Selasa, 24 Agustus 2010

Dinamika Kehidupan Masyarakat Bayah Barat Dalam Persfektif Bourdieu

Dinamika Kehidupan Masyarakat Bayah Barat Dalam Persfektif Bourdieu

Oleh : Syaifudin

Desa Bayah barat merupakan salah satu dari desa yang ada di kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Secara historis, Desa Bayah Barat merupakan salah satu wilayah pelarian “ tapol “ Tan Malaka pada tahun 1930-1940-an. Selain dikenal sebagai wilayah sejarah romusha, Bayah Barat juga dikenal dengan eksotika pemandangan lautnya. Ombaknya yang besar dan angin laut yang tenang menambah nilai eksistensi Bayah Barat. Lalu bagaimana dengan dinamika kehidupan masyarakatnya?

Pada penulisan ini, penulis mencoba menggunakan pendekatan konsep Bourdieu dalam menganalisis dinamika kehidupan masyarakat Bayah Barat. Mengapa ? Kita ketahui Bourdieu merupakan salah satu sosiolog yang mengkombinasikan teori dan fakta-fakta yang bisa diverifikasi, dalam usaha mendamaikan
kesulitan-kesulitan - semacam bagaimana memahami subyek di dalam struktur obyektif. Di mana kita ketahui Bourdieu sangat dikenal karena bukunya, Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste. Dalam bukunya itu Bourdieu berargumen bahwa penilaian-penilaian selera itu berhubungan dengan posisi sosial. Berdasarkan penjelasan singkat tersebut, menurut penulis konsep-konsep Bourdieu dapat menjadi relevansi dalam analisis masalah ini – walaupun banyak tokoh sosiolog yang lain yang dapat digunakan pendekatan konsepnya.

Dasar analisis penulis dalam melihat dinamika kehidupan masyarakat Bayah Barat ini berdasarkan kerangka investigatif dan terminologi yang dikonsepkan oleh Bourdieu. seperti modal budaya, modal sosial, konsep habitus, serta modal simbolik dan kekerasan simbolik untuk mengungkapkan dinamika relasi kuasa dalam kehidupan sosial.


Modal Budaya
Berdasarkan analisis Bourdieu yang dimaksud modal budaya di sini yaitu kompetensi, keterampilan atau kualifikasi. Dalam konsepsi modal budaya ini, penulis mencoba mekontekstualisasikan yang ada di Bayah Barat. Bentuk seperti apakah modal budaya itu ? Modal budaya yang penulis lihat adalah budaya kesadaran atas konsepsi pendidikan. Di mana tingkat budaya kesadaran atas pendidikan di masyarakat Bayah Barat dapat dikatakan cukup tinggi. Hal ini dapat dibuktikan salah satunya dengan kesuksesan program wajib belajar 9 tahun yang ada di masyarakat Bayah Barat. Berdasarkan informasi yang didapat, menurut masyarakat pendidikan dimaknai sebagai sebuah investasi masa depan. Maka tidak heran, walaupun secara fisik bentuk bangunan tidak permanen atau kurang mampu secara finansial, tetapi mereka tetap berusaha dan memprioritaskan pendidikan bagi anak-anak mereka. Tidak hanya sebatas lulus SLTP atau SLTA saja, bahkan sampai mendapat gelar sarjana.

Konsepsi lokal pendidikan bagi masyarakat yaitu dengan berpendidikan nantinya anak-anak mereka dapat memiliki kompetensi atau ketrampilan yang lebih. Sehingga dengan kemampuan ini, anak-anak mereka dapat lebih layak dalam menggapai kehidupannya. Bagian kunci dari proses ini adalah transformasi warisan simbolik atau ekonomi seseorang seperti kepemilikan harta.

Dalam analisis modal budaya ini Bourdieu menerima pandangan Weber bahwa masyarakat tidak bisa dianalisis secara sederhana lewat kelas-kelas ekonomi dan ideologi semata-mata. Menurut Bourdieu dinamika masyarakat berkaitan dengan peran independen dari faktor-faktor pendidikan dan budaya. Sebagai ganti analisis masyarakat lewat konsep kelas, Bourdieu menggunakan konsep ranah (field), yakni sebuah arena sosial di mana orang bermanuver dan berjuang, dalam mengejar sumberdaya yang didambakan. Bourdieu memperluas kembali konsep habitus dari Marcel Mauss, walau konsep ini juga muncul dalam karya Aristoteles, Norbert Elias, Max Weber, dan Edmund Husserl. Bourdieu menggunakan konsep habitus ini dengan cara yang sistematis dalam usaha memecahkan antinomi terkenal dalam ilmu-ilmu humaniora yakni obyektivisme dan subyektivisme.

Lalu apa relevansi konsep habitus ini dengan modal budaya masyarakat Bayah Barat ? Sebagaimana kita ketahui habitus dapat dirumuskan sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi, pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama). Agen-agen individual mengembangkan disposisi-disposisi ini sebagai tanggapan terhadap kondisi-kondisi obyektif yang dihadapinya. Dengan cara ini, Bourdieu menteorikan penanaman struktur sosial obyektif ke dalam pengalaman mental dan subyektif dari si agen. Secara sederhana dapat dikatakan kondisi kehidupan si orang tua menjadi salah satu faktor motivasi orientasi mengapa mereka menginginkan anak-anaknya dapat berhasil atau mencapai kesuksesan hidup yang lebih baik disbanding orangtuanya. Di sinilah proses pemaknaan kesuksesan hidup dapat dicapai dengan cara mendapatkan pendidikan setinggi mungkin.

Berdasarkan proses itu, maka dapat dilihat habitus sebagai kunci bagi reproduksi sosial karena dia bersifat sentral dalam membangkitkan dan mengatur praktik-praktik yang membentuk kehidupan sosial bagi anak-anaknya. Konsepsi berdasarkan habitus dan doxa inilah yang membuat individu-individu belajar untuk mendambakan hal-hal yang dimungkinkan bagi mereka, dan tidak mengaspirasi hal-hal yang tidak tersedia bagi mereka atau yang tidak menguntungkan. Lewat konsep habitus itu, terlihat bahwa realitas sosial tidaklah begitu sederhana seperti penjelasan lewat teori pertentangan kelas, yang terlalu mengutamakan faktor ekonomi dan mengabaikan faktor-faktor lain. Dalam tulisan-tulisan teoretisnya, Bourdieu menggunakan beberapa terminologi ekonomi untuk menganalisis proses–proses reproduksi sosial dan budaya, tentang bagaimana berbagai bentuk modal cenderung untuk ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bagi Bourdieu, pendidikan formal mewakili contoh kunci proses ini. Keberhasilan pendidikan, menurut Bourdieu, membawakan keseluruhan cakupan perilaku budaya, yang meluas sampai ke fitur-fitur yang seakan-akan bersifat non-akademis.


Modal sosial
Bourdieu yang belajar filsafat bersama Louis Althusser di Paris Ecole Normale Superieure ini secara tidak langsung pemikirannya dipengaruhi oleh Karl Marx. Dari Marx, Bourdieu memperoleh pemahaman tentang “masyarakat” sebagai penjumlahan hubungan-hubungan sosial: “ yang eksis dalam dunia sosial adalah hubungan-hubungan –bukan interaksi antara agen-agen, atau ikatan intersubyektif antara individu-individu, namun hubungan-hubungan obyektif yang eksis secara independen dari kesadaran dan kehendak individual. ” Hubungan-hubungan itu berlandaskan pada bentuk dan kondisi-kondisi produksi ekonomi, dan kebutuhan secara dialektis berdasarkan praktik sosial.

Bagi Bourdieu, setiap individu menempati suatu posisi dalam ruang sosial multidimensional. Ruang itu tidak didefinisikan oleh keanggotaan kelas sosial, namun melalui jumlah setiap jenis modal yang dia miliki. Modal itu mencakup nilai jejaring sosial, yang bisa digunakan untuk memproduksi atau mereproduksi kesetaraan bahkan ketidaksetaraan. Konsepsi ini dapat dilihat dari pola interaksi masyarakat Bayah Barat. Di mana pola interaksi masyarakat Bayah Barat mengenal sistem tingkatan status sosial. Dalam hal ini masyarakat yang memiliki status sosial yang tinggi lebih dihormati dan dikenal, dibanding masyarakat yang status sosialnya rendah.

Selain itu, Bourdieu juga menunjukkan, perbedaan kebahasaan seperti aksen, tata bahasa (grammar), cara pengucapan (spelling), dan gaya bahasa menunjukan stratifikasi latar belakang status sosial masyarakat. Sebagaimana yang penulis amati, perbedaan dalam aksen, tata bahasa dan gaya bahasa ini dapat menunjukan latar belakang dan posisi status sosial dia di masyarakat. Misalnya : Agus Setiawan MBA, Sekretaris Desa Bayah Barat, tentu cara berbicaranya berbeda dengan Pak Tarno yang berprofesi sebagai penambang emas lepas di Laut Bayah Barat. Dengan demikian sebenarnya antara modal budaya dengan modal sosial dapat dikatakan saling berkorelasi dalam kasus dinamika masyarakat di Bayah Barat ini.


Modal Simbolik dan Kekerasan Simbolik
Bagi Marx, “modal (capital) bukanlah sebuah relasi sederhana, melainkan sebuah proses, di mana berbagai gerakan adalah selalu (berupa) modal.” Bourdieu melihat modal simbolik atau symbolic capital (seperti: harga diri, martabat, atensi) merupakan sumber kekuasaan yang krusial. Modal simbolik adalah setiap spesis modal yang dipandang melalui skema klasifikasi, yang ditanamkan secara sosial. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya, ini akan berhadapan dengan agen yang memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena itu si agen berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Maka, hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik (symbolic violence).

Contoh sederhana modal simbolik ini dapat terlihat dari kepemilikan sepeda motor. Contoh kasus sederhana ini penulis amati dengan subyek para siswa-siswi SMP dan SMA. Di mana sepeda motor menjadi modal simbolik siswa laki-laki dalam menarik simpati siswa perempuan atau dalam bahasa sosiologi cinta hal itu dinamakan tebar pesona - guna menarik perhatian lawan jenisnya atau subyek yang dituju.

Selain itu, sebagaimana informasi yang penulis dapatkan tentang adanya konsep kesetaraan status sosial dalam menjalin hubungan (pacaran maupun berumahtangga ). Misalnya ketika seorang gadis membawa pacarnya ke rumah orangtua si gadis. Orangtua si gadis, yang menganggap si pemuda ini tidak pantas disandingkan dengan anak perempuan mereka, menunjukkan wajah dan tindakan yang menandakan rasa kurang senang. Simbol-simbol ini menyampaikan pesan bahwa si gadis tidak akan diizinkan meneruskan hubungannya dengan sang pacar. Namun, orangtua si gadis tidak secara paksa atau eksplisit menyatakan ketidaksetujuannya.

Di sini subyek mengalami kekuasaan simbolik dan sistem pemaknaan (budaya) sebagai sesuatu yang sah (legitimate). Maka, si gadis sering akan merasa wajib memenuhi tuntutan orangtuanya yang tak terucapkan, tanpa memperdulikan kebaikan sebenarnya dari si pemuda pelamarnya. Gadis itu dibuat menyalahartikan atau tidak mengenali hakikat si pemuda. Lebih jauh, dengan memandang kekerasan simbolik yang dilakukan orangtuanya sebagai sesuatu yang sah, gadis itu ikut terlibat dalam ketundukannya (subordination) sendiri. Rasa kewajiban telah berhasil memaksanya secara lebih efektif, ketimbang yang dapat dilakukan oleh teguran atau omelan eksplisit dari si orangtua.

Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategori-kategori pemikiran dan persepsi terhadap agen-agen sosial terdominasi, yang kemudian menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang “adil.” Ini adalah penggabungan struktur tak sadar, yang cenderung mengulang struktur-struktur tindakan dari pihak yang dominan. Pihak yang terdominasi kemudian memandang posisi pihak yang dominan ini sebagai yang “benar.” Kekerasan simbolik dalam arti tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik itu melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial.


Referensi :
Richard Jenkins. 2004. Membaca Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Pierre Bourdieu. 2010. Dominasi Maskulin. Yogyakarta : Jalasutra.
Richard Harker, Cheelen Mahar, Chris Wilkes (ed). 2009. (Habitus x modal) + Ranah = Praktik. Yogyakarta : Jalasutra.

Tidak ada komentar: