara kita masih banyak diwarnai praktik konflik dan kekerasan berbasiskan identitas keagamaan. Lebih parah lagi, dalam kasus-kasus tertentu, negara sepertinya “kalah” (melakukan pembiaran) terhadap para pelaku kekerasan tersebut. Laporan MMS tahun 2010 yang lalu mencatat telah terjadi 81 kasus intoleransi, yang berarti meningkat 30% dari laporan tahun 2009 yang mencatat 59 kasus intoleransi.
Tampaknya, kekerasan berbasis simbol-simbol keagamaan bisa menjadi pertemuan antara fakta amuk massa dan fenomena “fundamentalisme” agama. Ditengarai ada dua faktor utama penyebab eskalasi kekerasan akibat sikap intoleransi meningkat di beberapa tempat, yakni faktor pembiaran yang dilakukan oleh aparatur negara dan faktor rendahnya pendidikan agama yang toleran di masyarakat. Meskipun faktor politik, ekonomi dan lainnya tidak dapat dikesampingkan. Praktik intoleran ini sudah pasti haruslah kita disudahi, tantangannya adalah bagaimana membangun budaya yang toleran dan nir-kekerasan?
Belakangan ini banyak konflik yang terjadi secara kolektif di beberapa daerah yang mana konflik tersebut terjadi karena tidak adanya toleransi terhadap sesama untuk saling menghormati dan menghargai sesama yang memiliki perbedaan. Intoleransi merupakan turunan dari kepercayaan bahwa kelompoknya, sistem kepercayaan atau gaya hidupnya lebih tinggi daripada yang lain. Hal ini dapat menimbulkan sejumlah konsekuensi dari kurangnya penghargaan atau pengabaian terhadap orang lain hingga diskriminasi yang terinstitusionalisasi.
Seluruh tindakan semacam itu berasal dari penyangkalan nilai fundamental seorang manusia. Tindakan intoleransi dapat merupakan kejahatan berat, seperti penyerangan atau berkelahi. Dapat juga berupa tindakan-tindakan yang lebih ringan, seperti ejekan terhadap ras/agama seseorang. Termasuk vandalisme (perusakan) dan percakapan berdasarkan intoleransi maupun apa yang dianggap beberapa orang adalah lelucon. Kejahatan berdasar pada kebencian adalah kekerasan intoleransi dan prasangka yang bertujuan untuk menyakiti dan mengintimidasi seseorang karena ras, suku, asal negara, agama, orientasi seksual dan karena faktor different able.
Penyebar kebencian menggunakan peledakan, pembakaran, senjata, vandalisme, kekerasan fisik, dan ancaman kekerasan verbal untuk menanamkan ketakutan kepada korbannya, menyebabkan mereka menjadi rentan terhadap penyerangan lebih lanjut dan merasa terasingkan, tidak berdaya, curiga dan ketakutan. Sebagian yang lainnya mungkin menjadi frustasi dan marah jika mereka mengangap bahwa pemerintah dan kelompok lain di komunitasnya tidak akan melindungi mereka. Ketika pelaku kebencian tidak dituntut sebagai kriminal dan tindakan mereka dinyatakan sebagai kesalahan, kejahatan mereka dapat melemahkan komunitas bahkan komunitas dengan hubungan ras yang paling kuat/ sehat sekalipun.


Penegakan hukum
Kejahatan intoleransi dan kebencian merupakan salah satu tindakan kriminal dengan obyek individu, yang berhubungan dengan kebebasan beragama/ berkeyakinan. Untuk jenis kejahatan ini pertanggungjawaban dialamatkan pada individu-individu sebagai subyek hukum pidana. Sedangkan tanggung jawab negara adalah melindungi setiap orang dari ancaman intoleransi dan memprosesnya secara hukum ketika sebuah kekerasan telah terjadi. Dalam konteks hukum Indonesia, kejahatan jenis ini sebenarnya diakomodasi oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 156 yang menyebutkan:
“barangsiapa menyatakan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia di muka umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.”

Namun demikian, dalam praktik hukum Indonesia, pasal pasal ini justru dipergunakan sebaliknya, yakni untuk menjerat orang-orang yang dituduh beraliran sesat dan menodai agama. Proses reformasi yang datang dengan membawa demokrasi yang bersandar pada supremasi hukum, persamaan perlakuan dan politik kewarganegaraan serta janji untuk hidup yang beradab diharapkan dapat membawa perubahan yang signifikan bagi kehidupan, akan tetapi disadari atau tidak bahwa reformasi tidak berkorelasi dengan susutnya kekerasan yang terus terjadi akibat dari gagalnya demokrasi yang dijalankan.


Perlukah dan berfungsikah pendidikan multikulturalisme
Kini, multikulturalisme sedang menjadi isu penting, utamanya adalah pasca merebaknya rangkaian konflik etnik dan agama. Isu ini tidak hanya berkaitan dengan problem mengelola kemajemukan, keragaman serta pengakuan akan keberbedaan, bahkan sudah merambah ke dunia pendidikan. Beberapa pakar yang memiliki shared concern terhadap ide ini, mulai menggagas pentingnya pendidikan multikultural untuk masyarakat Indonesia, suatu pendidikan yang dirancang khusus untuk menciptakan struktur dan proses yang membuka dan memberi kesempatan yang sama pada semua ekspresi kultural dan agama senyatanya.
Setelah menghadapi berbagai kasus yang berkaitan dengan intoleransi, Indonesia terus-menerus dihadapkan pada tantangan dan ancaman terhadap yurisdiksi dan soverignity NKRI, baik yang dipicu oleh pihak luar, maupun dari pihak elemen bangsa Indonesia yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah pusat. Dalam beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, terlihat bagaimana sikap toleransi yang terjadi ditengah masyarakat semakin memudar dan cenderung menimbulkan potensi konflik secara kolektif dari struktur yang ada didalam masyarakat dalam dimensi agama, suku, ras dan antar golongan.
Terjadinya peningkatan jumlah pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi belakangan ini dikarenakan pemerintah semakin tidak tegas dalam penegakan hukum terutama kepada ormas-ormas pro kekerasan. Alih-alih melakukan penegakan hukum, aparat keamanan justru melakukan kriminalisasi terhadap korban pelanggaran di satu sisi dan malakukan pembiaran terhadap pelaku kekerasan disisi yang lain. Peningkatan ini juga terjadi karena pemerintah lebih sibuk dengan politik pencitraan dan mencari aman ketimbang komitment terhadap hukum.
Pemerintah tidak berani bersikap tegas terhadap para pelaku intoleransi agama karena tidak ingin dianggap melawan kelompok mainstream agama tertentu. Pemerintah bahkan tidak berani menindak Ormas yang secara terang-terangan mengancam akan menggulingkan pemerintah SBY meskipun muncul desakan berbagai kalangan untuk membubarkan Ormas tersebut karena terbukti banyak melakukan tindakan kekerasan dan ancaman makar. Lebih jauh lagi, fakta-fakta pelanggaran kebebasan beragama tahun ini membuktikan bahwa paradigma pemerintah tentang pengaturan agama dan keyakinan masih bias mayoritas dan selalu menguntungkan mayoritas. Bahkan dalam implementasi di lapangan, penggunaan alasan ketertiban umum dan meresahkan masyarakat hanya diasosiasikan untuk kepentingan mayoritas guna membatasi kelompok minoritas. Penggunaan otoritas negara seperti kekerasan juga hanya diperuntukkan untuk melayani kelompok mayoritas. Jadi, perlu dan berfungsikah pendidikan multikulturalisme itu?


Kondisi toleransi dan kaitannya
Kapasitas aparat keamanan dan Pemerintah Daerah dalam menjamin hak-hak beragama warga negara juga sangat lemah. Hal ini tercermin dari tingginya pelanggaran kebebasan beragama oleh aparat kepolisian dan kepala daerah seperti bupati dan walikota. Polisi dan kepala daerah sama-sama sering menggunakan alasan ketertiban umum secara gegabah guna membatasi hak-hak beragama warga negara.
Selain itu, masih banyaknya peraturan daerah yang muncul pada tahun ini menunjukkan bahwa isu agama masih dianggap menguntungkan baik secara politik oleh pemerintah dan kelompok mayoritas. Bahkan pada tahun ini, fenomena lahirnya peraturan-peraturan di daerah memperlihatkan adanya modifikasi modus. Apabila pada tahun-tahun sebelumnya peraturan-peraturan yang lahir banyak berbentuk Perda, maka tahun ini hampir semua peraturan yang diterbitkan berbentuk Surat Keputusan, Surat Edaran dan Keputusan Bersama. Modifikasi modus ini nampaknya untuk menghindari polemik di masyarakat. Banyaknya aturan yang membatasi kebebasan beragama di daerah diterbitkan juga untuk menutupi kegagalan pemerintah daerah dalam menjawab problem spasial ekonomi masyarakat.
Permasalahannya sekarang bahwa toleransi dalam kehidupan bersama semakin lemah, dan anti toleransi serta anti pluralisme semakin menguat. Untuk itu sebaiknya toleransi perlu dikembangkan, dan cara mengembangkan toleransi dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan sistem sosial dan sistem budaya.Pendekatan sistem sosial dilakukan melalui inter-group relation, yaitu hubungan antara anggota-anggota dari berbagai kelompok (etnik dan agama) untuk meningkatkan integrasi diantara mereka.
Dengan adanya inter-group relation ini dapat pula menetralisir konflik-konflik diantara kelompok, karena setiap anggota kelompok tidak akan memiliki loyalitas tunggal dalam suatu kelompok tertentu, namun sebaliknya loyalitas mereka ganda berdasarkan kelompok-kelompok yang mereka masuki. Dengan demikian kekhawatiran akan terjadi fanatisme sempit, sentimen-sentimen primordial juga akan dapat dinetralisir karena kegandaan loyalitas yang dimiliki oleh masing-masing anggota kelompok.
Pendekatan sistem budaya, bahwa masyarakat majemuk dapat bersatu melalui penganutan nilai-nilai umum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Nilai nilai umum ini sebagai perekat bagi kelompok-kelompok dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai umum itu bersumber pada budaya dominan masyarakat multi etnik yang menjadi acuan perilaku yang terpola. Melalui kedua pendekatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan toleransi untuk memperkuat ketahanan sosial masyarakat.
Dari beberapa konflik yang terjadi terlihat bahwa kesemuanya ini menunjukkan betapa pluralitas yang telah lama menjadi bagian penting dari fondasi bangsa telah hancur berkeping-keping. Pluralitas tidak lagi menjadi sumbangan positif bagi terciptanya bangsa yang toleran. Hal itu disebabkan oleh karena makna hidup dimaknai secara radikal dan intoleran. Toleransi pun hilang begitu saja ketika sentimen kepentingan (vested interest), agama menghendakinya, sehingga toleransi dikorbankan demi berbagai kepentingan.
Dalam konteks inilah, pemahaman keagamaan masyarakat sangat mempengaruhi terwujudnya wawasan multikulturalisme yang mendorong terciptanya masyarakat yang damai. Sebab, agama memiliki dua sisi yang bertentangan sekaligus. Di satu sisi, agama mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam menyatukan manusia dari berbagai latar belakang etnik budaya, tapi di sisi lain agama juga menjadi potensi pemicu konflik yang sangat efektif. Di sinilah terlihat betapa pemahaman agama bisa mendorong konflik yang pada gilirannya akan merusak harmoni sosial.
Kekerasan yang terjadi pada agama sesungguhnya tidak serta merta disebabkan oleh pemahaman terhadap ajaran agama, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi politik dan sosial ekonomi. Masalah kesenjangan yang mencolok antara si kaya dan si miskin sangat bepengaruh terhadap kehidupan beragama. Tindak KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di berbagai tempat menjadikan rakyat tidak berdaya dan tidak mempunyai akses kesentra-sentra ekonomi, kekuasaan, dan pendidikan.
Lambatnya penegakkan hukum terhadap pelaku tindak korupsi semakin mendorong masyarakat frustasi. Dengan kata lain, lemahnya kinerja pemerintah dari pusat hingga daerah dalam melayani kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat menambah akumulasi frustasi masyarakat. Ketidakadilan yang disebabkan oleh struktur (politik, sosial dan ekonomi) terekspresikan dalam wilayah pelayanan sosial, seperti kesehatan, sandang, pangan, pendidikan, penerangan, transportasi, air bersih, komunikasi, dan hukum. Tidak terpenuhinya rasa keadilan masyarakat secara struktural sangat mempengaruhi masyarakat untuk bersikap intoleran terhadap sesamanya. Semoga kedepannya pendekatan struktural dan sistematis menjadi suatu pendekatan yang strategis untuk mengurai benang kusut tentang toleransi dan intoleransi di Indonesia.





Tidak ada komentar: