Kaum Intelektual dan Sosialisme
Oleh: Leon Trotsky (1910)
|
Sepuluh tahun yang lalu, atau bahkan enam atau tujuh tahun yang lalu, para pembela pemikiran sosiologi Rusia yang subjektif (yakni kaum “Sosialis Revolusioner[1]”) mungkin telah berhasil menggunakan brosur terbaru dari ahli filosofi dari Austria, Max Adler[2], untuk kepentingan mereka. Akan tetapi, selama lima atau enam tahun terakhir, kita telah melalui “pemikiran sosiologi” yang cermat dan objektif, dan pelajaran-pelajarannya tertulis pada tubuh kita di bekas-bekas luka yang sangatlah ekspresif, dimana contoh yang paling baik dari kaum intelektual, bahkan yang datang dari pena “Marxis” Max Adler, tidak akan bisa membantu subjektivisme Rusia. Sebaliknya, nasib dari kaum subjektivis Rusia adalah sebuah argumen yang paling serius terhadap gagasan-gagasan dan kesimpulan-kesimpulan Max Adler.
Subyek dari brosur ini adalah hubungan antara kaum intelektual dan sosialisme. Bagi Adler, ini bukan hanya sebuah masalah analisa teori tetapi juga masalah hati nurani. Ia ingin meyakinkan orang-orang. Brosur Adler, yang berdasarkan pidato yang dia berikan pada kaum pelajar sosialis, dipenuhi dengan keyakinan yang kuat. Semangat untuk merubah keyakinan seseorang memenuhi brosur kecil ini, dan ini memberikannya sebuah nuansa yang spesial pada ide-ide yang tidak baru ini. Untuk memenangkan kaum intelektual ke idenya, untuk meraih dukungan mereka dengan cara apapun, hasrat politik tersebut benar-benar menutupi analisa sosial di dalam brosur Adler. Dan ini memberikannya sebuah nada yang partikular, dan merupakan kelemahannya.
Apa itu kaum intelektual? Tentu saja Adler memberikan konsep ini bukan sebuah definisi moral tetapi sebuah definisi sosial: kaum intelektual bukanlah sebuah kelompok yang terikat oleh sebuah hukum sejarah, tetapi sebuah strata sosial yang meliputi semua pekerjaan “otak”. Bagaimanapun sulitnya untuk menarik garis demarkasi antara kerja “manual” dan “otak”, ciri-ciri sosial umum dari kaum intelektual cukup jelas, tanpa perlu menuju ke detil-detil. Kaum intelektual adalah sebuah kelas tersendiri – Adler menyebut mereka sebuah kelompok inter-kelas [yang dimaksud disini adalah sebuah kelompok yang tidak terikat pada satu kelas saja – Ed.], tetapi pada esensinya tidak ada perbedaan – yang eksis di dalam kerangka masyarakat borjuasi. Dan bagi Adler pertanyaannya adalah: siapa yang memiliki hak untuk memiliki jiwa dari kelas ini? Apa ideologi yang menjadi dasarnya, sebagai hasil dari fungsi sosialnya? Adler menjawab: ideologi kolektivisme.
Adler tidak menutupi matanya dari kenyataan bahwa kaum intelektual Eropa, selama mereka tidak menentang ide kolektivisme, berdiri mengambang jauh dari kehidupan dan perjuangan rakyat pekerja, tidak panas dan tidak dingin. Tetapi semua tidak harus seperti itu, kata Alder, tidak ada basis objektif yang cukup untuk itu. Adler secara pasti menentang kaum Marxis yang menyangkal keberadaan kondisi-kondisi umum yang dapat menyebabkan sebuah gerakan massa kaum intelektual menuju sosialisme.Dia menyatakan di pembukaannya “Ada faktor-faktor yang memadai – walaupun bukan faktor ekonomi secara murni, tetapi dari lingkupan yang lain – yang dapat mempengaruhi seluruh massa kaum intelektual, bahkan terlepas dari situasi kehidupan kaum proletar, faktor-faktor yang dapat menjadi motif yang cukup bagi mereka untuk bergabung dengan gerakan buruh sosialis.
Kaum intelektual hanya perlu dibuat sadar akan sifat dasar utama dari gerakan ini dan posisi sosial mereka.” Apa faktor-faktor ini? Adler mengatakan, “Karena kesakralan, dan terutama, peluang untuk perkembangan kepentingan spiritual yang bebas adalah kondisi kehidupan kaum intelektual yang utama, oleh karena itu kepentingan intelektual adalah sama dengan kepentingan ekonomi. Maka, bila basis bagi kaum intelektual untuk bergabung dengan gerakan sosialis harus dicari di luar lingkupan ekonomi, ini adalah karena persyaratan eksistensi ideologi tertentu untuk kerja mental daripada isi kebudayaan sosialisme” (halaman 7). Terlepas dari karakter kelas seluruh gerakan (toh, gerakan hanyalah sebuah jalan!), terlepas dari gambaran partai-politik sehari-hari (toh, partai politik hanyalah sebuah alat!), sosialisme pada dasarnya, sebagai sebuah ide sosial yang universal, berarti pembebasan semua bentuk kerja otak dari segala macam belenggu dan batasan sejarah. Premis ini, visi ini, menyediakan jembatan ideologi dimana kaum intelektual Eropa dapat dan harus lewati untuk menuju ke kamp Sosial Demokrasi[3].
Ini adalah titik pandang Adler yang utama, yang merupakan isi dari seluruh brosurnya. Kekeliruan utamanya, yang segera mencuat ke mata kita, adalah karakternya yang non-historis. Dasar sosial bagi kaum intelektual untuk memasuki kamp kolektivisme yang digunakan oleh Adler sudah ada sejak dulu; akan tetapi tidak ada sama sekali gerakan massa intelektual menuju Sosial Demokrasi di negara Eropa manapun. Tentu saja Adler tahu hal ini seperti juga kita. Tetapi dia cenderung melihat terasingnya kaum intelektual dari gerakan kelas pekerja adalah karena kaum intelektual tidak memahami sosialisme.
Pada satu pihak ini benar. Tetapi bila begitu apa penjelasan untuk ketidakpahaman ini, yang eksis bersama-sama dengan pemahaman mereka akan hal-hal yang lebih kompleks? Jelas, ini bukan karena kelemahan logika ideologis mereka, tetapi karena kekuatan elemen-elemen irasional di dalam psikologi kelas mereka. Adler sendiri berbicara mengenai ini di dalam babnya BĂĽrgerliche Schranken des Verständnisses (Batas Pemahaman Kaum Borjuis), yang merupakan salah satu bab terbaik di dalam brosur tersebut. Tetapi dia berpikir, dia berharap, dia yakin – dan disini sang teoritis menjadi pengkhotbah – bahwa Sosial Demokrasi Eropa akan bisa menghancurkan elemen-elemen irasional di dalam mentalitas pekerja-otak bila saja Sosial Demokrasi merekonstrusi logika hubungannya dengan mereka [baca kaum intelektual – Ed.]. Kaum intelektual tidak memahami sosialisme karena sosialisme dari hari-ke-hari tampak bagi mereka ada dalam bentuk rutinnya sebagai sebuah partai politik, seperti yang lainya. Tetapi bila kaum intelektual bisa ditunjukkan wajah sosialisme yang sesungguhnya, sebagai sebuah gerakan kebudayaan sedunia, mereka pasti akan bisa melihat harapan dan aspirasi mereka yang terbaik. Begitulah pikir Adler.
Kita sudah sampai sejauh ini tanpa memeriksa apakah benar persyaratan kebudayaan murni (perkembangan teknik, ilmu pengetahuan, kesenian) jauh lebih kuat, sepanjang kaum intelektual disangkutkan, daripada pengaruh kelas dari keluarga, sekolah, gereja, dan negara, atau kepentingan material. Dan bahkan bila kita menerima ini sebagai argumen, bila kita setuju untuk melihat bahwa kaum intelektual adalah pendeta kebudayaan yang sampai sekarang hanya gagal melihat bahwa penumbangan rejim borjuis dengan sosialisme adalah cara terbaik untuk melayani kepentingan kebudayaan, pertanyaan yang utama tetap adalah: dapatkah Sosial Demokrasi Eropa Barat menawarkan kaum intelektual, secara teori dan moral, sesuatu yang lebih meyakinkan atau lebih menarik daripada apa yang sudah ditawarkan sampai sekarang?
Kolektivisme sudah memenuhi dunia dengan suara perjuangannya selama berpuluh-puluh tahun. Selama periode ini jutaan buruh telah bersatu di dalam organisasi politik, serikat buruh, koperasi, organisasi pendidikan, dan organisasi-organisasi lainnya. Seluruh kelas telah bangkit dari dasar kehidupan dan memaksa masuk ke dalam politik, yang sampai sekarang dianggap sebagai hak tunggal dari kelas yang berada. Setiap hari, koran-koran sosialis – koran teori, politik, serikat buruh – mengevaluasi ulang semua nilai-nilai borjuis dari sudut pandang sebuah masyarakat yang baru. Tidak ada satupun masalah mengenai kehidupan sosial dan kebudayaan (perkawinan, keluarga, sekolah, gereja, tentara, patriotisme, kebersihan sosial, prostitusi) yang tidak dipertentangkan dengan nilai-nilai sosialisme. Sosialisme berbicara dalam semua bahasa kemanusiaan yang berbudaya.
Di dalam gerakan sosialis ini, orang-orang dengan pemikiran yang berbeda-beda dan bermacam temperamen, dengan masa lalu, hubungan sosial, dan kebiasaan hidup yang berbeda-beda, mereka semua saling bekerja dan saling berseteru. Dan bila kaum intelektual tetap “tidak memahami” sosialisme, bila semua ini tidak cukup untuk membuat mereka, mendorong mereka untuk mengerti pentingnya gerakan sedunia ini secara historis dan kultural, maka bukankah kita harus menarik kesimpulan bahwa alasan dari ketidakpahaman ini sangatlah mendasar dan usaha-usaha untuk mengatasi ini dengan teori dan tulisan adalah tidak berguna sama sekali?
Gagasan ini menonjol bahkan lebih jelas bila kita melihat sejarah. Influks kaum intelektual yang terbesar ke dalam gerakan sosialis – dan ini benar di seluruh negara Eropa – terjadi di periode awal dari keberadaan partai pekerja, ketika partai tersebut masih muda. Gelombang influks pertama ini membawa ahli-ahli teori dan politisi yang paling terkemuka ke dalam Internasionale Kedua[4]. Semakin Sosial Demokrasi Eropa tumbuh besar, semakin banyak rakyat pekerja yang bergabung, dan semakin lemah (bukan hanya secara relatif tetapi juga secara absolut) influks elemen-elemen baru dari kaum intelektual. Koran Leipziger Volkszeitung lama mencari dengan sia sia, melalui iklan koran, seorang pekerja editor dengan pendidikan universitas.
Disini kita terpaksa menerima sebuah kesimpulan, sebuah kesimpulan yang bertentangan dengan Adler: semakin sosialisme menampakkan isinya secara tegas, semakin mudah bagi setiap orang untuk memahami tugas sosialisme di dalam sejarah, dan semakin kecut kaum intelektual terhadap sosialisme. Walaupun ini bukan berarti mereka takut akan sosialisme sendiri; jelas kalau di negara-negara kapitalis Eropa telah terjadi perubahan-perubahan sosial yang dalam yang menghalangi pergaulan antara orang-orang universitas dengan buruh, pada saat yang sama dimana perubahan-perubahan sosial tersebut telah memfasilitasi masuknya buruh ke dalam gerakan sosialis.
Apa perubahan-perubahan tersebut? Individu-individu, kelompok-kelompok, dan strata kaum proletar yang paling cerdas telah bergabung dan sedang bergabung ke Sosial Demokrasi. Pertumbuhan dan konsentrasi industri dan transportasi hanya mempercepat proses ini. Sebuah proses yang sepenuhnya berbeda sedang terjadi di dalam kelompok intelektual. Perkembangan kapitalisme yang besar dalam dua dekade terakhir sudah mengikis lapisan atas dari kelas ini. Kekuatan intelektual yang paling cakap, yakni mereka yang memiliki inisiatif dan kreatifitas, telah dihisap oleh industri kapitalis, oleh sindikat-sindikat, perusahaan-perusahaan rel dan perbankan, yang membayar mereka gaji yang sangat besar untuk mengorganisasi rejim mereka.
Hanya kaum intelektual kacangan yang tersisa untuk pelayanan negara dan kantor-kantor pemerintah; dan editor-editor koran dari semua tendensi mengeluh mengenai kekurangan “orang”. Dan perwakilan dari kaum intelektual semi-proletar yang jumlahnya semakin meningkat, mereka tidak dapat lari dari kehidupan yang selamanya tergantung pada orang lain dan secara material tidak aman. Bagi mereka, yang melakukan fungsi yang tidak lengkap dan rendah mutunya di dalam mekanisme kebudayaan yang besar, daya tarik kebudayaan yang diajukan oleh Adler tidak cukup kuat dengan sendirinya untuk mengarahkan simpati politik mereka kepada gerakan sosialis.
Terlebih lagi adalah situasi dimana setiap kaum intelektual Eropa yang secara psikologi bisa pindah ke kamp kolektivisme tidak memiliki harapan untuk bisa meraih posisi yang berpengaruh di partai-partai proletar. Ini adalah satu hal yang penting. Seorang buruh menjadi seorang sosialis sebagai sebuah bagian dari keseluruhan, bersama-sama dengan kelasnya, dimana dia tidak punya prospek untuk keluar dari kelasnya. Dia bahkan puas dengan perasaan persatuan moral dengan rakyatnya, yang membuatnya lebih percaya diri dan kuat.
Akan tetapi kaum intelektual menjadi seorang sosialis sebagai seorang individu, dengan memutuskan tali pusat kelasnya sebagai seorang individu, dan secara tak terelakkan berusaha untuk menggunakan pengaruhnya sebagai seorang individu. Tetapi disinilah dia terbentur oleh rintangan-rintangan – dan seiring waktu berjalan rintangan ini semakin bertambah besar. Pada permulaan gerakan Sosial Demokrasi, setiap kaum intelektual yang bergabung ke Sosial Demokrasi, bahkan bila dia bukan di atas rata-rata, dapat meraih sebuah posisi di gerakan kelas pekerja. Sekarang setiap pendatang-baru menemukan, di negara-negara Eropa Barat, struktur demokrasi kelas-pekerja yang kolosal sudah eksis. Ribuan pemimpin buruh, yang secara otomatis datang dari kelas mereka, membentuk sebuah aparatus yang solid dimana diatasnya berdiri veteran-veteran aktivis buruh yang terhormat, yang memiliki otoritas, figur-figur yang telah menjadi sejarah.
Hanya seorang yang memiliki bakat luarbiasa yang dapat berharap untuk meraih posisi kepemimpinan untuk dirinya – tetapi orang seperti itu, daripada meloncati jurang menuju sebuah kamp yang asing baginya, dia biasanya akan mengikuti jalan yang rintangannya paling kecil, yakni bekerja sebagai pelayan negara atau industri. Selain semua itu, di antara kaum intelektual dan sosialisme berdiri sebuah tembok, yakni aparatus organisasi Sosial Demokrasi. Aparatus organisasi ini membuat tidak senang para intelektual yang memiliki simpati sosialis, karena aparatus ini menuntut disiplin dan sikap menahan-diri; ini kadang tidak sesuai dengan “oportunisme” mereka, dan juga kadang tidak sesuai dengan “radikalisme” mereka yang berlebihan, dan ini menakdirkan mereka ke peran penonton yang ribut yang terombang-ambing antara anarkisme dan liberalisme-nasional.
Simplicissimus[5]adalah panji ideologi mereka yang tertinggi. Dengan modifikasi yang berbeda-beda dan dengan kadar yang berbeda-beda, fenomena ini terulang di semua negara di Eropa. Orang-orang ini, lebih daripada kelompok-kelompok lainnya, terlalu sombong dan terlalu sinis untuk bisa menerima arti penting kebudayaan dari sosialisme ke dalam jiwa mereka. Hanya sedikit sekali “kaum ideolog” – dengan konotasi baik dan buruknya – yang dapat meraih keyakinan sosialisme di bawah stimulus pemikiran teori murni, dengan, sebagai titik tolak mereka, tuntutan hukum seperti Anton Menger[6], atau persyaratan teknik seperti Atlanticus[7]. Tetapi bahkan kasus-kasus seperti ini, seperti yang kita ketahui, biasanya tidak bergerak terlalu jauh dari gerakan Sosial-Demokrasi, dan perjuangan kelas proletar di dalam hubungan internalnya dengan sosialisme bagi mereka tetap merupakan sebuah buku yang terkunci dengan tujuh segel.
Dengan mempertimbangkan bahwa tidaklah mungkin memenangkan kaum intelektual ke kolektivisme dengan sebuah program yang bersifat material, Adler sungguh benar. Tetapi ini tidak berarti bahwa mungkin untuk memenangkan kaum intelektual dengan cara apapun, dan juga tidak berarti bahwa kepentingan material segera dan ikatan kelas tidak mempengaruhi kaum intelektual lebih dari prospek historis-kebudayaan yang ditawarkan oleh sosialisme.
Bila kita tidak ikutsertakan kaum intelektual yang secara langsung melayani rakyat pekerja, sebagai doktornya buruh, pengacara buruh, dan sebagainya (sebuah strata, yang secara umum, terdiri dari perwakilan yang kurang berbakat dari profesi-profesi tersebut), maka kita bisa melihat bahwa kaum intelektual yang paling penting dan berpengaruh mendapatkan penghidupannya dari laba industri, uang sewa tanah, atau anggaran negara, dan oleh karena itu mereka secara langsung atau tidak langsung bergantung pada kelas kapitalis atau negara kapitalis.
Bila dipertimbangkan secara abstrak, ketergantungan material ini hanya menihilkan aktivitas politik militan dari kaum intelektual yang anti-kapitalis, tetapi tidak menihilkan kebebasan spiritual mereka dari kelas [kapitalis - Ed.] yang memberikan mereka penghidupan. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak begitu. Justru karena karakter “spiritual” dari kerja kaum intelektual yang membuat kaum intelektual secara tidak terelakkan membentuk sebuah ikatan spiritual antara mereka dan kelas penguasa. Manajer-manajer pabrik dan insinyur-insinyur pabrik dengan tanggungjawab administratif selalu menemukan diri mereka di dalam antagonisme dengan para buruh, dimana mereka harus membela kepentingan kapital.
Jelas sekali kalau fungsi yang harus mereka lakukan, pada analisa terakhir, merubah cara berpikir mereka dan opini mereka terhadap diri mereka sendiri. Dokter dan pengacara, walaupun karakter profesi mereka yang independen, harus selalu berhubungan secara psikologi dengan klien-klien mereka. Seorang tukang listrik dapat setiap hari memasang kabel listrik di kantor-kantor para menteri, bankir, dan istri-istri gelap mereka, dan dirinya tetap terisolasi dari mereka. Ini berbeda bagi seorang dokter, yang harus menemukan nada di dalam jiwa dan suaranya yang sesuai dengan perasaan dan kebiasaan orang-orang tersebut [para menteri, bankir, dsb – Ed.]. Terlebih lagi, hubungan semacam ini secara tidak terelakkan terjadi bukan hanya di lapisan atas masyarakat borjuis.
Para suffragette [perempuan yang membela hak memilih untuk perempuan – Ed.] dari London menyewa pengacara pro-suffragette untuk membela mereka. Seorang dokter yang mengobati istri-istri para jendral di Berlin atau istri-istri pemilik toko-kecil “Kristen-Sosial” di Vienna, seorang pengacara yang membela kasus ayah, saudara, dan suami mereka [para jendral dan pemilik toko-kecil tersebut – Ed.] tidak bisa membiarkan dirinya merasa antusias mengenai prospek kebudayaan kolektivisme. Semua ini benar bagi para penulis, artis, pemahat, seniman – tidak secara langsung dan segera, tetapi tetap tak terelakkan. Mereka menawarkan ke publik karya mereka atau kepribadian mereka, mereka tergantung pada persetujuan dan uang mereka, dan oleh karena itu, secara terbuka atau tertutup, mereka menundukkan kekreatifan mereka pada “monster besar” yang mereka benci: kaum borjuis. Nasib para penulis “muda” Jerman – yang sudah semakin menipis – menunjukkan kebenaran ini. Gorky, yang dijelaskan oleh kondisi epos dimana dia tumbuh besar, adalah sebuah pengecualian yang hanya membuktikan kebenaran ini: ketidakmampuan dia untuk mengadaptasi dirinya pada degenerasi anti-revolusioner kaum intelektual secara cepat mengikis “popularitasnya”.
Disini tersingkap sekali lagi perbedaan sosial antara kondisi kerja otak dan kerja otot. Walaupun kerja pabrik memperbudak otot dan melemahkan badan, ia tidak bisa menundukkan pikiran buruh. Semua kebijakan telah dicoba untuk menundukkan pikiran buruh, di Swiss seperti di Rusia, yang terbukti tidak berguna. Otak kaum buruh dari sudut pandang fisik lebih bebas. Penulis tidak harus bangun tidur ketika ayam berkokok, di belakang punggung dokter tidak ada mandor, kantong pengacara tidak diperiksa ketika dia meninggalkan pengadilan. Tetapi sebagai gantinya, mereka [penulis, dokter, pengacara, dsb] bukan hanya harus menjual tenaga-kerjanya, bukan hanya ototnya, tetapi seluruh kepribadiannya sebagai seorang manusia – dan bukan karena rasa takut tetapi karena kewajiban. Sebagai akibatnya, orang-orang ini tidak ingin melihat dan tidak bisa melihat bahwa baju jas profesi mereka adalah hanya sebuah seragam penjara yang lebih baik.
Pada akhirnya, Adler sendiri tampak tidak puas dengan formulanya yang abstrak dan pada dasarnya idealistik mengenai inter-relasi antara kaum intelektual dan sosialisme. Di dalam propaganda dia sendiri, dia sesungguhnya berbicara bukan kepada kelas pekerja otak yang memenuhi fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat borjuasi, tetapi kepada generasi muda kaum intelektual yang sekarang hanya berada di tahapan persiapan untuk peran mereka di masa depan – yakni kepada para pelajar. Bukti untuk ini bukan hanya dapat ditemukan pada siapa brosur Adler ditujukan: “Kepada Serikat Mahasiswa Bebas di Vienna”, tetapi juga dari nada brosur tersebut, agitasinya yang penuh semangat dan nada ceramahnya. Tidak terpikir untuk bisa mengekspresikan diri sendiri seperti itu di hadapan para profesor, penulis, pengacara, dokter. Nada seperti itu akan langsung tersumbat di tenggorokan seseorang setelah beberapa kata. Oleh karena itu, terbatas oleh kondisi material manusia yang harus dia kerjakan, Adler sendiri membatasi tugasnya. Sang politisi memperbaiki formula teorinya. Pada akhirnya, ini adalah perjuangan untuk mempengaruhi para pelajar.
Universitas adalah tahap akhir pendidikan yang diorganisir oleh negara untuk anak-anak kelas penguasa, seperti halnya barak-barak militer adalah institusi pendidikan akhir untuk generasi muda kaum buruh dan tani. Barak membentuk kepatuhan dan kedisiplinan yang dibutuhkan untuk fungsi-fungsi sosial yang akan dipenuhi selanjutnya. Pada prinsipnya, universitas melatih kemampuan manajemen, kepemimpinan, dan pemerintahan. Dari sudut ini, bahkan kelompok fraternitas mahasiswa Jerman adalah institusi kelas yang penting, karena mereka menciptakan tradisi yang menyatukan para ayah dan anak-anaknya, menguatkan kebanggaan nasional, menanam kebiasaan-kebiasaan yang dibutuhkan di lingkungan borjuis, dan, akhirnya, meninggalkan sebuah cap yang menandakan bahwa seseorang adalah bagian dari kelas penguasa.
Orang-orang yang melalui barak-barak, tentu saja, jauh lebih penting bagi partai Adler dibandingkan mereka yang melalui universitas. Tetapi pada situasi sejarah tertentu – yakni ketika, dengan perkembangan industri yang pesat, tentara memiliki komposisi sosial dari kelas proletar seperti halnya di Jerman – partai dapat mengatakan: “Saya tidak perlu pergi ke barak-barak. Cukup bagi saya untuk mengantarkan sang buruh muda sejauh pintu barak dan yang paling penting adalah menemui dia saat dia keluar lagi. Dia tidak akan meninggalkan saya, dia akan tetap menjadi milik saya.” Tetapi dalam hal universitas, bila partai ingin melakukan perjuangan independen untuk merekrut kaum intelektual, dia harus mengatakan yang sebaliknya: “Hanya disini dan hanya sekarang, ketika sang pemuda bebas dari keluarganya, dan ketika dia belum menjadi sandera dari posisinya di dalam masyarakat, saya dapat merekrut dia ke dalam kelompok kita. Sekarang atau tidak sama sekali.”
Di antara kaum buruh, perbedaan antara “ayah” dan “anak” secara murni hanya perbedaan umur. Di antara kaum intelektual perbedaannya bukan hanya perbedaan umur tetapi juga perbedaan sosial. Kaum pelajar, tidak seperti kaum buruh muda dan ayahnya sendiri, tidak memenuhi fungsi sosial apapun, tidak merasakan ketergantungan langsung kepada kapital atau negara, dan – setidaknya secara objektif bila bukan subjektif – bebas di dalam penilaiannya akan apa yang benar dan salah. Di dalam periode ini semua yang ada di dalam dirinya sedang berkembang, prasangka kelasnya tidak terbentuk seperti halnya juga ketertarikan ideologinya, masalah hati nurani sangat penting baginya, untuk pertama kalinya pikirannya terbuka pada generalisasi ilmu pengetahuan yang agung, segala sesuatu yang luar biasa hampir menjadi sebuah kebutuhan psikologi baginya.
Bila kolektivisme dapat menguasai pikirannya, sekaranglah saatnya, dan kolektivisme dapat melakukan ini melalui karakter ilmiahnya yang luhur yang menjadi basisnya dan isi kebudayaan yang komprehensif dari tujuan-tujuannya, dan bukan melalui masalah “pisau dan garpu” (baca masalah perut – Ed.) yang membosankan. Di poin terakhir ini Adler sungguh benar.
Tetapi disini juga kita sekali lagi harus berhenti di hadapan sebuah fakta yang jelas. Bukan hanya kaum intelektual Eropa secara keseluruhan tetapi juga anak-anaknya, sang pelajar, yang secara pasti tidak menunjukkan ketertarikan apapun terhadap sosialisme. Ada sebuah tembok di antara partai buruh dan kaum pelajar. Mencoba menjelaskan masalah ini hanya dengan alasan tidak cukupnya kerja agitasi, yang belum mampu mendekati kaum intelektual dari sudut yang tepat, yakni apa yang Adler coba jelaskan, berarti mengabaikan seluruh sejarah hubungan antara kaum pelajar dan “rakyat”.
Ini berarti melihat kaum pelajar sebagai sebuah kategori intelektual dan moral dan bukan sebagai sebuah produk dari sejarah sosial. Benar, ketergantungan mereka pada masyarakat borjuasi hanya mempengaruhi mereka secara tidak langsung, melalui keluarga mereka, dan oleh karena itu ketergantungan ini lemah. Tetapi, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan kelas darimana kaum pelajar ini berasal tercerminkan di dalam perasaan dan opini kaum pelajar dengan kekuatan yang penuh, seperti sebuah resonator. Sepanjang seluruh sejarah – di dalam momen-momen heroiknya yang paling hebat dan juga di dalam periode kebangkrutan moral total – kaum pelajar Eropa telah menjadi barometer kelas borjuis yang sensitif. Mereka menjadi ultra-revolusioner, dengan tulus hati dan terhormat bergaul dengan rakyat, ketika masyarakat borjuis tidak ada jalan keluar kecuali dengan revolusi.
Mereka secara de facto menjadi kekuatan demokrasi borjuis ketika kebangkrutan politik kelas borjuis mencegah mereka [kelas borjuis] untuk memimpin revolusi, seperti yang terjadi di Vienna pada tahun 1848. Tetapi mereka [kaum pelajar] juga menembaki kaum buruh pada bulan Juni pada tahun yang sama, di Paris, ketika kaum borjuis dan kaum buruh saling berhadapan di barikade yang berseberangan. Setelah peperangan Bismark telah menyatukan Jerman dan memenuhi keinginan kelas borjuis, kaum pelajar Jerman dengan cepat menjadi figur yang mabuk dengan bir dan penuh dengan kesombongan, yang bersama-sama dengan pejabat militer Prusia selalu muncul di koran-koran satiris. Di Austria, para pelajar menjadi pembela eksklusifitas nasional dan sovisnisme[8] militan, seiring dengan menajamnya konflik antara nasionalitas-nasionalitas yang berbeda di negara tersebut untuk menguasai pemerintah. Dan tidak diragukan bahwa di dalam semua transformasi sejarah ini, bahkan yang paling menjijikkan sekalipun, kaum pelajar menunjukkan ketajaman politik, dan kesiapan untuk berkorban, dan idealisme yang militan; kualitas-kualitas yang sangat diandalkan oleh Adler. Walaupun kaum filistin[9] berumur 30 atau 40 tidak akan mengambil resiko mengorbankannya wajahnya untuk diremukan demi “kehormatan” yang abstrak, anaknya akan melakukan itu, dengan semangat yang tinggi.
Para pelajar Ukraina dan Polandia di Universitas Lvov baru-baru ini menunjukkan sekali lagi kepada kita bahwa mereka bukan hanya tahu bagaimana memimpin tendensi nasional atau politik sampai garis akhir tetapi juga tahu bagaimana menyongsongkan dada mereka di depan moncong senjata. Tahun lalu para pelajar German di Prague siap menghadapi kekerasan massa untuk menunjukkan di jalanan hak mereka untuk eksis sebagai sebuah masyarakat Jerman.
Disini kita saksikan idealisme militan – kadang-kadang seperti ayam jago – yang merupakan karakteristik bukan dari sebuah kelas atau sebuah ide tetapi dari sebuah kelompok-umur; di pihak yang lain, isi politik dari idealisme ini sepenuhnya ditentukan oleh semangat historis kelas-kelas darimana para pelajar tersebut berasal dan kemana dia akan kembali. Dan ini alami dan tidak terelakkan.Pada analisa yang terakhir, semua kelas yang kaya mengirim anak mereka ke universitas dan bila para pelajar ini, ketika ada di universitas, menjadi sebuah tabula rasa (kertas kosong – Ed.) dimana sosialisme dapat menulis pesannya, apa jadinya keturunan kelas dan determinisme sejarah yang tua dan malang ini?
Kita tetap harus memperjelas satu aspek lainnya, yang akan mendukung dan menentang Adler.
Satu-satunya cara untuk menarik kaum intelektual ke sosialisme, menurut Adler, adalah dengan mengedepankan tujuan akhir dari gerakan sosialis, di dalam keseluruhannya. Tetapi tentu saja Adler tahu bahwa tujuan akhir ini menjadi semakin jelas dan menjadi semakin lengkap seiring dengan progres konsentrasi industri, proletarianisasi strata menengah dan intensifikasi antagonisme kelas. Terpisah dari kehendak para pemimpin politik dan perbedaan-perbedaan dalam taktik nasional, di Jerman “tujuan akhir” ini berdiri dengan jauh lebih jelas dan lebih segera dibandingkan di Austria dan Itali. Tetapi proses sosial yang sama ini, yakni intensifikasi pertentangan antara buruh dan kapital, mencegah kaum intelektual dari menyeberang ke partai buruh.
Jembatan antara kelas-kelas runtuh, dan untuk menyeberang, seseorang harus melompati sebuah jurang yang semakin dalam seiring dengan berlalunya waktu. Oleh karena ini, pararel dengan kondisi-kondisi yang secara objektif membuat lebih mudah kaum intelektual untuk memahami secara teori esensi dari kolektivisme, halangan-halangan sosial tumbuh semakin besar yang mencegah kaum intelektual untuk bergabung dengan pasukan sosialis. Bergabung dengan gerakan sosialis di negara maju manapun, dimana kehidupan sosial eksis, bukanlah sebuah tindakan spekulatif, tetapi sebuah tindakan politik, dan disini kondisi sosial menang melawan logika teori. Dan akhirnya ini berarti bahwa sekarang lebih sulit untuk memenangkan kaum intelektual dibandingkan kemarin, dan akan lebih sulit esok hari dibandingkan sekarang.
Akan tetapi, di dalam proses ini juga ada sebuah “perpecahan di dalam proses yang berjalan lambat ini”. Sikap kaum intelektual terhadap sosialisme, yang sudah kita jelaskan sebagai sikap yang terasingkan yang semakin membesar dengan tumbuhnya gerakan sosialis, dapat dan harus berubah secara pasti sebagai akibat dari perubahan politik secara objektif yang akan menggeser perimbangan kekuatan sosial secara radikal. Di antara gagasan-gagasan Adler, sebanyak ini yang benar: bahwa kaum intelektual ingin mempertahankan eksploitasi kapitalis tidak secara langsung dan tidak tanpa syarat, selama kaum intelektual secara materi tergantung pada kelas kapitalis.
Kaum intelektual bisa menyeberang ke kolektivisme bila mereka dapat melihat kemungkinan kemenangan kolektivisme yang segera, bila kolektivisme muncul di hadapan mereka bukan sebagai sebuah idealisme dari kelas yang berbeda, jauh, dan asing [baca kelas buruh – Ed.] tetapi sebagai sesuatu yang dekat dan nyata; dan akhirnya, bila – dan ini bukan kondisi yang paling tidak penting – perpecahan politik dengan kelas borjuis tidak mengancam setiap pekerja-otak dengan konsekuensi materi dan moral yang menyeramkan.
Kondisi-kondisi seperti itu hanya bisa diciptakan bagi kaum intelektual Eropa melalui kekuasaan politik sebuah kelas sosial yang baru; dan sedikit banyak melalui sebuah periode perjuangan langusng dan segera untuk kekuasaan tersebut. Apapun yang menjadi sebab keterasingan kaum intelektual Eropa dari rakyat pekerja – dan keterasingan ini akan tumbuh semakin besar, terutama di negara-negara kapitalis muda seperti Austria, Itali, dan negara-negara Balkan – di sebuah epos rekonstruksi sosial yang hebat kaum intelektual – mungkin lebih awal dari pada kelas-kelas intermediate lainnya – menyeberang ke sisi pembela masyakarat yang baru.
Sebuah peran yang besar akan dimainkan oleh kualitas sosial kaum intelektual dalam koneksinya dengan ini, yang membedakan mereka dari kelas borjuis kecil komersial dan industrial dan kelas tani: hubungan okupasinya dengan cabang kebudayaan kerja sosial, kapasitasnya dalam menggeneralisasi teori, fleksibilitas dan mobilitas cara berpikirnya; pendeknya, intelektualitas mereka. Dihadapi dengan kenyataan pemindahan seluruh aparatus masyarakat ke tangan yang baru [baca kelas buruh – Ed.], kaum intelektual Eropa akan mampu meyakinkan diri mereka bahwa kondisi baru yang tercipta ini tidak akan mencampakkan mereka ke jurang dalam tetapi justru akan membuka peluang-peluang yang tak terbatas bagi mereka untuk mengaplikasikan kekuatan-kekuatan teknik, organisasi, dan ilmiah; dan mereka akan bisa membawa ke depan kekuatan-kekuatan tersebut dari barisan mereka, bahkan pada periode awal yang sangat kritis ketika rejim yang baru harus menghadapi kesulitan-kesulitan teknik, sosial, dan politik yang besar.
Tetapi bila penaklukan aparatus masyarakat tergantung sebelumnya pada bergabungnya kaum intelektual ke partai kaum proletar Eropa, maka prospek kolektivisme sangatlah buruk – karena, seperti yang sudah kita coba tunjukkan di atas, bergabungnya kaum intelektual ke Sosial Demokrasi di dalam kerangka rejim borjuis, berlawanan dengan harapan-harapan Max Adler, menjadi semakin mustahil seiring dengan berlalunya waktu.
Catatan
[1] Partai Sosialis Revolusioner dibentuk pada tahun 1902, mewarisi banyak ide dan praktek dari Partai Kehendak Rakyat dan Narodniki. Mereka menekankan bahwa kaum tani adalah kelas yang revolusioner, bukan pekerja kota. Pada tahun 1917, partai SR pecah menjadi SR Kiri dan SR Kanan. SR Kanan mendukung Pemerintahan Sementara sedangkan SR Kiri beragitasi untuk penggulingannya. Dengan munculnya pemerintahan Soviet, SR Kiri bergabung dengannya namun SR Kanan meneruskan taktik teroris mereka dan akhirnya dilarang.
[2] Max Adler (1873-1937) adalah seorang kaum intelektual, politisi, dan ahli filosofi dari Austria. Dia adalah perwakilan dari garis pemikiran Austromarxisme.
[3] Sebelum tahun 1914, semua kaum Marxis and Sosialis menyebut diri mereka sebagai kaum Sosial Demokrat. Setelah pengkhianatan parta-partai Sosial Demokrasi yang mendukung Perang Dunia Pertama (tahun 1914), kaum Marxis revolusioner mencampakkan nama Sosial Demokrasi untuk memisahkan diri mereka dari kaum reformis.
[4] Internasional Kedua - Pada tahun 1880, Partai Sosial Demokrat Jerman mendukung seruan dari kamerad-kamerad Belgia untuk mengadakan kongres sosialis internasional pada tahun 1881. Kota kecil bernama Chur dipilih dan kaum sosialis Belgia, Parti Ouvrier dari Perancis, Sosial Demokrat Jerman dan Sosial Demokrat Swiss berpartisipasi dalam persiapan kongres yang akhirnya menuju pada pembentukan Sosialis Internasional atau Internasionale Kedua. Tidak seperti Internasionale Pertama, Internasionale Kedua terdiri dari partai-partai politik yang memiliki pemimpin terpilih, program politik dan keanggotaan yang berbasiskan di negerinya masing-masing. Seksi nasional dari Internasionale Kedua membangun serikat buruh, terlibat dalam pemilihan umum dan sangat terlibat dalam kehidupan klas pekerja di negerinya masing-masing.
Permulaan Perang Besar pada tahun 1914 dan krisis nasional dan revolusioner yang disebabkan perang menyebabkan krisis didalam Internasionale Kedua. Kaum Sosial Demokrat bertemu di Zimmerwald pada tahun 1915 untuk mencoba membentuk platform oposisi bersama terhadap pembantaian yang terjadi dalam Perang. Konferensi Zimmerwald gagal untuk menyatukan kaum Sosial Demokrat ataupun mengakhiri Perang. Namun konferensi tersebut mampu menyatukan sebuah Sayap Kiri yang mendukung Revolusi Rusia dan memberikan basis bagi Internasional Ketiga (Komunis Internasional). Tokoh-tokoh utama dalam gerakan pekerja internasional dalam periode ini adalah: Karl Kautsky, Rosa Luxemburg, Karl Liebknecht, G V Plekhanov, August Bebel, Clara Zetkin, Daniel De Leon, Franz Mehring dan V I Lenin.
[5] Simplicissimus adalah sebuah majalah satiris mingguan yang diterbitkan di Jerman pada tahun 1896. Ini adalah koran kaum intelektual liberal.
[6] Anton Menger (1841-1906) adalah seorang profesor hukum dari Austria. Dia menulis banyak buku mengenai reformasi hukum untuk membela hak-hak rakyat miskin dan buruh. Beberapa buku yang dia tulis di antaranya: Hak untuk memiliki seluruh hasil produksi dan Hukum sipil dan kaum miskin.
[7] Atlanticus, nama pena Karl Ballod atau Karlis Balodis (1864-1931), seorang ahli statistik ekonomi dari Latvia. Menjabat sebagai profesor di Universitas Berlin. Dia menulis banyak buku mengenai ekonomi sosialisme dan terlibat di dalam perencanaan proses ekonomi Uni Soviet.
[8] Sovinisme: nasionalisme sempit
[9] Filistin adalah seseorang yang tidak tertarik dengan persoalan intelektual
Sumber: The Intelligentsia and Socialism. Leon Trotsky Internet Archive Penerjemah: Ted Sprague, Agustus 2009 Pertama kali diterbitkan di The New International Vol 4. No.8, Agustus 1938, hal. 249-250 |
Sabtu, 28 Agustus 2010
Kaum Intelektual dan Sosialisme
Selasa, 24 Agustus 2010
Dinamika Kehidupan Masyarakat Bayah Barat Dalam Persfektif Bourdieu
Dinamika Kehidupan Masyarakat Bayah Barat Dalam Persfektif Bourdieu
Oleh : Syaifudin
Desa Bayah barat merupakan salah satu dari desa yang ada di kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Secara historis, Desa Bayah Barat merupakan salah satu wilayah pelarian “ tapol “ Tan Malaka pada tahun 1930-1940-an. Selain dikenal sebagai wilayah sejarah romusha, Bayah Barat juga dikenal dengan eksotika pemandangan lautnya. Ombaknya yang besar dan angin laut yang tenang menambah nilai eksistensi Bayah Barat. Lalu bagaimana dengan dinamika kehidupan masyarakatnya?
Pada penulisan ini, penulis mencoba menggunakan pendekatan konsep Bourdieu dalam menganalisis dinamika kehidupan masyarakat Bayah Barat. Mengapa ? Kita ketahui Bourdieu merupakan salah satu sosiolog yang mengkombinasikan teori dan fakta-fakta yang bisa diverifikasi, dalam usaha mendamaikan
kesulitan-kesulitan - semacam bagaimana memahami subyek di dalam struktur obyektif. Di mana kita ketahui Bourdieu sangat dikenal karena bukunya, Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste. Dalam bukunya itu Bourdieu berargumen bahwa penilaian-penilaian selera itu berhubungan dengan posisi sosial. Berdasarkan penjelasan singkat tersebut, menurut penulis konsep-konsep Bourdieu dapat menjadi relevansi dalam analisis masalah ini – walaupun banyak tokoh sosiolog yang lain yang dapat digunakan pendekatan konsepnya.
Dasar analisis penulis dalam melihat dinamika kehidupan masyarakat Bayah Barat ini berdasarkan kerangka investigatif dan terminologi yang dikonsepkan oleh Bourdieu. seperti modal budaya, modal sosial, konsep habitus, serta modal simbolik dan kekerasan simbolik untuk mengungkapkan dinamika relasi kuasa dalam kehidupan sosial.
Modal Budaya
Berdasarkan analisis Bourdieu yang dimaksud modal budaya di sini yaitu kompetensi, keterampilan atau kualifikasi. Dalam konsepsi modal budaya ini, penulis mencoba mekontekstualisasikan yang ada di Bayah Barat. Bentuk seperti apakah modal budaya itu ? Modal budaya yang penulis lihat adalah budaya kesadaran atas konsepsi pendidikan. Di mana tingkat budaya kesadaran atas pendidikan di masyarakat Bayah Barat dapat dikatakan cukup tinggi. Hal ini dapat dibuktikan salah satunya dengan kesuksesan program wajib belajar 9 tahun yang ada di masyarakat Bayah Barat. Berdasarkan informasi yang didapat, menurut masyarakat pendidikan dimaknai sebagai sebuah investasi masa depan. Maka tidak heran, walaupun secara fisik bentuk bangunan tidak permanen atau kurang mampu secara finansial, tetapi mereka tetap berusaha dan memprioritaskan pendidikan bagi anak-anak mereka. Tidak hanya sebatas lulus SLTP atau SLTA saja, bahkan sampai mendapat gelar sarjana.
Konsepsi lokal pendidikan bagi masyarakat yaitu dengan berpendidikan nantinya anak-anak mereka dapat memiliki kompetensi atau ketrampilan yang lebih. Sehingga dengan kemampuan ini, anak-anak mereka dapat lebih layak dalam menggapai kehidupannya. Bagian kunci dari proses ini adalah transformasi warisan simbolik atau ekonomi seseorang seperti kepemilikan harta.
Dalam analisis modal budaya ini Bourdieu menerima pandangan Weber bahwa masyarakat tidak bisa dianalisis secara sederhana lewat kelas-kelas ekonomi dan ideologi semata-mata. Menurut Bourdieu dinamika masyarakat berkaitan dengan peran independen dari faktor-faktor pendidikan dan budaya. Sebagai ganti analisis masyarakat lewat konsep kelas, Bourdieu menggunakan konsep ranah (field), yakni sebuah arena sosial di mana orang bermanuver dan berjuang, dalam mengejar sumberdaya yang didambakan. Bourdieu memperluas kembali konsep habitus dari Marcel Mauss, walau konsep ini juga muncul dalam karya Aristoteles, Norbert Elias, Max Weber, dan Edmund Husserl. Bourdieu menggunakan konsep habitus ini dengan cara yang sistematis dalam usaha memecahkan antinomi terkenal dalam ilmu-ilmu humaniora yakni obyektivisme dan subyektivisme.
Lalu apa relevansi konsep habitus ini dengan modal budaya masyarakat Bayah Barat ? Sebagaimana kita ketahui habitus dapat dirumuskan sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi, pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama). Agen-agen individual mengembangkan disposisi-disposisi ini sebagai tanggapan terhadap kondisi-kondisi obyektif yang dihadapinya. Dengan cara ini, Bourdieu menteorikan penanaman struktur sosial obyektif ke dalam pengalaman mental dan subyektif dari si agen. Secara sederhana dapat dikatakan kondisi kehidupan si orang tua menjadi salah satu faktor motivasi orientasi mengapa mereka menginginkan anak-anaknya dapat berhasil atau mencapai kesuksesan hidup yang lebih baik disbanding orangtuanya. Di sinilah proses pemaknaan kesuksesan hidup dapat dicapai dengan cara mendapatkan pendidikan setinggi mungkin.
Berdasarkan proses itu, maka dapat dilihat habitus sebagai kunci bagi reproduksi sosial karena dia bersifat sentral dalam membangkitkan dan mengatur praktik-praktik yang membentuk kehidupan sosial bagi anak-anaknya. Konsepsi berdasarkan habitus dan doxa inilah yang membuat individu-individu belajar untuk mendambakan hal-hal yang dimungkinkan bagi mereka, dan tidak mengaspirasi hal-hal yang tidak tersedia bagi mereka atau yang tidak menguntungkan. Lewat konsep habitus itu, terlihat bahwa realitas sosial tidaklah begitu sederhana seperti penjelasan lewat teori pertentangan kelas, yang terlalu mengutamakan faktor ekonomi dan mengabaikan faktor-faktor lain. Dalam tulisan-tulisan teoretisnya, Bourdieu menggunakan beberapa terminologi ekonomi untuk menganalisis proses–proses reproduksi sosial dan budaya, tentang bagaimana berbagai bentuk modal cenderung untuk ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bagi Bourdieu, pendidikan formal mewakili contoh kunci proses ini. Keberhasilan pendidikan, menurut Bourdieu, membawakan keseluruhan cakupan perilaku budaya, yang meluas sampai ke fitur-fitur yang seakan-akan bersifat non-akademis.
Modal sosial
Bourdieu yang belajar filsafat bersama Louis Althusser di Paris Ecole Normale Superieure ini secara tidak langsung pemikirannya dipengaruhi oleh Karl Marx. Dari Marx, Bourdieu memperoleh pemahaman tentang “masyarakat” sebagai penjumlahan hubungan-hubungan sosial: “ yang eksis dalam dunia sosial adalah hubungan-hubungan –bukan interaksi antara agen-agen, atau ikatan intersubyektif antara individu-individu, namun hubungan-hubungan obyektif yang eksis secara independen dari kesadaran dan kehendak individual. ” Hubungan-hubungan itu berlandaskan pada bentuk dan kondisi-kondisi produksi ekonomi, dan kebutuhan secara dialektis berdasarkan praktik sosial.
Bagi Bourdieu, setiap individu menempati suatu posisi dalam ruang sosial multidimensional. Ruang itu tidak didefinisikan oleh keanggotaan kelas sosial, namun melalui jumlah setiap jenis modal yang dia miliki. Modal itu mencakup nilai jejaring sosial, yang bisa digunakan untuk memproduksi atau mereproduksi kesetaraan bahkan ketidaksetaraan. Konsepsi ini dapat dilihat dari pola interaksi masyarakat Bayah Barat. Di mana pola interaksi masyarakat Bayah Barat mengenal sistem tingkatan status sosial. Dalam hal ini masyarakat yang memiliki status sosial yang tinggi lebih dihormati dan dikenal, dibanding masyarakat yang status sosialnya rendah.
Selain itu, Bourdieu juga menunjukkan, perbedaan kebahasaan seperti aksen, tata bahasa (grammar), cara pengucapan (spelling), dan gaya bahasa menunjukan stratifikasi latar belakang status sosial masyarakat. Sebagaimana yang penulis amati, perbedaan dalam aksen, tata bahasa dan gaya bahasa ini dapat menunjukan latar belakang dan posisi status sosial dia di masyarakat. Misalnya : Agus Setiawan MBA, Sekretaris Desa Bayah Barat, tentu cara berbicaranya berbeda dengan Pak Tarno yang berprofesi sebagai penambang emas lepas di Laut Bayah Barat. Dengan demikian sebenarnya antara modal budaya dengan modal sosial dapat dikatakan saling berkorelasi dalam kasus dinamika masyarakat di Bayah Barat ini.
Modal Simbolik dan Kekerasan Simbolik
Bagi Marx, “modal (capital) bukanlah sebuah relasi sederhana, melainkan sebuah proses, di mana berbagai gerakan adalah selalu (berupa) modal.” Bourdieu melihat modal simbolik atau symbolic capital (seperti: harga diri, martabat, atensi) merupakan sumber kekuasaan yang krusial. Modal simbolik adalah setiap spesis modal yang dipandang melalui skema klasifikasi, yang ditanamkan secara sosial. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya, ini akan berhadapan dengan agen yang memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena itu si agen berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Maka, hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik (symbolic violence).
Contoh sederhana modal simbolik ini dapat terlihat dari kepemilikan sepeda motor. Contoh kasus sederhana ini penulis amati dengan subyek para siswa-siswi SMP dan SMA. Di mana sepeda motor menjadi modal simbolik siswa laki-laki dalam menarik simpati siswa perempuan atau dalam bahasa sosiologi cinta hal itu dinamakan tebar pesona - guna menarik perhatian lawan jenisnya atau subyek yang dituju.
Selain itu, sebagaimana informasi yang penulis dapatkan tentang adanya konsep kesetaraan status sosial dalam menjalin hubungan (pacaran maupun berumahtangga ). Misalnya ketika seorang gadis membawa pacarnya ke rumah orangtua si gadis. Orangtua si gadis, yang menganggap si pemuda ini tidak pantas disandingkan dengan anak perempuan mereka, menunjukkan wajah dan tindakan yang menandakan rasa kurang senang. Simbol-simbol ini menyampaikan pesan bahwa si gadis tidak akan diizinkan meneruskan hubungannya dengan sang pacar. Namun, orangtua si gadis tidak secara paksa atau eksplisit menyatakan ketidaksetujuannya.
Di sini subyek mengalami kekuasaan simbolik dan sistem pemaknaan (budaya) sebagai sesuatu yang sah (legitimate). Maka, si gadis sering akan merasa wajib memenuhi tuntutan orangtuanya yang tak terucapkan, tanpa memperdulikan kebaikan sebenarnya dari si pemuda pelamarnya. Gadis itu dibuat menyalahartikan atau tidak mengenali hakikat si pemuda. Lebih jauh, dengan memandang kekerasan simbolik yang dilakukan orangtuanya sebagai sesuatu yang sah, gadis itu ikut terlibat dalam ketundukannya (subordination) sendiri. Rasa kewajiban telah berhasil memaksanya secara lebih efektif, ketimbang yang dapat dilakukan oleh teguran atau omelan eksplisit dari si orangtua.
Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategori-kategori pemikiran dan persepsi terhadap agen-agen sosial terdominasi, yang kemudian menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang “adil.” Ini adalah penggabungan struktur tak sadar, yang cenderung mengulang struktur-struktur tindakan dari pihak yang dominan. Pihak yang terdominasi kemudian memandang posisi pihak yang dominan ini sebagai yang “benar.” Kekerasan simbolik dalam arti tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik itu melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial.
Referensi :
Richard Jenkins. 2004. Membaca Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Pierre Bourdieu. 2010. Dominasi Maskulin. Yogyakarta : Jalasutra.
Richard Harker, Cheelen Mahar, Chris Wilkes (ed). 2009. (Habitus x modal) + Ranah = Praktik. Yogyakarta : Jalasutra.
Ikhwan Pendosa
oleh : Syaifudin
Tuhan,,dahulu ku selalu dekat denganMu. Menjalankan setiap perintahMu. Berbagi ilmu agama dengan berda'i, mengaji bersama setiap malam dan menunaikan sholat malam.
Tuhan, kutahu kini aku merasa sudah terlalu jauh melangkah. Al-Qur'an yg biasa ku baca kini berganti dengan buku dunia, aku sudah mulai tidak adil lagi dengan bacaan. Andai Al-Qur'an dapat berbicara, mungkin dia akan berkata : " Waktu kamu masih kecil, kamu bagai teman sejatihQu,dgn wudhu kamu sentuh aku dalam keadaan bersuci, Kamu baca aku dgn lirih dan keras. Sekarang setelah dewasa nampaknya kamu sudah tidak berminat lagi denganQu. Apakah aku bacaan usang bagiMu kini? yg tinggal sejarah ? sekarang kamu simpan rapi, kamu biarkan aku sendiri. Aku menjadi kusam dalam lemari. Berlapis debu, di makan kutu. Ku mohon sentuhlah aku kembali, bacalah aku kemabli setiap hari seperti dulu,karena kelak aku akan menjadi penerang kuburMu nanti "...
Tuhan, aku merasa dingin, dan diam aku termangu menyebut nama-Mu. Hapalan2 firman suci-Mu kini hilang terganti dengan yang lain. Ilmu Laduni yang KAU berikan terhempas oleh dunia yg semakin menjauhkan diri ini. Tetapi aku tetap ingin disampingMu,,walaupun hanya sebatas dzikir. Setiap hari ku selalu berdzikir menyebut namaMu, Tuhan,,aku ingin kembali seperti dulu, membaca firmanMu dan berda'i dari kampung ke kampung...Aku hanya manusia biasa yang jika KAU mau KAU bisa mencabut nyawaku.
Tuhan, beberapa umatMu terkadang menghakimiku atas apa yg dilihat dari ku atas sikapku, padahal yg dilihatnya tampak dari luar diriku. Tuhan, ku tahu sikapku salah, tetapi aku tetap menyakiniMu sebagai pencipta diri ini. Dalam diam aku berdoa, memanjatkan rasa syukur atas karuniaMu, dan bersodakoh sesuai perintahMu. Tuhan, ku yakin KAU maha mengetahui apa yang ku perbuat...
Asyhadu aLaa Ilaha Illallah, wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah....
Tuhan,,dahulu ku selalu dekat denganMu. Menjalankan setiap perintahMu. Berbagi ilmu agama dengan berda'i, mengaji bersama setiap malam dan menunaikan sholat malam.
Tuhan, kutahu kini aku merasa sudah terlalu jauh melangkah. Al-Qur'an yg biasa ku baca kini berganti dengan buku dunia, aku sudah mulai tidak adil lagi dengan bacaan. Andai Al-Qur'an dapat berbicara, mungkin dia akan berkata : " Waktu kamu masih kecil, kamu bagai teman sejatihQu,dgn wudhu kamu sentuh aku dalam keadaan bersuci, Kamu baca aku dgn lirih dan keras. Sekarang setelah dewasa nampaknya kamu sudah tidak berminat lagi denganQu. Apakah aku bacaan usang bagiMu kini? yg tinggal sejarah ? sekarang kamu simpan rapi, kamu biarkan aku sendiri. Aku menjadi kusam dalam lemari. Berlapis debu, di makan kutu. Ku mohon sentuhlah aku kembali, bacalah aku kemabli setiap hari seperti dulu,karena kelak aku akan menjadi penerang kuburMu nanti "...
Tuhan, aku merasa dingin, dan diam aku termangu menyebut nama-Mu. Hapalan2 firman suci-Mu kini hilang terganti dengan yang lain. Ilmu Laduni yang KAU berikan terhempas oleh dunia yg semakin menjauhkan diri ini. Tetapi aku tetap ingin disampingMu,,walaupun hanya sebatas dzikir. Setiap hari ku selalu berdzikir menyebut namaMu, Tuhan,,aku ingin kembali seperti dulu, membaca firmanMu dan berda'i dari kampung ke kampung...Aku hanya manusia biasa yang jika KAU mau KAU bisa mencabut nyawaku.
Tuhan, beberapa umatMu terkadang menghakimiku atas apa yg dilihat dari ku atas sikapku, padahal yg dilihatnya tampak dari luar diriku. Tuhan, ku tahu sikapku salah, tetapi aku tetap menyakiniMu sebagai pencipta diri ini. Dalam diam aku berdoa, memanjatkan rasa syukur atas karuniaMu, dan bersodakoh sesuai perintahMu. Tuhan, ku yakin KAU maha mengetahui apa yang ku perbuat...
Asyhadu aLaa Ilaha Illallah, wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah....
Memoar Bayah Barat
Romantisme Bayah mengantarkan ku pada sebuah eksotisme alam di sana. Ketiadaan hidup membuat terasa berarti disinggasana siur lantunan irama alam. Di mana irama ombak laut dan kesunyian malam membuat dentuman detak jantung terasa larut dalam kedamaian hidup. Selain itu, kesahajaan yang terbalut dalam suasana kekeluargaan membuat diri ini tersenyum bahagia dan berkata dalam hati " Tuhan, apakah kebersamaan ini akan berakhir di malam ini ? Apakah canda-tawa ini akan berlalu seiring selesainya tuntutan akademik ? "
Ya, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Akan tetapi, apakah perpisahan yang tinggal menunggu waktu ini akan benar-benar terjadi. September 2007, masih teringat dalam memori ini. Di bulan dan tahun itu, awal dari pertemuan ku dengan teman-teman ku yang tergabung dalam mahasiswa pendidikan sosiologi reguler 2007. Suka, duka, benci, amarah, tawa dan canda dilewati bersama dalam identitas masing-masing. Apakah ini akan menjadi sebuah kenangan usang yang terkubur begitu saja ? Semoga tidak !
Entah mengapa di malam terakhir KKL itu, ku merasa suasana yang berbeda. Dingin dan sunyi. Malam yang tenang dan penuh dengan kecemasan itu ( karena beberapa teman kami terserang penyakit yang tidak kami harapkan ) membuat ku dan mungkin teman-teman yang lain merasa malam terakhir KKL itu terasa hampa dan tidak berarti. Rintik hujan di malam itu mencoba membuat kami terlena dalam tidur hingga membuat kami lupa untuk membuat sebuah momen terakhir yang berkesan. Ya sudahlah mungkin itulah momen yang sudah ditentukan oleh Tuhan kepada kami.
Namun di sisi lain, ada sesuatu yang membuat jiwa ku terusik. Seseorang yang bagi ku berbeda, asing dan tenang. Entahlah apa yang terjadi dalam dimensi alam pikir ku ini. Seseorang yang mencoba masuk dalam rasa dan asa filosofis. Wajahnya seperti dewi Aphrodite dan pikiran serta sikapnya seperti dewi Athena. Ingin rasanya ku dendangkan sebuah refleksi kata, sebuah karya dari maestro Sapardi Djoko Damono :
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Refleksi kata ini sepertinya bisa larut dan bersatu dalam kedamaian alam Bayah Barat di malam hari itu. Sosok Aphrodite dan Athena ini rasanya juga tidak akan bisa bertemu lagi sampai waktu dan Tuhan mempertemukan lagi pada sebuah dimensi kesatuan hati. Sepertinya ku merasa melankolis, sama seperti Soe Hoek Gie di saat hari-hari terakhirnya berpisah dengan teman-temannya untuk selamanya,
“akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa. Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu? memintaku minum teh dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah bayah barat. Kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram, meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu, ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(Cahaya-cahaya bintang yang sepi dilangit malam Bayah itu. Kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti Bayah Barat kita )
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti dingin dimalam itu )
“ manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru ”
Ya, ku mencoba sedikit merangkai kata melankolis Soe Hoek Gie dengan alam pikir ku...Ah, mengapa ku tulis kalimat itu. Mungkin karena hipnotisnya, hingga membuat kesadaran ku untuk menulis diluar konteks. Biarlah catatan melankolis itu kutulis lebih banyak di hati ku saja, dan wajahnya biarlah kulukis tdalam hati ku saja. Selesai untuk kisah ini.
Kembali dalam kenangan bersama di malam itu, di mana keletihan disaat waktu kami tertawa bahagia bersama dalam permainan ombak. Betapa senangnya kebersamaan itu, terasa bermimpi bisa seperti itu bersama, tapi syukurlah ini adalah nyata. Ombak laut manuk menjadi saksi senyum dan tawa kami di hari-hari terakhir itu. Tidak hanya ombak, derasnya hujan pun menjadi balutan kehangatan aktifitas kami. Apakah masa-masa ini akan terulang kembali ? Mungkin jawabannya ada pada diri kami masing-masing.
Dan tak terasa, KKL pun selesai di tanah Bayah Barat itu. Tanah terakhir, yang menjadi catatan kenangan kami bersama. Sedih, haru, dan romantisme mungkin ada dalam diri kami masing-masing. Hari kepulangan kami ke Jakarta, berarti pula menandahkan hari terakhir kebersamaan kami, karena tidak mungkin kenangan-kenangan ini bisa terulang kembali. Teman, dalam diam ku berdoa semoga kelak kita bisa bertemu kembali dalam momen yang berbeda. Selamat berjuang untuk menyelesaikan tanggung jawab akademik kalian. Maaf bila selama ini ada salah..Semoga kalian dapat menjadi pelita bangsa.....Amin.
Jakarta,21 Juli 2010. 00 :10
Syaifudin
Pencitraan dan Banalitas Partai Politik Bayah Barat
Pencitraan dan Banalitas Partai Politik Bayah Barat
Oleh : Syaifudin
Kontestasi partai politik tidak terlepas dari sebuah proses pencitraan partai politik itu sendiri. Di mana pencitraan partai politik tergantung bagaimana partai politik itu dapat menempatkan posisi yang diharapkan oleh masyarakat. Pada fase awal dalam menarik simpatisan, pencitraan partai politik menjadi hal yang mutlak dalam hal ini. Sebab, pencitraan dalam hal ini menjadi daya tarik masyarakat terhadap partai politik itu sendiri.
Lalu, bagaimanakah dengan pencitraan partai Demokrat di Desa Bayah Barat ? Di mana diketahui secara historis, basis partai politik di masyarakat Bayah Barat sendiri dahulu adalah partai Golkar. Secara singkat kita ketahui partai Demokrat terbilang partai yang masih baru dikancah perpolitikan Indonesia, yang di mana dideklarasikan pada 17 Oktober 2002. Namun, tidak bisa dipungkiri partai Demokrat menjadi salah satu partai baru yang memiliki banyak massa atau pendukung. Dalam hal ini salah satunya masyarakat di Desa Bayah Barat, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pada proses pencitraan partai Demokrat ini tidak terlepas dari strategi dan marketing politiknya, sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab sebelumnya.
Namun dari setiap pergulatan politik, tentu ada suatu hal yang sifatnya dapat mencederahi keidealan fungsi dari partai politik itu sendiri. Salah satu contohnya adalah permainan uang atau money politic, serangan fajar, maupun kampanye hitam (black campaing). Pencideraan politik ini merupakan bentuk dari apa yang disebut “ banalitas politik “. Bagaimanakah dengan prosesi banalitas politik yang ada di Bayah Barat sendiri ? Berdasarkan wawancara peneliti dengan beberapa masyarakat di Bayah Barat, ditemukan adanya indikasi banalitas politik ini. Tidak hanya terjadi pada oknum partai Demokrat saja, tetapi juga partai politik lain yang DPC nya ada di Bayah Barat.
Berdasarkan inrormasi yang di dapat, banalitas politik yang ada di Bayah Barat ini dapat dibagi menjadi dua kategori : Pertama, Transaksi politik, di mana transaksi politik ini berupa transaksi materi, yakni berupa money politic maupun pembagian sembako atau barang-barang tertentu. Adapun penjelasan terkait dengan makna simbolik ini yaitu money politic ; praktik money politic sebagaimana kita ketahui merupakan proses pemberian uang yang dilakukan oleh partai politik atau individu politik kepada individu maupun kelompok masyarakat guna menarik simpatisan massa agar memilih partainya atau kadernya. Secara implisit, politik dapat diartikan kepentingan individu atau partai pada suatu kekuasaan yang sifatnya relatif. Dalam kasus money politic di Bayah Barat ini berdasarkan informasi yang didapat, biasanya terjadi disetiap moment politik, seperti pemilihan umum; pemilihan presiden, pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah (Pilkada), maupun pemilihan politik lainnya. Praktik-praktik money politic ini juga dapat disebut serangan fajar.
Praktik money politic dalam kasus di Bayah Barat, tidak hanya berlaku kepada individu saja, melainkan money politic ini secara implisit berlaku dalam tataran kelompok masyarakat. Maksudnya adalah berupa pemberian bantuan atau sumbangan pada kelompok masyarakat tertentu. Di mana biasanya bantuan atau sumbangan ini dimaksudkan untuk membangun atau memperbaiki fasilitas yang ada di masyarakat dengan tujuan dan maksud politis tertentu.
Selain transaksi politik berupa money politic, pemberian sembako atau barang juga terjadi dalam kompetisi penggalangan massa di Bayah Barat ini. Pemberian sembako atau barang secara sosiologis merupakan bentuk interaksi rekrutmen yang bersifat mekonstruksi persepsi masyarakat terhadap partai politik itu, atau dengan kata lain tujuan ini merupakan pencitraan partai politik.
Sedangkan banalitas politik kedua yaitu, doktrinisasi politik. Doktrinisasi politik dalam tataran kasus di sini berupa konstruksi ekspektasi melalui program-program kerja yang konkret sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat. Hal ini sesuai dengan jati diri partai democrat yang termaktub dalam AD/ART partai Demokrat Bab 1, pasal 3 yaitu kerja keras untuk kepentingan rakyat dengan landasan moral dan agama serta memperhatikan aspek humanisme, nasionalisme, dan pluralisme dalam rangka mencapai tujuan perdamaian, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat.
Doktrinisasi politik ini tidak hanya dilakukan melalui forum-forum musyawarah atau kampanye saja, melainkan melalui media massa, baik elektronik maupun cetak. Salah satunya media cetak yang peneliti dapatkan yaitu koran “ Sambung Hati “. Di mana isi koran ini berisikan kesuksesan dan kebermanfaatan program-program kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Secara analisis kritis, koran yang dibagikan secara gratis ini, ada makna simbolik yang ada di dalam media cetak tersebut, yakni salah satunya menjadi media doktrinisasi politik pencitraan SBY maupun kader-kader partai Demokrat dengan kesuksesan dan keberhasilan program-programnya.
Ironi Kontrak Sosial
Setiap momen pemilu pastilah ada aktifitas masyarakat yang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Mengapa masyarakat datang ke TPS ? Sebagaimana kita ketahui dalam amanah konstitusi UUD 1945 pasal 28, setiap warga negara berhak memilih dan dipilih dalam konteks ruang politik. Berangkat dari amanah UUD 1945 ini, salah satunya menjadi alasan masyarakat datang ke TPS. Namun alasan ini tentu bukanlah menjadi indikator yang utama bahkan esensi. Sebab, dibalik datangnya masyarakat ke TPS ini, ada sebuah kepercayaan dan harapan besar yang ada dalam diri individu-individu masyarakat.
Ekspektasi ini berorientasi pada terjadinya perubahan kondisi hidup individu-individu tersebut. Sebagaimana yang dituturkan oleh Pak Ahmadyani, ketua Rt. 03 Rw 01, Desa Bayah Barat, Kecamatan Bayah. Menurut Pak Ahmadyani, masyarakat dalam memilih atau memberikan hak suaranya tidak terlepas dari harapan masyarakat akan terjadinya sebuah perubahan kearah yang lebih baik, entah itu harapan secara individu maupun kelompok masyarakat.
Prosesi pemberian hak suara ini secara politis dapat dikatakan sebagai sebuah kontrak sosial antara individu yang memilih dengan individu yang dipilihnya. Korelasi hubungan kontrak sosial ini merupakan pemberian kepercayaan kepada individu masyarakat (rakyat) kepada individu yang nantinya menjadi pemimpin atau penguasa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan ini atau dengan kata lain pelaksana amanah konstitusi.
Kaitan kontrak sosial ini secara sederhana, berupa hubungan timbal balik atau simbiosis mutualisme politis :
Pada gambar diatas, terlihat sebuah mekanisme sederhana kontrak sosial. Di mana harapan politis ini dapat berupa perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik individu pemilih terhadap calon individu yang dia yakin dapat merealisasikan harapan politisnya. Sedangkan dari segi individu yang mecalonkan dirinya untuk menjadi penguasa dalam tingkatan pemerintahan mencoba memberikan harapan-harapan itu dan nantinya akan terealisasi jikalau individu tersebut terpilih dan masuk dalam sistem pemerintahan. Benturan kepentingan politis ini kelak nantinya akan direalisasikan melalui mekanisme kontrak sosial berupa pola yang tersistematis. Di mana mediaisasi kontrak sosial ini melalui ruang bernama Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Namun ironinya, sistem kontrak sosial ini terkadang tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Misalnya saja, saat pemilihan caleg DPRD maupun DPR RI 2009 di Bayah Barat. Pada masa-masa kampanye caleg, para caleg-caleg ini mempromosikan janji-janji melalui program-program kerjanya, yang kelak jika mereka terpilih nanti akan menghasilkan sebuah kebermanfaatan dan perubahan bagi masyarakat Bayah Barat. Lalu disisi mana ironi kontrak sosial ini ?
Ironi kontrak sosial ini terjadi berupa inkonsistensi janji. Inkonsistensi yang dimaksud dalam hal ini adalah perihal masalah janji-janji yang dulu pernah dikemukan kepada masyarakat berupa perbaikan kehidupan masyarakat saat masih berstatus calon legislatif. Lalu kemudian saat para calon ini akhirnya terpilih dan berubah menjadi status dewan legislatif, mereka melupakan janji-janji yang dulu dikemukakan kepada masyarakat. Inkonsistensi kontrak sosial ini, diakui dan dirasakan oleh salah satu penambang emas lepas di Bayah Barat ini. Menurut penambang emas yang sudah melakukan pekerjaan ini sejak 1997 mengungkapkan kekecewaannya terhadap para wakil rakyat, yang konon katanya hanya bisa mengubar janji, ungkapnya sambil tersenyum. Berdasarkan kenyataan ini, jelas ini menjadi sebuah ironi kontrak sosial dari sebuah proses demokrasi.
22 Juli 2010
*Penelitian dinamika perpolitikan di Bayah Barat , Banten.
Mengukir Inspirasi dalam Tulisan
Mengukir Inspirasi dalam Tulisan
Oleh : Syaifudin
Oleh : Syaifudin
Menulis merupakan suatu proses transfer alam pikir kita dalam sebuah kata-kata, kemudian menjadi kalimat, lalu dirangkai menjadi sebuah paragraf, akhirnya jadilah sebuah tulisan yang kita ingingkan. Stephen R. Covey pernah mengatakan dalam bukunya, ” the 7 Habits of Highly Efective People ” bahwa apabila saya ingin mengubah keadaan, saya harus mengubah diri saya lebih dahulu, dan untuk mengubah diri saya secara kreatif, saya lebih dahulu harus mengubah persepsi saya ”.
Menulis haruslah dibarengi dengan sebuah persepsi rasa senang untuk menulis, bukan karena ada rasa terpaksa. Apakah tulisan kita sudah layak dibaca orang? Sudah layakkah kita menjadi penulis? Pertanyaan-pertanyaan itu sering kali muncul dalam benak kita. Ketika ingin mengurai kata-kata dalam sebuah buku atau selembar kertas. Dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan itu terkadang pikiran kita mandek, tangan menjadi kaku untuk merangkai kata-kata, akhirnya kita tidak pede mempublikan tulisan kita pada orang lain, takut tidak dapat dipahami, takut dikritik, bahkan takut dicemooh orang lain.
Tidak ada orang yang tidak pantas untuk tidak menjadi penulis, setiap orang berpotensi untuk menjadi penulis, penulis apa saja sesuai dengan bakat atau keinginannya. Kalau orang yang sering berimajinasi dan mengungkapkan kata-katanya dengan bahasa yang indah, ia bisa menjadi penulis puisi, kalau ia sering mengamati lika-liku hidupnya atau hidup orang lain, ia bisa menjadi penulis cerpen, orang yang sering mengamati keadaan dengan kritis mungkin bakat menjadi kolumnis dan lain-lain. Artinya tidak ada orang yang tidak pantas untuk tidak menjadi penulis, asalkan punya kemauan, kesungguhan dan kerja keras, sehingga menulis menjadi kebiasaan.
Sthepen King tidak percaya, bahwa penulis bisa dibuat, baik oleh keadaan atau oleh keinginannya sendiri. Ia menjadi penulis, karena ada keinginan untuk menulis, dan ia lakukan setiap ada kesempatan untuk menulis, menulis apa saja, saat tangannya gatal dan inspirasinya mau muntah. Tumpahkanlah ide dan inspirasi itu dalam tulisan. Sebagaimana pesan J.K. Rowling, “Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu ”.
Tentunya kebiasaan menulis tidaklah langsung jadi, tapi harus melalui tahapan-tahapan atau proses sehingga menjadikan menulis sebuah kebiasaan. Stephen R. Covey. mendivinisikan kebiasaan sebagai titik pertemuan antara pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan keinginan (desire). Ketika seseorang sudah mempunyai pengetahuan, informasi dan ide. Maka seringkali pengetahuan itu, ia ingin ungkapkan baik lisan atau tulisan, namun kebanyakan orang mengungkapkan idenya atau pengetahuaannya lewat lisan bukan tulisan.
Namun, jika ia ingin mengalihkan pada tulisan sebenarnya tidaklah terlalu sulit, asalkan ia berusaha untuk terus menulis sehingga menjadi skill, kalau sudah menjadi keterampilan maka ia akan mudah untuk menuliskan apa saja, karena ketika ada ide kemudian tidak di tuliskan ia merasa kurang nyaman. Kemudian ada keinginan yang kuat untuk menulis. Kalau seseorang mempunyai pengetahuan dan ia juga memiliki keterampilan namun tidak ada keinginan untuk menulis maka ia tidak akan pernah mencoret lembaran-lembaran putih itu menjadi ungkapan yang tertata rapi. Sehingga, ide-idenya lenyap ditelan masa.
Syarat untuk bisa menulis menurut Kuntowijoyo ada tiga; pertama menulis, kedua menulis, ketiga menulis. Untuk itu mulai saat ini jika kita kemana-mana bawalah buku bacaan, balpoin dan buku tulis atau note book untuk menumpahkan apa yang di dapat dari membaca, merenung, kontemplasi dan analisa, atau mungkin ada ide-ide yang bermunculan secara tiba-tiba saat kita sedang berpergian.
Wanita Kontruksi Peradaban*
Wanita Kontruksi Peradaban*
Oleh : Syaifudin
Oleh : Syaifudin
Berbicara mengenai sosok wanita tentu tidak terlepas dari sebuah refleksi sejarah yang panjang tentang eksistensinya. Di sini kaum wanita telah melewati suatu masa yang mana mereka ditempatkan pada posisi yang tidak layak, dan sangat memilukan, serta tidak ada perlindungan bagi mereka. Bahkan hak-hak mereka dihancurkan, kemauan mereka dirampas, jiwa mereka dibelenggu, bahkan saat itu mereka berada pada posisi yang amat rendah dan hina. Wanita seringkali digambarkan sebagai manusia yang lemah dan diposisikan sebagai masyarakat kelas dua.
Dahulu pada zaman Romawi seorang suami memiliki otoritas penuh akan nyawa istrinya, suami bisa menetapkan hukuman mati kepada istrinya sesuai dengan kehendaknya. Di sini bangsa Romawi menganggap bahwa wanita adalah sama halnya dengan harta dan perabot rumah tangga. Sementara bangsa Yahudi menganggap wanita adalah najis atau kotor. Sedangkan bangsa Arab Jahiliah menganggap wanita sebagai sumber keburukan, di mana wanita dikubur hidup-hidup. Semua itu merupakan ketragisan sejarah dan budaya yang mengkerdilkan sosok wanita.
Namun seiring perkembangan zaman, wanita perlahan mulai dipandang sebagai bagian dari elemen hidup peradaban manusia yang amat penting. Wanita kini tidak lagi terkukung pada sebuah budaya diskriminasi. Kita tentu tahu sosok perjuangan R.A Kartini dalam membebaskan kaumnya dari kebodohan. Atau perjuangan Bu Muslimah dalam film Laskar Pelangi yang berjuang demi sebuah keadilan pendidikan untuk masyarakat miskin. Kemudian tentang perjuangan Chairul Syamsu Datu Tumenggung di Minang yang memerangi fenomena pernikahan anak pada tahun 1930-an. Ini hanyalah sebagian contoh kecil dibalik ketangguhan sang wanita.
Wanita tangguh dalam konteks ini, bukan berarti wanita yang mengingkari kodratnya sebagai wanita. Akan tetapi wanita tangguh di sini adalah wanita yang mampu memaksimalkan potensi yang ada di dalam dirinya melalui kerja keras, tidak mudah putus asa atau hanya pasrah menerima kondisi dan situasi yang menyudutkan perannya sebagai wanita. Pada intinya wanita tangguh adalah wanita yang pandai merangkai seni kehidupan.
Islam sendiri memandang wanita sebagai unsur yang memegang peranan penting dalam membangun masyarakat yang beradab. Sebab wanita adalah guru pertama bagi sang anak, sebelum dididik orang lain. Wanita sebagai hamba Allah SWT yang lemah, memiliki peran amat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tanpanya, kehidupan tidak akan berjalan semestinya. Sebab dia adalah pencetak generasi baru. Sekiranya di muka bumi ini hanya dihuni oleh laki-laki, mungkin kehidupan sudah terhenti beribu-ribu abad yang lalu. Oleh sebab itu, wanita tidak bisa diremehkan dan diabaikan, karena dibalik semua keberhasilan dan kontinuitas kehidupan, di situ ada wanita.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka sesungguhnya peran wanita itu memiliki posisi yang penting bagi setiap bidang kehidupan. Wanita adalah kontruksi peradaban manusia. Di balik sosoknya yang lemah lembut, dia dilahirkan untuk dan penentu warna kehidupan ini.
* Diterbitkan dalam Majalah " INVERSI UNJ " Edisi November 2009.
Langganan:
Postingan (Atom)