Selasa, 24 Agustus 2010

Pencitraan dan Banalitas Partai Politik Bayah Barat

 Pencitraan dan Banalitas Partai Politik Bayah Barat

Oleh : Syaifudin

Kontestasi partai politik tidak terlepas dari sebuah proses pencitraan partai politik itu sendiri. Di mana pencitraan partai politik tergantung bagaimana partai politik itu dapat menempatkan posisi yang diharapkan oleh masyarakat. Pada fase awal dalam menarik simpatisan, pencitraan partai politik menjadi hal yang mutlak dalam hal ini. Sebab, pencitraan dalam hal ini menjadi daya tarik masyarakat terhadap partai politik itu sendiri.

Lalu, bagaimanakah dengan pencitraan partai Demokrat di Desa Bayah Barat ? Di mana diketahui secara historis, basis partai politik di masyarakat Bayah Barat sendiri dahulu adalah partai Golkar. Secara singkat kita ketahui partai Demokrat terbilang partai yang masih baru dikancah perpolitikan Indonesia, yang di mana dideklarasikan pada 17 Oktober 2002. Namun, tidak bisa dipungkiri partai Demokrat menjadi salah satu partai baru yang memiliki banyak massa atau pendukung. Dalam hal ini salah satunya masyarakat di Desa Bayah Barat, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pada proses pencitraan partai Demokrat ini tidak terlepas dari strategi dan marketing politiknya, sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab sebelumnya.

Namun dari setiap pergulatan politik, tentu ada suatu hal yang sifatnya dapat mencederahi keidealan fungsi dari partai politik itu sendiri. Salah satu contohnya adalah permainan uang atau money politic, serangan fajar, maupun kampanye hitam (black campaing). Pencideraan politik ini merupakan bentuk dari apa yang disebut “ banalitas politik “. Bagaimanakah dengan prosesi banalitas politik yang ada di Bayah Barat sendiri ? Berdasarkan wawancara peneliti dengan beberapa masyarakat di Bayah Barat, ditemukan adanya indikasi banalitas politik ini. Tidak hanya terjadi pada oknum partai Demokrat saja, tetapi juga partai politik lain yang DPC nya ada di Bayah Barat.

Berdasarkan inrormasi yang di dapat, banalitas politik yang ada di Bayah Barat ini dapat dibagi menjadi dua kategori : Pertama, Transaksi politik, di mana transaksi politik ini berupa transaksi materi, yakni berupa money politic maupun pembagian sembako atau barang-barang tertentu. Adapun penjelasan terkait dengan makna simbolik ini yaitu money politic ; praktik money politic sebagaimana kita ketahui merupakan proses pemberian uang yang dilakukan oleh partai politik atau individu politik kepada individu maupun kelompok masyarakat guna menarik simpatisan massa agar memilih partainya atau kadernya. Secara implisit, politik dapat diartikan kepentingan individu atau partai pada suatu kekuasaan yang sifatnya relatif. Dalam kasus money politic di Bayah Barat ini berdasarkan informasi yang didapat, biasanya terjadi disetiap moment politik, seperti pemilihan umum; pemilihan presiden, pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah (Pilkada), maupun pemilihan politik lainnya. Praktik-praktik money politic ini juga dapat disebut serangan fajar.

Praktik money politic dalam kasus di Bayah Barat, tidak hanya berlaku kepada individu saja, melainkan money politic ini secara implisit berlaku dalam tataran kelompok masyarakat. Maksudnya adalah berupa pemberian bantuan atau sumbangan pada kelompok masyarakat tertentu. Di mana biasanya bantuan atau sumbangan ini dimaksudkan untuk membangun atau memperbaiki fasilitas yang ada di masyarakat dengan tujuan dan maksud politis tertentu.

Selain transaksi politik berupa money politic, pemberian sembako atau barang juga terjadi dalam kompetisi penggalangan massa di Bayah Barat ini. Pemberian sembako atau barang secara sosiologis merupakan bentuk interaksi rekrutmen yang bersifat mekonstruksi persepsi masyarakat terhadap partai politik itu, atau dengan kata lain tujuan ini merupakan pencitraan partai politik.

Sedangkan banalitas politik kedua yaitu, doktrinisasi politik. Doktrinisasi politik dalam tataran kasus di sini berupa konstruksi ekspektasi melalui program-program kerja yang konkret sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat. Hal ini sesuai dengan jati diri partai democrat yang termaktub dalam AD/ART partai Demokrat Bab 1, pasal 3 yaitu kerja keras untuk kepentingan rakyat dengan landasan moral dan agama serta memperhatikan aspek humanisme, nasionalisme, dan pluralisme dalam rangka mencapai tujuan perdamaian, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat.

Doktrinisasi politik ini tidak hanya dilakukan melalui forum-forum musyawarah atau kampanye saja, melainkan melalui media massa, baik elektronik maupun cetak. Salah satunya media cetak yang peneliti dapatkan yaitu koran “ Sambung Hati “. Di mana isi koran ini berisikan kesuksesan dan kebermanfaatan program-program kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Secara analisis kritis, koran yang dibagikan secara gratis ini, ada makna simbolik yang ada di dalam media cetak tersebut, yakni salah satunya menjadi media doktrinisasi politik pencitraan SBY maupun kader-kader partai Demokrat dengan kesuksesan dan keberhasilan program-programnya.

Ironi Kontrak Sosial
Setiap momen pemilu pastilah ada aktifitas masyarakat yang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Mengapa masyarakat datang ke TPS ? Sebagaimana kita ketahui dalam amanah konstitusi UUD 1945 pasal 28, setiap warga negara berhak memilih dan dipilih dalam konteks ruang politik. Berangkat dari amanah UUD 1945 ini, salah satunya menjadi alasan masyarakat datang ke TPS. Namun alasan ini tentu bukanlah menjadi indikator yang utama bahkan esensi. Sebab, dibalik datangnya masyarakat ke TPS ini, ada sebuah kepercayaan dan harapan besar yang ada dalam diri individu-individu masyarakat.

Ekspektasi ini berorientasi pada terjadinya perubahan kondisi hidup individu-individu tersebut. Sebagaimana yang dituturkan oleh Pak Ahmadyani, ketua Rt. 03 Rw 01, Desa Bayah Barat, Kecamatan Bayah. Menurut Pak Ahmadyani, masyarakat dalam memilih atau memberikan hak suaranya tidak terlepas dari harapan masyarakat akan terjadinya sebuah perubahan kearah yang lebih baik, entah itu harapan secara individu maupun kelompok masyarakat.

Prosesi pemberian hak suara ini secara politis dapat dikatakan sebagai sebuah kontrak sosial antara individu yang memilih dengan individu yang dipilihnya. Korelasi hubungan kontrak sosial ini merupakan pemberian kepercayaan kepada individu masyarakat (rakyat) kepada individu yang nantinya menjadi pemimpin atau penguasa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan ini atau dengan kata lain pelaksana amanah konstitusi.

Kaitan kontrak sosial ini secara sederhana, berupa hubungan timbal balik atau simbiosis mutualisme politis :

Pada gambar diatas, terlihat sebuah mekanisme sederhana kontrak sosial. Di mana harapan politis ini dapat berupa perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik individu pemilih terhadap calon individu yang dia yakin dapat merealisasikan harapan politisnya. Sedangkan dari segi individu yang mecalonkan dirinya untuk menjadi penguasa dalam tingkatan pemerintahan mencoba memberikan harapan-harapan itu dan nantinya akan terealisasi jikalau individu tersebut terpilih dan masuk dalam sistem pemerintahan. Benturan kepentingan politis ini kelak nantinya akan direalisasikan melalui mekanisme kontrak sosial berupa pola yang tersistematis. Di mana mediaisasi kontrak sosial ini melalui ruang bernama Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Namun ironinya, sistem kontrak sosial ini terkadang tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Misalnya saja, saat pemilihan caleg DPRD maupun DPR RI 2009 di Bayah Barat. Pada masa-masa kampanye caleg, para caleg-caleg ini mempromosikan janji-janji melalui program-program kerjanya, yang kelak jika mereka terpilih nanti akan menghasilkan sebuah kebermanfaatan dan perubahan bagi masyarakat Bayah Barat. Lalu disisi mana ironi kontrak sosial ini ?

Ironi kontrak sosial ini terjadi berupa inkonsistensi janji. Inkonsistensi yang dimaksud dalam hal ini adalah perihal masalah janji-janji yang dulu pernah dikemukan kepada masyarakat berupa perbaikan kehidupan masyarakat saat masih berstatus calon legislatif. Lalu kemudian saat para calon ini akhirnya terpilih dan berubah menjadi status dewan legislatif, mereka melupakan janji-janji yang dulu dikemukakan kepada masyarakat. Inkonsistensi kontrak sosial ini, diakui dan dirasakan oleh salah satu penambang emas lepas di Bayah Barat ini. Menurut penambang emas yang sudah melakukan pekerjaan ini sejak 1997 mengungkapkan kekecewaannya terhadap para wakil rakyat, yang konon katanya hanya bisa mengubar janji, ungkapnya sambil tersenyum. Berdasarkan kenyataan ini, jelas ini menjadi sebuah ironi kontrak sosial dari sebuah proses demokrasi.

22 Juli 2010

*Penelitian dinamika perpolitikan di Bayah Barat , Banten.

Tidak ada komentar: